MASYARAKAT PESISIR: Peta Sosiologis Pulau Ambon

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

1. Ruang sosial yang terabaikan dalam Sosiologi Ilmiah
Secara geografik, Maluku disebut kawasan “seribu pulau”; sebuah termini-teknikus, yang secara sosiologis menggambarkan karakteristik dan tipologi sosial masyarakat. Suatu masyarakat Laut-Pulau, yang menetap di dalam lingkar pulau-pulau sedang, kecil dan terkecil.
“Seribu Pulau”. Sejak lama dimengerti secara fisik mengenai konstruksi pulau-pulau yang dihubungkan (karena kita menghindari istilah “dipisahkan”) oleh laut. Karena itu, ruang jelajah sosiologi lebih diarahkan pada komposisi pulau-pulau yang ada.

Akibatnya, kegiatan pembangunan pun dibahasakan menjangkau “daerah-daerah yang terpencil”, atau “pulau-pulau yang jauh”. Analogi yang sama digunakan untuk menyebut “Kawasan Tertinggal”. Malah dengan latah kita suka menyebut “Tenggara Jauh”, atau “Tenggara Dekat”; sebuah asosiasi yang diukur dari Ambon sebagai sentrum geo-politik.

Prof. A.J. Ajawaila, dalam orasi ilmiah pengukuhan Guru Besar Antropologi pada Universitas Pattimura, fasih membahasakan konteks pulau-pulau itu dalam terminus pulau-pulau sedang, kecil dan terkecil. Sorotannyaterarah pada tipologi masyarakat di pulau-pulau itu sebagai syarat dalam mendaratkan sebuah kegiatan pembangunan.

Pekerjaan Rumah bagi sang profesor, dan juga kalangan akademis di Maluku, termasuk fakultas-fakultas ilmu sosial, untuk bangkit dari sebuah “kelesuan sosiologi ilmiah”. Karena selama ini, kajian sosiologi ilmiah lebih diarahkan pada sosiologi pedesaan dan pertanian.

Program Pascasarjana Injil Adat UKIM, sejak tahun 1997, telah menjadikan masyarakat pesisir sebagai ruang diskursus akademis di kelas. Masyarakat pesisir dengan konteks adat, lingkungan sosial, hukum, kosmologis, dan artefak-artefaknya telah menjadi bahan debat ilmiah yang segar. Prof. A.J. Ajawaila, Prof. R.Z. Titahelu, Prof. J. Lokolo, adalah para penyumbang yang patut diusung di sini. Bukan sekedar memberi preferensi akademis, melainkan keharusan intelektual untuk membangun kesadaran bersama merintis diskursus sosiologis di Maluku.

Masyarakat pesisir, dalam wacana sosiologi di Indonesia pun belum mendapat perhatian yang serius. Kita masih cenderung bertahan, mewarisi dan meneruskan sebuah corak sosiologi kontiental. Lalu sosiologi itu sendiri kerap dilihat dalam konteks sosiologi pedesaan dan perkotaan (rural and urban sociology), dengan seluruh kekaitannya pada isu-isu kontemporer yang muncul dari sana (seperti sosiologi industri, dll).

Wilayah pesisir (coastal) masih dimasukkan ke dalam konteks pedesaan, sebagai sub bagian teritori yang cenderung dilihat dalam kaitan dengan pusat aktifitas masyarakat. Padahal wilayah ini juga adalah permukiman masyarakat (mungkin pula agak berbeda secara sosiologis dengan desa-desa nelayan di daerah Pantai Utara pulau Jawa), yang tidak dapat disetarakan secara arbiter dengan desa/kota.

Dalam konteks Maluku, wilayah pesisir memiliki corak tersendiri. Suatu corak masyarakat yang telah lama terbentuk, dan dalam rentang waktu yang lama pula tereduksi bahkan disejajarkan dengan tipe-tipe dan ekotipe masyarakat desa yang mapan.

