Oleh, Elifas Tomix Maspaitella
PENGANTAR
Pola Induk Pelayanan dan Rencana
Induk Pengembangan Pelayanan (PIP-RIPP) GPM tidak sekedar sebagai dokumen
perencanaan pelayanan gereja semata, melainkan dokumen misiologis dan/atau
teologi praksis GPM.
Disebut demikian sebab PIP-RIPP
memuat strategi dan cara GPM menjawab isu-isu aktual dalam konteksnya. Gereja
yang merespons amanat panggilannya dari TUHAN adalah gereja yang bermisi. Dalam
eklesiologi GPM, sebagaimana termaktub dalam Tata Gereja (Bab IV, Pasal 8 ayat
2), GPM telah mendefenisi bentuk panggilan pelayanannya itu secara
praksis/nyata. Itu artinya kesadaran misiologis menjadi perspektif dasar dari
bagaimana gereja itu hidup dan peka terhadap konteks kehadirannya.
Mengenai advokasi, dalam PIP-RIPP
GPM 2016-2020, hal ini mendapat aksentuasi yang utama dan menjadi kegiatan
utama dari banyak program pelayanan. Beberapa isu dalam PIP-RIPP yang membuat
advokasi itu menjadi penting antara lain:
-
Pengelolaan lingkungan hidup dan penanggulangan bencana alam
-
Penanganan kemiskinan dan penguatan ketahanan ekonomi umat
-
Perkembangan HIV dan masalah kesehatan lainnya
-
Peningkatan peran politik GPM
Jika dicermati secara mendalam,
setidaknya keempat isu itu memberi penegasan pada bagaimana GPM melakukan
tindakan advokasi yang komprehensif. GPM telah mendefenisikan tugas advokasi
sebagai sebuah tugas teologis yang bukan untuk manusia saja melainkan hak hidup
seluruh makhluk.
Menjadikan hak hidup semua
makhluk sebagai fokus advokasi GPM tentu berangkat dari pergumulan GPM untuk
masa yang panjang dan sungguh-sungguh. Saya mencatat bahwa bahasan teologis
tentang dignitas semua makhluk ciptaan TUHAN mulai digumuli GPM secara khusus
pada tahun 2005.
Tema gumulan GPM 2010-2015,
“TUHAN itu baik kepada semua ciptaan” menegaskan bahwa kebaikan TUHAN itu
berdimensi keadilan kepada semua makhluk. Serentak dengan itu, mandat
kebudayaan yang diberi kepada manusia (Kej. 2:18) tidak serta-merta menempatkan
manusia sebagai makhluk yang [harus bertindak] dominan terhadap makhluk lain.
Relasi kemakhlukan dalam bingkai keadilan antar-ciptaan menjadi parameter yang
penting dalam membentuk keseimbangan hubungan antar-makhluk ciptaan TUHAN.
Kebaikan TUHAN sebagai Pencipta itu tidak semata-mata tertuju kepada manusia,
melainkan kepada semua makhluk.
Kemudian Tema gumulan tahun
2016-2020 : “Allah Kehidupan Tuntunlah Kami Membela dan Merawat Kehidupan”
memperlihatkan aspek afirmatif pada satu sisi dan aspek misiologis pada sisi
sebelahnya.
Aspek afirmatifnya ialah pengakuan
GPM tentang Allah Kehidupan. Ini satu defenisi yang padu bahwa kehidupan adalah
bagian dari citra diri Allah. Dengan kata lain, secara teknikus kehidupan itu
ditempatkan sebagai hakekat yang melekat pada diri Allah. Jadi sebuatan Allah
Kehidupan tidak bisa dipisahkan atau kemudian disebut Allah Sumber Kehidupan;
sebaliknya Allah Kehidupan menegaskan bahwa Ia adalah Allah yang hidup dan
karena Ia hidup maka segala yang diciptakan-Nya pun hidup. Jika Allah itu Allah
Kematian, maka Ia tidak menciptakan apa-apa, satu makhluk pun tidak. Sebaliknya
karena Ia adalah Allah Kehidupan maka di dalam kematian segala makhluk ada
kehidupan baru. Jadi istilah Allah Kehidupan sekaligus mengandung dimensi
sotereologi dari GPM.
