Sunday, November 10, 2019

TURU DAN WUNU:

TURU DAN WUNU: Saksi Injil di Jemaat GKS Tanalingu, Sumba[1]
Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella


Siapakah yang membawa injil ke pelosok-pelosok dan pedalaman di pulau-pulau kita di Nusantara ini? Orang-orang putih. Orang Belanda. Orang-orang dari jauh. Istilah “orang-orang putih atau orang Belanda” menunjuk pada memori masyarakat mengenai para pekabar injil (zendeling) dari Eropa (umumnya Belanda, Jerman (dan Inggris)). Sedangkan istilah “orang-orang dari jauh” cenderung menunjuk pada para pekabar injil lokal yang berasal dari pulau-pulau lain di Nusantara, yang di dalam masa pekabaran injil, ditugaskan misalnya melalui Gereja Protestan di Hindia Belanda ke pulau-pulau di Nusantara. 
Penyebutan itu sekaligus menerangkan bahwa narasi sejarah yang penting itu tidak tertulis dan dibaca secara umum dari generasi ke generasi. Tuturan lisan tersebut membuat nama-nama para pekabar injil itu dilupakan dan bila tidak tertulis, sudah tentu akan hilang. Namun itu masih bisa ditelusuri dari arsip-arsip sejarah, terutama laporan para zendeling dan guru-guru injil yang juga banyak tersimpan di Arsip Nasional Belanda atau Arsip Nasional Republik Indonesia; atau juga arsip-arsip yang masih tersimpan di jemaat-jemaat atau kantor-kantor Klasis/Sinode masing-masing.
Namun catatan sejarah kekristenan tidak harus dipatokkan pada para pekabar injil itu. Sebab ketika di suatu tempat terdapat dan masih terawat komunitas Kristen atau bahkan sudah menjadi suatu gereja yang mandiri, itu membuktikan bahwa respons masyarakat setempatlah yang membuat kekristenan itu kuat mengakar dan terus hidup sampai saat ini. Para responder lokal itu terkadang tidak tercatat juga dalam narasi sejarah. Misalnya, mereka yang dibaptis paling banyak disebutkan jumlahnya dan nama orang yang dibaptis itu terlupakan. Kecuali pada jemaat-jemaat di zaman Gereja Protestan di Hindia Belanda yang sudah memiliki manajemen kearsipan yang baik, sehingga nama orang yang dibaptis tercatat dalam Register Baptisan. Adanya orang lokal itu akan membuat narasi kekristenan menolong pemaknaan injil secara baru, yaitu injil yang bukan hanya diberitakan kepada melainkan injil yang telah menjadi milik atau bagian eksistensi orang setempat.

SAKSI-SAKSI INJIL DI TANALINGU
Turu Maukuanda (64 th), lelaki tua berusia 64 tahun ini mengaku lahir pada tahun 1955. Saat ini ia adalah Pentua yang melayani di Jemaat GKS Tanalingu sejak tahun 1984. Lelaki sederhana ini mengenakan kemeja putih dalam balutan baju khas Sumba yang diakuinya sebagai pakaian yang sehari-hari dikenakan, termasuk dalam menjalankan tugas pelayanan gereja, semisal Ibadah-ibadah Rumah Tangga. 
Darinya diketahui bahwa kekristenan di Sumba itu dibawa oleh orang-orang Belanda. Dan kekristenan sudah ada di kampung-kampung sekitar, berkembang di antara kepercayaan lokal Marapu sebagai suatu warisan agama dari masyarakat Sumba yang masih eksis sampai saat ini. Pada tahun 1984, ia terdorong sendiri untuk berjalan kaki ke Laburung atau Kabalu, kurang lebih 5 km dari Tanalingu semata-mata untuk mendengar firman. 
“(ber)Jalan kaki cari TUHAN”, itulah pengakuannya ketika ditanyakan mengapa ia rela berjalan sendiri untuk mendengar firman. Menurut Papa Tunu, firman TUHAN itu harus sampai juga pada kita, jangan pada mereka yang di kampung-kampung sebelah saja. Menurutnya saat itu yang membawa injil adalah Pendeta dari Sabu. Setiap hari ia akan berjalan kaki untuk mendengar firman. Hingga suatu waktu di tahun 1984 ia berhasil mengajak kurang lebih 138 orang dari Tanalingu untuk mengikutinya dan mereka selanjutnya dibaptis. Tanggal 28 Desember 1984 merupakan waktu yang indah itu. 130 orang Tanalingu itu dibaptis secara massal.
Bersama dengannya, bapak Wunu Mbilijora (83 tahun) juga turut dibaptis. Sebagai seorang tamatan Sekolah Rakyat, papa Wunu mengaku bahwa bisa menerima injil karena injil membuat TUHAN menyediakan segala sesuatu kepada kita. Ia mengaku bahwa anak-anaknya kemudian bisa bersekolah tinggi itu semua karena TUHAN sudah menyediakannya saat kita bisa menerima injil. 
Mereka adalah saksi-saksi hidup dari respons orang Tanalingu yang menerima injil Kristus dan melalui respons mereka, Jemaat GKS Tanalingu lahir dan berkembang sampai saat ini. Begitulah cara kerja TUHAN dalam gerejaNya. Ia bekerja dengan dan melalui orang-orang setempat, sebab Ia berpihak pada kehidupan. Motivasi Tunu “berjalan kaki cari TUHAN” merupakan bentuk spiritualitas kemuridan sama dengan orang-orang banyak yang mengikuti Yesus ke mana saja Ia pergi. Tujuan mereka sederhana, yaitu untuk mendengar pengajaran dan melihat perbuatan-perbuatan ajaib yang dikerjakanNya. 
Spiritualitas kemuridan seperti itu memberi isyarat bahwa ada kepercayaan pada orang-orang setempat tentang kabar injil yang sampai ke telinga mereka; entah pernah atau belum pernah berjumpa dengan Yesus. Pada saat mereka mengalami perjumpaan dengan Yesus, mereka tidak secara otomatis pergi mengikuti Yesus dan meninggalkan kampung halamannya. Banyak di antara mereka yang kembali ke kampung halaman dan membagi cerita tentang perjumpaan tersebut. Bahkan mereka juga yang melakukan klarifikasi atau semacam apologi kepada orang banyak jika ada “kabar bohong” tentang apa yang dikatakan dan dilakukan Yesus.
Dengan kembali ke kampung halaman itulah mereka selanjutnya yang berperan untuk menghidupkan narasi tentang Yesus kepada para pendengar baru. Rasa percaya yang sudah tumbuh pada diri mereka ditularkan kepada para pendengar baru yang adalah saudara-saudara mereka sendiri. Dari situlah maka injil semakin tersiar luas.
Spiritualitas itu yang ada pada diri Turu Maukuanda, sehingga ia patut disebut sebagai pembawa kabar baik setelah “jalan kaki cari TUHAN”. (Waingapu, 11 November 2019).