2. Historisitas Masyarakat Pesisir di Pulau Ambon
Tulisan ini coba disempitkan saja pada Pulau Ambon, mengingat diperlukan sebuah penelitian yang mendalam dan komprehensif menjangkau seluruh masyarakat pesisir di Maluku. Sempitan ini pun akan mengundang debat yang panjang. Apalagi jika dikaitkan dengan tipologi masyarakat pesisir tadi. Karena setiap negeri memiliki karekateristik tersendiri; dan memang tidak ada sebuah corak monokultur dalam masyarakat manapun.

Sosiologi sejarah, membantu membuat sketsa yang menuntun seluruh tulisan ini. Sebagai kemasan pewacanaan, saya akan melihat beberapa tonjolan sejarah yang memberi sumbangan berarti dalam pembentukan dan kemenjadian masyarakat pesisir di pulau Ambon.

Van Voelenhoefen, menggambarkan konteks sosial masyarakat di Maluku sebagai sebuah peta sosiologis pada Adatrechtbundel. Di situ, masyarakat Maluku dan Ambon khususnya, dibahasakan tinggal dalam lokus-lokus feodal, yang selalu berinteraksi dengan “tanah”, sebagai core sosialnya. Tanah dalam arti itu dimengerti dalam kerangka hak-hak sipil, tetapi juga basis pertumbuhan kosmologis mereka. Di sini sebetulnya keberadaan negeri-negeri di pulau Ambon sudah harus dilihat dari sejarah keleluhuran setiap negeri [bnd. karya Pattikayhatu, Sejarah Terbentuknya Negeri-negeri di Pulau Ambon].

Dalam sejarah pelayaran dagang di Maluku [di sini sejarahwan dan ekonom perlu memberi perhatian khusus, untuk mengkaji sejarah pertumbuhan perekonomian di Maluku], Hitu telah menjadi bandar transit yang mendunia. Para pedagang Cina, seperti dikisahkan Andaya, dalam waktu yang cukup lama telah “menyembunyikan” bandar ini sebagai pintu menemukan cengkeh, pala dan bunga pala.

Berabad lamanya, daerah-daerah pesisir di Leihitu menjadi pusat kontak sosial orang-orang Ambon dengan para pedagang dan pengelana dari luar. Bahkan dalam sejarah keleluhuran pun, daerah pesisir Leihitu, menjadi pintu menuju pesisir di Leitimor. Leluhur-leluhur dari Seram Utara, Tuban dan Gresik, seperti yang kemudian menetap di Hukurila, Ema, Mahia, sebetulnya mengadakan kontak pertama dengan daerah pesisir di Leihitu.

Armada Eropa, Portugis, Spanyol, Inggris (melalui Ternate), dan Belanda pun pertama kali mengadakan kontak dengan orang-orang Ambon melalui pesisir Leihitu. Ketegangan dengan Ternate, yang berimbas ke Ambon, telah mendorong Portugis beralih dari Leihitu ke Leitimor. Konsekuensi sosiologisnya adalah, penduduk di Leitimor, yang semula berada di daerah pegunungan, mengalami kontak dengan orang-orang Eropa. Sentuhan dengan orang-orang Eropa ini lebih banyak bertendensi politik-keamanan; dalam rangka menjaga stabilitas negeri dari ekspansi orang-orang Leihitu [yang memang sedang bermusuhan], atau para bajak laut dari Seram. Hal yang sama sebetulnya masih bertahan sampai dengan masuknya Belanda.

Ada tonjolan peristiwa sejarah yang turut berpengaruh dalam kontak orang-orang pesisir di Pulau Ambon dengan para pendatang dari Jawa, Arab, Eropa. Orang-orang pesisir di Hitu, akhirnya menjadi pemeluk agama Islam. Sedangkan orang-orang Pesisir di Leitimor kemudian menjadi pemeluk agama kristen. Bahkan sebetulnya orang Hative Besar, di Leihitu lah yang menjadi pusat penyebaran kekristenan di pulau Ambon.

Masuknya agama [Islam dan Kristen] ke Ambon, telah mengubah konteks sosiologis negeri-negeri. Negeri yang bercorak sosio-genealogis, kemudian dibangun menjadi sebuah “republik-kecil”, di mana corak politis lebih menonjol dalam relasi antarnegeri. Chauvel malah melihat adanya pembedaan secara politis dalam hal pengorganisasian pemerintahan di negeri-negeri Islam dan negeri-negeri Kristen. Dan fungsi serta keberadaan rumah raja, merupakan artefak budaya yang menunjuk pembedaan itu.

