Tuesday, January 26, 2016

‘BERGEREJA’



Memberi Makna dan Pemaknaan
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


~Catatan 26 Januari 2016

‘Dalam kelemahan dan keterbatasan MPH kami sudah berusaha mempertanggungjawabkan mandat yang diberikan seluruh gereja ini kepada kami, dan mohon maaf kalau ternyata kami belum mampu menuntaskan pergumulan gereja ini. Gereja ini tidak bisa berhenti di satu Sidang Sinode, melainkan akan terus berlangsung dari waktu ke waktu. Karena itu kita harus terbuka kepada karya Allah dalam gereja ini.’ (John Chr. Ruhulessin)

I – Perubahan Mindset

Sejak tahun 1983, GPM pelayanan GPM berlangsung melalui desain strategis yang terumus dalam PIP/RIPP GPM. Penggunaan dokumen itu bermakna bahwa perencanaan gereja bertumpu pada sentralisasi visi dan desentralisasi prakarsa.

Progres pelayanan, dan kompleksitas masalah, terutama bagaimana mengkreasikan jemaat-jemaat bertumbuh secara bersama-sama, maka di tahun 2010, seiring dengan perubahan Tata Gereja, maka sejak tahun 2012, Jemaat-jemaat telah bergerak dengan mekanisme Rencana Strategis (Renstra) di tingkat Jemaat dan Program Lima Tahunan (Prolita) di tingkat Klasis. Walau pada awal pelaksanaannya belum merata di semua Jemaat dan Klasis, tetapi sampai 2015, semua perencanaan pelayanan sudah terlaksana dengan model desain strategis yang memadai.

Karena itu, tuntutan sejak semula dan untuk langkah ke depan, mesti dimulai dari perubahan mindset pelayan maupun seluruh jemaat. Hal mana ditegaskan Ketua Sinode GPM, Pdt. Dr. John Chr. Ruhulessin, M.Si, saat memberi respons terhadap Pemandangan Umum Klasis-klasis terhadap Laporan Umum dan Keuangan MPH tahun 2015, pada Sidang ke-37 Sinode GPM(26 Januari 2016).

Menurutnya, perubahan mindset itu belum tuntas. Padahal kita sadar bahwa pelayanan gereja tidak bisa dilakukan tanpa perencanaan yang strategis. Perubahan mindset akan menentukan skill dan kapasitas pelayan dan jemaat. Selain itu, aspek dana dan konsistensi pada aturan perlu dilihat kaitannya.

II – Proses Meaning

Terkait dengan perubahan mindset itu, perencanaan pelayanan GPM bukanlah sekedar sebuah proses membangun efektifitas dan efisiensi pelayanan. Menurut Ruhulessin, efisiensi dan efektifitas adalah bentuk pemikiran modern. Banyak kecenderungan, di mana orang melihat efektifitas dan efisiensi dalam dunia keagamaan.

Padahal kita sadar bahwa proses bergereja, pertumbuhan jemaat, adalah proses mengenai meaning, bukan efektif, efisien. Artinya, pertumbuhan gereja dan/atau pelayanan bukanlah suatu proses simplifikasi. Proses meaning membuat gereja sadar bahwa pertumbuhan gereja adalah ruang kuasa Roh Allah yang turut bekerja dalam pelayanan gereja itu sendiri.

Ditegaskan Ruhulessin, ‘Bahkan di dalam kesaksian kita pun kita mengaku pertumbuhan dilakukan oleh Allah. Bukan berarti kita tidak boleh mendesain pelayanan secara strategis tetapi gereja tidak saja bertumbuh dari design; gereja bertumbuh dari kuasa Roh Allah. Gereja ini pertama-tama adalah komunitas umat Allah yang bertumbuh dalam ruang kuasa Roh Allah’.


III – Keterbukaan dan Kontrol Keuangan

Ide-ide untuk mengembangkan kerja Tim Verifikasi GPM menjadi Tim Audit Internal, adalah bentuk pemikiran yang menegaskan bahwa memang sudah saatnya dukungan dana pelayanan tidak sekedar diatur melainkan juga dikontrol.