(Ketgam: Gbr. 1 - Papa Turu Maukuanda; Gbr. 2 - Papa Wunu Mbilijora)


[1]Data dalam tulisan ini diperoleh dari wawancara singkat dengan Papa Turu Maukunanda dan Papa Wunu Mbilijora, warga Jemaat GKS Tanalingu, Minggu, 10 November 2019. Kebetulan Peserta Sidang Raya ke-17 PGI dari Sinode GPM diberi kesempatan beribadah dan melayani ibadah di Jemaat GKS Tanalingu. Ibadah tersebut dilayani Pdt. Ny. L. Bakarbessy-R, Ketua Klasis GPM Tanimbar Selatan.

Thursday, October 31, 2019

MEJA MAKANG KASIANG

RITUS KELUARGA DAN KOMUNITAS DI MALUKU
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

"Mari makang". Frasa sesungguhnya ialah "mari katong makang sama-sama". Ini bukan sekedar ajakan. Lebih daripada itu, suatu panggilan, sebab: pertama, mama sudah selesai memasak, dan sudah mempersiapkannya di atas meja makan, dan kedua, meja makan merupakan media penyatuan semua anggota keluarga.
Meja makang kasiang! Itu suatu istilah dipakai dalam beberapa ruang kegunaan (makna). 

I. MEJA MAKANG KASIANG DALAM KESEHARIAN 
Istilah itu menunjuk pada meja makan di ruang makan yang menjadi tempat makan semua anggota keluarga. 
"Makang tuh dudu di meja makang". Ini adalah suatu ungkapan yang menunjuk pada tata etik keluarga, sebab tidak dibenarkan seorang anggota keluarga makan di tempat lain selain di meja makan dalam ruang makan. Kaidah etik ini terkait dengan konsep dogma tradisional. 
Pertama, makanan adalah berkat. Berkat harus disaji atau ditempatkan pada tempat yang sudah dikhususkan (kudus). Harus ada kesopanan dalam menikmati berkat. Sebab itu di meja makan, mama yang membagi dan melayankan makanan kepada setiap anggota keluarga. Rupanya ini merupakan tindakan liturgis yang membuat meja makan semacam mendapat kesakralannya. 
Kedua, menghormati meja makan sebagai media penyatuan keluarga. Sebab itu pada saat makan, tidak boleh sambil bercerita, tidak boleh "baku malawang", tidak dibenarkan berdiri meninggalkan meja makan sebelum semua selesai makan. Biasa di sela-sela makan, atau sambil "bale papeda", atau "tambah sayor", mama memberi nasehat-nasehat kehidupan, yang wajib didengar. Itu merupakan cara membentuk karakter anggota keluarga. 

II. MEJA MAKANG KASIANG DALAM RITUAL ADAT
Makna ini lahir dalam ruang jamuan adat seperti pada pesta pernikahan, makan patita negeri, atau ritual adat lain seperti acara perdamaian antar-negeri. Meja makang kasiang di sini ditutupi kain panjang berwarna putih. Kain ini biasa dibuat dari "kaeng putih 1 kayo" yang biasa menjadi harta kawin seorang dagang yang menikah dengan anak perempuan negeri tersebut atau dari "bayar denda adat".
Dimensi penyatuan di sini lebih terbuka sebab partisipannya adalah semua masyarakat di dalam negeri (asli dan dagang), atau dari negeri pela-gandong, atau negeri tetangga (misalnya pada meja makang perdamaian). 