Sedangkan aspek misiologis dari
tema itu ialah tugas advokasi sebagai tugas teologis GPM yakni untuk membela
dan merawat kehidupan. Tanggungjawab ini adalah tugas memberi jaminan dan
membagi potensi kehidupan. Terkandung di situ keberpihakan GPM pada eksistensi
segala makhluk ciptaan TUHAN. Suatu cara berteologi yang membuat GPM tidak
sekedar berteologi di dalam alam melainkan bersama-sama dengan alam dan segala
isinya.
Aspek bersama-sama itu menjadi
cerminan bahwa advokasi gereja adalah advokasi yang berdimensi keadilan untuk
memulihkan dignitas segala makhluk yang sedang dilanda krisis. Dalam Pedoman
Advokasi GPM, masalah eksploitasi lingkungan, pengabaian hak sipil dan hak
dasar manusia, ketidakadilan gender, ketidakseimbangan ekonomi dan rusaknya
relasi antarwarga memperlihatkan bahwa semua makhluk mengalami ketidakadilan
yang terjadi secara sistemik.
Dengan tegas disebutkan dalam
Pedoman Advokasi itu bahwa kerusakan lingkungan pada sisi tertentu tidak
mengancam lingkungan itu sendiri melainkan turut menjadi ancaman bagi manusia
atau masyarakat secara keseluruhan.
Kesadaran ini mendorong GPM untuk
melakukan langkah dan tindakan advokasi yang pada akhirnya menempatkan GPM di
dalam pergulatan hidup seluruh makhluk ciptaan TUHAN. Jadi GPM atau
gereja-gereja selalu dapat dan harus hadir di dalam berbagai masalah yang
melilit hak hidup manusia dan segala makhluk.
KONSEP ADVOKASI GPM
Saya mengutip Pedoman Advokasi
GPM (2016) untuk menjelaskan apa yang telah menjadi strategi dasar advokasi
GPM. Dalam pedoman advokasi GPM ada dua tipologi advokasi Gereja, yaitu :
a. Advokasi
Individu / Kasus, yaitu
upaya yang dilakukan untuk membantu Individu atau seseorang agar mampu
menjangkau sumber atau pelayanan sosial yang telah menjadi haknya. Alasannya :
terjadi diskriminasi atau ketidakadilan yang dilakukan oleh lembaga, dunia
bisnis, kelompok professional terhadap individu.
b. Advokasi
Kelompok / Kelas, yaitu
upaya atas nama kelas/kelompok untuk menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat
dalam menjangkau sumber atau memperoleh kesempatan dan peluang. Fokus pada
advokasi kelompok/kelas adalah mempengaruhi atau melakukan perubahan-perubahan
Hukum dan kebijakan publik pada tingkat lokal dan nasional. Advokasi
Kelompok/Kelas umumnya dilakukan melalui koalisi/berjejaring dengan kelompok
dan organisasi lain yang memiliki agenda yang sejalan.
Dari dua tipologi itu, maka jelas sasaran advokasi GPM
dilakukan terhadap individu, Keluarga, Kelompok dan Masyarakat yang tertindas,
diperlakukan tidak adil, berasal dari kalangan bawah, minoritas, disabilitas, korban
kebijakan, terkena dampak (kerusakan lingkungan, perampasan hak ulayat), korban
kekerasan, dll.
Sasaran itu memperlihatkan bahwa advokasi gereja
menjangkau pribadi, pribadi dalam keluarga, pribadi/kelompok dalam hubungan
dengan pusat kekuasaan, pribadi/kelompok dengan korporasi, pribadi/kelompok.
Jadi advokasi gereja mesti memetakan (mapping) semua bentuk relasi antar-manusia,
antar-individu, dan antar-makhluk dengan melihat peran aktor dan proses
pengambilan keputusan (policy making)
Karena itu, terdapat tiga strategi advokasi yang harus
dijalankan GPM pada semua jenjang gerejawi dan melalui semua jejaring kerjasamanya,
yaitu:
1.
Advokasi Awal
-
Memperkuat Kognisi,
Suatu upaya meningkatkan pengetahuan masyarakat
berkaitan dengan masalah yang dihadapi, memperkuat pengetahuan masyarakat
tentang hak-haknya, pengetahuan tentang hukum peraturan, penguatan masyarakat
berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman yang akan
dihadapi, membangun kesadaran masyarakat terhadap masalah sosial dan
ketidakadilan ekologis yang dialami.