Bahkan keberadaan negeri-negeri di pesisir seperti sekarang ini, juga merupakan bagian dari sistem rekayasa sosial Belanda, dengan jalan menarik turun penduduk dari daerah pegunungan ke pesisir pantai. Suatu strategi untuk memudahkan rentang kendali politik-ekonomi dengan orang-orang Ambon. Kecuali Soya, Ema, Hatalai, [Puta, Kappa], yang tidak turut diturunkan, karena semua penduduknya telah menjadi kristen. Alasan lain juga sebetulnya karena negeri-negeri ini diberikan status politis yang cukup baik oleh Belanda. Di sini kita memperoleh penjelasan sejarah mengenai adanya daerah-daerah seperti Soa Ema, Soa Kilang [sekarang daerah SMU PGRI], dan Belakang Soya, sebagai tempat tinggal para pekerja/kuli di Benteng Victoria. Kemudian pula Mardika, sebagai tempat tinggal para budak yang dibebaskan dari kerja di benteng.

Belum lagi, negeri-negeri terkonstruksi secara homogen berdasarkan agama yang dianut warga. Geo-sosial yang bercorak genealogis itu telah pula terpola menjadi sebuah geo-religius, setiap warga di salah satu negeri menganut agama yang sama. Atau juga sebuah peta sosiologis lain, di mana di salah satu negeri, warga memeluk lebih dari satu agama, tetapi permukiman mereka tersegregasi, juga oleh alasan agama yang dianut. Ini dapat dilihat di Hila-Kaitetu, Tial Islam – Tial Kristen, minus Larike yang tidak ada penyebutan Larike Islam-Larike Kristen, tetapi permukimannya tetap terpisah.

Corak geo-religius yang sama kemudian terbentuk ketika para pendatang dari Pulau Buton menetap di negeri-negeri pesisir Leitimor. Terbentuk permukiman Buton yang semuanya berlokasi di pesisir pantai, minus kampung Buton La Rela di negeri Rutung yang berlokasi di pegunungan. Jika dilihat lebih mendalam, semua kampung Buton itu berlokasi di negeri-negeri yang memiliki areal meti, pada saat air surut. Sehingga lebih banyak terbentuk di daerah Baguala dan Nusanive.

Paparan historis ini hendak memperlihatkan bahwa corak masyarakat pesisir di pulau Ambon telah terbentuk dalam domain-domain yang sarat akan masalah politik (sistem dan organisasi sosial), ekonomi (mata pencaharian), sosial (hubungan antarmasyarakat, sistem kerjasama), pendidikan dan agama. Hal-hal ini penting untuk melihat aspek “tindakan sosial” orang-orang pesisir, yang cenderung akan berbeda dengan pola tindakan sosial orang-orang di pegunungan. Atau corak tindakan sosial yang juga berbeda dari tindakan sosial masyarakat pedesaan dan perkotaan dalam bahasan sosiologi.

3. Corak Kultural orang Pesisir
Ciri kultural orang-orang di pesisir pulau Ambon tidak jauh berbeda dengan orang-orang di daerah pegunungan. Sosiologi ilmiah di sini mencakup sistem pengorganisasian sosial, sistem nilai dan hukum/norma sosial, pola kekerabatan, sistem kerjasama sosial, dll.

Namun bahwa, secara kultural negeri-negeri ini memiliki ikatan-ikatan religiusitas yang kuat. Bahkan corak kepercayaan lama masih terus mewarnai orientasi keagamaan mereka. Sosiologi ilmiah di sini sudah masuk dalam sebuah diskursus sosiologi agama, untuk turut pula melihat peran dan fungsi lembaga-lembaga agama dalam proses pemasyarakatan masyarakat manusia.
Rasionalitas masyarakat kita pun adalah sebuah bentuk rasionalitas kosmogoni. Orang masih membuat kekaitan fakta sosial dengan fakta mistis. Mitos sebagai bangunan bermasayarakat masih melekat bahkan sebagai lapisan dari sistem kepercayaan agama. Suatu rasionalitas yang terkait dengan sistem tanda kebudayaan. Cara masyarakat menandai sesuatu masih berkisar pada kejadian-kejadian alamiah di sekitarnya. Tanoar dan nanaku merupakan materialisasi rasio yang masih kuat dalam masyarakat kita.