III. ADA APA? BUKA LA LIA 
Apa yang ada di meja makang kasiang? Makanan! Yaitu jenis makanan yang selalu menjadi hidangan utama (makanan pokok). Kita tidak bisa melihat makanan yang disajikan itu terpisah dari pekerjaan utama anggota keluarga.
"Mari la makang sabarang-sabarang jua". Ungkapan ini sering diucapkan, saat seorang saudara diajak untuk makan bersama-sama. Tentu bukan karena menunya yang salah (=sabarang-sabarang), melainkan suatu gambaran kesederhanaan bahwa di meja makan kita makan makanan yang sama, keluarga itu tidak menyembunyikan makanan dari saudaranya. Apa yang kami makan, itu juga yang dijamu kepada seorang saudara.
Ungkapan lain, "dangke lai su mau makang biar deng kurang-kurang". Ruang maknanya sama, sebagai rasa terima kasih sekaligus merasa dihormati, karena saudara itu mau menyatu dengan keluarga kita (=su dudu makang di katong meja makang kasiang). Sehingga ikatan kekerabatan menjadi semakin kuat. Malah ada pernyataan yang menarik tentang bagaimana seseorang menyatu sebegitu erat dengan keluarga lain, walau tidak ada hubungan kekerabatan, yakni: "itu beta pung rumah tampa makang tuh". Tentu bukan karena orang Maluku "suka makang", tetapi meja makan telah menjadi simbol penyatuan secara universal.
Bila kita sudah akrab, maka saat berkunjung ke rumah saudara atau teman, lalu minta makan, si empunya rumah mempersilahkan kita menuju meja makan keluarganya sambil berucap "buka la lia jua". Sebab itu, setelah satu keluarga selesai makan, sisa makanan dibiarkan di atas meja. Bisa saja karena masih ada anggota keluarga yang tidak berkesempatan makan bersama-sama atau karena meja makan harus terbuka melayani saudara lainnya.
Karena itu sebagai simbol penyatuan, di atas meja makan kasiang, pada jam makan atau setelah makan, tampa garam tidak boleh dipindahkan dari atasnya. Ini adalah media penyatuan itu. Seluruh tindakan simbolik tentang penyatuan di meja makan diletakkan pada tampa garam. Cili dan garam adalah jenis bumbu yang tidak dipahami secara material begitu saja. Dua jenis bumbu ini, pada tampa garam berubah sifatnya menjadi senyawa penyatuan, yang mempersatukan anggota keluarga dan kerabat lainnya. Tampa garam tidak boleh dibiarkan kosong, karena ada keyakinan tradisional bahwa "tampa garang kosong, awas berkat lari". Makna sebenarnya bukan kita mengosongkannya, tetapi jika kita tidak bersedia berbagi dengan saudara, kita tidak diberkati.
Selain itu, tampa garam adalah simbol kohesi dalam ranah keluarga tetapi juga sosial. Ada ungkapan "jaga babae, awas tampa garang pica." Sebab persaudaraan itu yang utama. Di tampa garam, "katong laeng rasa laeng". Karena itu kebiasaan makan di meja makan, setiap anggota keluarga mencelup jarinya pada garam untuk dicicipi. Jika saat kita sedang makan di meja makan, datang seorang saudara, dia harus diajak makan bersama. Bila ia sudah makan, ia tidak bisa menolak secara negatif. Ia harus mencelupkan jari ke tempat garam dan mencicipi garam di telunjuknya, atau pada cili yang juga tersedia di situ. Itu pertanda dia sudah makan bersama kita.

Tuesday, October 22, 2019

KULEEIIII:

SEMIOTIK LOKAL DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI KOGNITIF
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


KULEEIIII, PERSON ADALAH BAGIAN DARI KOMUNITAS

Pendeta Jacky Manuputty, saat berkhotbah pada Ibadah Pembukaan sidang ke-41 Majelis Pekerja Lengkap (MPL) Sinode GPM di Jemaat GPM Haruku Samet, Klasis Pulau-pulau Lease, menyapa jemaat dengan sapaan khas orang Haruku, Kuleeiiii.
Pada laman facebook, unggahan-unggahan tentang khotbah tersebut menjadi ruang diskusi dan tukar informasi tentang cara berbudaya yang ada di berbagai negeri di Maluku, bahkan di dunia. Cara itu ada pada masyarakat di Pulau Aru, Seram, Ambon, dengan kata dan bahasa yang hampir sama tetapi juga berbeda. Seruan Kuleeiiii itu semacam cara berseru (exclamatory) pada masyarakat berbudaya. Aspek linguistiknya lahir dari konteks relasi sosial yang sudah terpintal di dalam keluarga, soa, klen, atau bahkan masyarakat suatu negeri. Unit sosial itu penting sebab sebagai cara berseru, Kuleeiiii tidak tergolong sebagai introduksi atau cara memperkenalkan diri, melainkan pengungkapan jati diri yang tidak lagi sebagai person yang terlepas dari komunitas melainkan person yang adalah anggota dari dalam komunitas.

Ternyata, pada 17 September 2019, dalam laman facebook Jacky Manuputty, ia menulis:

"Biasanya ketika ke hutan, frasa itu akan diteriakkan sebagai penanda bahwa kita memasuki petuanan adat hutan tertentu. Saat mendengar balasan dengan teriakan serupa, segera kita tahu bahwa ada sahabat atau saudara kita yang telah lebih dahulu tiba di wilayah hutan. Menjadi sangat menarik dan unik di dengar, bila beberapa orang yang ada pada lokasi berbeda di tengah hutan itu sahut menyahut, saling membalas dengan teriakan yang sama".

Dengan sedikit bantuan Antropologi Kognitif, ketika Pendeta Jacky Manuputty berkhotbah pada hari Minggu itu (20 Oktober 2019), saya menyimak mimik dan intonasi serta cara membahasanya dalam dialeg Haruku Samet yang kental. Sebagai anak asli Haruku Samet, maka ketika ia menyampaikan seruan kuleeiii, orisinalitasnya kelihatan, dibarengi oleh sambutan spontan warga jemaat yang adalah juga orang Haruku Samet asli. Jadi mereka tampak sedang melakukan dialog namun ruang penggunaannya yang semula di hutan kini dialihkan ke dalam gereja, di dalam ruang ibadah. Sehingga kuleeiii itu menjadi bentuk komunikasi liturgi dalam arti ritual. Pada saat diungkapkan di hutan adat, sesungguhnya di situ pula mereka melakukan dialog liturgis tersebut di ruang ibadah sosial yang sangat luas. Menariknya ialah pada dua ruang itu, ikatan komunalitas semakin diperkokoh karena mereka bukan saja saling mengenal melainkan sudah meleburkan dirinya ke dalam persekutuan yang lebih intim secara sosial dan spiritual.