Praktek dana Sharing 70:30% yang diberlakukan sejak tahun 2008, kemudian ditambah 1% untuk YPPK Dr. J.B. Sitanala (2011), memperlihatkan bahwa pemanfaatan 30%, 1% dan 69% pun harus sama-sama didudukkan dalam logika praktis penggunaan dan pemanfaatan anggaran.

Seluruh mekanisme ini perlu diwadahi dalam suatu regulasi yang jelas.  Dalam hal yang sama, mekanisme penyetoran di Bank Maluku, dan pemantauan pihak Bank tentang jumlah setoran dan tunggakan harus pula didasarkan pada data base yang jelas dan detail.

Di sisi lain (melanjutkan catatan 25 Januari 2016), maka GPM pun sudah harus memiliki regulasi yang secara khusus mengatur pemanfaatan asset-asset GPM yang bernilai ekonomi atau investasi. Kerjasama dengan PT. Nusa Ina (Perkebunan Kelapa Sawit di Aketernate, Seram Utara), pengaturan asset-asset di Ternate (Maluku Utara), dan lainnya, memperlihatkan bahwa GPM sudah harus memiliki standar yang jelas tentang penggunaan dan pemanfaatan asset-asset tersebut.

IV – Penanggulangan Kemiskinan dan HIV/Aids

Selaras dengan Tema dan Sub Tema Persidangan Sinode ke-37 ini, maka sudah saatnya GPM memiliki skenario penanggulangan kemiskinan dan HIV/Aids. Konsep ini sudah pernah dibicarakan dalam MPL di Tepa (2012), dan perlu dimatangkan.

Dalam ibadah malam (25 Januari 2016), Patrik dan Evelin, dua Saudara dengan HIV Aids (SADHA) telah menggugah GPM untuk mengembangkan healing community atau menjadi ‘Komunitas Pengharapan’ kepada para SADHA. Bukan hanya soal bagaimana mereka bebas dari stigma, tetapi bagaimana GPM sadar akan ancaman dan merangkul pada SADHA. Eksistensi mereka sebagai manusia harus diutamakan ketimbang problem yang mereka alami.

Monday, January 25, 2016

MEA DAN TANTANGAN EKONOMI JEMAAT



Refleksi dan Catatan Pengembangan
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

~ Catatan 25 Januari 2016 ~

I

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) merupakan suatu kebijakan ekonomi regional telah menjadi realitas yang mendorong (=memaksakan) seluruh elemen masyarakat, dan institusi sosial-keagamaan, untuk memikirkan hal-hal yang strategis, baik dalam penyiapan masyarakat tetapi juga dalam hal mengelola sumber-sumber kapital yang selama ini dikuasai/dimiliki.

Gereja Protestan Maluku (GPM) sebagai salah satu institusi sosial-keagamaan di Maluku, juga turut melaksanakan tugas-tugas pemanusiaan, yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas ekonomi keluarga. Dalam Pola Induk Pelayanan dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan (PIP/RIPP) GPM 2005-2015, peningkatan taraf dan kualitas ekonomi keluarga merupakan salah satu indikator ketercapaian pembentukan profil umat ~sebagai salah satu unsur profil gereja, di samping profil pelayan dan kelembagaan. Pada profil kelembagaan pun, ‘membangun jejaring kerjasama pengembangan ekonomi’ merupakan salah satu indikator ketercapaian dalam PIP/RIPP tersebut.

Artinya, GPM secara sadar turut menyikapi dan membentuk strategi pengembangan ekonomi, terarah pada usaha pengentasan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi, dan pengelolaan sumber kekayaan alam secara mandiri oleh jemaat-jemaat.

II

Dalam Sidang Sinode ke-37 GPM (Hari II - 25 Januari 2016), melalui pemandangan umum beberapa Klasis (di Maluku dan Maluku Utara), ekonomi dan pemberdayaan ekonomi menjadi sorotan tersendiri.

Secara geografis, jemaat-jemaat GPM berada di pulau-pulau di Maluku dan Maluku Utara. Prosentase jemaat pedesaan lebih besar dari jemaat perkotaan. Itu berarti Jemaat-jemaat GPM berada di pusat-pusat produksi berbagai sumber kekayaan alam (termasuk permigasan).