Beberapa terminus kultural seperti Salam – Sarane, juga merupakan sebuah kaidah kultur orang-orang [pesisir] pulau Ambon, dalam mewacanakan hubungan antarnegeri. Artinya, budaya telah menjadi fondasi kemengadaan masyarakat, dan mengandung mekanisme perekat yang mampu mengintegrasikan masyarakat. Walau untuk itu, perkembangan kontemporer agama-agama telah turut mengubah tatanan kelokalan tadi.

Banyak referensi budaya yang mampu menggambarkan secara memadai corak kultural orang-orang pesisir pulau Ambon. Saya tidak akan membuat reduplikasi yang berlebihan.

Hanya bahwa, budaya masyarakat di pesisir telah turut digembosi oleh perkembangan kontemporer yang mengubah cara memahami diri serta identitas. Di sini, agama menjadi faktor determinan yang turut mengubah tatanan dasar kebudayaan masyarakat. Dampak sosiologisnya jelas terlihat dari komposisi negeri-negeri yang homogen, dan terbentuknya geo-religius yang terkesan kuat eksklusif.

Geseran basis kultural juga tampak dari keberadaan dan cara membahasa masyarakat. Bahasa-bahasa tanah terpelihara sangat baik di negeri-negeri Leihitu dan umumnya negeri Salam. Walau beberapa peneliti masih melihat eksisnya bahasa tanah di Allang, Liliboy, Larike, yang Sarane, tetapi tingkat penggunaannya sebagai lingua franca, atau komunikasi sehari-hari, jauh lebih kecil, dan nyaris hilang, dibandingkan negeri Salam. Leitimor, adalah situs yang mengalami kematian bahasa (language death), sebagai akibat langsung dari invasi kekristenan yang memaksakan pembahasaan bahasa melayu.

Aspek ini membuat pergeseran dalam pemaknaan kultural orang-orang Ambon. Bahasa dalam arti ini tidak sekedar sebagai alat komunikasi, melainkan media pengungkapan pengalaman dan citra diri masyarakat.

4. Ekotipe dan Ranji Pesisir
Eric Wolf mengartikan ekotipe sebagai kemampuan dan keandalan masyarakat di suatu wilayah mengelola dan menata lingkungannya, sesuai dengan kemampuan diri serta kapasitas wilayah, untuk kebutuhan produksi. Bahkan menurutnya, ekotipe menunjuk pada suatu corak khusus dalam orientasi kerja masyarakat di dalam wilayahnya.

Secara sosiologis, ekotipe itu lalu menunjuk pada kemampuan mengadaptasi diri dengan lingkungan. Ia berwujud dalam sebuah aksi atau tindakan sosial, yang termaterialisasi melalui kerja atau mata pencarian. Ekotipe adalah ciri yang darinya kita mengenal seperti apa masyarakat itu.

Telaahan kita ke pulau Ambon atau Maluku secara umum, akan menghadapkan kita pada ragam mata pencarian penduduk, seperti berburu, meramu, berladang/berkebun, melaut, sebagai jenis-jenis mata pencarian yang telah dilakoni sejak zaman nenek moyang. Tentu, perkembangan revolusioner di bidang ekonomi dan pertumbuhan kota, telah turut pula menambah sederetan daftar mata pencarian penduduk.

Saya mencoba membuat sorotan lebih spesifik ke masyarakat pesisir. Namun sebelumnya hendak dipaparkan terlebih dahulu ranji [pembagian atau pemetaan wilayah] negeri-negeri pesisir.

Pemetaan wilayah negeri-negeri pesisir di sini mencakup areal kerja penduduk. Suatu usaha untuk melihat secara bersama tipologi masyarakat pesisir di pulau Ambon. Adapun pola ranji negeri itu tampak sebagai berikut.