Pada saat ibadah itu, saya mengetik kalimat-kalimat khotbahnya, begini:

"Maka sapaan huele, kuleeiiii memberi pesan untuk memastikan dan mengetahui bahwa ada saudara, kenalan, kerabat di adlam hutan. Bila ada jawaban atas sapaan itu hal tersebut berarti kita saudara. Hal itu menegaskan tentang simbol persekutuan, dan bahwa kita adalah saudara, teman di dalam TUHAN. Kita yang bersekutu adalah sahabat yang mengangkat spirit ketakutan menjadi spirit harapan. Dalam konteks itu kita memahami bersama bahwa penting apa yang disebut dengan karakter" (dapat dilihat dalam laman facebook Elifas Tomix Maspaitella, 20 Oktober 2019).

Pada dua kutipan itu maka seruan kuleeiii menunjukkan bahwa ruang membahasa masyarakat memperkuat relasi yang semakin kokoh. Sebab ternyata hal saling mengenal itu membuat biar kita tidak saling melihat atau bertemu muka, bunyi suara seseorang diafirmasi sebagai bentuk kehadirannya secara sosial dan spiritual. Jadi siapa yang sudah terlebih dahulu tiba di hutan sebagai ruang kehidupan, menyadari bahwa di situ ia tidak sendiri. Bahkan jika ia berada di hutan petuanannya sendiri, ia harus mengakui bahwa hutan miliknya itu menjadi jalur transit orang lain untuk pergi (going to) ke petuanan miliknya. Dalam arti itu, kuleeiiii bukan sekedar seruan minta ijin untuk lewat, melainkan pemberitahuan bahwa “kita berada bersama” di ruang hidup yang sangat luas, tidak terbatas. Jadi seruan kuleeiii itu mengubah ruang sosial (social sphere) personal sebagai ruang publik. Mereka tidak menegosiasikan kepentingan melainkan memberi isyarat (sign) bahwa “kita berada bersama”. Itu membuat seruan itu menjadi bagian dari lapisan identitas diri.

Sebab ada tingkat pengetahuan yang tinggi di dalam cara berseru itu, yakni kita mengenal siapa pemberi pesan pertama, dan siapa yang menjawabnya. Kita mengenal dari warna suara atau malah dari irama meneriakkan kuleeiiii itu sendiri. Itulah yang sejak awal sudah dikatakan bahwa ruang pengenalan itu telah terjadi sebelumnya di dalam rumah, soa, klen, negeri. Jadi intensitas perjumpaan (encounter) sudah berlangsung dalam waktu yang sangat panjang, sehingga masyarakat saling mengenal dari bahkan melalui tanda kebahasaan yang ada.

KULEEIIII, PETA RELASI DARI SISTEM PENGETAHUAN LOKAL

Ada banyak sistem pengetahuan lokal pada semua masyarakat berbudaya. Bahkan permainan tradisional, seperti skolah batu, kuda banjur, gici-gici, kacong, enggo 20/enggo lari, enggo sambunyi, benteng tidak terjadi begitu saja melainkan lahir dari sistem pengetahuan lokal yang mengandung di dalamnya falsafah kehidupan yang sangat kaya. Sebab bentuk-bentuk permainan dalam masyarakat di Maluku itu tidak semuanya bergantung pada kecakapan pribadi melainkan kebersamaan (barmaeng sama-sama).

Sebuah permainan sosial lahir dari dan bertujuan memperkuat komunalitas. Sebagai permainan anak-anak, berarti nilai komunalitas itu didaraskan sejak kanak-kanak juga. Malah ada ungkapan “dar’ hari ana lai katong su tau” (=kami sudah mengetahuinya sejak masih kanak-kanak).
Hal yang sama juga terjadi pada aspek-aspek linguistik/sintagmatik. Sejak kanak-kanak kita diajar cara bapanggel, sehingga istilah seperti papa, mama, ama, ina, uwa, wate, wale, konyadu, menjadi kosa kata yang utama dalam percakapan sesehari, sekaligus membentuk etika sosial dalam relasi antarperson, antarkeluarga, antarmasyarakat.

Sapaan-sapaan itu merupakan bentuk material dari pengetahuan lokal yang ketika digunakan dalam relasi yang lebih luas, maka melalui itu, kekhasan identitas kita terlihat secara langsung. Jika seseorang disapa dan ia menjawab sapaan itu, kontak identitas di antara kedua subyek itu terbangun sekaligus merekatkan keduanya. Apalagi jika berlangsung percakapan dengan deretan-deretan pertanyaan formulir, seperti “ale nih sapa pung ana?”, atau “eh, papa deng mama ada bae-bae”, atau “kacil su basar ka balong?” ~maka pintalan relasi antarperson tadi membuat kedua subyek itu meleburkan diri satu sama lainnya. Dalam masyarakat yang lain mungkin bisa dilanjutkan dengan tindakan saling berpelukan, berciuman, dan lain sebagainya. Dari cara sapaan getaran emosional dipicu untuk bangkit, sehingga orang tidak akan lupa komunitasnya.

Kembali ke kuleeiiii sebagai cara berseru di antara orang-orang Haruku Samet, sebagai core budaya tulisan ini, maka seruan itu lahir dari pengetahuan lokal tentang keluarga, soa, mata rumah, negeri. Artinya, seruan itu menunjukkan bahwa orang Haruku Samet dibentuk melalui pengajaran-pengajaran tentang pentingnya keluarga: mama-papa-anak; adik-kakak; wate-uwa; nene-tete. Dalam ikatan keluarga batih, setiap orang bukan hanya mengenal wajah dan nama, tetapi berbagi atau menurunalihkan karakter. Ada ungkapan seperti “muka parsis pai” (=wajah identik dengan papa), “kalakuang seng buang-buang bapa sarane (wate) (bd. Like father like son)”, “sakakar parsis tete” (=kikir seperti kakek). Jadi pengetahuan tentang keluarga itu sudah masuk sampai ke level paling utama yaitu pembentukan karakter. Pada aspek yang lebih luas, relasi saling mengenal itu berlangsung antar-person di luar keluarga.

Bila seruan kuleeiiii ditempatkan kembali ke ruang penggunaannya yakni di hutan, maka melalui seruan itu, person-person yang saling menyapa itu mengafirmasi kepemilikan masing-masing, namun menjadikan ruang kepemilikan itu sebagai ruang perjumpaan yang terbuka. Sikap saling mengakui tetapi sekaligus menerima kehadiran orang lain tidak berarti terjadi perampasan ruang privat. Sebab itu dalam kosmologi orang Maluku Tengah, tanah dusun tidak berfungsi privat. Bahkan pohon cengkeh sebagai milik pribadi, saat panen tiba, bisa berfungsi komunal. Ada orang-orang dagang yang hidup di dalam negeri, dan tidak memiliki dusun, bisa memungut buah cengkeh yang jatuh/gugur. Mereka bisa mendapat hak untuk mengusahakan bidang tanah di dusun orang asli untuk membuat kebun.

Maka dari situ, terungkaplah tindakan atau perilaku berbudaya (adat) suatu masyarakat. Kuleeiiii sebagai suatu wujud kebahasaan secara langsung mengkode apa yang dipahami masyarakat. Pada sisi itu, antropologi fisik membantu memetakan relasi relasi dalam masyarakat melalui yang bersumber dari pengetahuan kebudayaan, termasuk di dalamnya pengetahuan asali (indigenous knowledge). Dengan demikian mungkin cara seruan ini ada di komunitas berbudaya lainnya, tetapi kuleeiiii sebagai suatu sisi kebahasaan telah menjadi semacam kode khas di Haruku Samet, atau sebenarnya masyarakat di Maluku Tengah. Kode budaya ini diproduksi oleh masyarakat setempat untuk merawat identitas mereka dalam arti yang luas, tidak sekedar kebiasaan “baku cek” di dalam hutan.

KULEEIIII, RUANG LITURGI SOSIAL DAN SPIRITUAL

Secara teologis kita memahami bahwa, ibadah gereja merupakan ibadah yang terbuka ke dunia. Bahkan liturgi yang digunakan dalam gereja merupakan bentuk artikulasi pengalaman hidup sesehari ke dalam ruang ritus gereja. Bentuk-bentuk liturgi adalah wujud artikulatif dari tindakan hidup sesehari yang dipahami sebagai respons atas wahyu atau firman TUHAN yang menyapa manusia.

Struktur paling awal dari liturgi ialah introitus, Panggilan Beribadah. Ini merupakan model dialog TUHAN dengan umat yang tidak lagi berlangsung dalam ruang transenden melainkan dalam ibadah sebagai ruang rill dari perjumpaan itu sendiri. Pada ruang itulah TUHAN disapa oleh umat yang mengenalNya sebagai TUHAN yang sudah menjadi manusia; dan TUHAN pun menyapa umat sebagai milik kepunyaanNya sendiri. Pintalan relasi TUHAN-umat seperti itu menunjukkan bahwa model komunikasi dan cara menyapa seperti apa pun menjadi tanda bahwa mereka bukan person yang asing atau teralienasi satu dari lainnya. Relasi yang imanen itu diwujudkan dalam dialog  atau saling menyapa sebagai tanda “kehadiran” (God presence).

Sapaan kuleeiiii di antara umat dengan umat dalam ibadah jemaat, seperti dilakukan Pendeta Jacky Manuputty pada ibadah yang dimaksud tadi, merupakan cara (pelayan liturgi) memastikan bahwa ia tidak sendiri di dalam ruang rill itu. Ia juga bukan berada bersama dengan umat, melainkan ia menjadi bagian dari umat yang (akan) menghadap TUHAN secara bersama-sama. Sebagai pelayan liturgi, maka Pendeta menjadi representasi umat yang datang menghadap atau berjumpa dengan TUHAN. Lalu di manakah TUHAN? TUHAN ada di dalam ruang ibadah itu melalui Roh-Nya sehingga dengan bersama-sama umat tidak sekedar melihat kehadiran TUHAN dalam simbol liturgis secara material tetapi merasakan kehadiranNya dalam iman.

Dengan percaya bahwa TUHAN hadir, maka religiositas umat terbentuk secara langsung. Jadi TUHAN pun tidak lagi menjadi milik privat seseorang, melainkan TUHAN menjadi bagian dari komunalitas orang percaya yang sedang beribadah.
Bila seruan kuleeiiii disampaikan sebagai sapaan setelah ibadah ritual, maka ruang maknanya turut ditransformasi dari ruang ritual ke ruang sosial. Bahwa di dalam ruang sosial, umat akan bersama-sama melakukan segala tugasnya sebagai wujud iman, dan memastikan bahwa di dunia/negeri itulah mereka saling memelihara dan saling mendukung satu sama lainnya. Ikatan komunalitas yang terbangun dalam ruang spiritual menjadi nilai baru yang memperkuat relasi di ruang sosial, dari mana mereka berasal, hidup dan menyongsong masa depan (eskhatologis).

