Liturgi Pencanangan Adventus Natal 2011
Jemaat Rumahtiga Klasis GPM Pulau Ambon
Jumat, 25 November 2011
Tema :
Bersama-sama Menyambut Kedatangan Tuhan Dengan Saling Peduli
(Lukas 2:1-7)
Solo: KJ. No. 109:1 - ‘Hai Mari Berhimpun’
[masuk Yesus berjubah Biru – simbolisasi Adventus, diiringi anak-anak SM-TPI yang membawa banner bertuliskan: ‘Orang Miskin, Orang Sakit, Orang Cacat, Anak Yatim-Piatu, Korban PHK, Jompo – sebagai refleksi Tema Natal]
Anak 1: [Pembawa Banner ‘Orang Miskin’]
Di palunganMu TUHAN, kami ada
Anak 2: [Pembawa Banner ‘Orang Sakit’]
Di palunganMu TUHAN, kami terbaring
Anak 3: [Pembawa Banner ‘Orang Cacat’]
Kami terus berjalan menuju palunganMu, TUHAN
Anak 4: [Pembawa Banner ‘Anak Yatim-Piatu’]
Oh, Yesus, Kau terlahir dan punya Mama-Papa. Dan Aku, tak lagi punya Mama dan Papa, tapi aku ada di palunganMu
Anak 5: [Pembawa Banner ‘Korban PHK’]
Tidak ada lagi gembala, kami yang kini datang ke palunganMu, TUHAN
Anak 6: [Pembawa Banner ‘Jompo’]
Majusi sudah kembali ke negeri mereka, tapi kami masih ada di palunganMu, Tuhan
Yesus Jubah Biru:
Ketahuilah, bahwa di antaramu masih banyak orang yang harus kamu layani, sebab ketika kamu melayani salah satu di antara mereka, kamu sudah melayani Aku. Inilah palungKu untukmu
Liturgos:
Saudara-saudaraku, kita ada di dalam palungan Yesus. Kita berhimpun bersama dalam sukacita kekal, sebab Yesus lahir sebagai tanda TUHAN peduli kepada semua manusia, dan peduli kepada mereka yang lemah dan terbatas. Mari berhimpun dan bersukaria. Siapkan hati untuk menyambut kedatanganNya
Jemaat Berdiri sambil Menyanyi: KJ. No. 109:1 ‘Hai Mari Berhimpun’
Liturgos:
Oleh sebab itulah Jemaat, ibadah ini kita rayakan dalam kemuliaan Allah Bapa, Yesus Putra Natal dan dalam persekutuan dengan Roh Kudus.
Jemaat Menyanyi Pujian: ‘Dia Lahir Untuk Kita’
Liturgos:
Jemaat, kita ada hari ini untuk suatu akta yang penting di dalam seluruh perayaan Gereja. Adventus Natal mengingatkan kita untuk mempersiapkan segala sesuatu bagi kedatangan Sang IMANUEL.
Pujian Jemaat: [mengantar perenungan diri]
KJ. No. 81 ‘O Datanglah, Imanuel’
Sambil pembawa banner tadi berjalan beriring dengan Yesus yang berjubah Biru dan menjumpai beberapa orang yang digambarkan tidak mempedulikan mereka – sebagai refleksi bahwa kita sering enggan menolong atau bersikap palsu dalam menolong mereka yang lemah
Yesus Berjubah Biru: [mengumpulkan anak-anak pembawa banner]
Kalian lihatlah, Aku sudah berdiri di depan mereka, dan tidak satu pun yang melihat. Mata mereka masih tertutup, telinga mereka pun tidak terbuka. Demikian pun hati mereka. Aku tahu kalian setiap hari ada bersama mereka. Karena itu Aku hendak pergi. Aku belum membawa kalian menyertaiKu, sebab Aku masih mau melihat siapakah di antara mereka ini yang peduli kepada kalian. Tinggallah di sini, tetapi percayalah, Aku tidak akan membiarkan kalian sendiri. Roh Kudus akan tetap ada padamu dan di tengah mereka pula.
Anak-anak Pembawa Banner:
TUHAN, biarkan kami pergi bersamaMu
Yesus Berjuban Biru:
Tidak! Kalian harus tetap ada di sini.
Jemaat Menyanyi: KJ. No.85 ‘Kusongsong Bagaimana’
[Sambil anak-anak pembawa banner terus mengitari palungan dan pohon natal]
Yesus Berjubah Biru: [dialogis dengan Jemaat]
Saudara-saudara, apakah kalian menantikan kedatangan seorang Mesias?
Jemaat:
Kami menantikan Mesias Yang Diurapi
Yesus Berjubah Biru: [dialogis dengan Jemaat]
Sudahkah kalian mempersiapkan diri untuk menyambut Dia Yang Diurapi itu?
Jemaat:
Kami telah membuka hati dan pintu rumah kami untuk Mesias Yang Diurapi
Yesus Berjubah Biru: [dialogis dengan Jemaat]
Sudahkah Dia datang ke hati dan rumahmu??
Jemaat:
Kami masih menanti dan mengundangNya masuk ke hidup dan rumah kami
Yesus Berjubah Biru: [dialogis dengan Jemaat]
Setiap hari dia ada di antara kalian, tetapi mata dan hatimu tertutup bagiNya
Jemaat:
Tidak mungkin!
Yesus Berjubah Biru: [dialogis dengan Jemaat] sambil menghimpun kembali anak-anak pembawa banner
Inilah wajah dan derita Dia Yang Diurapi yang kalian nantikan itu. Dia bukan lagi seorang bayi yang dibungkus dengan lampin, tetapi sesamamu yang dibungkus kemiskinan, penyakit, dan kemelaratan karena ketidakadilan. Layanilah mereka seperti kalian melayani Aku
Jemaat menyanyi: PKJ. No. 43 ‘Tuhan Kami Berlumuran Dosa’
Liturgos:
Maka Dia Yang Diurapi itu berkenan mengampuni dosa kita asal kita bertekad melayaniNya dengan mempedulikan mereka yang lemah. Sudahkah saudara-saudara siap melayani Tuhan dalam saling peduli kepada sesama dan semesta ciptaanNya????
….
Mari berdiri dan dalam kegirangan kita puji Tuhan, Sang IMANUEL itu
Puji-pujian Jemaat: (medley)
Hai Siarkan di Gunung (KJ. 120)
Datang ke Hadirat Tuhan
Alam Raya Berkumandang (KJ. No.101)
Nyanyi Glory
Dia Lahir Untuk Kami
PS/VG/SOLO/DUET
PELAYANAN FIRMAN:
Doa Pembacaan Alkitab – oleh. Penatua Bertugas
Pembacaan Alkitab dan Khotbah – oleh. Pelayan Firman
Puji-pujian Jemaat: (medley)
Allah Kita Heran dan Besar
Bangkit, S’rukan Nama Yesus
Api KemuliaanNya
Gita Sorga Bergema (KJ. No. 99)
PERSEMBAHAN SYUKUR [diiringi Pujian Jemaat]
Sungai SukacitaMu
PS/VG/SOLO/DUET
DOA SYAFAAT
AKTA PENCANANGAN ADVENTUS:
Parade Anak TK dan AK dengan kidung ‘SERIBU LILIN’ – dari berbagai sudut gereja menuju altar dan mengitari Lilin Induk serta Pohon Natal. Anak-anak Pembawa Banner beriring bersama mereka sambil membawa Banner Tema Natal.
Di depan Altar:
Ketua MJ
Saudara-saudara, hari ini kita mencanangkan Adventus Natal Kristus Tahun 2011. Empat Pekan Adventus akan kita masuki dalam gumul bersama untuk menyambut kedatangan Tuhan dengan saling peduli kepada mereka yang lemah dan terbatas. Selaku hamba Yesus Kristus, saya canangkan Pekan Pembinaan Umat dalam masa Adventus Natal tahun 2011 demi Nama Bapa, Anak dan Roh Kudus. Damai sejahtera Allah melimpah dalam hidup kita. Amin
[Langsung menyalakan Lilin Induk dan 11 Lilin yang dibagikan kepada Ketua-ketua Bakopel, dan menekan tombol Lampu Pohon Natal]
Jemaat Menyanyi: ‘Seribu Lilin’
BERKAT:
Damai sejahtera Allah melimpah dalam hidup kita. Kasih Yesus Kristus memenuhi hari-hari hidup kita dan gelora cinta kasih dari Roh Kudus menyemangati kita peduli kepada sesama dan alam ciptaan Tuhan hari ini sampai selama-lamanya. Amin
Jemaat Menyanyi:
S’lamat, S’lamat Datang
SELAMAT MEMPERSIAPKAN DIRI MERAYAKAN ADVENTUS NATAL DAN SAMBUT NATAL KRISTUS DENGAN SALING PEDULI
Friday, November 25, 2011
Friday, November 18, 2011
PROBLEM PEMBANGUNAN DI PULAU-PULAU KECIL
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
People centered development atau pembangunan berbasis masyarakat merupakan paradigma pembangunan yang bertumpu pada pendekatan kesejahteraan (social welfare) di mana masyarakat menjadi subyek utama dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan seluruh dinamika pembangunan. Sudah tentu hal itu mengindikasikan bahwa pembangunan menjadikan manusia atau masyarakat manusia sebagai tujuan. Suatu gerakan protes terhadap developmentisme yang cenderung memosisikan manusia sebagai alat untuk melaksanakan proyek-proyek raksasa atas nama kesejahteraan.
Ada empat pengalaman kecil dari empat kali berkunjung ke pulau-pulau kecil di Maluku. Pertama, pengalaman berkunjung ke Pulau Larat (MTB), kedua ke Pulau Selaru (MTB), ketiga ke pulau Kisar (MBD) dan keempat ke pulau Wamar-Dobo (Kepulauan Aru). Pengalaman-pengalaman kecil yang patut disyukuri dalam tugas sebagai Ketua Umum PB AMGPM dan Tim Evaluasi PIP/RIPP GPM sepanjang tahun 2010.
Dengan pengalaman-pengalaman itu kita bisa melihat bagaimana pembangunan berlangsung di kawasan-kawasan itu. Optimisme muncul ketika pemekaran wilayah atau otonomisasi daerah yang melahirkan beberapa kabupaten baru (MTB, Kepulauan Aru, dan MBD) lepas dari Kabupaten induk Maluku Tenggara. Sebab idiom Tenggara Jauh, yang berbau stigmatisasi, merupakan sebuah fakta ironi ekonomi pula. Betapa masyarakat di kawasan itu dahulu kesulitan dalam akses-akses ekonomi, sebagai akibat dari rentang kendali pembangunan yang sangat panjang. Sudah tentu bukan percepatan pembangunan melainkan keterlambatan pembangunan yang mereka alami.
Terlalu lama mereka dijauhkan dari sebuah sentuhan pembangunan yang adil dan merata. Mereka mendengar istilah-istilah itu di bangku sekolah, tetapi sekolah-sekolah mereka reyot, bangunannya rusak, ruang kelasnya terbatas, gurunya sangat terbatas, hari-hari sekolahnya tetap senin-sabtu, tetapi jam belajar mungkin sekali seminggu. Istilah-istilah itu mereka dengar dalam situasi ironi. Pemekaran wilayah menjadi semacam ‘obat penenang’ yang semoga bisa membangunkan gairah kemajuan di kawasan-kawasan tadi. Harapan itu sangat wajar, apalagi jika harapan itu muncul dari masyarakat di kawasan-kawasan tadi.
1. Tnyafar dan Ijonisasi: Lingkaran Setan Kemiskinan di MTB
Dua tulisan saya dalam www.kutikata.blogspot.com (Ijonisasi dan Ijonisme, serta Tnyafar) menjadi sebuah catatan yang memberi gambaran tersendiri mengenai realitas pembangunan di MTB. Sebagai kabupaten dengan tipikal kelautan, potensi perikanan dan kelautan terlalu melimpah tersedia di sini. Saya terkesan karena usaha perikanan dan rumput laut yang dikelola secara tradisional dimiliki oleh sebagian besar kepala keluarga.