Ewang


Dusun – kebun – aong
--- belakang negeri ---

Dara
Negeri
Lao
--- dusun sagu ---


Pantai
Pesisir – daerah yang ditumbuhi pohon kelapa – berpasir

Laut


Tanjung Batas meti Tanjung


Laut lepas


Pola ranji seperti itu menggambarkan lokasi kerja masyarakat. Di pulau Ambon, daerah ewang, sebagai hutan perawan hanya mengandung beberapa jenis kayu yang berkualitas. Wilayah ini sekaligus menjadi batas petuanan dengan negeri lainnya. Aktifitas kerja jarang terjadi di wilayah ini, karena mentalitas berkebun orang-orang Ambon pun tergolong rendah. Mungkin pada beberapa negeri areal ewang sudah dikelola sebagai perluasan dusun mereka. Itu pun hanya oleh beberapa keluarga.

Masyarakat lebih cenderung memanfaatkan hasil-hasil tanaman umur panjang yang sudah ada di areal dusun. Oleh sebab itu, pekerjaan berkebun atau berladang lebih intensif terjadi di daerah ini. Artinya, tidak ada revolusi pertanian yang besar di kalangan masyarakat pulau Ambon. Kita hanya akan menjumpai kebun-kebun dalam ukuran kecil, atau aong-aong yang masih sering pula dimanfaatkan. Suatu pemandangan yang menarik baru akan terlihat pada musim-musim panen cengkeh, pala, durian, langsat, duku, dan aneka buah-buahan lainnya. Itu pun sebatas areal dusun.

Bagian wilayah ini menjadi tempat kerja bagi semua penduduk, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak. Pemandangan “pi kabong” dengan menyertakan semua anggota keluarga masih tampak di negeri-negeri, dan itu berlangsung di areal dusun, dan/atau ewang.

Wilayah belakang negeri, sering pula ditumbuhi beberapa jenis tanaman umur panjang, seperti durian, manggis, langsat, dll. Bahkan ada pula yang menanam pisang di wilayah ini. Belakangan ini kita pun dapat melihat usaha holtikultura di beberapa negeri yang berlokasi di wilayah ini. Agak maju sedikit mendekat ke negeri, adalah areal pekuburan umum, yang memang dibuat terpisah dari lokasi permukiman penduduk.

Negeri, dikhususkan sebagai permukiman penduduk. Tetapi kita pun masih bisa melihat beberapa jenis tanaman umur panjang di samping-samping rumah penduduk pada beberapa negeri. Komposisi teritori negeri pun terbagi menjadi daerah dara dan lao. Pada beberapa negeri pun masih dijumpai pembagian atas daerah uku dan weroang. Jika diteliti lebih mendalam, cara ini dibuat sebagai bagian dari pola penataan permukiman menurut kelompok soa. Sehingga terkadang pada suatu bagian tertentu dari negeri, kita masih melihat rumah-rumah penduduk yang memiliki marga yang sama berhimpun pada bagian itu, dan selalu di dekatnya terletak batu teung soa itu.

Ke arah pantai, pada beberapa negeri kita masih melihat rumpunan pohon sagu yang besar. Wilayah ini masih merupakan salah satu bagian pusat aktifitas penduduk di pesisir pulau Ambon. Ini merupakan wilayah kerja laki-laki dewasa. Sesekali akan tampak kaum perempuan, yakni pada saat “sisi sagu”, yang bekerja “kekung tumang sagu”. Artinya intensitas kerja laki-laki di daerah ini lebih tinggi dari kaum perempuannya. Namun, pada beberapa negeri di pulau Ambon pun, sekarang sudah jarang tampak aktifitas kerja yang memadai di sini. Pepohonan sagu sudah banyak yang dibuang sia-sia. Bahkan teknik pengolahan tradisional, yang biasa melibatkan banyak orang, digantikan dengan teknik pengolahan mesin. Ironisnya, hanya tampak satu atau dua kelompok yang mengolah sagu-sagu itu. Itu pun lebih banyak penduduk dari pulau Saparua. Fakta itu memperlihatkan adanya pola penggantian bahan konsumsi oleh masyarakat pulau Ambon. Suatu fakta yang berpengaruh pula dalam corak kerja masyarakat pesisir.