-
Memperkuat Afeksi,
Suatu upaya yang teroganisir untuk Penguatan Sistem
Nilai yang ada dalam masyarakat, Penguatan skill dasar ; kapasitas
pengorganisasian, kemampuan merekam kronologi suatu
masalah/peristiwa/kejadian), penguatan stakeholder.
-
Memperkuat Psikomotor,
Suatu upaya yang teroganisir untuk memperkuat
kemampuan berjejaringan, kemampuan membangun basis, kemampuan bernegosiasi,
Lobby, kemampuan menghubungkan setiap level sasaran advokasi, serta kemampuan
dalam proses litigasi dan legislasi.
2.
Advokasi Lanjutan
-
Membentuk
dan memperluas Jaringan gerakan sipil
-
Mengimpresi/mempengaruhi
perhatian jaringan
3.
Advokasi Akhir
-
Strategi
Kooperatif dengan Pemerintah dan Pihak lain sebagai Mitra secara Kristis
-
Strategi
Kolaborasi / kerjasama
-
Analisis
dan pengawasan Kebijakan
Untuk melakukan advokasi yang efektif, maka gereja
(GPM) dituntut bisa memainkan fungsi antara lain:
- Fungsi fasilitator
(memfasilitasi Individu,
kelompok, masyarakat dengan sejumlah kelengkapan maupun kesempatan
untuk memperjuangkan hak-hak mereka)
- Fungsi mediator (menjembatani individu, kelompok, masyarakat dengan pihak-pihak
terkait dalam kepentingan hak-hak masyarakat adat)
- Fungsi transformator (fungsi edukasi, menjaga perimbangan informasi, media
edukasi)
Pada gilirannya tahapan advokasi GPM itu harus bisa
melahirkan perubahan kebijakan supaya ada keadilan. Pentingnya keadilan sebab
advokasi gereja harus bisa memulihkan hak dan harkat diri manusia dan segala
makhluk. Jadi dengan melakukan tindakan advokasi, maka GPM tidak melakukan
untuk orang dan makhluk yang lain saja, tetapi terutama GPM melakukan bagi dirinya
sebagai gereja yang hidup.
ADVOKASI
SEBAGAI TEOLOGI PRAKSIS
Titik tolak advokasi dalam konteks mana pun adalah (1) isu-isu problematis yang terjadi pada manusia (individu dan
kelompok) dan juga makhluk lainnya ~dalam perspektif yang khusus terhadap
lingkungan hidup.
Isu-isu problematis itu adalah segala sesuatu yang
terjadi pada manusia dan lingkungan sehingga tindakan advokasi merupakan cara
gereja berada atau berpihak atas masalah ketidakadilan dalam arti umum terhadap
sasaran advokasi itu sendiri. Cara gereja berpihak adalah panggilan
berteologinya.
Dengan bertitik tolak pada isu-isu problematis itu
maka gereja dituntut memiliki kepekaan yang tinggi; tidak cukup mendengar,
tetapi harus bertindak. Tindakan advokasi gereja merupakan wujud gereja masuk
ke dalam masalah itu ~dengan empathy, untuk memahami semua persoalan yang riel
terjadi dan menentukan apa yang hendak dilakukan. Dalam kaitan itu maka
analisis sosial merupakan tools yang
bisa digunakan gereja untuk bisa memahami isu-isu tersebut. Analisis sosial itu
dikerjakan dalam kesadaran teologis bahwa dengannya gereja turut melakukan
tindakan berteologi kontekstual.
Analisis sosial membantu gereja mengurai masalah,
memetakkan jaringan dan tindakan aktor, memahami tantangan dalam pemecahan
nantinya, serta menetapkan fokus problem atau isu utama yang harus menjadi
prioritas dalam advokasi.
Pengenalan atas isu-isu problematis itu dilanjutkan dengan
(2) aksi dan refleksi. Dalam tahapan
ini artinya gereja tidak harus berhenti pada pengenalan isu tetapi gereja harus
terdorong untuk melakukan tindakan aksi dan refleksi. Aksi di sini berupa
menetapkan cara dan langkah penanggulangan isu-isu problematis, termasuk
memetakan jaringan yang bisa dilibatkan untuk menanggulanginya. Di sini gereja
harus melakukan konsolidasi diri dan organisasinya untuk terlibat aktif dalam
tindakan advokasi.