Kuleeiii
Yukuleeiiii

Haruku Samet, 22 Oktober 2019
Disela-sela Sidang Pleno, Persidangan Ke-41 MPL Sinode GPM
(18.00 – 22.01 WIT)



Wednesday, April 3, 2019

TEOLOGI ADVOKASI DALAM PRAKSIS BER-GPM


Oleh, Elifas Tomix Maspaitella


PENGANTAR
Pola Induk Pelayanan dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan (PIP-RIPP) GPM tidak sekedar sebagai dokumen perencanaan pelayanan gereja semata, melainkan dokumen misiologis dan/atau teologi praksis GPM.
Disebut demikian sebab PIP-RIPP memuat strategi dan cara GPM menjawab isu-isu aktual dalam konteksnya. Gereja yang merespons amanat panggilannya dari TUHAN adalah gereja yang bermisi. Dalam eklesiologi GPM, sebagaimana termaktub dalam Tata Gereja (Bab IV, Pasal 8 ayat 2), GPM telah mendefenisi bentuk panggilan pelayanannya itu secara praksis/nyata. Itu artinya kesadaran misiologis menjadi perspektif dasar dari bagaimana gereja itu hidup dan peka terhadap konteks kehadirannya.
Mengenai advokasi, dalam PIP-RIPP GPM 2016-2020, hal ini mendapat aksentuasi yang utama dan menjadi kegiatan utama dari banyak program pelayanan. Beberapa isu dalam PIP-RIPP yang membuat advokasi itu menjadi penting antara lain:
-          Pengelolaan lingkungan hidup dan penanggulangan bencana alam
-          Penanganan kemiskinan dan penguatan ketahanan ekonomi umat
-          Perkembangan HIV dan masalah kesehatan lainnya
-          Peningkatan peran politik GPM

Jika dicermati secara mendalam, setidaknya keempat isu itu memberi penegasan pada bagaimana GPM melakukan tindakan advokasi yang komprehensif. GPM telah mendefenisikan tugas advokasi sebagai sebuah tugas teologis yang bukan untuk manusia saja melainkan hak hidup seluruh makhluk.
Menjadikan hak hidup semua makhluk sebagai fokus advokasi GPM tentu berangkat dari pergumulan GPM untuk masa yang panjang dan sungguh-sungguh. Saya mencatat bahwa bahasan teologis tentang dignitas semua makhluk ciptaan TUHAN mulai digumuli GPM secara khusus pada tahun 2005.
Tema gumulan GPM 2010-2015, “TUHAN itu baik kepada semua ciptaan” menegaskan bahwa kebaikan TUHAN itu berdimensi keadilan kepada semua makhluk. Serentak dengan itu, mandat kebudayaan yang diberi kepada manusia (Kej. 2:18) tidak serta-merta menempatkan manusia sebagai makhluk yang [harus bertindak] dominan terhadap makhluk lain. Relasi kemakhlukan dalam bingkai keadilan antar-ciptaan menjadi parameter yang penting dalam membentuk keseimbangan hubungan antar-makhluk ciptaan TUHAN. Kebaikan TUHAN sebagai Pencipta itu tidak semata-mata tertuju kepada manusia, melainkan kepada semua makhluk.
Kemudian Tema gumulan tahun 2016-2020 : “Allah Kehidupan Tuntunlah Kami Membela dan Merawat Kehidupan” memperlihatkan aspek afirmatif pada satu sisi dan aspek misiologis pada sisi sebelahnya.
Aspek afirmatifnya ialah pengakuan GPM tentang Allah Kehidupan. Ini satu defenisi yang padu bahwa kehidupan adalah bagian dari citra diri Allah. Dengan kata lain, secara teknikus kehidupan itu ditempatkan sebagai hakekat yang melekat pada diri Allah. Jadi sebuatan Allah Kehidupan tidak bisa dipisahkan atau kemudian disebut Allah Sumber Kehidupan; sebaliknya Allah Kehidupan menegaskan bahwa Ia adalah Allah yang hidup dan karena Ia hidup maka segala yang diciptakan-Nya pun hidup. Jika Allah itu Allah Kematian, maka Ia tidak menciptakan apa-apa, satu makhluk pun tidak. Sebaliknya karena Ia adalah Allah Kehidupan maka di dalam kematian segala makhluk ada kehidupan baru. Jadi istilah Allah Kehidupan sekaligus mengandung dimensi sotereologi dari GPM.
Sedangkan aspek misiologis dari tema itu ialah tugas advokasi sebagai tugas teologis GPM yakni untuk membela dan merawat kehidupan. Tanggungjawab ini adalah tugas memberi jaminan dan membagi potensi kehidupan. Terkandung di situ keberpihakan GPM pada eksistensi segala makhluk ciptaan TUHAN. Suatu cara berteologi yang membuat GPM tidak sekedar berteologi di dalam alam melainkan bersama-sama dengan alam dan segala isinya.
Aspek bersama-sama itu menjadi cerminan bahwa advokasi gereja adalah advokasi yang berdimensi keadilan untuk memulihkan dignitas segala makhluk yang sedang dilanda krisis. Dalam Pedoman Advokasi GPM, masalah eksploitasi lingkungan, pengabaian hak sipil dan hak dasar manusia, ketidakadilan gender, ketidakseimbangan ekonomi dan rusaknya relasi antarwarga memperlihatkan bahwa semua makhluk mengalami ketidakadilan yang terjadi secara sistemik.
Dengan tegas disebutkan dalam Pedoman Advokasi itu bahwa kerusakan lingkungan pada sisi tertentu tidak mengancam lingkungan itu sendiri melainkan turut menjadi ancaman bagi manusia atau masyarakat secara keseluruhan.
Kesadaran ini mendorong GPM untuk melakukan langkah dan tindakan advokasi yang pada akhirnya menempatkan GPM di dalam pergulatan hidup seluruh makhluk ciptaan TUHAN. Jadi GPM atau gereja-gereja selalu dapat dan harus hadir di dalam berbagai masalah yang melilit hak hidup manusia dan segala makhluk.

KONSEP ADVOKASI GPM
Saya mengutip Pedoman Advokasi GPM (2016) untuk menjelaskan apa yang telah menjadi strategi dasar advokasi GPM. Dalam pedoman advokasi GPM ada dua tipologi advokasi Gereja, yaitu :
a.       Advokasi Individu / Kasus, yaitu upaya yang dilakukan untuk membantu Individu atau seseorang agar mampu menjangkau sumber atau pelayanan sosial yang telah menjadi haknya. Alasannya : terjadi diskriminasi atau ketidakadilan yang dilakukan oleh lembaga, dunia bisnis, kelompok professional terhadap individu.

b.      Advokasi Kelompok / Kelas, yaitu upaya atas nama kelas/kelompok untuk menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat dalam menjangkau sumber atau memperoleh kesempatan dan peluang. Fokus pada advokasi kelompok/kelas adalah mempengaruhi atau melakukan perubahan-perubahan Hukum dan kebijakan publik pada tingkat lokal dan nasional. Advokasi Kelompok/Kelas umumnya dilakukan melalui koalisi/berjejaring dengan kelompok dan organisasi lain yang memiliki agenda yang sejalan.

Dari dua tipologi itu, maka jelas sasaran advokasi GPM dilakukan terhadap individu, Keluarga, Kelompok dan Masyarakat yang tertindas, diperlakukan tidak adil, berasal dari kalangan bawah, minoritas, disabilitas, korban kebijakan, terkena dampak (kerusakan lingkungan, perampasan hak ulayat), korban kekerasan, dll.
Sasaran itu memperlihatkan bahwa advokasi gereja menjangkau pribadi, pribadi dalam keluarga, pribadi/kelompok dalam hubungan dengan pusat kekuasaan, pribadi/kelompok dengan korporasi, pribadi/kelompok.
Jadi advokasi gereja mesti memetakan (mapping) semua bentuk relasi antar-manusia, antar-individu, dan antar-makhluk dengan melihat peran aktor dan proses pengambilan keputusan (policy making)
Karena itu, terdapat tiga strategi advokasi yang harus dijalankan GPM pada semua jenjang gerejawi dan melalui semua jejaring kerjasamanya, yaitu:
1.     Advokasi Awal
-          Memperkuat Kognisi,
Suatu upaya meningkatkan pengetahuan masyarakat berkaitan dengan masalah yang dihadapi, memperkuat pengetahuan masyarakat tentang hak-haknya, pengetahuan tentang hukum peraturan, penguatan masyarakat berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman yang akan dihadapi, membangun kesadaran masyarakat terhadap masalah sosial dan ketidakadilan ekologis yang dialami.
-          Memperkuat Afeksi,
Suatu upaya yang teroganisir untuk Penguatan Sistem Nilai yang ada dalam masyarakat, Penguatan skill dasar ; kapasitas pengorganisasian, kemampuan merekam kronologi suatu masalah/peristiwa/kejadian), penguatan stakeholder.
-          Memperkuat Psikomotor,
Suatu upaya yang teroganisir untuk memperkuat kemampuan berjejaringan, kemampuan membangun basis, kemampuan bernegosiasi, Lobby, kemampuan menghubungkan setiap level sasaran advokasi, serta kemampuan dalam proses litigasi dan legislasi. 
  
2.     Advokasi Lanjutan
-          Membentuk dan memperluas Jaringan gerakan sipil
-          Mengimpresi/mempengaruhi perhatian jaringan

3.     Advokasi Akhir
-          Strategi Kooperatif dengan Pemerintah dan Pihak lain sebagai Mitra secara Kristis
-          Strategi Kolaborasi / kerjasama
-          Analisis dan pengawasan Kebijakan

Untuk melakukan advokasi yang efektif, maka gereja (GPM) dituntut bisa memainkan fungsi antara lain:
  1. Fungsi fasilitator (memfasilitasi Individu, kelompok, masyarakat dengan sejumlah kelengkapan maupun kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak mereka)
  2. Fungsi mediator (menjembatani individu, kelompok, masyarakat dengan pihak-pihak terkait dalam kepentingan hak-hak masyarakat adat)
  3. Fungsi transformator (fungsi edukasi, menjaga perimbangan informasi, media edukasi)


Pada gilirannya tahapan advokasi GPM itu harus bisa melahirkan perubahan kebijakan supaya ada keadilan. Pentingnya keadilan sebab advokasi gereja harus bisa memulihkan hak dan harkat diri manusia dan segala makhluk. Jadi dengan melakukan tindakan advokasi, maka GPM tidak melakukan untuk orang dan makhluk yang lain saja, tetapi terutama GPM melakukan bagi dirinya sebagai gereja yang hidup.



ADVOKASI SEBAGAI TEOLOGI PRAKSIS
Titik tolak advokasi dalam konteks mana pun adalah (1) isu-isu problematis yang terjadi pada manusia (individu dan kelompok) dan juga makhluk lainnya ~dalam perspektif yang khusus terhadap lingkungan hidup.
Isu-isu problematis itu adalah segala sesuatu yang terjadi pada manusia dan lingkungan sehingga tindakan advokasi merupakan cara gereja berada atau berpihak atas masalah ketidakadilan dalam arti umum terhadap sasaran advokasi itu sendiri. Cara gereja berpihak adalah panggilan berteologinya.
Dengan bertitik tolak pada isu-isu problematis itu maka gereja dituntut memiliki kepekaan yang tinggi; tidak cukup mendengar, tetapi harus bertindak. Tindakan advokasi gereja merupakan wujud gereja masuk ke dalam masalah itu ~dengan empathy, untuk memahami semua persoalan yang riel terjadi dan menentukan apa yang hendak dilakukan. Dalam kaitan itu maka analisis sosial merupakan tools yang bisa digunakan gereja untuk bisa memahami isu-isu tersebut. Analisis sosial itu dikerjakan dalam kesadaran teologis bahwa dengannya gereja turut melakukan tindakan berteologi kontekstual.
Analisis sosial membantu gereja mengurai masalah, memetakkan jaringan dan tindakan aktor, memahami tantangan dalam pemecahan nantinya, serta menetapkan fokus problem atau isu utama yang harus menjadi prioritas dalam advokasi.
Pengenalan atas isu-isu problematis itu dilanjutkan dengan (2) aksi dan refleksi. Dalam tahapan ini artinya gereja tidak harus berhenti pada pengenalan isu tetapi gereja harus terdorong untuk melakukan tindakan aksi dan refleksi. Aksi di sini berupa menetapkan cara dan langkah penanggulangan isu-isu problematis, termasuk memetakan jaringan yang bisa dilibatkan untuk menanggulanginya. Di sini gereja harus melakukan konsolidasi diri dan organisasinya untuk terlibat aktif dalam tindakan advokasi.
Cara-cara yang akan ditempuh harus dipahami sebagai cara gerejawi atau sebuah tindakan teologis yang turut didorong oleh konsep bergereja atau berteologi yang kuat. Proses (3) refleksi teologis-biblis dimaksudkan untuk memberi pendasaran pada aksi gereja sehingga tidak terkesan bahwa aksi itu adalah sebuah tindakan yang tanpa nilai. Nilai menjadi hal yang penting dari aksi gereja. Nilai-nilai yang menjadi dasar dalam aksi gereja itu dibentuk dari posisi kritis profetik gereja terhadap tugas dan tanggungjawab kesaksian dan panggilannya di tengah dunia.
Aksi yang tanpa nilai adalah suatu tindakan yang sia-sia dan bisa saja dilakukan karena ada kepentingan terselubung (the hidden agenda) di mana sasaran advokasi tidak dilihat sebagai subyek atau partisipan melainkan dijadikan obyek yang juga seringkali diobyektifasi. Orang akan mencari keuntungan tersendiri dan tidak melakukan tindak advokasi secara tuntas. Dalam banyak kasus, aksi tanpa nilai itu membuat sasaran advokasi hanya menjadi ‘data’ laporan, bukan subyek yang harus mendapat pertolongan atau pendampingan. Jika pun ada tindak pertolongan atau pendampingan, itu dilakukan secara temporal dan tidak sampai menghasilkan transformasi pada pribadi atau komunitas yang didampingi. Karena itu refleksi teologis biblis diperlukan.
Berangkat dari nilai-nilai dasar tersebut maka gereja menentukan (4) Aksi Sosial berupa advokasi secara langsung. Ada tiga langkah advokasi dalam pedoman advokasi GPM. Ketiga langkah itu dilakukan denngan bertitik tolak dari nilai-nilai etis injili yang kuat. Jadi adokasi itu panggilan pokok gereja sebagai wujud gereja melakukan amanat panggilan dari TUHAN (bnd. Luk. 4:18-19).
Langkah advokasi yang dikerjakan harus dilanjutkan dengan (5) aksi dan refleksi baru. Gereja melakukan tindakan advokasi dalam spirit pelayanan Yesus yang berempaty dengan mereka yang lemah dan diperlakukan tidak adil. Gereja harus mengembangkan cara kritis kenabian seperti ditunjukkan Yesus yaitu untuk tetap mempertahankan kebenaran walau untuk itu Ia harus menderita. Namun Ia tetap tidak kedapatan bersalah.
Ia tidak melawan pemerintah dengan cara yang ovensif melainkan melakukan kritik atas pelanggaran hukum dan kekuasaan yang digunakan sewenang-wenang oleh pemerintah. Ketika alim-ulama kedapatan melakukan hal yang salah pun Ia melancarkan kritik yang bertujuan untuk memurnikan kehidupan agama (spiritualitas) dan agar hukum agama diterapkan secara baik, yakni untuk melindungi kehidupan (bnd. Mat. 12:9-14; Mrk. 3:1-6; Luk. 6:6-11).
Ini akan mempertajam cara kerja atau cara berteologi gereja sehingga gereja akan sanggup membawa pemulihan atau transformasi dalam hidup manusia dan ciptaan TUHAN lainnya. Transformasi tersebut menjadi kondisi baru yang membuat manusia dan ciptaan TUHAN lainnya dapat hidup kembali dalam realitasnya.
Dalam keadaan itu gereja akan kembali siap untuk menghadapi masalah lain yang baru muncul atau yang belum tertangani secara tuntas. Alir aksi dan refleksi di atas akan terus dijalankan secara berulang namun dengan cara dan kemampuan yang tentu sudah berbeda pada gereja dan jejaringnya.
Demikian beberapa hal untuk menjadi bahan diskusi bersama.


Wailela, 22 Agustus 2018

TALITA KUM

(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella  PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS  Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...