Namun selama ini jemaat-jemaat tersebut belum mengalami perubahan kualitas ekonomi secara drastis, mengingat keterbatasan-keterbatasan tertentu, terutama rendahnya aksesibilitas ekonomi dalam arti rendahnya intensitas distribusi potensi ekonomi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain (1) jauhnya jarak pusat produksi dengan pasar, (2) tingginya kost ekonomi dalam urusan produksi dan distribusi, (3) terbatasnya tenaga ahli dan motivator lokal, (4) diskontinuitas program pemberdayaan, (5) sumber-sumber modal usaha seperti KUR yang tidak dimanfaatkan secara maksimal, (6) ethos kerja yang rendah, (7) ijonisasi dan ijonisme yang telah menjadi semacam budaya secara masiv.



III

GPM, sebagai institusi, memiliki dan menguasai asset-asset bernilai ekonomi, salah satunya adalah tanah. Dari pengalaman yang ada, nota kerjasama dan kesepahaman (MoU) yang pernah dilakukan GPM, semisal dengan PT Nusa Ina, yang sejak tahun 2006 telah dimanfaatkan untuk perkebunan Kelapa Sawit, terkesan tidak memberi efek positif bagi GPM sebagai pemilik lahan. Ada kebijakan perusahaan yang terkesan tidak menguntungkan gereja, sehingga ke depan MoU seperti itu harus dibicarakan secara detail dengan melihatnya dari berbagai sisi, termasuk pengawasan internal gereja terhadap pihak perusahaan/investor.

Jemaat-jemaat pun memiliki dan turut menguasai asset feodal. Baik tanah dati, tanah marga, tanah keluarga, dan/atau satuan-satuan produksi di hutan lebat (ewang) dan laut mulai dari pesisir pantai sampai ke laut lepas.

Jargon ‘seribu pulau’ juga berkonotasi ekonomi, bahwa negeri-negeri di Maluku dan Maluku Utara memiliki ribuan jenis potensi sumber kekayaan alam sebagai simbol kesejahteraan dan kedaulatan ekonominya sendiri. Namun selama ini, potensi-potensi itu lebih banyak dikelola secara sistematis oleh pihak investor dan jemaat terpojok terus di dalam kemiskinan (kultural dan struktural). Selain oleh faktor-faktor yang disebut tadi, hal ini juga disebabkan oleh masih terbatasnya kemampuan jemaat-jemaat mengelola potensi itu sebagai potensi ekonomi yang memberi efek peningkatan pendapatan keluarga secara radikal.


IV

Itulah sebabnya, beberapa usaha serius GPM, termasuk melalui PARPEM GPM, dan program-program pemberdayaan ekonomi di Jemaat-jemaat harus ditata melalui sebuah manajemen yang sistematis dan komprehensif.

Gereja harus dapat merekayasa pasar yang dapat memudahkan jemaat-jemaat mendistribusi hasil produksinya. Gereja perlu mendekatkan pusat produksi dengan pasar, sehingga memerlukan tersedianya sarana transportasi ekonomi yang memadai. Pada sisi ini, gereja bisa dan harus mendorong kerjasama pengembangan ekonomi wilayah dengan pemerintah Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pemeritah Pusat.

Gereja perlu mempersiapkan jemaat dan melatih skill dalam berbagai bidang ekonomi, termasuk manajemen usaha dan keuangan. Sebab salah satu faktor yang melemahkan sistem ekonomi lokal di tingkat jemaat adalah  masih terbatasnya analisis dan manajemen pasca produksi. Hal mana ditunjukkan dengan masih kuatnya orientasi subsisten dalam pola kerja dan usaha warga jemaat. GPM perlu pula membuat model pengelolaan asset yang bernilai investasi.

Dengan upaya-upaya ini, termasuk mendorong pendidikan vokasi di wilayah-wilayah, diharapkan GPM bisa menjadi agen perubahan sosial-ekonomi yang membuat masyarakat Maluku dan Maluku Utara semakin kuat dalam menyongsong MEA serta perubahan-perubahan sosial-ekonomi lainnya. (*) 25-01-2016





TALITA KUM

(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella  PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS  Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...