Memberi
Makna dan Pemaknaan
Oleh.
Elifas Tomix Maspaitella
~Catatan 26 Januari
2016
‘Dalam kelemahan dan keterbatasan MPH
kami sudah berusaha mempertanggungjawabkan mandat yang diberikan seluruh gereja
ini kepada kami, dan mohon maaf kalau ternyata kami belum mampu menuntaskan
pergumulan gereja ini. Gereja ini tidak bisa berhenti di satu Sidang Sinode,
melainkan akan terus berlangsung dari waktu ke waktu. Karena itu kita harus
terbuka kepada karya Allah dalam gereja ini.’ (John Chr. Ruhulessin)
I
– Perubahan Mindset
Sejak tahun 1983, GPM pelayanan GPM
berlangsung melalui desain strategis yang terumus dalam PIP/RIPP GPM. Penggunaan
dokumen itu bermakna bahwa perencanaan gereja bertumpu pada sentralisasi visi
dan desentralisasi prakarsa.
Progres pelayanan, dan kompleksitas
masalah, terutama bagaimana mengkreasikan jemaat-jemaat bertumbuh secara
bersama-sama, maka di tahun 2010, seiring dengan perubahan Tata Gereja, maka sejak
tahun 2012, Jemaat-jemaat telah bergerak dengan mekanisme Rencana Strategis
(Renstra) di tingkat Jemaat dan Program Lima Tahunan (Prolita) di tingkat
Klasis. Walau pada awal pelaksanaannya belum merata di semua Jemaat dan Klasis,
tetapi sampai 2015, semua perencanaan pelayanan sudah terlaksana dengan model
desain strategis yang memadai.
Karena itu, tuntutan sejak semula dan
untuk langkah ke depan, mesti dimulai dari perubahan mindset pelayan maupun seluruh jemaat. Hal mana ditegaskan Ketua
Sinode GPM, Pdt. Dr. John Chr. Ruhulessin, M.Si, saat memberi respons terhadap
Pemandangan Umum Klasis-klasis terhadap Laporan Umum dan Keuangan MPH tahun
2015, pada Sidang ke-37 Sinode GPM(26 Januari 2016).
Menurutnya, perubahan mindset itu belum tuntas. Padahal kita
sadar bahwa pelayanan gereja tidak bisa dilakukan tanpa perencanaan yang
strategis. Perubahan mindset akan
menentukan skill dan kapasitas
pelayan dan jemaat. Selain itu, aspek dana dan konsistensi pada aturan perlu
dilihat kaitannya.
II
– Proses Meaning
Terkait dengan perubahan mindset itu, perencanaan pelayanan GPM
bukanlah sekedar sebuah proses membangun efektifitas dan efisiensi pelayanan. Menurut
Ruhulessin, efisiensi dan efektifitas adalah bentuk pemikiran modern. Banyak
kecenderungan, di mana orang melihat efektifitas dan efisiensi dalam dunia
keagamaan.
Padahal kita sadar bahwa proses
bergereja, pertumbuhan jemaat, adalah proses mengenai meaning, bukan efektif, efisien. Artinya, pertumbuhan gereja
dan/atau pelayanan bukanlah suatu proses simplifikasi. Proses meaning membuat gereja sadar bahwa
pertumbuhan gereja adalah ruang kuasa Roh Allah yang turut bekerja dalam
pelayanan gereja itu sendiri.
Ditegaskan Ruhulessin, ‘Bahkan di dalam
kesaksian kita pun kita mengaku pertumbuhan dilakukan oleh Allah. Bukan berarti
kita tidak boleh mendesain pelayanan secara strategis tetapi gereja tidak saja
bertumbuh dari design; gereja bertumbuh
dari kuasa Roh Allah. Gereja ini pertama-tama adalah komunitas umat Allah yang
bertumbuh dalam ruang kuasa Roh Allah’.
III
– Keterbukaan dan Kontrol Keuangan
Ide-ide untuk mengembangkan kerja Tim
Verifikasi GPM menjadi Tim Audit Internal, adalah bentuk pemikiran yang
menegaskan bahwa memang sudah saatnya dukungan dana pelayanan tidak sekedar
diatur melainkan juga dikontrol.
Praktek dana Sharing 70:30% yang
diberlakukan sejak tahun 2008, kemudian ditambah 1% untuk YPPK Dr. J.B.
Sitanala (2011), memperlihatkan bahwa pemanfaatan 30%, 1% dan 69% pun harus
sama-sama didudukkan dalam logika praktis penggunaan dan pemanfaatan anggaran.
Seluruh mekanisme ini perlu diwadahi
dalam suatu regulasi yang jelas. Dalam
hal yang sama, mekanisme penyetoran di Bank Maluku, dan pemantauan pihak Bank
tentang jumlah setoran dan tunggakan harus pula didasarkan pada data base yang
jelas dan detail.
Di sisi lain (melanjutkan catatan 25
Januari 2016), maka GPM pun sudah harus memiliki regulasi yang secara khusus
mengatur pemanfaatan asset-asset GPM yang bernilai ekonomi atau investasi. Kerjasama
dengan PT. Nusa Ina (Perkebunan Kelapa Sawit di Aketernate, Seram Utara),
pengaturan asset-asset di Ternate (Maluku Utara), dan lainnya, memperlihatkan
bahwa GPM sudah harus memiliki standar yang jelas tentang penggunaan dan
pemanfaatan asset-asset tersebut.
IV
– Penanggulangan Kemiskinan dan HIV/Aids
Selaras dengan Tema dan Sub Tema
Persidangan Sinode ke-37 ini, maka sudah saatnya GPM memiliki skenario penanggulangan
kemiskinan dan HIV/Aids. Konsep ini sudah pernah dibicarakan dalam MPL di Tepa
(2012), dan perlu dimatangkan.
Dalam ibadah malam (25 Januari 2016),
Patrik dan Evelin, dua Saudara dengan HIV Aids (SADHA) telah menggugah GPM
untuk mengembangkan healing community atau
menjadi ‘Komunitas Pengharapan’ kepada para SADHA. Bukan hanya soal bagaimana
mereka bebas dari stigma, tetapi bagaimana GPM sadar akan ancaman dan merangkul
pada SADHA. Eksistensi mereka sebagai manusia harus diutamakan ketimbang
problem yang mereka alami.