Cara-cara yang akan ditempuh harus dipahami sebagai
cara gerejawi atau sebuah tindakan teologis yang turut didorong oleh konsep
bergereja atau berteologi yang kuat. Proses (3) refleksi teologis-biblis
dimaksudkan untuk memberi pendasaran pada aksi gereja sehingga tidak terkesan
bahwa aksi itu adalah sebuah tindakan yang tanpa nilai. Nilai menjadi hal yang
penting dari aksi gereja. Nilai-nilai yang menjadi dasar dalam aksi gereja itu
dibentuk dari posisi kritis profetik gereja terhadap tugas dan tanggungjawab
kesaksian dan panggilannya di tengah dunia.
Aksi yang tanpa nilai adalah suatu tindakan yang
sia-sia dan bisa saja dilakukan karena ada kepentingan terselubung (the hidden agenda) di mana sasaran advokasi
tidak dilihat sebagai subyek atau partisipan melainkan dijadikan obyek yang
juga seringkali diobyektifasi. Orang akan mencari keuntungan tersendiri dan
tidak melakukan tindak advokasi secara tuntas. Dalam banyak kasus, aksi tanpa
nilai itu membuat sasaran advokasi hanya menjadi ‘data’ laporan, bukan subyek
yang harus mendapat pertolongan atau pendampingan. Jika pun ada tindak
pertolongan atau pendampingan, itu dilakukan secara temporal dan tidak sampai
menghasilkan transformasi pada pribadi atau komunitas yang didampingi. Karena
itu refleksi teologis biblis diperlukan.
Berangkat dari nilai-nilai dasar tersebut maka gereja
menentukan (4) Aksi Sosial berupa
advokasi secara langsung. Ada tiga langkah advokasi dalam pedoman advokasi GPM.
Ketiga langkah itu dilakukan denngan bertitik tolak dari nilai-nilai etis
injili yang kuat. Jadi adokasi itu panggilan pokok gereja sebagai wujud gereja
melakukan amanat panggilan dari TUHAN (bnd. Luk. 4:18-19).
Langkah advokasi yang dikerjakan harus dilanjutkan
dengan (5) aksi dan refleksi baru. Gereja
melakukan tindakan advokasi dalam spirit pelayanan Yesus yang berempaty dengan
mereka yang lemah dan diperlakukan tidak adil. Gereja harus mengembangkan cara
kritis kenabian seperti ditunjukkan Yesus yaitu untuk tetap mempertahankan
kebenaran walau untuk itu Ia harus menderita. Namun Ia tetap tidak kedapatan
bersalah.
Ia tidak melawan pemerintah dengan cara yang ovensif
melainkan melakukan kritik atas pelanggaran hukum dan kekuasaan yang digunakan
sewenang-wenang oleh pemerintah. Ketika alim-ulama kedapatan melakukan hal yang
salah pun Ia melancarkan kritik yang bertujuan untuk memurnikan kehidupan agama
(spiritualitas) dan agar hukum agama diterapkan secara baik, yakni untuk
melindungi kehidupan (bnd. Mat. 12:9-14; Mrk. 3:1-6; Luk. 6:6-11).
Ini akan mempertajam cara kerja atau cara berteologi
gereja sehingga gereja akan sanggup membawa pemulihan atau transformasi dalam
hidup manusia dan ciptaan TUHAN lainnya. Transformasi tersebut menjadi kondisi
baru yang membuat manusia dan ciptaan TUHAN lainnya dapat hidup kembali dalam
realitasnya.
Dalam keadaan itu gereja akan kembali siap untuk
menghadapi masalah lain yang baru muncul atau yang belum tertangani secara
tuntas. Alir aksi dan refleksi di atas akan terus dijalankan secara berulang
namun dengan cara dan kemampuan yang tentu sudah berbeda pada gereja dan
jejaringnya.
Demikian beberapa hal untuk menjadi bahan diskusi
bersama.
Wailela, 22 Agustus 2018