Di sektor rumput laut, mereka bisa memproduksi lebih dari 1 ton rumput laut kering. Harga jualnya berkisar antara Rp.8.000 – 10.000/kg. Artinya dalam satu masa panen, satu kepala keluarga mampu memperoleh sekitar Rp.8.000.000 – 10.000.000. Ini menunjukkan angka kesejahteraan rakyat sangat baik. Belum lagi di sektor perikanan tangkap. Dalam satu kali memancing, seorang nelayan mampu membawa pulang lebih dari 100 kg ikan. Jika dihitung Rp.10.000/kg, maka mereka bisa mendapat 1.000.000 dari satu kali tangkapan. Pada kedua komoditi ini saja kita sudah bisa menghitung berapa besar tingkat ekonomi rumah tangga di MTB.
Namun faktanya ialah, masyarakat MTB seperti di Pulau Larat dan kepulauan di sekitarnya, juga di Pulau Selaru, masih tergolong miskin. Mereka menguasai pusat produksi, tetapi mereka bukan penentu atas harga komoditinya. Harga komoditi itu ditentukan oleh pedagang yang adalah juga pengijon. Malah mereka terbelilit di dalam ijonisasi yang justru memperparah kondisi perekonomian mereka. Ditambah dengan mind-set sebagian besar masyarakat yang cenderung hedonis dan konsumtif. Beberapa teman yang belajar ilmu ekonomi mengingatkan saya bahwa, ada soal dalam lalu lintas perekonomian itu, sebab ijonisasi selain merupakan fakta monopoli tetapi juga terbangunnya oligarki ekonomi sehingga ada semacam genealogi ijonisasi di sana. Maksudnya yang mengijon adalah satu kelompok yang terhubung dengan kelompok lain di pusat pasar.
Fakta itu mencuat di tnyafar-tnyafar di Pulau Selaru. Masyarakat yang tinggal bertahun-tahun di tnyafar untuk tujuan berusaha, bukannya menjadi kelompok yang mapan secara ekonomi, tetapi terus terbelilit di dalam lingkaran kemiskinan yang ternyata gampang diurai tetapi sulit diputuskan. Belum ada regulasi di bidang ekonomi kerakyatan yang mampu memangkas lingkaran setan kemiskinan itu.
2. Kekeringan dan Blok Masela: Tantangan Kesejahteraan di MBD
Saya tertegun sewaktu tiba di Bandara Kisar (15 Oktober 2011), karena ada sejumah ekor kambing yang memakan rumput-rumput kering di sekitar Bandara. Saya mencoba mengamatinya, ada seekor di antaranya sedang menghisap sesuatu dari batu karang. Teman saya dari Dinas Pertanian Provinsi Maluku mengatakan, itu adalah cara kambing itu mencari setetes air.
Dalam perjalanan ke pastori Klasis GPM Pulau-pulau Kisar, teman Pendeta Herry Rutumalessy mengatakan, saat ini di Kisar ada empat warna, yakni cokelat, hitam, kuning dan separuhnya hijau. Cokelat itu tandanya kekeringan, hitam itu tanda baru selesai ter[bakar], kuning itu tanda masa menghijau telah usai, dan hijau itu hanya ada di daun pohon koli dan lemon [jeruk] kisar [Leki], tanaman daerah tropis yang bertahan hidup di kemarau panjang.
Kenyataan adanya kekeringan itu didukung oleh masyarakat yang berjubel mengitari satu buah sumur untuk keperluan mengambil air dan mencuci pakaian. Jalan raya yang belum diaspal semakin mengesankan kekeringan itu sebab jalanan berdebu, sampai-sampai daun pohon pisang pun berwarna sama dengan debu. Ini benar suatu fakta dari adanya problem serius mengenai lingkungan di sana. Walau kita harus memberi catatan tersendiri mengenai bagaimana orang-orang Kisar survive dalam alam seperti itu sejak dahulu sampai saat ini.
Sisi cerita baru dari pengalaman di sana ialah cerita mengenai beroperasinya perusahan migas dalam pengelolaan Blok Masela. Cerita sama saya dapati di Pulau Selaru, bahwa Inpex Corporation, salah satu perusahan migas Jepang telah mendapat ijin pengelolaan Blok Masela, dengan infestasi US$ 19 Miliar.
Dalam web detikfinance disebut bahwa Inpex, oleh perjanjian kerjasama dengan Pemerintah Pusat, akan membangun terminal terapung untuk menyedot gas dan langsung diubah menjadi LNG Blok Masela yang terletak di laut Arafuru, wilayah perairan Indonesia yang berada di antara Australia dan Papua Nugini. Disebut pula bahwa lapangan gas ini bisa menghasilkan 2,5 juta matrix ton per/tahun, dan minyak 8.400 barrel per/hari. Dan untuk tahap pertama di tahun 2012, disebut bisa menghasilkan 9 triliun cubic feet.
Dapat dibayangkan betapa daerah kering ini menyimpan harta berharga di dasar buminya, dan ternyata dikelola oleh perusahan-perusahan raksasa. Kita wajib mempertanyakan apakah pembagian hasl 10 persen dari pengelolaan itu akan benar-benar difokuskan bagi kesejahteraan masyarakat di sana? Belum lagi bagaimana dampak pengelolaannya kepada lingkungan laut yang selama ini juga memberi kepada masyarakat trdisional hasil perikanan.
Di sisi lain, tentang tenaga kerja, sudah saatnya dipikirkan pembangunan SMK Migas dan Pertambangan atau Politeknik Pertambangan dan Migas di MBD, agar pasokan tenaga kerja ahli benar-benar datang dari masyarakat basis dan bukan dengan alasan teretentu didatangkan dari luar. Sebab jika demikian masyarakat MBD akan menjadi penonton.
3. Aru Digempur
Aru dikenal sebagai pulau penghasil mutiara. Selain itu pesona burung cenderawasih menjadi primadona fauna yang menarik di kepulauan ini. Biota laut dan fauna ini menjadi ikon kabupaten yang bertajuk Mutiara Indah dan Cenderawasih Lestari.
Pulau-pulau kecil dan terkecil terhampar luas di Kabupaten ini. Dalam paparan Kepala Bappeda Kabupaten Kepulauan Aru, Drs. A. Uniplaita, di hadapan peserta MPL ke-33 Sinode GPM di Dobo, 1 November 2011, disebut bahwa, di Kepulauan Aru terdapat 500-an pulau, yang saat ini terdiri dari 5 (lima) Kecamatan. Dari sejumlah pulau itu, hanya 89 pulau yang berpenghuni dengan total penduduk sekitar 84.000 jiwa. Dari sejumlah desa yang ada, 71 desa berbatasan langsung dengan Australia. Dua pulau terluar yang masuk dalam kawasan strategi nasional adalah Pulau Enu dan Pulau Karang (pulau cagar alam). Data lain yang disebut bahwa, terdapat potensi migas yang kaya di dasar laut kepulauan Aru, dan sampai saat ini sudah 6 sumur yang dieksploitasi.
Data-data itu menunjukkan bahwa ada beberapa problem serius, antara lain:
a. Eksistensi pulau-pulau terluar sebagai kawasan strategis nasional memerlukan perhatian serius pemerintah di seluruh jenjang. Apalagi pulau-pulau terluar tersebut memiliki potensi migas yang sangat besar. Perebutan pulau terluar seperti Sipadan dan Ligitan bukan tidan mungkin menunjukkan ada ancaman yang sama pada kawasan pulau terluar di Maluku dan terutama Kepulauan Aru. Ini memerlukan sebuah strategi yang tepat dalam rangka mempertahankan eksistensi pulau-pulau tersebut dan juga NKRI.
b. Pulau-pulau yang tak berpenghuni merupakan ikon ekonomi dan pariwisata, yang bisa menjadi daerah rebutan para konglomerat. Tentu ada efek tertentu dari kepemilikan sebuah pulau kepada masyarakat pribumi, terutama pulau-pulau itu oleh orang Aru menjadi tempat persinggahan atau tempat usaha untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sesehari (bnd. Tnyafar di Pulau Selaru, MTB). Di beberapa tempat seperti di Maluku Tengah, praktek kepemilikan pulau-pulau terkecil telah menimbulkan kemiskinan di kalangan masyarakat, karena mereka sudah tidak bisa berusaha atau mencari kebutuhannya di kawasan tersebut lagi.
c. Eksploitasi migas pada sumur-sumur di bawah laut perlu memperhatikan pula kondisi kerentanan pulau. Apalagi Kepulauan Aru rata-rata berada di bawah permukaan laut. Sehingga perlu kajian yang komprehensif pada seluruh sektor. Belum lagi ada semacam ‘teror’ bahwa dalam 25 tahun ke depan Aru bisa tenggelam. Ini bisa disebut teror dalam rangka mendorong migrasi orang pribumi keluar dari pulau-pulau itu agar eksplorasi dan eksploitasi bisa dilakukan secara besar-besaran. Praktek ‘teror’ serupa pernah terjadi pada Pulau Haruku di Lease di tahun 1990-an, ketika disebut bahwa pulau itu tidak berpenghuni.
d. Selain itu gempuran serius lagi di Dobo datang dari sektor seks komersil. Pembangunan Karakoke-karaoke dan Lokalisasi yang menyatu dengan pemukiman penduduk menggembur Dobo di setiap sudut kota. Hal ini mempertanyakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten sejauh ini.
Hal-hal itu menjadi catatan yang mengingatkan kita bahwa pembangunan di pulau-pulau kecil atau pembangunan berbasis pulau-pulau kecil memerlukan regulasi yang tepat dan juga pengawasan yang menyeluruh. Masyarakat di pulau-pulau itu mengalami beberapa jenis kelangkaan, yakni kelangkaan transportasi, informasi, komunikasi dan kelangkaan kesejahteraan. Bentuk-bentuk kelangkaan ini perlu diatasi melalui peranserta seluruh elemen pemerintahan dan stakeholders. (*)
People centered development atau pembangunan berbasis masyarakat merupakan paradigma pembangunan yang bertumpu pada pendekatan kesejahteraan (social welfare) di mana masyarakat menjadi subyek utama dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan seluruh dinamika pembangunan. Sudah tentu hal itu mengindikasikan bahwa pembangunan menjadikan manusia atau masyarakat manusia sebagai tujuan. Suatu gerakan protes terhadap developmentisme yang cenderung memosisikan manusia sebagai alat untuk melaksanakan proyek-proyek raksasa atas nama kesejahteraan.
Ada empat pengalaman kecil dari empat kali berkunjung ke pulau-pulau kecil di Maluku. Pertama, pengalaman berkunjung ke Pulau Larat (MTB), kedua ke Pulau Selaru (MTB), ketiga ke pulau Kisar (MBD) dan keempat ke pulau Wamar-Dobo (Kepulauan Aru). Pengalaman-pengalaman kecil yang patut disyukuri dalam tugas sebagai Ketua Umum PB AMGPM dan Tim Evaluasi PIP/RIPP GPM sepanjang tahun 2010.
Dengan pengalaman-pengalaman itu kita bisa melihat bagaimana pembangunan berlangsung di kawasan-kawasan itu. Optimisme muncul ketika pemekaran wilayah atau otonomisasi daerah yang melahirkan beberapa kabupaten baru (MTB, Kepulauan Aru, dan MBD) lepas dari Kabupaten induk Maluku Tenggara. Sebab idiom Tenggara Jauh, yang berbau stigmatisasi, merupakan sebuah fakta ironi ekonomi pula. Betapa masyarakat di kawasan itu dahulu kesulitan dalam akses-akses ekonomi, sebagai akibat dari rentang kendali pembangunan yang sangat panjang. Sudah tentu bukan percepatan pembangunan melainkan keterlambatan pembangunan yang mereka alami.
Terlalu lama mereka dijauhkan dari sebuah sentuhan pembangunan yang adil dan merata. Mereka mendengar istilah-istilah itu di bangku sekolah, tetapi sekolah-sekolah mereka reyot, bangunannya rusak, ruang kelasnya terbatas, gurunya sangat terbatas, hari-hari sekolahnya tetap senin-sabtu, tetapi jam belajar mungkin sekali seminggu. Istilah-istilah itu mereka dengar dalam situasi ironi. Pemekaran wilayah menjadi semacam ‘obat penenang’ yang semoga bisa membangunkan gairah kemajuan di kawasan-kawasan tadi. Harapan itu sangat wajar, apalagi jika harapan itu muncul dari masyarakat di kawasan-kawasan tadi.
1. Tnyafar dan Ijonisasi: Lingkaran Setan Kemiskinan di MTB
Dua tulisan saya dalam www.kutikata.blogspot.com (Ijonisasi dan Ijonisme, serta Tnyafar) menjadi sebuah catatan yang memberi gambaran tersendiri mengenai realitas pembangunan di MTB. Sebagai kabupaten dengan tipikal kelautan, potensi perikanan dan kelautan terlalu melimpah tersedia di sini. Saya terkesan karena usaha perikanan dan rumput laut yang dikelola secara tradisional dimiliki oleh sebagian besar kepala keluarga.
Di sektor rumput laut, mereka bisa memproduksi lebih dari 1 ton rumput laut kering. Harga jualnya berkisar antara Rp.8.000 – 10.000/kg. Artinya dalam satu masa panen, satu kepala keluarga mampu memperoleh sekitar Rp.8.000.000 – 10.000.000. Ini menunjukkan angka kesejahteraan rakyat sangat baik. Belum lagi di sektor perikanan tangkap. Dalam satu kali memancing, seorang nelayan mampu membawa pulang lebih dari 100 kg ikan. Jika dihitung Rp.10.000/kg, maka mereka bisa mendapat 1.000.000 dari satu kali tangkapan. Pada kedua komoditi ini saja kita sudah bisa menghitung berapa besar tingkat ekonomi rumah tangga di MTB.
Namun faktanya ialah, masyarakat MTB seperti di Pulau Larat dan kepulauan di sekitarnya, juga di Pulau Selaru, masih tergolong miskin. Mereka menguasai pusat produksi, tetapi mereka bukan penentu atas harga komoditinya. Harga komoditi itu ditentukan oleh pedagang yang adalah juga pengijon. Malah mereka terbelilit di dalam ijonisasi yang justru memperparah kondisi perekonomian mereka. Ditambah dengan mind-set sebagian besar masyarakat yang cenderung hedonis dan konsumtif. Beberapa teman yang belajar ilmu ekonomi mengingatkan saya bahwa, ada soal dalam lalu lintas perekonomian itu, sebab ijonisasi selain merupakan fakta monopoli tetapi juga terbangunnya oligarki ekonomi sehingga ada semacam genealogi ijonisasi di sana. Maksudnya yang mengijon adalah satu kelompok yang terhubung dengan kelompok lain di pusat pasar.
Fakta itu mencuat di tnyafar-tnyafar di Pulau Selaru. Masyarakat yang tinggal bertahun-tahun di tnyafar untuk tujuan berusaha, bukannya menjadi kelompok yang mapan secara ekonomi, tetapi terus terbelilit di dalam lingkaran kemiskinan yang ternyata gampang diurai tetapi sulit diputuskan. Belum ada regulasi di bidang ekonomi kerakyatan yang mampu memangkas lingkaran setan kemiskinan itu.
2. Kekeringan dan Blok Masela: Tantangan Kesejahteraan di MBD
Saya tertegun sewaktu tiba di Bandara Kisar (15 Oktober 2011), karena ada sejumah ekor kambing yang memakan rumput-rumput kering di sekitar Bandara. Saya mencoba mengamatinya, ada seekor di antaranya sedang menghisap sesuatu dari batu karang. Teman saya dari Dinas Pertanian Provinsi Maluku mengatakan, itu adalah cara kambing itu mencari setetes air.
Dalam perjalanan ke pastori Klasis GPM Pulau-pulau Kisar, teman Pendeta Herry Rutumalessy mengatakan, saat ini di Kisar ada empat warna, yakni cokelat, hitam, kuning dan separuhnya hijau. Cokelat itu tandanya kekeringan, hitam itu tanda baru selesai ter[bakar], kuning itu tanda masa menghijau telah usai, dan hijau itu hanya ada di daun pohon koli dan lemon [jeruk] kisar [Leki], tanaman daerah tropis yang bertahan hidup di kemarau panjang.
Kenyataan adanya kekeringan itu didukung oleh masyarakat yang berjubel mengitari satu buah sumur untuk keperluan mengambil air dan mencuci pakaian. Jalan raya yang belum diaspal semakin mengesankan kekeringan itu sebab jalanan berdebu, sampai-sampai daun pohon pisang pun berwarna sama dengan debu. Ini benar suatu fakta dari adanya problem serius mengenai lingkungan di sana. Walau kita harus memberi catatan tersendiri mengenai bagaimana orang-orang Kisar survive dalam alam seperti itu sejak dahulu sampai saat ini.
Sisi cerita baru dari pengalaman di sana ialah cerita mengenai beroperasinya perusahan migas dalam pengelolaan Blok Masela. Cerita sama saya dapati di Pulau Selaru, bahwa Inpex Corporation, salah satu perusahan migas Jepang telah mendapat ijin pengelolaan Blok Masela, dengan infestasi US$ 19 Miliar.
Dalam web detikfinance disebut bahwa Inpex, oleh perjanjian kerjasama dengan Pemerintah Pusat, akan membangun terminal terapung untuk menyedot gas dan langsung diubah menjadi LNG Blok Masela yang terletak di laut Arafuru, wilayah perairan Indonesia yang berada di antara Australia dan Papua Nugini. Disebut pula bahwa lapangan gas ini bisa menghasilkan 2,5 juta matrix ton per/tahun, dan minyak 8.400 barrel per/hari. Dan untuk tahap pertama di tahun 2012, disebut bisa menghasilkan 9 triliun cubic feet.
Dapat dibayangkan betapa daerah kering ini menyimpan harta berharga di dasar buminya, dan ternyata dikelola oleh perusahan-perusahan raksasa. Kita wajib mempertanyakan apakah pembagian hasl 10 persen dari pengelolaan itu akan benar-benar difokuskan bagi kesejahteraan masyarakat di sana? Belum lagi bagaimana dampak pengelolaannya kepada lingkungan laut yang selama ini juga memberi kepada masyarakat trdisional hasil perikanan.
Di sisi lain, tentang tenaga kerja, sudah saatnya dipikirkan pembangunan SMK Migas dan Pertambangan atau Politeknik Pertambangan dan Migas di MBD, agar pasokan tenaga kerja ahli benar-benar datang dari masyarakat basis dan bukan dengan alasan teretentu didatangkan dari luar. Sebab jika demikian masyarakat MBD akan menjadi penonton.
3. Aru Digempur
Aru dikenal sebagai pulau penghasil mutiara. Selain itu pesona burung cenderawasih menjadi primadona fauna yang menarik di kepulauan ini. Biota laut dan fauna ini menjadi ikon kabupaten yang bertajuk Mutiara Indah dan Cenderawasih Lestari.
Pulau-pulau kecil dan terkecil terhampar luas di Kabupaten ini. Dalam paparan Kepala Bappeda Kabupaten Kepulauan Aru, Drs. A. Uniplaita, di hadapan peserta MPL ke-33 Sinode GPM di Dobo, 1 November 2011, disebut bahwa, di Kepulauan Aru terdapat 500-an pulau, yang saat ini terdiri dari 5 (lima) Kecamatan. Dari sejumlah pulau itu, hanya 89 pulau yang berpenghuni dengan total penduduk sekitar 84.000 jiwa. Dari sejumlah desa yang ada, 71 desa berbatasan langsung dengan Australia. Dua pulau terluar yang masuk dalam kawasan strategi nasional adalah Pulau Enu dan Pulau Karang (pulau cagar alam). Data lain yang disebut bahwa, terdapat potensi migas yang kaya di dasar laut kepulauan Aru, dan sampai saat ini sudah 6 sumur yang dieksploitasi.
Data-data itu menunjukkan bahwa ada beberapa problem serius, antara lain:
a. Eksistensi pulau-pulau terluar sebagai kawasan strategis nasional memerlukan perhatian serius pemerintah di seluruh jenjang. Apalagi pulau-pulau terluar tersebut memiliki potensi migas yang sangat besar. Perebutan pulau terluar seperti Sipadan dan Ligitan bukan tidan mungkin menunjukkan ada ancaman yang sama pada kawasan pulau terluar di Maluku dan terutama Kepulauan Aru. Ini memerlukan sebuah strategi yang tepat dalam rangka mempertahankan eksistensi pulau-pulau tersebut dan juga NKRI.
b. Pulau-pulau yang tak berpenghuni merupakan ikon ekonomi dan pariwisata, yang bisa menjadi daerah rebutan para konglomerat. Tentu ada efek tertentu dari kepemilikan sebuah pulau kepada masyarakat pribumi, terutama pulau-pulau itu oleh orang Aru menjadi tempat persinggahan atau tempat usaha untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sesehari (bnd. Tnyafar di Pulau Selaru, MTB). Di beberapa tempat seperti di Maluku Tengah, praktek kepemilikan pulau-pulau terkecil telah menimbulkan kemiskinan di kalangan masyarakat, karena mereka sudah tidak bisa berusaha atau mencari kebutuhannya di kawasan tersebut lagi.
c. Eksploitasi migas pada sumur-sumur di bawah laut perlu memperhatikan pula kondisi kerentanan pulau. Apalagi Kepulauan Aru rata-rata berada di bawah permukaan laut. Sehingga perlu kajian yang komprehensif pada seluruh sektor. Belum lagi ada semacam ‘teror’ bahwa dalam 25 tahun ke depan Aru bisa tenggelam. Ini bisa disebut teror dalam rangka mendorong migrasi orang pribumi keluar dari pulau-pulau itu agar eksplorasi dan eksploitasi bisa dilakukan secara besar-besaran. Praktek ‘teror’ serupa pernah terjadi pada Pulau Haruku di Lease di tahun 1990-an, ketika disebut bahwa pulau itu tidak berpenghuni.
d. Selain itu gempuran serius lagi di Dobo datang dari sektor seks komersil. Pembangunan Karakoke-karaoke dan Lokalisasi yang menyatu dengan pemukiman penduduk menggembur Dobo di setiap sudut kota. Hal ini mempertanyakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten sejauh ini.
Hal-hal itu menjadi catatan yang mengingatkan kita bahwa pembangunan di pulau-pulau kecil atau pembangunan berbasis pulau-pulau kecil memerlukan regulasi yang tepat dan juga pengawasan yang menyeluruh. Masyarakat di pulau-pulau itu mengalami beberapa jenis kelangkaan, yakni kelangkaan transportasi, informasi, komunikasi dan kelangkaan kesejahteraan. Bentuk-bentuk kelangkaan ini perlu diatasi melalui peranserta seluruh elemen pemerintahan dan stakeholders. (*)
PANTUN DAN FALSAFAH BABAR
Refungsionalisasi Makna
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
00. PENGANTAR
Kepada semua masyarakat Babar, saya mohon maaf jika ada kesalahan-kesalahan terentu dalam tulisan ini. Saya menemui (lagi-lagi dari folder Pdt. Ampy Beresaby, Ketua Klasis GPM Pulau-pulau Babar), beberapa file yang menarik untuk dikaji dalam kaitan dengan aspek-aspek teologi (sebab hanya ilmu itu yang saya pelajari secara formal). Dalam ‘temuan’ itu, ada dua pantun yang cukup menantang dilakukan refleksi. Saya tidak mau menyebut ‘kajian’ sebab apa yang tertuang dalam tulisan ini jauh dari sebuah perlakuan keilmuan, yang bagi saya bisa digali oleh mereka yang tekun dengan metode kerja pengetahuan.
Satu pantun, dinamai oleh Pdt. Ampy dalam folder itu sebagai ‘pantun darat’, dan satu lagi dinamainya ‘pantun laut’. Memang yang ada hanyalah rumusannya saja, dan tidak disertai penjelasan sebagaimana makna pantun pada lazimnya. Karena itu sebagai orang yang tidak tahu apa-apa dengan bahasa Babar, saya ‘awam’ di hadapan pantun itu. Tetapi dari sepenggal cerita dengannya, dan sambil merekam ‘gaya hidup’ binatang-binatang yang ada dalam pantun itu, saya menemukan betapa pantun itu mengandung falsafah yang terpintal dari struktur kosmologi dan pandangan dunia yang terlampau kuat mengikatkan masyarakat dalam relasi dengan segala makhluk lain di alam sekitarnya.
Kandungan makna yang cukup mendalam itu sebenarnya harus tergali secara baik jika saya memiliki pengetahuan tentang bahasa sub-etnik Babar, atau setidaknya pernah berkunjung ke Babar lalu mendengar mereka membahasa di dalam lingkungannya sambil menangkap irama dialeg atau gaya bertutur orang Babar.
Hal itu menjadi penting untuk memahami emic perspective yang salah satunya melalui bahasa (ethno-linguistics) sebagai salah satu simbol dari suatu komunitas budaya. Saya percaya keutamaan masyarakat sub-etnik Babar, dan Maluku Tenggara pada umumnya yang masih menyimpan dan membahasa menurut bahasa tanah (ordinary language) muncul sebagai suatu nilai budaya yang bermakna. Berbeda dengan sebagian besar komunitas Maluku Tengah, terutama negeri-negeri Kristen, yang telah mengalami kematian bahasa (death language) dalam kurun waktu empat abad lebih.
01. Pantun Darat
Agar tidak terjadi kesalahan pencatatan dan juga pembahasaannya, lebih baik rumusan pantun itu saya cantumkan sesuai dengan yang ada di dalam file tersebut. Rumusannya begini:
Ayam Utang/Maleo & Teteruga
TINAKO, POPI NYE – MEYO
MEYO : NON NEWYO KA RERIWA RERYO
(* TINAKO : Ayam Utang/Maleo, NEWYO : Tetruga)
Karena tidak memiliki kemampuan berbahasa Babar, saya ‘menjauhkan diri’ dari menafsirnya secara linguistik. Saya mencoba memahaminya dari ‘gaya hidup’ maleo (ayam hutan) dan teteruga dalam kaitan dengan survavilitas (kemampuan dan keinginan atau cara untuk bertahan hidup).
Maleo, sudah tentu jenis unggas/burung yang tentu pula hidup di darat atau tepatnya dalam hutan, sedangkan teteruga (kura-kura) adalah hewan amphibi yang mampu hidup di dua dunia, air dan darat. Dua jenis fauna ini berkembang biak dengan cara bertelur.
Ada satu cara yang sama dari kedua jenis fauna ini. Mereka memilih tempat yang sepi/tersembunyi untuk bertelur. Pemilihan tempat seperti itu menggambarkan salah satu cara untuk survive. Mereka tidak mau diganggu dalam proses-proses reproduksi. Tempat khusus untuk bertelur itu pun ditetapkan karena ada maksud tertentu, yakni waktu telur itu dierami sampai menetas.
Untuk sampai ke situ ada pula kebiasaan yang serupa dari kedua jenis fauna ini. Mereka sama-sama bertelur dan membenamkan telurnya di dalam pasir agar telur itu tidak dirusakkan oleh predatornya. Tindakan itu merupakan cara berikut untuk survive. Yang membuat kedua fauna ini sedikit berbeda, dan ini umumnya dijumpai di Babar, yakni maleo setelah bertelur, tempatnya bertelur dijaga oleh seekor ular. Ular ini bukan predatornya, melainkan ular yang mengerami telur maleo itu. Sedangkan teteruga, bertelur dan membenamkan telur di dalam pasir lalu pergi meninggalkan telur itu begitu saja sampai masa telur itu menetas akibat dari panas dari pasir itu.
Lazim disebut begini: ‘kalakuang parsis maleo’ – artinya melahirkan anak lalu pergi meninggalkan anak itu dijaga/dirawat oleh orang tua atau bahkan saudara yang lain. Hal ini sering dijumpai dalam kebiasaan beberapa orang. Di dalam desa-desa kita di Maluku, anak yang dalam kasus seperti itu diurus oleh oma (nene) dan opa (tete)-nya. Secara psikologis ia lebih dekat dengan nene dan tete, daripada dengan papa+mamanya.
Dalam kerangka itu kita perlu memberi rasa hormat yang tinggi kepada tete+nene atau saudara yang rela memelihara seorang anak yang ditinggalkan orang tuanya. Identitas dan harga diri anak itu dilekatkan kepada mereka. Dengan demikian anak-anak seperti ini hidupnya tidak terbengkalai.
Dalam arti yang lain, pantun ini juga merupakan lukisan dari perjuangan orang Babar untuk merantau (migrasi) ke suatu tempat, dengan resiko meninggalkan anak-anak di kampung. Suatu waktu baru mereka kembali dan mengambil anak-anak itu beserta mereka di tempat yang baru. Ini dilakukan untuk mengurangi resiko ekonomi yang dapat saja melilit keluarga itu.
Sebaliknya perilaku teteruga sering pula menjadi kiasan bagi mereka yang benar-benar meninggalkan anak-anaknya dan tidak pernah kembali lagi untuk mengurus anak-anak itu. Anak itu akan berjuang sendiri bagi hidupnya, dan mereka benar-benar menjadi pribadi yang tangguh. Secara sosiologis, realitas itu menggambarkan bahwa dalam banyak hal tanggungjawab orang tua terhadap anak sering diabaikan.
Saya kira dengan beberapa kekecualian, pantun-pantun ini dapat menjadi pelajaran budaya yang bertujuan membelajarkan kita tentang pentingnya ikatan hidup keluarga, pembinaan anak, dan daya juang (survive) dari suatu komunitas bagi kehidupan. Untuk masalah hidup, tidak ada pilihan lain selain mengubah mind-set kita bahwa mendidik dan memelihara anak adalah harga yang paling mahal bagi generasi manusia dan masa depan sub-etnik. (*)
Wednesday, November 16, 2011
TNYAFAR
Komunitas Gereja Pulau-pulau dan Kemiskinan
oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Apakah Tepat, [masih] Mencari ‘rorok’ Teologi?
Konsentrasi Gereja Protestan Maluku (GPM) membangun eklesiologi kepulauan, sebagai eklesiologi GPM, sejauh ini masih terfokus pada problem-problem metodologi dan berkisar pada tema-tema yang lebih tepat masuk ke ranah dogmatika. Jauh hari Pdt. Christ Tamaela, mengintroduksi liturgi yang berbau budaya, dan nyanyian ‘Mae ka Lao’ (Mari ke Laut), atau ‘Siwalima Arika’ (Siwalima, cepat!), sebenarnya menunjuk bahwa eklesiologi kepulauan merupakan suatu telaah sosio-teologi yang perlu memperhatikan dengan sungguh-sungguh dinamika bergereja dan berjemaat pada semua jemaat di pulau-pulau yang terhampar dari Maluku Utara sampai Maluku Barat Daya.
Saya tidak tahu apakah tulisan ini menambah referensi ke dalam eklesiologi kepulauan ataukah tidak. Apalagi jika ada orang yang sengaja atau tidak, di era kini mulai alergi dengan sumbangan sosiologi dan antropologi ke dalam teologi. Saya hanya sebatas melempar fakta ini ke sebuah ranah kajian dan diskusi yang jika harus ‘dibuang’ dari katalog eklesiologi, setidaknya masih masuk ke dalam katalog teologi dan mungkin teologi masyarakat pulau-pulau.
Menolak Teologi Kontinental, So What Next?
Diskusi teologi di GPM, sampai pada level doktrin mengenai gereja menyimpulkan bahwa kita menolak suatu paham teologi kontinental. Bahkan presbiterial sinodal diyakini merupakan produk gereja kontinental yang tidak relevan lagi bagi GPM yang jemaatnya bercorak kepulauan.
Kita tentu tidak latah ketika dalam sistem presbiterial sinodal itu lalu berkata bahwa memosisikan Klasis pada organisasi level menengah berarti kita tidak mempolakan presbiterial murni yang hanya ada Sinode langsung Jemaat. Kelatahan dalam memahami hal itu membuat kita kehilangan jiwa yang sebenarnya dari kontekstualisasi eklesiologi kita di GPM. Padahal sebuah gagasan eklesiologi kepulauan itu sudah tua, karena sejak zaman Indische Kerk, Klasis dan Afdeeling Klasis sudah menjadi bagian dari pola organisasi Indicshe Kerk.
Ternyata sampai saat ini fakta jemaat kepulauan yang kurang kita reproduksi untuk memberi isi bagi eklesiologi kepulauan. Belum ada studi teologi secara sistematis untuk mereproduksi hal-hal itu. Setidaknya inilah sebentuk kegelisahan yang perlu pula mendorong kajian-kajian lebih lanjut terhadap hal ini.
Tnyafar, Realitas Sosial Jemaat Pulau-pulau
Tnyafar, dalam istilah bahasa Yamdena berarti ‘rumah kebun’. Setting sosial terbentuknya tnyafar dari kebiasaan beberapa keluarga pergi berkebun, dan membangun sebuah rumah tempat beristirahat (melayu Ambon: walang). Pada situasi yang lain, tnyafar dibangun oleh beberapa nelayan dengan corak dan tujuan yang sama. Akibatnya tnyafar menjadi semacam perkampungan kecil bagi pekebun dan nelayan. Mereka menekuni dua jenis pekerjaan itu sekaligus (mata pencaharian ganda).
Realitas mata pencaharian ganda tadi menjadi semacam trend bekerja masyarakat di Maluku. Itu pula yang membuat dinamika ekonomi di tnyafar bertumbuh dari waktu ke waktu.
Secara sosiologis, tnyafar merupakan suatu satuan organisasi sosial yang terdiri dari beberapa keluarga dan lebih bercorak sosio-ekonomi, karena tujuan pembentukannya untuk menjalankan aktifitas perekonomian dalam hal ini perkebunan dan usaha-usaha kelautan. Dikatakan satuan organisasi sosial sebab sistem pengorganisasian komunitas di tnyafar diselenggarakan secara bersama melalui koordinasi Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan dilantik oleh Kepala Desa.
Satu tnyafar dihuni oleh 20 sampai 60 kepala keluarga, dengan membangun rumah-rumah panggung sederhana, beratap daun rumbia (daun koli) atau alang-alang, dan dindingnya dibuat dari bilah bambu.
Tnyafar itu terpisah dari desa induk atau terkonsentrasi di dusun-dusun atau pulau-pulau yang terpisah dari desa induk. Biasanya kepala keluarga itu tinggal di tnyafar dalam jangka waktu yang panjang, yakni satu musim mulai dari masa mengerjakan kebun sampai panen. Selama waktu berada di tnyafar mereka tidak pernah pulang ke desanya. Artinya mereka menetap di tnyafar dan menghidupi diri dan keluarga dari hasil bekerja di tnyafar. Pada masa panen ada yang mengantar hasil kerjanya ke pasar di desa atau pusat kecamatan.
Karena sulitnya transportasi, ada sebagian pengusaha yang datang langsung ke tnyafar. Kenyataan itu yang membuat komunitas tnyafar lebih memilih menetap di tnyafar selama masa produksi. Mereka tidak susah-susah lagi mengantar hasil produksi ke pasar. Akibatnya mereka secara tidak langsung menetap di sana. Jika ada aktifitas pembangunan di desa atau gereja baru mereka beramai-ramai pulang ke desa induk atau ke jemaat.
Dari informasi yang diberikan Pdt. Cale Bembuain, Ketua Majelis Jemaat Adaut Klasis GPM Tanimbar Selatan, ada beberapa tnyafar, antara lain:
- Di Pulau Angwarmase: Namar, Minanlel dan Faliraya
- Di Buriat : Lende Kelebait, Lafesi, Bunga Tanjung, Alshar, Buariat Batialu dan Weiwatang
- Di Torintubun: Torintubun Besar, Torintubun Kecil, Nifmas, Wetiyayan, Kora, Wamjari, Tongarlos, Fulmamang, Tburi, Weydas, Adautubun, Arwean dan Wehao
- Beberapa tnyafar yang lain seperti Pipitlingat, Wehau, Arkwean, Wematang, Weisori, Buriat lende, Alsar
Seiring dengan corak bermukim menetap di tnyafar, maka fasilitas sosial seperti sarana kelistrikan mulai dibangun di beberapa tnyafar atas bantuan pemerintah pusat. Akibatnya tnyafar benar-benar berubah, tidak lagi menjadi ‘rumah kebun’ melainkan suatu lokasi bermukim. Artinya fungsi sosio-ekonomi pun diperlebar karena komunitas di tnyafar membangun pula sistem dan pranata dalam bekerja dan hidup sosial.
Beberapa implikasi praktis muncul dari perubahan itu. Kebiasaan orang tua menetap di tnyafar membuat anak-anak yang sedang bersekolah, dan tinggal di desa induk, sepertinya diterlantarkan. Mereka dibiarkan mengurus diri sendiri, dan akibatnya putus sekolah. Dalam kondisi itu, anak-anak yang terpaksa mengikut orang tuanya ke tnyafar otomatis tidak bisa bersekolah, sebab tidak ada fasilitas sosial di tnyafar selain rumah-rumah kebun yang sangat sederhana itu. Jarak dengan desa induk pun jauh dan memakan waktu, membuat tidak ada pilihan lain selain menemani orang tua bekerja (di kebun dan lautan).
Hal ini menimbulkan implikasi baru yakni angka pekerja anak pun tinggi. Sebab anak yang tinggal di tnyafar terkondisi dengan ritme dan budaya kerja orang tua mereka. Belum lagi angka kelahiran anak di tnyafar yang relatif tinggi. Malah ada semacam pomeo, ‘pergi sendiri, pulang berlima’ –untuk mereka yang membujang di desa, ketika ke tnyafar, dalam beberapa tahun ke depan, ketika kembali ke desa, sudah beristri/bersuami dan memiliki lebih dari dua anak.
Pomeo lain ‘pergi berdua, pulang berlima’ –untuk mereka yang menikah dan belum memiliki anak, beberapa tahun kemudian ketika kembali ke desa sudah dengan lebih dari dua anak. Kehidupan di tnyafar tidak berbeda jauh dari di desa. Artinya beberapa bentuk penyimpangan sosial pun berpotensi terjadi di sana.
Kemiskinan (?)
Tnyafar sebagai suatu lingkungan yang bercorak sosio-ekonomi adalah sebuah ironi yang cukup tajam. Tnyafar dibangun untuk usaha-usaha ekonomi keluarga. Harusnya keadaan ekonomi keluarga-keluarga di tnyafar jauh lebih baik/berkembang, sebab mereka berada di pusat produksi, yang mau tidak mau dapat menentukan harga barang di pasar. Apalagi dengan masuknya beberapa pengusaha guna membeli hasil produksi mereka secara langsung di sana.
Ironinya ialah, keluarga-keluarga di tnyafar relatif miskin dan tidak memiliki tingkat pendapatan yang jauh lebih baik dari keadaan mereka semasa tinggal di desa induk. Mereka terperangkap dalam lilitan ijon yang membuat mereka tidak bisa berkembang secara ekonomi. Keterbatasan fasilitas usaha dan pemasaran, serta jauh dari pusat-pusat pasar membuat praktek ijon semakin berkembang.
Para pengusaha yang pergi ke tnyafar untuk ‘mengambil’ hasil-hasil produksi masyarakat merupakan pengijon yang terus membelilit mereka dalam lingkaran setan ijonisasi yang sulit diurai apalagi diputuskan (baca. Tulisan saya yang lain: Ijonisasi dan Ijonisme – lht. www.kutikata.blogspot.com). Praktisnya mereka bekerja bertahun-tahun untuk membayar hutang yang terus melilit mereka.
Belum ada regulasi dan sistem rekayasa sosial-ekonomi dari Pemerintah Daerah yang dapat mengubah keadaan ekonomi komunitas tnyafar. Akibatnya tnyafar tidak lebih dari perkampungan nelayan dan pekebun miskin yang tersudutkan dari realitas pembangunan ekonomi.
Tnyafar dan Pelayanan Gereja
Jemaat Adaut, Klasis GPM Tanimbar Selatan adalah jemaat dengan tipikal yang unik. Sesuai dengan corak berjemaat GPM, jemaat Adaut adalah jemaat setempat yang terkonstruksi secara teritorial. Artinya seluruh anggota jemaat tinggal di dalam lokasi pelayanan jemaat, atau di sekitar gedung gereja (parokhial teritorial).
Namun fenomena tnyafar memperlihatkan sisi baru dari realitas bermukim warga jemaat Adaut. Dari 4.321 anggota jemaat, lebih dari separuh berada atau tinggal di dalam tnyafar-tnyafar yang tersebut tadi di atas. Mereka tinggal di sana dalam kurun waktu bertahun-tahun. Artinya jauh dari jangkauan pelayanan gereja bertahun-tahun pula. Walau dalam waktu tertentu, ketika ada event-event gerejawi, seperti Hari Ulang Tahun GPM (6 September), atau masa Natal dan Paskah, sebagiannya pulang ke Jemaat. Namun seiring dengan pola menetap di tnyafar, lebih banyak di antara mereka yang tidak pulang.
Menjadi permasalah serius bagi Majelis Jemaat ialah bagaimana menata pelayanan gereja terhadap jemaat yang tinggal di tnyafar. Mereka juga perlu dilayani, sehingga mesti ada pendekatan khusus dalam rangka pelayanan itu sendiri.
Menurut Pdt. Cale Bembuain, Majelis Jemaat GPM Adaut harus dibagi setiap hari minggu untuk melayani ibadah di dalam tnyafar-tnyafar. Tidak mungkin mengangkat Majelis yang mewakili tnyafar-tnyafar itu. Sebab tnyafar tidak terbentuk sebagai Sektor atau Unit Pelayanan di dalam sistem organisasi pelayanan Jemaat. Itu berarti pelayanan gereja di tnyafar bersifat insidentil. Padahal ada banyak aspek dari perilaku hidup jemaat di sana yang memerlukan adanya pendampingan pastoral dan bimbingan rohani yang intensif.
Setidaknya tnyafar membuat area pelayanan jemaat menjadi semakin luas. Ada perubahan tertentu dalam model pelayanan di sana. Pelayanan gereja tidak saja berlangsung di dalam rumah jemaat, melainkan di lokasi tempat kerja jemaat. Sebuah terobosan perlu dipikirkan tetapi ini pun memerlukan ketersediaan sumber daya pelayan yang memadai.
Mungkin perlu dibentuk semacam ‘tim pelayanan khusus’ yang secara khusus pula dilatih untuk bagaimana melayani kebutuhan rohani dan bimbingan spiritual kepada jemaat di dalam tnyafar-tnyafar. Ada model ‘kelompok sel’ atau ‘komsel’ sebagai salah satu pendekatan penginjilan kepada kelompok kecil secara intensif. Apakah model ini bisa digunakan? Hal ini sangat bergantung pada bagaimana manajemen pelayanan di sana diatur.
Setidaknya Komsel itu bertujuan untuk (a) membentuk kepribadian kristiani yang injili; (b) mengajak pribadi untuk memuji Tuhan; (c) mendalami firman Tuhan dalam hal praksis untuk kehidupan; (d) berhimpun bersama dalam satu kebaktian yang akrab satu sama lain dan dengan Tuhan; (e) agar setiap anggota dapat berbagi perhatian, kepedulian, saling membantu dan mendukung dalam berbagai permasalahan melalui sharing dan doa.
Jika direkayasa secara baik, Komsel itu akan dapat berlangsung efektif. Karena itu memerlukan ada pimpinan-pimpinan Komsel yakni orang yang bisa memberi perhatian serius pada pelayanan dimaksud. Dalam konteks tnyafar dan kepulauan seperti di Tanimbar Selatan, mekanisme itu perlu dipikirkan agar tidak pertumbuhan mental, spiritual dan carapandang jemaat dalam tnyafar dapat dibentuk secara etis-injili. Mereka harus pula sadar mengenai tanggungjawab hidup lain yang selama ini terkesan terabaikan (terutama pendidikan anak). (*)
oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Apakah Tepat, [masih] Mencari ‘rorok’ Teologi?
Konsentrasi Gereja Protestan Maluku (GPM) membangun eklesiologi kepulauan, sebagai eklesiologi GPM, sejauh ini masih terfokus pada problem-problem metodologi dan berkisar pada tema-tema yang lebih tepat masuk ke ranah dogmatika. Jauh hari Pdt. Christ Tamaela, mengintroduksi liturgi yang berbau budaya, dan nyanyian ‘Mae ka Lao’ (Mari ke Laut), atau ‘Siwalima Arika’ (Siwalima, cepat!), sebenarnya menunjuk bahwa eklesiologi kepulauan merupakan suatu telaah sosio-teologi yang perlu memperhatikan dengan sungguh-sungguh dinamika bergereja dan berjemaat pada semua jemaat di pulau-pulau yang terhampar dari Maluku Utara sampai Maluku Barat Daya.
Saya tidak tahu apakah tulisan ini menambah referensi ke dalam eklesiologi kepulauan ataukah tidak. Apalagi jika ada orang yang sengaja atau tidak, di era kini mulai alergi dengan sumbangan sosiologi dan antropologi ke dalam teologi. Saya hanya sebatas melempar fakta ini ke sebuah ranah kajian dan diskusi yang jika harus ‘dibuang’ dari katalog eklesiologi, setidaknya masih masuk ke dalam katalog teologi dan mungkin teologi masyarakat pulau-pulau.
Menolak Teologi Kontinental, So What Next?
Diskusi teologi di GPM, sampai pada level doktrin mengenai gereja menyimpulkan bahwa kita menolak suatu paham teologi kontinental. Bahkan presbiterial sinodal diyakini merupakan produk gereja kontinental yang tidak relevan lagi bagi GPM yang jemaatnya bercorak kepulauan.
Kita tentu tidak latah ketika dalam sistem presbiterial sinodal itu lalu berkata bahwa memosisikan Klasis pada organisasi level menengah berarti kita tidak mempolakan presbiterial murni yang hanya ada Sinode langsung Jemaat. Kelatahan dalam memahami hal itu membuat kita kehilangan jiwa yang sebenarnya dari kontekstualisasi eklesiologi kita di GPM. Padahal sebuah gagasan eklesiologi kepulauan itu sudah tua, karena sejak zaman Indische Kerk, Klasis dan Afdeeling Klasis sudah menjadi bagian dari pola organisasi Indicshe Kerk.
Ternyata sampai saat ini fakta jemaat kepulauan yang kurang kita reproduksi untuk memberi isi bagi eklesiologi kepulauan. Belum ada studi teologi secara sistematis untuk mereproduksi hal-hal itu. Setidaknya inilah sebentuk kegelisahan yang perlu pula mendorong kajian-kajian lebih lanjut terhadap hal ini.
Tnyafar, Realitas Sosial Jemaat Pulau-pulau
Tnyafar, dalam istilah bahasa Yamdena berarti ‘rumah kebun’. Setting sosial terbentuknya tnyafar dari kebiasaan beberapa keluarga pergi berkebun, dan membangun sebuah rumah tempat beristirahat (melayu Ambon: walang). Pada situasi yang lain, tnyafar dibangun oleh beberapa nelayan dengan corak dan tujuan yang sama. Akibatnya tnyafar menjadi semacam perkampungan kecil bagi pekebun dan nelayan. Mereka menekuni dua jenis pekerjaan itu sekaligus (mata pencaharian ganda).
Realitas mata pencaharian ganda tadi menjadi semacam trend bekerja masyarakat di Maluku. Itu pula yang membuat dinamika ekonomi di tnyafar bertumbuh dari waktu ke waktu.
Secara sosiologis, tnyafar merupakan suatu satuan organisasi sosial yang terdiri dari beberapa keluarga dan lebih bercorak sosio-ekonomi, karena tujuan pembentukannya untuk menjalankan aktifitas perekonomian dalam hal ini perkebunan dan usaha-usaha kelautan. Dikatakan satuan organisasi sosial sebab sistem pengorganisasian komunitas di tnyafar diselenggarakan secara bersama melalui koordinasi Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan dilantik oleh Kepala Desa.
Satu tnyafar dihuni oleh 20 sampai 60 kepala keluarga, dengan membangun rumah-rumah panggung sederhana, beratap daun rumbia (daun koli) atau alang-alang, dan dindingnya dibuat dari bilah bambu.
Tnyafar itu terpisah dari desa induk atau terkonsentrasi di dusun-dusun atau pulau-pulau yang terpisah dari desa induk. Biasanya kepala keluarga itu tinggal di tnyafar dalam jangka waktu yang panjang, yakni satu musim mulai dari masa mengerjakan kebun sampai panen. Selama waktu berada di tnyafar mereka tidak pernah pulang ke desanya. Artinya mereka menetap di tnyafar dan menghidupi diri dan keluarga dari hasil bekerja di tnyafar. Pada masa panen ada yang mengantar hasil kerjanya ke pasar di desa atau pusat kecamatan.
Karena sulitnya transportasi, ada sebagian pengusaha yang datang langsung ke tnyafar. Kenyataan itu yang membuat komunitas tnyafar lebih memilih menetap di tnyafar selama masa produksi. Mereka tidak susah-susah lagi mengantar hasil produksi ke pasar. Akibatnya mereka secara tidak langsung menetap di sana. Jika ada aktifitas pembangunan di desa atau gereja baru mereka beramai-ramai pulang ke desa induk atau ke jemaat.
Dari informasi yang diberikan Pdt. Cale Bembuain, Ketua Majelis Jemaat Adaut Klasis GPM Tanimbar Selatan, ada beberapa tnyafar, antara lain:
- Di Pulau Angwarmase: Namar, Minanlel dan Faliraya
- Di Buriat : Lende Kelebait, Lafesi, Bunga Tanjung, Alshar, Buariat Batialu dan Weiwatang
- Di Torintubun: Torintubun Besar, Torintubun Kecil, Nifmas, Wetiyayan, Kora, Wamjari, Tongarlos, Fulmamang, Tburi, Weydas, Adautubun, Arwean dan Wehao
- Beberapa tnyafar yang lain seperti Pipitlingat, Wehau, Arkwean, Wematang, Weisori, Buriat lende, Alsar
Seiring dengan corak bermukim menetap di tnyafar, maka fasilitas sosial seperti sarana kelistrikan mulai dibangun di beberapa tnyafar atas bantuan pemerintah pusat. Akibatnya tnyafar benar-benar berubah, tidak lagi menjadi ‘rumah kebun’ melainkan suatu lokasi bermukim. Artinya fungsi sosio-ekonomi pun diperlebar karena komunitas di tnyafar membangun pula sistem dan pranata dalam bekerja dan hidup sosial.
Beberapa implikasi praktis muncul dari perubahan itu. Kebiasaan orang tua menetap di tnyafar membuat anak-anak yang sedang bersekolah, dan tinggal di desa induk, sepertinya diterlantarkan. Mereka dibiarkan mengurus diri sendiri, dan akibatnya putus sekolah. Dalam kondisi itu, anak-anak yang terpaksa mengikut orang tuanya ke tnyafar otomatis tidak bisa bersekolah, sebab tidak ada fasilitas sosial di tnyafar selain rumah-rumah kebun yang sangat sederhana itu. Jarak dengan desa induk pun jauh dan memakan waktu, membuat tidak ada pilihan lain selain menemani orang tua bekerja (di kebun dan lautan).
Hal ini menimbulkan implikasi baru yakni angka pekerja anak pun tinggi. Sebab anak yang tinggal di tnyafar terkondisi dengan ritme dan budaya kerja orang tua mereka. Belum lagi angka kelahiran anak di tnyafar yang relatif tinggi. Malah ada semacam pomeo, ‘pergi sendiri, pulang berlima’ –untuk mereka yang membujang di desa, ketika ke tnyafar, dalam beberapa tahun ke depan, ketika kembali ke desa, sudah beristri/bersuami dan memiliki lebih dari dua anak.
Pomeo lain ‘pergi berdua, pulang berlima’ –untuk mereka yang menikah dan belum memiliki anak, beberapa tahun kemudian ketika kembali ke desa sudah dengan lebih dari dua anak. Kehidupan di tnyafar tidak berbeda jauh dari di desa. Artinya beberapa bentuk penyimpangan sosial pun berpotensi terjadi di sana.
Kemiskinan (?)
Tnyafar sebagai suatu lingkungan yang bercorak sosio-ekonomi adalah sebuah ironi yang cukup tajam. Tnyafar dibangun untuk usaha-usaha ekonomi keluarga. Harusnya keadaan ekonomi keluarga-keluarga di tnyafar jauh lebih baik/berkembang, sebab mereka berada di pusat produksi, yang mau tidak mau dapat menentukan harga barang di pasar. Apalagi dengan masuknya beberapa pengusaha guna membeli hasil produksi mereka secara langsung di sana.
Ironinya ialah, keluarga-keluarga di tnyafar relatif miskin dan tidak memiliki tingkat pendapatan yang jauh lebih baik dari keadaan mereka semasa tinggal di desa induk. Mereka terperangkap dalam lilitan ijon yang membuat mereka tidak bisa berkembang secara ekonomi. Keterbatasan fasilitas usaha dan pemasaran, serta jauh dari pusat-pusat pasar membuat praktek ijon semakin berkembang.
Para pengusaha yang pergi ke tnyafar untuk ‘mengambil’ hasil-hasil produksi masyarakat merupakan pengijon yang terus membelilit mereka dalam lingkaran setan ijonisasi yang sulit diurai apalagi diputuskan (baca. Tulisan saya yang lain: Ijonisasi dan Ijonisme – lht. www.kutikata.blogspot.com). Praktisnya mereka bekerja bertahun-tahun untuk membayar hutang yang terus melilit mereka.
Belum ada regulasi dan sistem rekayasa sosial-ekonomi dari Pemerintah Daerah yang dapat mengubah keadaan ekonomi komunitas tnyafar. Akibatnya tnyafar tidak lebih dari perkampungan nelayan dan pekebun miskin yang tersudutkan dari realitas pembangunan ekonomi.
Tnyafar dan Pelayanan Gereja
Jemaat Adaut, Klasis GPM Tanimbar Selatan adalah jemaat dengan tipikal yang unik. Sesuai dengan corak berjemaat GPM, jemaat Adaut adalah jemaat setempat yang terkonstruksi secara teritorial. Artinya seluruh anggota jemaat tinggal di dalam lokasi pelayanan jemaat, atau di sekitar gedung gereja (parokhial teritorial).
Namun fenomena tnyafar memperlihatkan sisi baru dari realitas bermukim warga jemaat Adaut. Dari 4.321 anggota jemaat, lebih dari separuh berada atau tinggal di dalam tnyafar-tnyafar yang tersebut tadi di atas. Mereka tinggal di sana dalam kurun waktu bertahun-tahun. Artinya jauh dari jangkauan pelayanan gereja bertahun-tahun pula. Walau dalam waktu tertentu, ketika ada event-event gerejawi, seperti Hari Ulang Tahun GPM (6 September), atau masa Natal dan Paskah, sebagiannya pulang ke Jemaat. Namun seiring dengan pola menetap di tnyafar, lebih banyak di antara mereka yang tidak pulang.
Menjadi permasalah serius bagi Majelis Jemaat ialah bagaimana menata pelayanan gereja terhadap jemaat yang tinggal di tnyafar. Mereka juga perlu dilayani, sehingga mesti ada pendekatan khusus dalam rangka pelayanan itu sendiri.
Menurut Pdt. Cale Bembuain, Majelis Jemaat GPM Adaut harus dibagi setiap hari minggu untuk melayani ibadah di dalam tnyafar-tnyafar. Tidak mungkin mengangkat Majelis yang mewakili tnyafar-tnyafar itu. Sebab tnyafar tidak terbentuk sebagai Sektor atau Unit Pelayanan di dalam sistem organisasi pelayanan Jemaat. Itu berarti pelayanan gereja di tnyafar bersifat insidentil. Padahal ada banyak aspek dari perilaku hidup jemaat di sana yang memerlukan adanya pendampingan pastoral dan bimbingan rohani yang intensif.
Setidaknya tnyafar membuat area pelayanan jemaat menjadi semakin luas. Ada perubahan tertentu dalam model pelayanan di sana. Pelayanan gereja tidak saja berlangsung di dalam rumah jemaat, melainkan di lokasi tempat kerja jemaat. Sebuah terobosan perlu dipikirkan tetapi ini pun memerlukan ketersediaan sumber daya pelayan yang memadai.
Mungkin perlu dibentuk semacam ‘tim pelayanan khusus’ yang secara khusus pula dilatih untuk bagaimana melayani kebutuhan rohani dan bimbingan spiritual kepada jemaat di dalam tnyafar-tnyafar. Ada model ‘kelompok sel’ atau ‘komsel’ sebagai salah satu pendekatan penginjilan kepada kelompok kecil secara intensif. Apakah model ini bisa digunakan? Hal ini sangat bergantung pada bagaimana manajemen pelayanan di sana diatur.
Setidaknya Komsel itu bertujuan untuk (a) membentuk kepribadian kristiani yang injili; (b) mengajak pribadi untuk memuji Tuhan; (c) mendalami firman Tuhan dalam hal praksis untuk kehidupan; (d) berhimpun bersama dalam satu kebaktian yang akrab satu sama lain dan dengan Tuhan; (e) agar setiap anggota dapat berbagi perhatian, kepedulian, saling membantu dan mendukung dalam berbagai permasalahan melalui sharing dan doa.
Jika direkayasa secara baik, Komsel itu akan dapat berlangsung efektif. Karena itu memerlukan ada pimpinan-pimpinan Komsel yakni orang yang bisa memberi perhatian serius pada pelayanan dimaksud. Dalam konteks tnyafar dan kepulauan seperti di Tanimbar Selatan, mekanisme itu perlu dipikirkan agar tidak pertumbuhan mental, spiritual dan carapandang jemaat dalam tnyafar dapat dibentuk secara etis-injili. Mereka harus pula sadar mengenai tanggungjawab hidup lain yang selama ini terkesan terabaikan (terutama pendidikan anak). (*)
Sunday, November 6, 2011
FENOMENA SOSIAL MIGRAN BABAR
Identitas Budaya dalam Reorganisasi Jemaat GPM
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Kesan Awal
Ada dua sisi cerita yang penting sebagai alasan akademik dan praksis mengapa paper ini sengaja ditulis. Sisi cerita pertama ialah pengalaman tinggal di Karang Panjang, atau menjadi warga Jemaat Imanuel Karang Panjang Klasis GPM Kota Ambon (jauh sebelum Pemekaran Jemaat Petra dari Imanuel Karpan) membuat beta secara langsung berinteraksi dengan sesama warga jemaat yang sebagian besarnya adalah sub etnik Babar atau Tepa.
Orang-orang yang tinggal di Kampung Tepa menghisabkan diri dalam Lakopona Amarere, merupakan komunitas Babar/Tepa yang tinggal di daerah Lahane sampai Ahuru (sekarang merupakan wilayah Jemaat Petra Klasis GPM Kota Ambon). Mereka adalah mayoritas penduduk atau warga jemaat di kawasan tersebut dan menjadikan Jemaat Imanuel Karpan (dan kini Jemaat Petra) merupakan jemaat GPM di Kota Ambon dengan tipikal tersendiri. Fenomena ini tentu sama dengan kampung Ullath dan Aboru di kawasan Karang Panjang atau juga Kudamati. Namun fenomena migran Babar ternyata mampu mendorong suatu dinamika pertumbuhan jemaat yang baru.
Sisi cerita kedua adalah ketika menghadiri pelaksanaan Musyawarah Pimpinan Paripurna (MPP) ke-25 Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM) di Jemaat Marbali, Klasis GPM Kepulauan Aru pada 23-27 Oktober 2011 dan Persidangan ke-33 Majelis Pekerja Lengkap (MPL) Sinode GPM di Dobo, 30 Oktober – 5 November 2011.
Jemaat Marbali merupakan Jemaat mandiri yang dimekarkan dari Jemaat Dobo pada 29 Maret 1998. Marbali sendiri adalah sebuah Dusun milik Negeri Wangel yang ditempati oleh migran dari Babar/Tepa yang datang sejak tahun 1930-an untuk mencari pekerjaan atau untuk kepentingan studi ke jenjang SMP dan SMA di Dobo. Sampai dengan tahun dimekarkan, telah terdapat 47 kepala keluarga atau 176 jiwa warga jemaat yang nota bene adalah orang Babar/Tepa.
Dari sejarah terbentuknya Jemaat-jemaat yang termuat dalam Buku Panduan MPL ke-33, hasil penelitian dan penulisan oleh Pdt. Henkie Mussa dan teman-temannya, terungkap pula bahwa Jemaat Blakang Wamar, Lamerang, Londe, Katanter adalah juga jemaat yang terbentuk di antara komunitas orang Babar/Tepa yang datang sejak tahun 1950. Hal yang sama pada jemaat Marlasi dan Warialau (campuran dengan orang Kei dan penduduk asli Aru).
Dua sisi cerita itu cukup mengesankan sebab jemaat-jemaat GPM adalah jemaat-jemaat homogen yang terstruktur di dalam lingkungan kebudayaannya. Karena itu negeri adalah juga bagian utuh dari jemaat. Atau komunitas sub-etnik di negeri itu adalah warga jemaat GPM itu sendiri. Namun migran Babar/Tepa menunjukkan bahwa jemaat-jemaat mandiri yang terbentuk di dalam komunitas migran Babar di luar Babar memiliki tipikal tertentu yang unik.
Faktor-faktor Pengaruh Migrasi Orang Babar
Migran sering dipandang sebagai kelompok sosial yang terdorong keluar dari lokasi kulturalnya untuk suatu motivasi ekonomi yakni mencari kerja. Orang-orang Babar pun menyadari hal itu bahwa tujuan mereka memang untuk mencari pekerjaan seperti untuk mencari lahan produksi sopi dan penyelam mutiara guna menyambung ekonomi keluarga. Pdt. Veky Untailawan, Sekretaris Umum Sinode GPM, yang turut bermigrasi tahun 1973 dari Babar ke Dobo untuk bersekolah, menyampaikan semacam pomeo, orang Babar yang datang ke Aru terbagi atas dua angkatan yaitu angkatan laut (para penyelam mutiara) dan angkatan udara (kelompok tifar sopi).
Pendidikan anak merupakan dorongan lain yang menyebabkan terjadinya lonjakan jumlah migran dari Babar/Tepa ke daerah lain seperti Dobo dan Pulau Ambon, mengingat keterbatasan sarana pendidikan di daerahnya. Hal itu dapat dikatakan sebagai dua alasan utama yang menyebabkan tingginya angka migrasi orang Babar ke berbagai daerah di Maluku.
Kita masih dapat bertanya mengapa migrasi itu terjadi secara pesat. Setidaknya kondisi wilayah di pulau Babar merupakan faktor tertentu yang mendorong migrasi. Fakta Babar adalah fakta pulau-pulau kecil, di mana kondisi dan luas tanah yang terbatas dan menjadi lahan produksi turun-temurun membuat keadaan tanah menjadi kurang potensial. Karena itu migrasi turut disebabkan oleh usaha menemukan lahan produksi baru. Ini terbukti sebab ketika lahan produksi potensial diperoleh, di pulau yang lain, orang tidak kembali lagi ke negeri asal, malah menjadi penduduk di suatu negeri baru.
Terjadi perubahan mindset di kalangan para migran. Orientasinya bukan lagi bekerja atau bersekolah melainkan menetap dan membangun sebuah komunitas di daerah yang baru. Mereka terkonsentrasi membangun hidup di daerah baru itu, malah membawa perubahan tertentu di daerah yang baru. Artinya migrasi bukan sekedar sebuah cara bertahan hidup (survive) tetapi lebih dari itu yakni untuk eksis (alife).
M. Harris (1959) atau juga E. Colson, dalam Wallerstein (1966) menengarai bahwa migrasi itu membuat kelompok migran menetap di suatu tempat selain oleh alasan pekerjaan, tetapi juga perkawinan dengan orang setempat. Karena itu perkawinan menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya mobilisasi penduduk dari suatu tempat ke tempat yang baru itu. Namun itu terjadi pada migran yang tinggal membaur di dalam teritori sosial komunitas setempat. Hal ini berbeda pada migran Babar yang cenderung menempati suatu lahan kosong dan berusaha di atas lahan itu.
Migran Babar berlangsung secara spontan dan memilih tempat tinggal khusus yang potensial untuk usaha perkebunan, kelautan atau usaha lainnya. Contoh di daerah Ahuru Karang Panjang. Mereka menempati kawasan yang dahulu disebut ‘ewang’ oleh orang-orang Karang Panjang atau Soya dan mereka menjadikan tempat itu sebagai lahan usaha keluarga, atas ijin orang Soya sebagai pemilik tanah tersebut. Dalam beberapa waktu, terjadi transformasi pada sisi tertentu. Kawasan itu berubah menjadi lokasi berpenghuni. Tidak hanya itu, orang-orang Ambon mulai berbiasa makan ‘mandekar’ sejenis penganan dari kasbi (ubi kayu) yang direbus, diiris tipis dan dikeringkan. Tentu masih ada bentuk pertukaran budaya lainnya di antara mereka, termasuk ketika terjadi perkawinan dengan penduduk asli setempat.
Proses-proses itu terjadi terus dalam sejarah kontak migran Babar dengan penduduk setempat. Mereka tetap mempertahankan identitas dan seluruh simbol budayanya, malah melakukan pertukaran budaya secara damai dengan komunitas setempat.
Dalam keadaan itu rasa cinta akan kampung halaman tetap terbangun. Sebab itu migran bukanlah orang yang tercabut hakekat dan identitasnya, mau lahan identitas kultural itu semakin menguat justru ketika mereka berada di luar. Hal ini cukup beralasan mengingat orang Maluku memiliki ideologi yang kuat akan negeri atau ‘tanah tampa potong pusa’. Ada pula ideologi lain seperti ‘gunung tanah’.
Dalam salah satu syair Lagu Kebesaran Bukar Buar, karangan bapak Junus Okimekma, tokoh adat Masbuar yang sempat beta sadur dari file Pdt. Ampy Beresaby, Ketua Klasis Pulau-pulau Babar, berkisah begini:
Buar Bukar tanah pusaka moyangku
Itu pulau kebanggaanku,
Buar Bukar kampung pujaan hatiku
Sana tempat kelahiranku
Waktu tenggelam hidupku menderita
Cari tempat untuk berteduh
Aku terpisah dengan sodaraku
Sungguh sangat hancur hatiku
Waktu ‘ku pergi ‘ku kenang padamu
Buar Bukar kesayanganku
Reef. Jauh aku padamu ‘ku tinggal di rantau
Mohon pimpinan pada Tuhan Yang Esa
Agar klak kita jumpa lagi
Terungkap dalam syair itu pujaan kepada negeri, tanah pusaka moyang, dan kuatnya keinginan untuk kembali atau pulang ke kampung, tanah pusaka moyang itu.
Jemaat GPM dalam Konstruksi Orang Babar
Beta tidak membahas Jemaat GPM di Klasis Pulau-pulau Babar dalam bagian ini, tetapi eksistensi jemaat-jemaat GPM yang beranggotakan orang-orang Babar di luar Pulau Babar. Dari data sementara yang berhasil dihimpun selama hari-hari bersidang di Dobo, ada beberapa Jemaat mandiri GPM yang anggotanya adalah migran Babar.
Di Klasis Pulau-pulau Aru terdapat beberapa Jemaat migran Babar yakni Blakang Wamar, Marbali, Lamerang, Londe, Katanter, Marlasi dan Warialau (campuran dengan orang Kei dan penduduk asli Aru). Di Klasis Kota Ambon ialah Jemaat Petra. Mungkin masih ada di Klasis-klasis lainnya. Delapan Jemaat itu merupakan potret bahwa migran Babar mendorong munculnya jemaat-jemaat dengan tipikal tertentu. Migran Babar dan pertumbuhan gereja (GPM) merupakan sebuah kenyataan sosial dan sejarah. Pertumbuhan jemaat GPM turut didorong oleh reorganisasi sosial migran Babar. Jadi pelembagaan Jemaat-jemaat GPM terjadi bukan sekedar fenomena pertambahan jumlah anggota jemaat, melainkan faktor migrasi. Dalam hal itu migran Babar merupakan komunitas basis yang telah melahirkan jemaat-jemaat GPM yang baru.
Ada aspek misioner dari migrasi sosial orang Babar, walau sebenarnya itu bukan tujuan mereka. Keberadaan mereka di suatu tempat yang baru menambah dinamika pelayanan dan pertumbuhan GPM. Migran Babar telah melakoni suatu cara hidup bergereja yang solid, sebuah perwujudan koinonia yang transformatif secara struktural dan fungsional (praksis). Ini menjadi fakta eklesiologi gereja kepulauan yang harus terus direfleksikan dalam dinamika bergereja dewasa ini di Maluku dan Indonesia.
Beberapa persoalan yang dihadapi jemaat migran Babar di Aru misalnya (a) mereka bukan pemilik atas tanah tempat tinggal. Mereka merupakan buruh tani dan nelayan yang hanya memiliki hak pakai atas lahan-lahan usaha dan tempat tinggal; (b) jika tanah-tanah itu beralih fungsi dan kepemilikan ada dampak tertentu terhadap keberadaan jemaat.
Ini hanyalah sebuah realitas yang perlu menjadi bagian dari diskusi eklesiologi di GPM. Kita selama ini sibuk dengan diskursus akademis mengenai eklesiologi yang berpusat pada referensi dogmatika dan ajaran. Padahal migran Babar memberi interupsi bahwa debat eklesiologi adalah debat sosial yang harus dapat meluruskan bagaimana cara jemaat melembagakan dirinya ke dalam gereja dan bagaimana mereka hidup sebagai gereja yang bertanggungjawab dengan konteks kehadiran atau di tempat kehadirannya yang baru.
Demikian beberapa hal yang menggelisahkan. Kegelisahan ini masih terus ada. Mungkin bisa terus dilengkapi setelah nanti pergi ke pulau Babar. Sampai berjumpa tahun 2012, oh tanah Babar.(*)
Buku Rujukan:
M. Harris, “Labour Emigration Among The Mocambique Thonga: Cultural and Politics Factor (1959)
E. Colson, “Migration in Africa: Trends and Possibilities’, dalam Immanuel Wallerstein, Social Change: The Colonial Situation, New York-London-Sidney: John Wiley & Sons, Inc., 1966
Ruang Sidang ke-33 MPL Sinode GPM, Gereja Bethel, Dobo, 3 November 2011
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Kesan Awal
Ada dua sisi cerita yang penting sebagai alasan akademik dan praksis mengapa paper ini sengaja ditulis. Sisi cerita pertama ialah pengalaman tinggal di Karang Panjang, atau menjadi warga Jemaat Imanuel Karang Panjang Klasis GPM Kota Ambon (jauh sebelum Pemekaran Jemaat Petra dari Imanuel Karpan) membuat beta secara langsung berinteraksi dengan sesama warga jemaat yang sebagian besarnya adalah sub etnik Babar atau Tepa.
Orang-orang yang tinggal di Kampung Tepa menghisabkan diri dalam Lakopona Amarere, merupakan komunitas Babar/Tepa yang tinggal di daerah Lahane sampai Ahuru (sekarang merupakan wilayah Jemaat Petra Klasis GPM Kota Ambon). Mereka adalah mayoritas penduduk atau warga jemaat di kawasan tersebut dan menjadikan Jemaat Imanuel Karpan (dan kini Jemaat Petra) merupakan jemaat GPM di Kota Ambon dengan tipikal tersendiri. Fenomena ini tentu sama dengan kampung Ullath dan Aboru di kawasan Karang Panjang atau juga Kudamati. Namun fenomena migran Babar ternyata mampu mendorong suatu dinamika pertumbuhan jemaat yang baru.
Sisi cerita kedua adalah ketika menghadiri pelaksanaan Musyawarah Pimpinan Paripurna (MPP) ke-25 Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM) di Jemaat Marbali, Klasis GPM Kepulauan Aru pada 23-27 Oktober 2011 dan Persidangan ke-33 Majelis Pekerja Lengkap (MPL) Sinode GPM di Dobo, 30 Oktober – 5 November 2011.
Jemaat Marbali merupakan Jemaat mandiri yang dimekarkan dari Jemaat Dobo pada 29 Maret 1998. Marbali sendiri adalah sebuah Dusun milik Negeri Wangel yang ditempati oleh migran dari Babar/Tepa yang datang sejak tahun 1930-an untuk mencari pekerjaan atau untuk kepentingan studi ke jenjang SMP dan SMA di Dobo. Sampai dengan tahun dimekarkan, telah terdapat 47 kepala keluarga atau 176 jiwa warga jemaat yang nota bene adalah orang Babar/Tepa.
Dari sejarah terbentuknya Jemaat-jemaat yang termuat dalam Buku Panduan MPL ke-33, hasil penelitian dan penulisan oleh Pdt. Henkie Mussa dan teman-temannya, terungkap pula bahwa Jemaat Blakang Wamar, Lamerang, Londe, Katanter adalah juga jemaat yang terbentuk di antara komunitas orang Babar/Tepa yang datang sejak tahun 1950. Hal yang sama pada jemaat Marlasi dan Warialau (campuran dengan orang Kei dan penduduk asli Aru).
Dua sisi cerita itu cukup mengesankan sebab jemaat-jemaat GPM adalah jemaat-jemaat homogen yang terstruktur di dalam lingkungan kebudayaannya. Karena itu negeri adalah juga bagian utuh dari jemaat. Atau komunitas sub-etnik di negeri itu adalah warga jemaat GPM itu sendiri. Namun migran Babar/Tepa menunjukkan bahwa jemaat-jemaat mandiri yang terbentuk di dalam komunitas migran Babar di luar Babar memiliki tipikal tertentu yang unik.
Faktor-faktor Pengaruh Migrasi Orang Babar
Migran sering dipandang sebagai kelompok sosial yang terdorong keluar dari lokasi kulturalnya untuk suatu motivasi ekonomi yakni mencari kerja. Orang-orang Babar pun menyadari hal itu bahwa tujuan mereka memang untuk mencari pekerjaan seperti untuk mencari lahan produksi sopi dan penyelam mutiara guna menyambung ekonomi keluarga. Pdt. Veky Untailawan, Sekretaris Umum Sinode GPM, yang turut bermigrasi tahun 1973 dari Babar ke Dobo untuk bersekolah, menyampaikan semacam pomeo, orang Babar yang datang ke Aru terbagi atas dua angkatan yaitu angkatan laut (para penyelam mutiara) dan angkatan udara (kelompok tifar sopi).
Pendidikan anak merupakan dorongan lain yang menyebabkan terjadinya lonjakan jumlah migran dari Babar/Tepa ke daerah lain seperti Dobo dan Pulau Ambon, mengingat keterbatasan sarana pendidikan di daerahnya. Hal itu dapat dikatakan sebagai dua alasan utama yang menyebabkan tingginya angka migrasi orang Babar ke berbagai daerah di Maluku.
Kita masih dapat bertanya mengapa migrasi itu terjadi secara pesat. Setidaknya kondisi wilayah di pulau Babar merupakan faktor tertentu yang mendorong migrasi. Fakta Babar adalah fakta pulau-pulau kecil, di mana kondisi dan luas tanah yang terbatas dan menjadi lahan produksi turun-temurun membuat keadaan tanah menjadi kurang potensial. Karena itu migrasi turut disebabkan oleh usaha menemukan lahan produksi baru. Ini terbukti sebab ketika lahan produksi potensial diperoleh, di pulau yang lain, orang tidak kembali lagi ke negeri asal, malah menjadi penduduk di suatu negeri baru.
Terjadi perubahan mindset di kalangan para migran. Orientasinya bukan lagi bekerja atau bersekolah melainkan menetap dan membangun sebuah komunitas di daerah yang baru. Mereka terkonsentrasi membangun hidup di daerah baru itu, malah membawa perubahan tertentu di daerah yang baru. Artinya migrasi bukan sekedar sebuah cara bertahan hidup (survive) tetapi lebih dari itu yakni untuk eksis (alife).
M. Harris (1959) atau juga E. Colson, dalam Wallerstein (1966) menengarai bahwa migrasi itu membuat kelompok migran menetap di suatu tempat selain oleh alasan pekerjaan, tetapi juga perkawinan dengan orang setempat. Karena itu perkawinan menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya mobilisasi penduduk dari suatu tempat ke tempat yang baru itu. Namun itu terjadi pada migran yang tinggal membaur di dalam teritori sosial komunitas setempat. Hal ini berbeda pada migran Babar yang cenderung menempati suatu lahan kosong dan berusaha di atas lahan itu.
Migran Babar berlangsung secara spontan dan memilih tempat tinggal khusus yang potensial untuk usaha perkebunan, kelautan atau usaha lainnya. Contoh di daerah Ahuru Karang Panjang. Mereka menempati kawasan yang dahulu disebut ‘ewang’ oleh orang-orang Karang Panjang atau Soya dan mereka menjadikan tempat itu sebagai lahan usaha keluarga, atas ijin orang Soya sebagai pemilik tanah tersebut. Dalam beberapa waktu, terjadi transformasi pada sisi tertentu. Kawasan itu berubah menjadi lokasi berpenghuni. Tidak hanya itu, orang-orang Ambon mulai berbiasa makan ‘mandekar’ sejenis penganan dari kasbi (ubi kayu) yang direbus, diiris tipis dan dikeringkan. Tentu masih ada bentuk pertukaran budaya lainnya di antara mereka, termasuk ketika terjadi perkawinan dengan penduduk asli setempat.
Proses-proses itu terjadi terus dalam sejarah kontak migran Babar dengan penduduk setempat. Mereka tetap mempertahankan identitas dan seluruh simbol budayanya, malah melakukan pertukaran budaya secara damai dengan komunitas setempat.
Dalam keadaan itu rasa cinta akan kampung halaman tetap terbangun. Sebab itu migran bukanlah orang yang tercabut hakekat dan identitasnya, mau lahan identitas kultural itu semakin menguat justru ketika mereka berada di luar. Hal ini cukup beralasan mengingat orang Maluku memiliki ideologi yang kuat akan negeri atau ‘tanah tampa potong pusa’. Ada pula ideologi lain seperti ‘gunung tanah’.
Dalam salah satu syair Lagu Kebesaran Bukar Buar, karangan bapak Junus Okimekma, tokoh adat Masbuar yang sempat beta sadur dari file Pdt. Ampy Beresaby, Ketua Klasis Pulau-pulau Babar, berkisah begini:
Buar Bukar tanah pusaka moyangku
Itu pulau kebanggaanku,
Buar Bukar kampung pujaan hatiku
Sana tempat kelahiranku
Waktu tenggelam hidupku menderita
Cari tempat untuk berteduh
Aku terpisah dengan sodaraku
Sungguh sangat hancur hatiku
Waktu ‘ku pergi ‘ku kenang padamu
Buar Bukar kesayanganku
Reef. Jauh aku padamu ‘ku tinggal di rantau
Mohon pimpinan pada Tuhan Yang Esa
Agar klak kita jumpa lagi
Terungkap dalam syair itu pujaan kepada negeri, tanah pusaka moyang, dan kuatnya keinginan untuk kembali atau pulang ke kampung, tanah pusaka moyang itu.
Jemaat GPM dalam Konstruksi Orang Babar
Beta tidak membahas Jemaat GPM di Klasis Pulau-pulau Babar dalam bagian ini, tetapi eksistensi jemaat-jemaat GPM yang beranggotakan orang-orang Babar di luar Pulau Babar. Dari data sementara yang berhasil dihimpun selama hari-hari bersidang di Dobo, ada beberapa Jemaat mandiri GPM yang anggotanya adalah migran Babar.
Di Klasis Pulau-pulau Aru terdapat beberapa Jemaat migran Babar yakni Blakang Wamar, Marbali, Lamerang, Londe, Katanter, Marlasi dan Warialau (campuran dengan orang Kei dan penduduk asli Aru). Di Klasis Kota Ambon ialah Jemaat Petra. Mungkin masih ada di Klasis-klasis lainnya. Delapan Jemaat itu merupakan potret bahwa migran Babar mendorong munculnya jemaat-jemaat dengan tipikal tertentu. Migran Babar dan pertumbuhan gereja (GPM) merupakan sebuah kenyataan sosial dan sejarah. Pertumbuhan jemaat GPM turut didorong oleh reorganisasi sosial migran Babar. Jadi pelembagaan Jemaat-jemaat GPM terjadi bukan sekedar fenomena pertambahan jumlah anggota jemaat, melainkan faktor migrasi. Dalam hal itu migran Babar merupakan komunitas basis yang telah melahirkan jemaat-jemaat GPM yang baru.
Ada aspek misioner dari migrasi sosial orang Babar, walau sebenarnya itu bukan tujuan mereka. Keberadaan mereka di suatu tempat yang baru menambah dinamika pelayanan dan pertumbuhan GPM. Migran Babar telah melakoni suatu cara hidup bergereja yang solid, sebuah perwujudan koinonia yang transformatif secara struktural dan fungsional (praksis). Ini menjadi fakta eklesiologi gereja kepulauan yang harus terus direfleksikan dalam dinamika bergereja dewasa ini di Maluku dan Indonesia.
Beberapa persoalan yang dihadapi jemaat migran Babar di Aru misalnya (a) mereka bukan pemilik atas tanah tempat tinggal. Mereka merupakan buruh tani dan nelayan yang hanya memiliki hak pakai atas lahan-lahan usaha dan tempat tinggal; (b) jika tanah-tanah itu beralih fungsi dan kepemilikan ada dampak tertentu terhadap keberadaan jemaat.
Ini hanyalah sebuah realitas yang perlu menjadi bagian dari diskusi eklesiologi di GPM. Kita selama ini sibuk dengan diskursus akademis mengenai eklesiologi yang berpusat pada referensi dogmatika dan ajaran. Padahal migran Babar memberi interupsi bahwa debat eklesiologi adalah debat sosial yang harus dapat meluruskan bagaimana cara jemaat melembagakan dirinya ke dalam gereja dan bagaimana mereka hidup sebagai gereja yang bertanggungjawab dengan konteks kehadiran atau di tempat kehadirannya yang baru.
Demikian beberapa hal yang menggelisahkan. Kegelisahan ini masih terus ada. Mungkin bisa terus dilengkapi setelah nanti pergi ke pulau Babar. Sampai berjumpa tahun 2012, oh tanah Babar.(*)
Buku Rujukan:
M. Harris, “Labour Emigration Among The Mocambique Thonga: Cultural and Politics Factor (1959)
E. Colson, “Migration in Africa: Trends and Possibilities’, dalam Immanuel Wallerstein, Social Change: The Colonial Situation, New York-London-Sidney: John Wiley & Sons, Inc., 1966
Ruang Sidang ke-33 MPL Sinode GPM, Gereja Bethel, Dobo, 3 November 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)
TALITA KUM
(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella Paduan Terompet Jemaat Rumahtiga di Rohua, Januari 2009 A. Perspektif Ibadah merupakan suatu aktifitas agama ...
-
Materi Khotbah Bahan Khotbah : Mazmur 72:1-11 Saudara-saudaraku, Tulisan dalam Mazmur 72:1-11(20), merupakan suatu hymne kepada keadilan dar...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella [Materi Ibadah Keluarga Perangkat Pelayan Jemaat Rumahtiga, 17 September 2013] Pengantar Tulisan ini...