Daerah pantai, sebagai daerah berpasir, lebih banyak ditumbuhi pepohonan kelapa. Itu pun kelapa-kelapa yang sudah ditanam sejak lama. Hanya beberapa pohon kelapa yang kelihatan baru ditanam, dengan gaya pemeliharaan seadanya pula. Aktifitas kerja di sini tidak tampak sebagai sesuatu yang menjadi ciri kerja masyarakat. Berbeda dengan pengolahan kopra di beberapa areal tanaman kelapa pada masyarakat lainnya.

Pada daerah tepi garis pantai sampai batas air surut (meti), merupakan bagian dari areal kerja yang sering menyerap orang dalam jumlah yang besar. Areal ini menjadi tempat kerja bersama [seperti dusun], hanya lebih banyak kaum wanitanya yang tampak bekerja secara intensif [cari bia, amanisar, dll]. Di daerah ini pula, pada saat air pasang, pada musim-musim tertentu, biasa menjadi areal timba laor, atau arwasa ikan gusao. Itu pun biasa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan; hampir identik dengan dusun di darat. Namun, pada beberapa negeri yang tidak memiliki areal meti, kaum perempuan cenderung tidak tampak di wilayah pantai. Beberapa negeri lainnya pula, kaum perempuan hanya menjadi pemetik sayor lao/sayor karang, misalnya di Hukurila. Kaum perempuan di sini lebih banyak terserap papalele, suatu jenis mata pencarian yang berkembang seirama perkembangan pasar kota.

Laut lepas adalah areal kerja laki-laki. Namun, kita pun masih menghadapi sebuah fakta ironis di negeri-negeri pesisir. Tidak semua penduduk pesisir bermata pencarian sebagai nelayan. Di pesisir pantai, jumlah perahu dapat kita hitung dengan jari. Para “pelaut” masih memanfaatkan cara tradisional dalam menangkap ikan. Jumlah sero pun cukup sedikit. Armada perikanan masyarakat dalam jumlah dan kualitas produksi yang baik hanya dapat dijumpai di Waai, Galala, Tial, Seri. Bahwa itu pun tidak lalu menjadikan negeri-negeri ini sebagai “negeri nelayan”. Artinya, ada pula tipologi khusus masyarakat nelayan di negeri-negeri pulau Ambon.

Secara umum, ekotipe masyarakat pesisir kita adalah sebuah ekotipe pencarian ganda. Para pekebun/pedusun di pulau Ambon, sesekali adalah juga peramu sagu dan “pelaut”. Corak ganda itu menjelaskan bahwa, aktifitas kerja masyarakat pesisir belum berlangsung secara intensif atau profesional. Orang masih bekerja seadanya, atau seperlunya. Artinya orientasi kerja masih lebih banyak untuk kebutuhan subsistensi, ketimbang menggerakkan sebuah sistem produksi massal. Dan memang kita belum menjumpai sebuah pusat produksi baru di negeri-negeri pulau Ambon. Masyarakat kita masih sering menjadi konsumen produksi impor dari daerah lain, sampai pada sayur-mayur.


6. Epilog
Masyarakat pesisir [coastal society] tidak mesti kita bahasakan dalam terminus marine society. Aspek kepesisiran lalu memperlihatkan bahwa orientasi kehidupan masyarakat masih ada dalam ruang binaritas, antara darat dan laut. Pekerjaan mereka secara berimbang terserap ke dalam dua areal.

Corak kepesisiran itu tampak pula sebagai sebuah fakta sosial yang ironis, sebab masyarakat masih belum beranjak dari pola-pola tradisonal. Artinya, pembangunan sosial yang didaratkan ke wilayah ini hendaknya direkayasa dalam sistem-sistem yang gradual, komprehensif.
Akhirnya, kajian ini terbuka bagi ruang kritik ilmiah yang akhirnya mampu membangun masyarakat kita.

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara