Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Ungkapan itu telah menjadi ‘ungkapan formulir’ dalam hampir setiap doa orang Kristen. Biasanya diungkapkan diakhir permohonan tertentu kepada TUHAN. Beta yakin tujuannya adalah supaya TUHAN mendengar apa yang kita sampaikan/mintakan.
Ungkapan ini ternyata diambil dari kebiasaan kita sesehari. ‘Miring talingang’, biasa dilakukan saat kita hendak berbisik kepada seseorang. Lazimnya berbisik atau membisikkan, maka tindakan itu dilakukan sebab hal yang dibisikkan itu sifatnya rahasia; tidak bole/tidak bisa diketahui oleh orang lain. Cukup antara beta [sebagai pembisik] dengan orang lain –yang dibisikin. Tindakan itu pertanda bahwa orang tidak mendengar suara kita, serta tidak bisa membaca gerak bibir, karena tindakan berbisik selalu disertai dengan satu tangan menutupi bibi/mulut. Artinya kita tahu bahwa orang bisa tahu dari bunyi suara melainkan dari gerak bibir pun bisa diketahui. Tindakan itu sekali lagi berarti pesan yang dibisikkan itu sifatnya rahasia. Sangat personal.
Jika itu dimaknai dalam tindakan berdoa, maka TUHAN diminta ‘miring talingang’ karena kita hendak menyampaikan pesan khusus [rahasia] antara kita dengan TUHAN. Doa menjadi hubungan yang sangat personal dengan TUHAN. Semoga pesannya tidak personalistik atau bermuatan ‘mangado’ [mengadu] akan perbuatan seseorang sambil meminta TUHAN menimpakan hukuman. Sebab kita bukan pembisik dalam arti yang sering disalah artikan dan TUHAN bukan pula orang yang ‘talingang tipis’ –lalu menjadi berubah emosional sehingga kita merasa TUHAN bisa diatur-atur.
Situasi tindakan ‘miring talingang’ yang kedua yaitu, orang ‘miring talingang’ untuk berusaha mendengar suara seseorang karena suara orang itu nyaris tak terdengar: bisa karena bising atau juga karena suaranya dan penyampaian pesannya sangat tidak jelas. Akibatnya bisa terjadi ‘salah tanggap’, ‘salah paham’, dan tentu salah pula dalam menangani pesan tersebut. Di sini sering terjadi pertengkaran/cekcok.
Jika itu dibawa ke dalam ranah doa lagi, maka jangan-jangan TUHAN sedang berusaha habis-habisan ‘miring talingang’ untuk mendengar doa kita karena kita yang kurang jelas menyampaikan pesan kepada TUHAN. Tentu itu akan membuat semua hal menjadi tidak terurus. Situasi itu pun bisa terjadi mungkin karena kita kurang berani berkata jujur dalam doa kita kepada TUHAN. Kita berdoa seperti orang sedang menyampaikan laporan pertanggungjawaban dengan menonjolkan kelebihan kita saja; lalu berlaku sebagai orang benar. Doa yang disemangati oleh ‘kesombongan spiritual’.
Situasi tindakan ‘miring talingang’ yang ketiga bisa dilihat dalam sikap orang tua. Sebagai refleksi sayang kepada anak-anaknya, selalu suka miring talingang mendengar permintaan khusus anak yang masih malu menyampaikannya. Tindakan itu dilakukan agar anak merasa bahwa dia bisa berbicara menyampaikan sesuatu kepada orang tuanya. Anak merasa dihargai dan didengar kebutuhannya. Tindakan itu saja sudah menjadi semacam janji orang tua itu bahwa ia akan mendengar dan memenuhi permohonan itu. Ada relasi yang mesra terjalin di situ.
Jika ini dibawa ke ranah doa, maka relasi mesra dengan TUHAN itu harus dibina sehingga doa kita menjadi suatu wahana komunikasi kasih yang jujur, tulus, apa adanya dengan TUHAN untuk kepentingan banyak orang.
Wednesday, February 9, 2011
Thursday, February 3, 2011
Mungkin TUHAN [yang] Salah!
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Vox populi, vox Dei, suara rakyat suara TUHAN. Ketika slogan ini diterjemahkan dalam alam demokrasi maka pilihan rakyat terhadap setiap pemimpinnya mutlak pilihan TUHAN. Alih-alih belajar teologi mengenai teodise –jika TUHAN membiarkan dosa atau kejahatan terjadi, mungkinkah kejatuhan moral para pemimpin bangsa, kebohongan mereka yang terus menerus adalah dampak dari rakyat dan TUHAN yang salah pilih?
Kita belajar mengenai rekayasa yang tentu tidak melulu berkonotasi negatif. Sebab rekayasa [enginering] itu dimaksudkan mengadakan, menciptakan sesuatu secara sengaja agar bisa difungsikan untuk suatu maksud atau kepentingan. Rekayasa yang dimanipulasi akan bermakna lain dan sering negatif, sebab aspek kepentingan tadi berubah menjadi tujuan dan rekayasa itu alat pencapaian tujuan. Pada sisi itu rekayasa dikontrol di satu tangan yang menjadikan sistem ibarat robot yang dikendalikan dengan remote control di tangannya.
Dalam tendensi itu fenomena hukum dan perpolitikan di bangsa kita patut dimengerti. Pemimpin dan politisi yang dipilih rakyat bersama TUHAN telah merampas hak-hak rakyat dan TUHAN menjadi milik mereka sendiri. Mereka mengendalikan cita-cita rakyat, mengklaim harapan rakyat, mengklaim kehendak TUHAN melalui serangkaian manipulasi demokrasi yang dipraktekkan dari waktu ke waktu.
Mereka gampang berjanji kepada rakyat –saat kampanye, dan mereka pula gampang mempertontonkan kebohongannya di hadapan media saat sidang-sidang marathon dan rapat dengar pendapat yang disiarkan langsung jaringan TV swasta. Lalu tanpa malu mereka memperlihatkan wajahnya tatkala kemudian tersangkut suatu kasus dan digelandang ke tahanan kepolisian dan bahkan Lapas, lalu mendekam di sana bertahun-tahun. Pertanyaannya di mana pertanggungjawaban mereka atas suara rakyat dan suara TUHAN yang memilih dan mempercayakannya itu?
Rakyat bisa salah pilih. Jika demikikan mungkinkah TUHAN juga salah menunjuk dan mengilhami rakyat untuk memilih politisi seperti itu? Jangan-jangan iya. Makanya saat ini ketika rakyat mengeluh, semoga TUHAN juga menyesal.[*]
Vox populi, vox Dei, suara rakyat suara TUHAN. Ketika slogan ini diterjemahkan dalam alam demokrasi maka pilihan rakyat terhadap setiap pemimpinnya mutlak pilihan TUHAN. Alih-alih belajar teologi mengenai teodise –jika TUHAN membiarkan dosa atau kejahatan terjadi, mungkinkah kejatuhan moral para pemimpin bangsa, kebohongan mereka yang terus menerus adalah dampak dari rakyat dan TUHAN yang salah pilih?
Kita belajar mengenai rekayasa yang tentu tidak melulu berkonotasi negatif. Sebab rekayasa [enginering] itu dimaksudkan mengadakan, menciptakan sesuatu secara sengaja agar bisa difungsikan untuk suatu maksud atau kepentingan. Rekayasa yang dimanipulasi akan bermakna lain dan sering negatif, sebab aspek kepentingan tadi berubah menjadi tujuan dan rekayasa itu alat pencapaian tujuan. Pada sisi itu rekayasa dikontrol di satu tangan yang menjadikan sistem ibarat robot yang dikendalikan dengan remote control di tangannya.
Dalam tendensi itu fenomena hukum dan perpolitikan di bangsa kita patut dimengerti. Pemimpin dan politisi yang dipilih rakyat bersama TUHAN telah merampas hak-hak rakyat dan TUHAN menjadi milik mereka sendiri. Mereka mengendalikan cita-cita rakyat, mengklaim harapan rakyat, mengklaim kehendak TUHAN melalui serangkaian manipulasi demokrasi yang dipraktekkan dari waktu ke waktu.
Mereka gampang berjanji kepada rakyat –saat kampanye, dan mereka pula gampang mempertontonkan kebohongannya di hadapan media saat sidang-sidang marathon dan rapat dengar pendapat yang disiarkan langsung jaringan TV swasta. Lalu tanpa malu mereka memperlihatkan wajahnya tatkala kemudian tersangkut suatu kasus dan digelandang ke tahanan kepolisian dan bahkan Lapas, lalu mendekam di sana bertahun-tahun. Pertanyaannya di mana pertanggungjawaban mereka atas suara rakyat dan suara TUHAN yang memilih dan mempercayakannya itu?
Rakyat bisa salah pilih. Jika demikikan mungkinkah TUHAN juga salah menunjuk dan mengilhami rakyat untuk memilih politisi seperti itu? Jangan-jangan iya. Makanya saat ini ketika rakyat mengeluh, semoga TUHAN juga menyesal.[*]
TUHAN ITU BAIK
Universalisme Pengakuan Iman Israel Alkitab dalam Tradisi Mazmur 145:1-21
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Membicarakan TUHAN ITU BAIK dalam tradisi Alkitab, khusus Perjanjian Lama, perlu ditempatkan dalam pengakuan iman [credo] Yahudi. Terkandung di situ suatu pemaknaan Yahudi mengenai TUHAN [Yahweh], dan bisa ditelusuri dari tahapan kepercayaan dan defenisi TUHAN dalam tradisi keagamaan yang dibentuk melalui berbagai tahap perubahan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan keagamaan [termasuk dalam relasi dengan paham TUHAN dalam agama lain].
[1] Allah Nenek Moyang [theos patros]
Jejak ke arah ini bisa ditelusuri dari sumber Yahwist –selanjutnya disebut Y, [sebenarnya juga E dan Dh] . Dari sisi itu, Kejadian 12 merupakan rujukan awal dan ternyata dalam teks itu, TUHAN sama sekali tidak memperkenalkan dirinya kepada Abraham dalam nama apa pun – seperti pada Musa dalam Kel. 6:1-2. Pada saat TUHAN memperkenalkan diri kepada Musa, Ia menyebut: ‘Akulah TUHAN. Aku telah menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan Yakub sebagai Allah Yang Maha Kuasa, tetapi dengan nama-Ku TUHAN Aku belum menyatakan diri’. Malah Yakub sendiri menyebut: ‘…Allah ayahku, Allah Abraham dan Yang Disegani oleh Ishak…” [Kej.31:42].
Dari tradisi Y diketahui bahwa Abraham menyebut TUHAN dengan nama: ‘TUHAN, Allah Yang Maha Tinggi’. Namun nama tersebut diperkanalkan Melkisedek kepadanya, sebagai ‘Allah Yang Maha Tinggi, Pencipta langit dan bumi’ [Kej.14:19.22]. Tradisi Y juga menuturkan TUHAN justru baru memperkenalkan diri kepada Abraham dengan sebutan: ‘Akulah TUHAN, yang membawa engkau keluar dari Ur-Kasdim untuk memberikan negeri ini menjadi milikmu’ [Kej.15:7].
Pada saat tanda sunat dijadikan sebagai syarat kekudusan, TUHAN memperkenalkan diri sekali lagi kepada Abraham dan kali ini dengan nama: ‘Akulah Allah Yang Maha Kuasa’ [Kej.17:1].
Gambaran itu merupakan indikasi bahwa di zaman nenek moyang, ritus kepada Tuhan dikembangkan oleh masing-masing klen, sehingga lebih merupakan ritus keluarga. Di zaman ini, konsepsi TUHAN muncul secara acak dan sangat bergantung kepada pengalaman khusus –juga di tempat khusus. Ide mengenai TUHAN tidak lebih dari cara leluhur melokalisasi makhluk supranatural yang diyakini berkuasa.
Sebab itu pengalaman-pengalaman beriman terbilang unik, dan terjadi melalui komunikasi supranatural yang hanya dialami oleh pribadi leluhur.
Pendapat itu terbukti dari panggilan Abraham. Dalam Kejadian 12, Abraham mendapat suruhan langsung dari TUHAN, dan ia berhasil mengajak Lot, keponakannya, menyertai dia. Lot tidak mendapati panggilan itu, tetapi bersedia mengikuti Abraham.
Keikutsertaan Lot bersama Abraham didasarkan pada hubungan kekerabatan, bukan panggilan. Mereka sama-sama pemilik atas ratusan ternak dan ratusan gembala. Untuk menghindari pertengkaran, Abraham memutuskan untuk berpisah dari Lot tetapi dengan jalan mempersilahkan Lot memilih wilayahnya terlebih dahulu.
Maksud teologi pemilihan wilayah bagi Y tidak terkait dengan tanah sebagai tempat tinggal, sebab ternyata Lot memilih daerah yang subur. Cerita itu digunakan Y –dengan didasari oleh ideologi Raja [Royal Ideology], untuk menekankan realitas berkat, sebagai cara kerja TUHAN. Y tidak bermaksud bahwa Lot dikutuki, tetapi ada motivasi lain yang sengaja diselubungi Y untuk menunjuk pada semacam konspirasi dalam perebutan hak –seperti dialami keturunan Sem, anak Nuh [sebab Abraham adalah generasi ke-15 dari Sem generasi ke-9].
Y menuturkan saat itu TUHAN berfirman kepada Abraham: ‘pandanglah sekelilingmu dan lihatlah dari tempat engkau berdiri itu ke timur dan barat, ke utara dan selatan, sebab seluruh negeri yang kau lihat itu akan Kuberikan kepadamu dan keturunanmu untuk selama-lamanya’ [Kej.13:14,15]. Dengan janji tersebut Y menegaskan bahwa manusia [Abraham] memperoleh kesempatan, dengan mengetahui berkat yang akan dimilikinya dan keturunannya. Sehingga bagi Y, wilayah yang menjadi haknya akan menjadi arena politik, ekonomi, sosial dan keagamaan yang baru.
Tampak dari situ pensifatan TUHAN yang unik, atau kebaikanNya secara eksklusif kepada Abraham, dan tidak seperti itu kepada Lot. Ini semakin terbukti ketika Sodom dan Gomora dibumihanguskan oleh TUHAN, meskipun Lot dan keluarganya turut diselamatkan [Kaj.19-20]. Tetapi eksklusifisme kebaikan TUHAN tetap berpihak kepada Abraham. Ke manapun Abraham melakukan perjalanan sebagai nomaden, TUHAN tetap menunjukkan berkat kepadanya.
Panggilan Abraham merupakan sesuatu yang paradoks, tetapi Abraham memenuhinya dengan tidak pernah membantah. Justru di situlah letak maksud Y untuk melukiskan eksklusifisme berkat TUHAN kepada Abraham [baca. Israel/Daud]. Gambarannya jelas; ia harus meninggalkan negerinya, ayah, ibu dan keluarganya, tanah kelahirannya sendiri [bahasa teksnya: tanah, tempat kelahiran dan rumah]. Ke mana, berapa lama ia harus berjalan? Sama sekali tidak digubrisnya. Y mengemas perintah paradoks itu dengan formulasi berkat bahwa: TUHAN akan membuat dia menjadi bangsa yang besar, memberi kepadanya tanah, berkat dan nama, malah ia sendiri akan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Tiga bentuk berkat baginya ialah: keturunan [pogeny], kuasa [power] dan kemashyuran [fame], yang menunjuk kepada bentuk ideologi raja pada saat Daud hendak menghimpun suku-suku Israel menjadi satu.
Di situ tampak pengaruh tradisi sastra istana, sehingga di kemudian hari –di zaman Daud, cerita berkat kepada Abraham dijadikan acuan untuk membangun monotheisme dengan menekankan pada kebaikan TUHAN yang eksklusif kepada Israel, yaitu generasi yang lahir dari keturunan Sem –berbeda dari Mesir, generasi yang lahir dari Ham. Pada saat itu penulis-penulis istana menaikkan pamor politik Daud dan menggunakan Yahwisme sebagai ideologi Raja yang memposiskan Israel sebagai umat kesayangan TUHAN, umat pilihan TUHAN, dan TUHAN menjadi milik eksklusif mereka, karena itu berkat juga adalah hak eksklusif mereka.
Kebaikan TUHAN yang eksklusif dilegalkan melalui tanda-tanda lahiriah yakni sunat [bnd. Kej.17:11-14]. Dengan sunat, maka seluruh realitas berkat TUHAN–oleh Y, benar-benar berlangsung hanya antara TUHAN dengan Abraham dan keturunannya turun-temurun.
Logikanya, ide mengenai TUHAN yang dikembangkan dari Tuhan para leluhur [theos patros] membuat TUHAN menjadi milik eksklusif dan sifat-sifat baiknya juga adalah sifat-sifat yang ditujukan secara eksklusif kepada umat pilihannya, dalam hal ini Israel.
Ide ‘Tuhan nenek moyang’ lahir dan berkembang di zaman nomaden. Lokalisasinya adalah padang gurun, lebih kecil lagi dalam tenda [kemah] . Komunitas penyembahnya adalah nenek moyang bersama keluarga dan para gembala serta peternak. Ia sering berpindah-pindah, tidak menetap. Ia digambarkan sebagai ‘Tuhan yang selalu berjalan/berpindah’. TUHAN di zaman ini tidak memiliki nama khusus, karena di setiap tempat namanya berganti sesuai dengan pengalaman para nomad. Menhir atau tugu persembahan seperti yang dibangun Abraham di Mamre, dan lain tempat merupakan simbol kultus dari ritus ‘Tuhan nenek moyang’.
Bukti gambaran Y yang menekankan kebaikan TUHAN yang eksklusif kepada para peternak tampak dalam kisah Kain dan Habel [Kej.4:3-5]. Hati TUHAN terpikat kepada persembahan Habel berupa anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya, dan bukan pada persembahan Kain berupa segala hasil tanah [hasil kebun]. Konsepsi TUHAN yang terpikat pada para peternak ini pun dijadikan sebagai dasar teologis pemilihan Daud menjadi raja –karena itu ia dilukiskan sebagai anak Isai yang sedang menggembalakan kambing domba [1 Sam.16:11], dan pandai main kecapi [1 Sam.16:18].
[2] El
Sulit untuk mengatakan bahwa konsepsi ‘Allah nenek moyang’ berkembang lebih awal dari konsepsi El. Lebih baik dikatakan bahwa kedua konsepsi itu berkembang menurut tradisi dan dalam lingkungan keagamaan masing-masing. Begitu pun lebih mudah jika dikatakan bahwa konsepsi El turut dimanfaatkan dalam tradisi Y ketika menyebut sifat-sifat TUHAN dalam konsepsi ‘Allah nenek moyang’.
Di Ugarit, atau dalam naskah-naskah Ugarit, terdapat pasangan dewa yang selalu disebut ‘penguasa tertinggi’, yaitu El dan Ashera. Keduanya adalah pasangan ilah dengan peran yang saling melengkapi. Mereka yang menjadikan langit, bumi dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Mereka melakukan semuanya itu secara bersama-sama, sebagai satu kesatuan. Keputusan El bisa jadi sesuatu yang final, tetapi pilihan Ashera selalu menempati tempat khusus. Artinya El menegakan pula pilihan Ashera. El adalah raja tertinggi dari raja-raja yang ada dan mengontrol dunia dan segala isinya, dan Ashera bukanlah ‘Tuhan kesuburan’ atau ‘Ibu Tuhan’, melainkan ‘Ratu Ilahi’ yang memiliki otoritas dan kuasa.
El dan Ashera digambarkan sebagai yang bijaksana dan agung, mulia, tinggi. Pensifatan itu mengarah pada kemampuannya mengatur kosmos dan kapabilitasnya sebagai ilah yang mampu memerintah dunia dengan baik. Mereka berdua mampu membagi peran dan menjalankan peran masing-masing dengan bijaksana tanpa ada konflik. Begitu pun ketika ide ini muncul dalam naskah-naskah di Mesir, Mesopotamia dan Yunani, El dan Ashera digambarkan selalu bersama-sama tanpa ada friksi di antara mereka secara personal atau dalam tugas pemerintahan. Mereka menjadi pusat dari segala sesuatu dan sangat peduli terhadap kosmos ciptaannya, termasuk dalam fungsi-fungsi pengadilan/hukum.
Dalam tradisi Yahudi di masa awal, fungsi El dan Ashera yang mutual atau sejalan [sesungguhnya tidak sama] itu dipadukan dan diberi bobot ke dalam satu saja nama yakni El. Karena itu penyebutan Elohim [sebagai bentuk jamak dari El] tidak hanya karena ada sifat atributif lain seperti: Elyon, Elsyahdai, bahkan El Abraham, El Ishak, El Yakub –dalam kejamakannya sebenarnya terkandung realitas kuasa Ashera yang sudah dipadukan ke dalam El. Ini tentu beralasan sebab Yahudi meminjam konsep El untuk menegakan monotheismenya.
Jika ‘Tuhan nenek moyang’ benar-benar berkembang dalam zaman nomaden, maka El justru berkembang dalam masa transisi nomaden ke agraris. Bobot peran El lebih ditekankan kepada kesuburan; lokalisasi El adalah desa yang terpencil atau di pelosok; komunitas penyembah El bukan lagi suku nomad, melainkan para petani dan penggarap tanah yang berkebun di dataran rendah, di jalur-jalur sungai [bnd. Kej.2 dyb].
Dalam situasi transisi dari nomaden [peternak] ke agraris, kultus-kultus kesuburan yang hidup di Mesopotamia dan Mesir dimanfaatkan secara hati-hati oleh para penulis Yahudi. Kepentingan mereka ialah membuat agar El –sebagai konsepsi TUHAN yang baru, mendapat tempat yang istimewa dalam kepercayaan masyarakat [orang-orang Apiru] yang mulai menetap di lembah-lembah dan aliran sungai.
Di sini menarik disimak kontradiksi antara Kain dan Habel. Saat melahirkan Kain, Hawa menyebut: ‘I have created a man’ [=aku telah menjadikan seorang manusia’]. LAI memperluas penerjemahannya yakni: ‘Aku telah mendapatkan seorang anak laki-laki dengan pertolongan TUHAN’ [Kej.4:1]. Sedangkan kelahiran Habel terjadi tanpa ada penyebutan khusus mengenai nama anak itu. Beberapa sumber lain menyebut arti nama Habel [Ibr. Hebel] yakni: ‘breath of air’ atau ‘breath’ [bernafas], sebagai terjemahan atas kata ‘vanity’ [kesia-siaan], dan menunjuk kepada masa usianya yang pendek.
Kontradiksi Kain dan Habel sebenarnya adalah kontradiksi antara para peternak [orang-orang Apiru, hebrew, Ibrani, para bedouin] dan petani. Tetapi klimaksnya menjadi lain. Oleh Y, TUHAN di sini tidak lagi dilokalisasi kepada para peternak nomad, melainkan para peternak yang sudah mulai menetap di desa-desa. Langkah itu disertai dengan pengusiran Kain dari ‘tanah’ [desa], sehingga teks-teks Kejadian menggambarkan Kain selanjutnya sebagai orang pertama yang membangun kota. Kain adalah pembangun kota –dan itu adalah Mesir, yang kemudian lebih banyak mengembangkan budaya besi, sedangkan orang-orang Apiru selain menggembala sudah mengembangkan budaya agraris.
Dengan sendirinya Kej.4:3, mengenai penerimaan persembahan Habel dan penolakan persembahan Kain menjadi indikasi bahwa TUHAN menerima dan menaruh respek kepada para bedouin [peternak] dan bukan kepada Mesir.
Gambaran itu menunjukkan bahwa masyarakat Israel Alkitab memposisikan TUHAN di dalam seluruh sejarah mereka. Proses-proses perubahan sosial terjadi dengan tidak melepaskan peran dan campur tangan TUHAN. Namun bagi mereka TUHAN itu tetap menjadi milik pribadi mereka. Tahapan perubahan dari nomaden ke desa-desa pertanian di tepian aliran sungai, di luar perkotaan, merupakan tempat yang dipercayai diberi oleh TUHAN kepada mereka karena relasi khusus mereka dengan TUHAN.
Di sini realitas Israel Alkitab sebagai ‘umat pilihan TUHAN’ memberi kepada mereka status eksklusif dan membedakan diri dari masyarakat lain di sekitar. Karena itu TUHAN dalam sebutan El dilihat sebagai TUHAN yang tinggal di desa-desa, dan memberkati masyarakat pedesaan yang agraris –tidak seperti itu dengan masyarakat di perkotaan. Kota dilihat sebagai bukan tempat tinggal TUHAN; sebab itu orang desa diibaratkan sebagai orang-orang pilihan TUHAN dan orang kota itu jauh dari TUHAN. Namun masalahnya bukan cuma itu melainkan pilihan TUHAN sudah jelas yakni hanya kepada Israel Alkitab –bukan bangsa lain. TUHAN dan sifatnya yang baik masih sangat eksklusif dalam pandangan ini.
[3] Yahweh
Dari tradisi Ugarit juga konsepsi Yahweh [YHWH] muncul dan berkembang. Orang-orang Apiru yang membawa konsepsi ini ke dalam lingkungan baru di desa-desa sampai dengan berkembangnya desa-desa itu menjadi unit sosial yang besar di masa infiltrasi suku-suku Ibrani, konsep Yahweh ini terus mengalami perkembangan yang berarti.
Dari tradisi asalnya itu, ternyata konsepsi Yahweh dikembangkan dengan mengambil alih seluruh unsur dari ketuhanan El dan Ashera [Baal] seperti ada dalam mitologi Ugarit. Beberapa pakar sependapat bahwa Yahweh itu diidentikkan dengan El, sebagai salah satu ilah di Ugarit. Tradisi PL mengembangkan konsep ini dalam masa pembuangan [600-300 B.C.E]. Artinya konsepsi Yahweh sudah berkembang jauh sebelum itu, pada masa-masa awal zaman perunggu [3000-3200 B.C.E]. Penggunaan konsepsi Yahweh dilakukan dengan mengedepankan semacam persaingan antara Israel dengan orang-orang Kanani [Het, Feris, Yebus, Girgasi] –dari mana konsepsi Yahweh itu berasal.
Karena itu ideologi tanah Kanaan dihidupkan sebagai bagian dari proses transisi demografi Israel dari desa-desa di aliran sungai ke kota-kota kecil yang sedang diduduki oleh bangsa Kanani. Ideologi ini dimantapkan dengan melihat bahwa Kanaan adalah tanah perjanjian yang sudah dijanjikan Yahweh kepada mereka sejak zaman nenek-moyang.
Flashback ke masa nenek moyang ini menjadi suatu point kritik baru. Sebab jika ditarik dari Abraham, maka dalam formulasi perintah paradoks itu, tidak ada teritori khusus yang dijanjikan TUHAN itu didiami/ditempati atau diserahkan menjadi milik bangsa Israel Alkitab. Nomadis itu hanya mengembara dari satu tempat ke tampat lain, lalu menempati tanah-tanah pemberian [hibah], yang adakalanya diperoleh dengan jalan ‘mempekerjakan diri sendiri’ [bnd. Yakub di rumah laban] atau melalui negosiasi –atas nama TUHAN, dengan trik ‘menyangkali istri dan mengakuinya saudara perempuan’ [bnd. Abraham dengan Firaun – Kej. 12:10-20; Abraham atau Ishak dengan Abimelekh – Kej.20:1-18; 26:1-35 –bnd. model cerita ini sama].
Konsepsi Yahweh sebenarnya diambil alih oleh Israel Alkitab dari masyarakat Kanani yang menyembah Baal, dengan perlahan-lahan mengganti konsepsi Baalisme. Baal, dalam terjemahan umum berarti ‘Tuhan atau tuan’, yang oleh orang-orang Ibrani dikenakan pula kepada Yahweh. Lambat laun istilah-istilah Baal itu mulai ‘diplesetkan’ oleh kaum Ibrani dengan nama-nama seperti ‘Bosyet’ yang berarti ‘celaan’ atau ‘malu’. Baal dipandang sebagai yang tidak lagi berhubungan dengan manusia [Hosea 2:16], bahkan cerita Baal Peor [Bil.25:1 dyb] digunakan sebagai oposisi langsung dengan Yahweh.
Yahweh mulai digambarkan sebagai sosok Tuhan yang berbeda dari Baal dan konsepsi dewa-dewa yang telah dianut masyarakat Semitis lainnya. Lukisan Yahweh yang baru itu mulai dikembangkan dengan jalan menempatkan musim-musim dalam siklus yang baru, sambil menghidupkan ritus baru seperti Hari Sabath, tahun Sabath, atau tahun Yobel, sebagai waktu di mana tanah harus diberi kesempatan untuk memulihkan dirinya. Kemasan hari raya baru ini bertujuan untuk melukiskan bahwa Yahweh adalah Tuhan yang berproses bersama dengan manusia dan alam semesta. Karya Y dalam cerita penciptaan melukiskan peran Yahweh yang telah dibedakan dari Baal, yakni dengan menempatkan menuturkan urut-urutan penciptaan secara kronologis yang berpuncak bukan hanya pada penciptaan manusia melainkan pada pengudusan atas seluruh ciptaan Yahweh itu.
Sebagai Tuhan yang berproses bersama manusia, kaum Ibrani sebenarnya hendak mengatakan bahwa Yahweh itu adalah Tuhan yang hidup. Konsepsi Tuhan yang hidup ini adalah pengembangan baru dari konsepsi Tuhan kesuburan yang awalnya juga dikenakan kepada Yahweh. Dengan memberi substansi baru sebagai Tuhan yang hidup, orang-orang Ibrani hendak mengatakanbahwa Yahweh tidak hanya terlibat dalam proses-proses alamiah, melainkan semua proses itu berasal dariNya. Bumi menghasilkan gandum berdasarkan perintah atau melalui berkat Yahweh [kej.1;11; Mzm.67:7].
Konsepsi Tuhan yang hidup tadi membuat mengapa dalam rangka menegakkan kultus Yahwisme, simbol-simbol baal seperti lembu emas pernah dihancurkan dalam reformasi Musa setelah turun dari gunung Sinai, atau perintah dalam perang suci untuk menghancurkan semua simbol keagamaan yang dianggap sebagai bentuk kekafiran; bahkan label kekafiran itu adalah juga stigma terhadap eksistensi agama lain sebagai cara menghidupkan Yahwisme. Label kekafiran diberi oleh kelompok tertentu untuk menghegemoni kelompok lain demi tujuan perluasan pengaruh agama.
Setidaknya tujuan kaum Ibrani dengan Yahwisme yang baru itu mulai mendapat tempat dalam praktek agamanya. Usaha itu melahirkan monotheisme praktis yang selalu menjadi ukuran kepercayaan masyarakat.
[4] Mazmur 145:1-21 - Redefenisi Konsepsi TUHAN – keluar dari Eksklusifisme Yahudi
Topik ini akan dibahas dengan sedikit melihat ke belakang, ke penanggalan tulisan Mazmur dan tentu ditempatkan dalam kerangka sejarah sosial masyarakat Yahudi.
Norman K. Gottwald menunjukkan ada lima tahapan sampai jadinya Kitab Mazmur. Tahapan pertama dimulai dari sekitar tahun 900-an B.C.E, khususnya dalam bentuk hymne, ratapan, nyanyian syukur dan nyanyian-nyanyian istana. Beberapa Mazmur dalam bentuk doa kultus kerajaan mulai muncul sebagai refleksi akan kekuasaan Daud di masa-masa awal. Beberapa bahan lain muncul di zaman Salomo –dalam masa kudeta yang dilakukan para pengawal istana Daud [akhir abad ke-10], hingga doa-doa kultus berkaitan dengan pembangunan Bait Allah. Tahap pertama ini berlangsung cukup panjang dan dalam masa beberapa raja yang memerintah sampai Israel pecah menjadi dua [Utara dan Selatan]. Pertarungan kekuasaan dan kudeta yang tak henti-hentinya mewarnai tulisan-tulisan mazmur pada masa ini. Tahap ini berlangsung sampai Israel di bawa ke dalam pembuangan Babel –di bawah kekuasaan Nebukadnezar [605-562].
Tahapan kedua dimulai pada tahun 600-an B.C.E yang didominasi oleh mazmur-mazmur pribadi seperti mazmur Daud, Asaph, Korah yang dari segi coraknya sering dikategorikan sebagai mazmur-mazmur Elohist dan Yahwist. Tahap ini berlangsung di dalam pembuangan. Peristiwa yang paling memilukan adalah penghancuran Bait Allah dan pembuangan kedua wangsa Daud [587]. Selain itu perkembangan politik Babel yang dilanda pertikaian dengan Negara-negara sekitarnya berlangsung pula –sampai pada invasi Persia [525] yang berpuncak pada pembebasan Israel serta pembangunan kembali bait Allah [520-515] –karena itu Mazmur di tahapan ini disebut Mazmur Bait Suci. Tulisan Mazmur pada tahap kedua berlangsung bersamaan dengan proses peredaksian beberapa tulisan taurat [Ul.2], revisi tulisan-tulisan Amos [diperkirakan Amos B dan C], revisi tulisan Yunus, Mikha, Yeremia dan Deutro Yesaya, termasuk revisi YE versi Hizkia oleh imam-imam wangsa Harun [yang juga memproduksi P], Hagai, Zakaria 1-8 dan Ratapan.
Tahapan ketiga diperkirakan berlangsung pada tahun 449 B.C.E bersamaan dengan beberapa puisi didaktis [bernuansa pendidikan langsung] –sezaman dengan Samual dan Raja-raja, atau setelah peredaksian Kitab Ayub.
Tahapan keempat diperkirakan berlangsung pada tahun 445 B.C.E, -sezaman dengan Amsal pasal 30-31, juga masih dalam tahapan pembentukan beberapa sumber sastra.
Kemudian tahapan kelima muncul lima tahun kemudian yakni 440 B.C.E bersama dengan peredaksian terakhir kitab Amsal, Tawarikh, Ezra dan Nehemiah, atau pada saat persiapan kembali ke Yerusalem sampai menempati Yerusalem, dalam rencana pembangunan kembali Bait Allah II, karena itu Kitab Mazmur disebut sebagai Kitab Bait Allah II atau kitab yang digunakan dalam pembangunan kembali Bait Allah II.
Ada beberapa proses pembagian dan peredaksian Mazmur yang menarik dan menunjuk pada perubahan tertentu dalam cara pandang ketuhanan Yahudi berkaitan dengan perubahan konstelasi politik yang dilalui dalam kelima tahapan pembentukan kitab mazmur tadi.
Coote & Coote mengasumsikan bahwa ada dua redaktur yang berkontribusi dalam cara penyusunan kitab mazmur, yakni redaktur dari kalangan wangsa Daud dan para imam-imam Lewi. Dalam proses pembangunan kembali Bait Allah, Lewi memiliki kepentingan tertentu dengan tulisan mazmur yakni untuk mendudukkan kembali posisi kultus dan meluruskan sejarah Bait Allah. Untuk kepentingan itu, mereka mengesampingkan bahan Mazmur yang memuji ketuhanan Yahweh atas bangsa-bangsa [universalisme Yahweh] seperti Mzm.93; 96-99]; kecuali Mzm. 47 yang walaupun menunjuk kepada ketuhanan Yahweh atas bangsa-bangsa namun dengan penekanan yang tetap eksklusif sebab kemahakusaan Yahweh dalam Mzm itu tetap memosisikan bangsa-bangsa lain sebagai taklukan Yahweh [baca. Isreal].
Himpunan Mzm. 2-89 merupakan hasil dari peredaksian yang dilakukan Lewi. Menurut Coote dan Coote, mereka membagi Mazmur dalam dua bagian, 2-4 dan 51-72, dan menempatkan mazmur tiga pemusik yakni anak-anak lelaki Lewi, yaitu Asaf [50, 73-78], Korah [42-49 dan 84-88 –tidak termasuk 86], dan Etan [89]. Dalam rangka menghidupkan nyanyian-nyanyian kultus itu Lewi lalu menghidupkan kembali ritus peziarahan ke Bait Allah, sambil kembali kepada hukum-hukum yang ditetapkan serta mendukung reformasi Yosia yang jelas-jelas telah berhasil memulihkan Yahwisme. Rupanya peredaksian Lewi dalam semangat kultus Bait Allah itu masih dipengaruhi oleh eksklusifisme Yahwisme –sebab itu mazmur-mazmur mengenai persembahan korban, tetapi tidak menjawab persoalan teologi tentang hubungan persembahan korban bakaran dengan persembahan korban yang benar –seperti dipersoalkan dalam tradisi kenabian di zaman itu pula. Lewi lebih menekankan pembangunan kembali Bait Allah dan tembok Yerusalem [sejalan dengan program Nehemiah] sebab hanya ke dalam Bait Allah di Yerusalem persembahan korban yang benar itu diselenggarakan.
Karena itu mazmur mengenai Bait Allah dan pemilihan Yahweh terhadap Israel [bnd. Mzm.2:6-7, 27] kembali dikumandangkan, serta mazmur mengenai Sion sebagai kota berkubu dan tempat tinggal Yahweh satu-satunya [bnd. Mzm.46; 48; 76; 84 dan 87] kembali direvisi menurut kepentingan Lewi tadi. Dalam banyak hal tujuan itu dikuatkan oleh beberapa dokumen dalam tulisan Yesaya, Yeremia dan Yehezkiel khusus mengenai nubuat melawan kekuatan asing. Karena itu posisi Yerusalem menjadi semakin kokoh dan penting [baca. Sakral].
Dari situ dapat dimengerti mengapa defenisi TUHAN yang eksklusif itu menjadi perlu dan dibentuk di dalam bagian-bagian mazmur tadi. Terjadi pada masa setelah itu, suatu gaya peredaksian mazmur yang mencoba memosisikan Israel, Yahweh dan bangsa-bangsa lain, bahkan seluruh ciptaan TUHAN di dalam suatu relasi baru yang lebih terbuka.
Dari lima Jilid Mazmur , maka khusus pada Jilid V [107-150] kita menemukan corak khusus mazmur, suatu corak yang mulai bergeser sedikit dari hymne, ratapan, dan pujian [praise], ke corak pengakuan iman [afirmatif] yang selalu didahului dengan penamaan baru tentang TUHAN bahwa: ‘TUHAN itu baik’.
Perluasan pemahaman TUHAN menjadi semakin menarik ketika TUHAN dilihat menjadi bagian dari orang atau bangsa lain. Lukisan Mzm.107:1-2 ‘Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setiaNya. Biarlah itu dikatakan orang-orang yang ditebus TUHAN, yang ditebusNya dari kuasa yang menyesakkan, yang dikumpulkanNya dari negeri-negeri, dari timur dan dari barat, dari utara dan dari selatan’, telah menjadi pembuka yang menunjuk pada universalisme Yahweh dalam tradisi mazmur.
Kemudian Mzm.117 dan 118 mencoba menegaskan universalisme tadi dengan menempatkan macam-macam pergumulan yang dihadapi oleh umat. Pada bagian-bagian berikutnya, tradisi mazmur mulai melukiskan bagaimana bangsa-bangsa dan ciptaan yang lain turut mengalami bentuk-bentuk perbuatan TUHAN yang baik. Salah satu perkembangan berarti muncul dalam Mzm.138:4.
Konsepsi TUHAN yang baik tidak lagi menjadi milik eksklusif Israel [satu bangsa, suku, ras, agama], atau hanya baik kepada manusia [androsentrisme]. TUHAN dimengerti sebagai yang baik kepada semua bangsa dan semua ciptaan [kosmosentrisme].
5. BENAR! TUHAN ITU BAIK [Mzm. 145:9]
Mazmur 145 digolongkan ke dalam bentuk Pujian dan Ucapan Terimakasih, atau puji-pujian dengan cara melukiskan ~dalam kata-kata/sajak, puisi yang indah, sifat dan karakter TUHAN yang berbeda dari siapa pun di dalam hidup pemazmur/masyarakat. Sebagai sebuah hymne, Mazmur ini diawali dan diakhiri dengan ungkapan puji-pujian kepada TUHAN. Bagian awal Mzm ini [145:1] menunjuk bahwa Mzm ini tergolong Mzm individu, tetapi di bagian akhirnya pemazmur mewakili bukan hanya manusia tetapi seluruh ciptaan TUHAN untuk membawa pujian kepada TUHAN [145:21].
Yang menarik ialah dalam himpunan Mazmur-mazmur itu, lukisan mengenai sifat dan perbuatan TUHAN itu selalu dinyanyikan karena dua hal, yakni: [1] sifatnya yang berbeda; dan [2] ketidakbatasan perbuatannya. Baiklah kita menyimak sepintas kedua hal itu dalam rumpunan Mazmur-mazmur tadi.
[1] Sifat TUHAN yang berbeda dari tuhan atau kekuatan lain. Bentuk-bentuk sifat TUHAN yang khas dalam Mazmur-mazmur itu dilukiskan secara nyata dalam Mzm. 145:8, melalui empat sifat khas yaitu: pengasih dan penyayang, panjang sabar dan besar kasih setianya.
[a] Sifat TUHAN yang pengasih [love] terungkap dalam kuasa TUHAN penciptaan. Menariknya ialah penciptaan dalam Mazmur memiliki dimensi yang berbeda dari Kejadian [Torah]. Dalam Kejadian penciptaan dilukiskan dalam sifat TUHAN yang penuh kuasa. Di dalam kuasaNya itu, ‘baik’ [ibr. tov] adalah carapandang TUHAN terhadap semua yang sudah dijadikannya. Jadi ‘baik’ di situ bukanlah sifat TUHAN, melainkan kualitas ciptaan [bnd. istilah ‘kudus’ atau dikuduskan oleh TUHAN]. Di dalam Mazmur, ‘baik’ [ibr. tov] justru merupakan sifat dasar dari TUHAN. Jadi TUHAN di sini dilukiskan dalam sifatnya yang ‘baik’. Sifat ‘baik’-nya TUHAN itu, bagi pemazmur dialami bukan hanya oleh manusia tetapi oleh seluruh ciptaan TUHAN. Lihatlah saja lukisan dalam Mzm. 8 – tampak di sana bagaimana pemazmur mengalami sifat baik TUHAN yang bukan saja menciptakan langit dan bumi, tetapi juga manusia, dan karena itu namaNya dimuliakan di seluruh muka bumi. Lihat pula Mzm. 19:1-6 – tampak bagaimana pula langit, cakrawala, hari siang dan malam turut menceritakan sifat TUHAN yang baik; dan kepedulian TUHAN kepada semua makhluk [bnd. Mzm.33, dyl]. Atau Mzm.147:1 yang juga secara langsung menyebut TUHAN itu baik, bahkan indah! Hal ‘baik’ dan indah pada 147:1 ini juga dilukiskan bukan hanya kepada manusia tetapi terhadap ciptaan lainnya [bnd.147:8,9]. Intinya semua yang tercipta di semesta ini terjadi seperti itu, dan memainkan fungsi pada tempatnya oleh cinta TUHAN atau TUHAN yang pengasih. Jadi ay.9 – TUHAN itu baik kepada semua orang [LAI] penting dikoreksi karena dalam terjemahan asli [BHS/Biblia Hebraica Stutgartensia] dan beberapa versi bahasa Inggris [KJV, RSV, NIV], disebut ‘TUHAN itu baik kepada semuanya’. Dari segi sastra, ay.9 – ‘TUHAN itu baik kepada semuanya’ adalah penjelasan dari ay.8. Semuanya di situ menunjuk kepada semua tatanan ciptaan TUHAN, jadi semuanya menunjuk kepada semua makhluk yang diciptakan TUHAN dan ditempatkan di bumi, di bawah langit [bnd.Kej.1].
[b] Sifat penyayang [faithfulness] adalah salah satu bentuk sifat TUHAN yang ‘baik’. Namun sifat penyayang di sini lebih menjurus pada dimensi etika, yakni kesetiaan. Dalam Mzm.98:3, kesetiaan TUHAN itu terlukis dalam sifatnya yang tidak menyangkal dan tidak membatalkan janji yang telah diikatNya dengan manusia. Tetapi Mzm.145:17 dan 20, kesetiaan TUHAN itu lebih dalam lagi maknanya, yakni IA selalu bertindak adil dan menunjuk jalan-jalan keadilan kepada umatNya, serta mengasihi semua orang yang bertindak adil, menurut jalan-jalan yang sudah ditunjukNya itu. Jadi hal penyayang itu menjurus pada konsistensi sikap. Sang penyayang tidak akan mengubah sikapnya hanya karena kepentingan tertentu, melainkan kokoh di dalam sikapnya oleh karena ada ikatan janji yang telah dibuat.
[c] Sifat Panjang sabar [compassion] itu merupakan perluasan dari sifat penyayang. Sifat ini terwujud melalui cara TUHAN memelihara semua ciptaanNya dengan memberi kepada semua ciptaan itu fungsi dan tempat masing-masing. Sifat ini menjurus pada ketertiban atau tata tertib [order], yang memungkinkan tiap ciptaan itu berfungsi tanpa harus saling mendominasi satu dengan lainnya. Karena menjurus pada tata tertib, maka dalam sifat panjang sabar terletak dimensi kemahakuasaan atau pemerintahan TUHAN yang benar-benar adil dan tidak memihak. Lukisan Mzm.145 mengenai kemuliaan, kerajaan, keperkasaan, adalah bentuk-bentuk kemahakuasaan TUHAN sebagai bentuk pengungkapan ke-panjang sabaranNya TUHAN itu. Jadi kerajaanNya adalah kerajaan damai sejahtera, kekuasaanNya itu adil, dan keperkasaanNya tampak dalam tindakanNya menyelamatkan dan memulihkan seluruh ciptaanNya itu. Bahkan setiap ciptaan diberi kemampuan untuk memulihkan diriNya sendiri. Di situlah terletak alasan mengapa pemazmur melukiskan dalam Mzm ini semua ciptaan TUHAN memuji-muji DIA [145:10-11].
[d] Sifat Besar kasih setianya [affection] lebih menjurus pada tindakan TUHAN yang ‘overprotective’. Dalam Mzm. 145, beberapa sifat itu misalnya dalam ay.9 – di mana pemazmur melukiskan kerahmatan/kerahiman TUHAN. Bahwa IA adalah sumber dari semua ciptaanNya, atau semua yang tercipta itu keluar atau jadi dariNya. Dimensi kerahiman atau kerahmatan itu menempatkan segala yang tercipta itu sebagai bagian yang menyatu [inhern] dengan TUHAN, dan tidak bisa dilepaskan dariNya. TUHAN dan ciptaanNya itu satu, dan ciptaan itu tidak bisa dilepaskan atau melepaskan diri dari TUHAN. Ciptaan itu adalah penyataan diri TUHAN, atau TUHAN itu dapat dilihat, dipahami melalui ciptaanNya. Ayat 14-20 adalah lukisan panjang lebar mengenai sifat TUHAN yang satu ini. Bagaimana IA membela orang-orang yang lemah, memberi berkat kepada yang miskin, melindungi dan menghidupi semua ciptaanNya [bnd. kata ‘membuka tangan’ dan ‘mengenyangkan’ dlm ay.16], IA memelihara relasi atau dekat dengan orang yang takut kepadaNya, dan mengasihi semua orang yang mengasihi/setia kepadaNya.
Seruan pujian dalam ay.1 dan 21 menegaskan bahwa Mzm.145 adalah bentuk hymne dari seseorang atas nama semua ciptaan TUHAN, jadi bukan pribadi atas nama semua manusia. Corak ini menarik, sebab dalam himpunan Mzm yang serumpun dengan Mzm.145, tampilnya pribadi mengatasnamakan seluruh ciptaan memperlihatkan kesadaran kemakhlukan dari seorang manusia. Bahwa sama dengan ciptaan lainnya, manusia itu pun diciptakan TUHAN. Bobot kualitasnya tidak diukur dari akal [kesadaran] seperti klaim teologi penciptaan selama ini, melainkan oleh kepedulian dan kebersamaan dengan semua ciptaan lain untuk memuji Tuhan. Jadi aspek ritual dan pengalaman bersama [sosialisasi] yang diutamakan dalam Mzm ini. Ritual dalam arti pujian itu adalah ungkapan terima kasih dan penghargaan kepada TUHAN, dan pengalaman bersama [sosialisasi] adalah bentuk tanggungjawab memelihara ketertiban ciptaan TUHAN yang sudah ada.
Buku Rujukan:
Robert B. Coote dan David Robert Ord, The Bible First History: From Eden to the court of David with the Yahwist, Philadelpiha: Fortress Press, 1989
Norman K. Gottwald, Hebrew Bible, A Socio-Literary Introduction, Philadelphia: Fortress Press, 1987
L.K; Handy, Among Host of Heaven: The Syro-Palestinian Pantheon as Bureaucracy, Winona Lake, IN: Eisenbrauns, 1993
Lowel K. Handy, ‘The Appearance of Pantheon in Judah’, dalam Diana Vikander Edelman (ed.), The Triumph of Elohim, From Yahwisms to Judhaisms, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publ., co., 1996
Herbert Niehr, Der Höchste Gott: Alttestamentlischer JHWH-Glaube in Kontext syrisch-kanaanaischer Religion des 1. Jahrtausend v. Chr, BZW 190; Berlin and New York: Walter de Gruyter, 1990, [Terj. Ing. Herbert Niehr, “The Rise of YHWH in Judahite and Israelite Religion: Methodological and Religio-Historical Aspects”, Diana Vikander Edelman (ed.), The Triumph of Elohim, From Yahwisms to Judhaisms, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publ., co., 1996
Th. C. Vriezen, Agama Israel Kuno, terj. I.J. Cairns, Jakarta: BPK Gunung Mulia, cetakan ke-3, 2001
Robert B. Coote & Mary P. Coote, Kuasa, Politik & Proses Pembuatan Alkitab, terj. Minda Perangin-angin, Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cetakan I, 2001
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Membicarakan TUHAN ITU BAIK dalam tradisi Alkitab, khusus Perjanjian Lama, perlu ditempatkan dalam pengakuan iman [credo] Yahudi. Terkandung di situ suatu pemaknaan Yahudi mengenai TUHAN [Yahweh], dan bisa ditelusuri dari tahapan kepercayaan dan defenisi TUHAN dalam tradisi keagamaan yang dibentuk melalui berbagai tahap perubahan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan keagamaan [termasuk dalam relasi dengan paham TUHAN dalam agama lain].
[1] Allah Nenek Moyang [theos patros]
Jejak ke arah ini bisa ditelusuri dari sumber Yahwist –selanjutnya disebut Y, [sebenarnya juga E dan Dh] . Dari sisi itu, Kejadian 12 merupakan rujukan awal dan ternyata dalam teks itu, TUHAN sama sekali tidak memperkenalkan dirinya kepada Abraham dalam nama apa pun – seperti pada Musa dalam Kel. 6:1-2. Pada saat TUHAN memperkenalkan diri kepada Musa, Ia menyebut: ‘Akulah TUHAN. Aku telah menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan Yakub sebagai Allah Yang Maha Kuasa, tetapi dengan nama-Ku TUHAN Aku belum menyatakan diri’. Malah Yakub sendiri menyebut: ‘…Allah ayahku, Allah Abraham dan Yang Disegani oleh Ishak…” [Kej.31:42].
Dari tradisi Y diketahui bahwa Abraham menyebut TUHAN dengan nama: ‘TUHAN, Allah Yang Maha Tinggi’. Namun nama tersebut diperkanalkan Melkisedek kepadanya, sebagai ‘Allah Yang Maha Tinggi, Pencipta langit dan bumi’ [Kej.14:19.22]. Tradisi Y juga menuturkan TUHAN justru baru memperkenalkan diri kepada Abraham dengan sebutan: ‘Akulah TUHAN, yang membawa engkau keluar dari Ur-Kasdim untuk memberikan negeri ini menjadi milikmu’ [Kej.15:7].
Pada saat tanda sunat dijadikan sebagai syarat kekudusan, TUHAN memperkenalkan diri sekali lagi kepada Abraham dan kali ini dengan nama: ‘Akulah Allah Yang Maha Kuasa’ [Kej.17:1].
Gambaran itu merupakan indikasi bahwa di zaman nenek moyang, ritus kepada Tuhan dikembangkan oleh masing-masing klen, sehingga lebih merupakan ritus keluarga. Di zaman ini, konsepsi TUHAN muncul secara acak dan sangat bergantung kepada pengalaman khusus –juga di tempat khusus. Ide mengenai TUHAN tidak lebih dari cara leluhur melokalisasi makhluk supranatural yang diyakini berkuasa.
Sebab itu pengalaman-pengalaman beriman terbilang unik, dan terjadi melalui komunikasi supranatural yang hanya dialami oleh pribadi leluhur.
Pendapat itu terbukti dari panggilan Abraham. Dalam Kejadian 12, Abraham mendapat suruhan langsung dari TUHAN, dan ia berhasil mengajak Lot, keponakannya, menyertai dia. Lot tidak mendapati panggilan itu, tetapi bersedia mengikuti Abraham.
Keikutsertaan Lot bersama Abraham didasarkan pada hubungan kekerabatan, bukan panggilan. Mereka sama-sama pemilik atas ratusan ternak dan ratusan gembala. Untuk menghindari pertengkaran, Abraham memutuskan untuk berpisah dari Lot tetapi dengan jalan mempersilahkan Lot memilih wilayahnya terlebih dahulu.
Maksud teologi pemilihan wilayah bagi Y tidak terkait dengan tanah sebagai tempat tinggal, sebab ternyata Lot memilih daerah yang subur. Cerita itu digunakan Y –dengan didasari oleh ideologi Raja [Royal Ideology], untuk menekankan realitas berkat, sebagai cara kerja TUHAN. Y tidak bermaksud bahwa Lot dikutuki, tetapi ada motivasi lain yang sengaja diselubungi Y untuk menunjuk pada semacam konspirasi dalam perebutan hak –seperti dialami keturunan Sem, anak Nuh [sebab Abraham adalah generasi ke-15 dari Sem generasi ke-9].
Y menuturkan saat itu TUHAN berfirman kepada Abraham: ‘pandanglah sekelilingmu dan lihatlah dari tempat engkau berdiri itu ke timur dan barat, ke utara dan selatan, sebab seluruh negeri yang kau lihat itu akan Kuberikan kepadamu dan keturunanmu untuk selama-lamanya’ [Kej.13:14,15]. Dengan janji tersebut Y menegaskan bahwa manusia [Abraham] memperoleh kesempatan, dengan mengetahui berkat yang akan dimilikinya dan keturunannya. Sehingga bagi Y, wilayah yang menjadi haknya akan menjadi arena politik, ekonomi, sosial dan keagamaan yang baru.
Tampak dari situ pensifatan TUHAN yang unik, atau kebaikanNya secara eksklusif kepada Abraham, dan tidak seperti itu kepada Lot. Ini semakin terbukti ketika Sodom dan Gomora dibumihanguskan oleh TUHAN, meskipun Lot dan keluarganya turut diselamatkan [Kaj.19-20]. Tetapi eksklusifisme kebaikan TUHAN tetap berpihak kepada Abraham. Ke manapun Abraham melakukan perjalanan sebagai nomaden, TUHAN tetap menunjukkan berkat kepadanya.
Panggilan Abraham merupakan sesuatu yang paradoks, tetapi Abraham memenuhinya dengan tidak pernah membantah. Justru di situlah letak maksud Y untuk melukiskan eksklusifisme berkat TUHAN kepada Abraham [baca. Israel/Daud]. Gambarannya jelas; ia harus meninggalkan negerinya, ayah, ibu dan keluarganya, tanah kelahirannya sendiri [bahasa teksnya: tanah, tempat kelahiran dan rumah]. Ke mana, berapa lama ia harus berjalan? Sama sekali tidak digubrisnya. Y mengemas perintah paradoks itu dengan formulasi berkat bahwa: TUHAN akan membuat dia menjadi bangsa yang besar, memberi kepadanya tanah, berkat dan nama, malah ia sendiri akan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Tiga bentuk berkat baginya ialah: keturunan [pogeny], kuasa [power] dan kemashyuran [fame], yang menunjuk kepada bentuk ideologi raja pada saat Daud hendak menghimpun suku-suku Israel menjadi satu.
Di situ tampak pengaruh tradisi sastra istana, sehingga di kemudian hari –di zaman Daud, cerita berkat kepada Abraham dijadikan acuan untuk membangun monotheisme dengan menekankan pada kebaikan TUHAN yang eksklusif kepada Israel, yaitu generasi yang lahir dari keturunan Sem –berbeda dari Mesir, generasi yang lahir dari Ham. Pada saat itu penulis-penulis istana menaikkan pamor politik Daud dan menggunakan Yahwisme sebagai ideologi Raja yang memposiskan Israel sebagai umat kesayangan TUHAN, umat pilihan TUHAN, dan TUHAN menjadi milik eksklusif mereka, karena itu berkat juga adalah hak eksklusif mereka.
Kebaikan TUHAN yang eksklusif dilegalkan melalui tanda-tanda lahiriah yakni sunat [bnd. Kej.17:11-14]. Dengan sunat, maka seluruh realitas berkat TUHAN–oleh Y, benar-benar berlangsung hanya antara TUHAN dengan Abraham dan keturunannya turun-temurun.
Logikanya, ide mengenai TUHAN yang dikembangkan dari Tuhan para leluhur [theos patros] membuat TUHAN menjadi milik eksklusif dan sifat-sifat baiknya juga adalah sifat-sifat yang ditujukan secara eksklusif kepada umat pilihannya, dalam hal ini Israel.
Ide ‘Tuhan nenek moyang’ lahir dan berkembang di zaman nomaden. Lokalisasinya adalah padang gurun, lebih kecil lagi dalam tenda [kemah] . Komunitas penyembahnya adalah nenek moyang bersama keluarga dan para gembala serta peternak. Ia sering berpindah-pindah, tidak menetap. Ia digambarkan sebagai ‘Tuhan yang selalu berjalan/berpindah’. TUHAN di zaman ini tidak memiliki nama khusus, karena di setiap tempat namanya berganti sesuai dengan pengalaman para nomad. Menhir atau tugu persembahan seperti yang dibangun Abraham di Mamre, dan lain tempat merupakan simbol kultus dari ritus ‘Tuhan nenek moyang’.
Bukti gambaran Y yang menekankan kebaikan TUHAN yang eksklusif kepada para peternak tampak dalam kisah Kain dan Habel [Kej.4:3-5]. Hati TUHAN terpikat kepada persembahan Habel berupa anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya, dan bukan pada persembahan Kain berupa segala hasil tanah [hasil kebun]. Konsepsi TUHAN yang terpikat pada para peternak ini pun dijadikan sebagai dasar teologis pemilihan Daud menjadi raja –karena itu ia dilukiskan sebagai anak Isai yang sedang menggembalakan kambing domba [1 Sam.16:11], dan pandai main kecapi [1 Sam.16:18].
[2] El
Sulit untuk mengatakan bahwa konsepsi ‘Allah nenek moyang’ berkembang lebih awal dari konsepsi El. Lebih baik dikatakan bahwa kedua konsepsi itu berkembang menurut tradisi dan dalam lingkungan keagamaan masing-masing. Begitu pun lebih mudah jika dikatakan bahwa konsepsi El turut dimanfaatkan dalam tradisi Y ketika menyebut sifat-sifat TUHAN dalam konsepsi ‘Allah nenek moyang’.
Di Ugarit, atau dalam naskah-naskah Ugarit, terdapat pasangan dewa yang selalu disebut ‘penguasa tertinggi’, yaitu El dan Ashera. Keduanya adalah pasangan ilah dengan peran yang saling melengkapi. Mereka yang menjadikan langit, bumi dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Mereka melakukan semuanya itu secara bersama-sama, sebagai satu kesatuan. Keputusan El bisa jadi sesuatu yang final, tetapi pilihan Ashera selalu menempati tempat khusus. Artinya El menegakan pula pilihan Ashera. El adalah raja tertinggi dari raja-raja yang ada dan mengontrol dunia dan segala isinya, dan Ashera bukanlah ‘Tuhan kesuburan’ atau ‘Ibu Tuhan’, melainkan ‘Ratu Ilahi’ yang memiliki otoritas dan kuasa.
El dan Ashera digambarkan sebagai yang bijaksana dan agung, mulia, tinggi. Pensifatan itu mengarah pada kemampuannya mengatur kosmos dan kapabilitasnya sebagai ilah yang mampu memerintah dunia dengan baik. Mereka berdua mampu membagi peran dan menjalankan peran masing-masing dengan bijaksana tanpa ada konflik. Begitu pun ketika ide ini muncul dalam naskah-naskah di Mesir, Mesopotamia dan Yunani, El dan Ashera digambarkan selalu bersama-sama tanpa ada friksi di antara mereka secara personal atau dalam tugas pemerintahan. Mereka menjadi pusat dari segala sesuatu dan sangat peduli terhadap kosmos ciptaannya, termasuk dalam fungsi-fungsi pengadilan/hukum.
Dalam tradisi Yahudi di masa awal, fungsi El dan Ashera yang mutual atau sejalan [sesungguhnya tidak sama] itu dipadukan dan diberi bobot ke dalam satu saja nama yakni El. Karena itu penyebutan Elohim [sebagai bentuk jamak dari El] tidak hanya karena ada sifat atributif lain seperti: Elyon, Elsyahdai, bahkan El Abraham, El Ishak, El Yakub –dalam kejamakannya sebenarnya terkandung realitas kuasa Ashera yang sudah dipadukan ke dalam El. Ini tentu beralasan sebab Yahudi meminjam konsep El untuk menegakan monotheismenya.
Jika ‘Tuhan nenek moyang’ benar-benar berkembang dalam zaman nomaden, maka El justru berkembang dalam masa transisi nomaden ke agraris. Bobot peran El lebih ditekankan kepada kesuburan; lokalisasi El adalah desa yang terpencil atau di pelosok; komunitas penyembah El bukan lagi suku nomad, melainkan para petani dan penggarap tanah yang berkebun di dataran rendah, di jalur-jalur sungai [bnd. Kej.2 dyb].
Dalam situasi transisi dari nomaden [peternak] ke agraris, kultus-kultus kesuburan yang hidup di Mesopotamia dan Mesir dimanfaatkan secara hati-hati oleh para penulis Yahudi. Kepentingan mereka ialah membuat agar El –sebagai konsepsi TUHAN yang baru, mendapat tempat yang istimewa dalam kepercayaan masyarakat [orang-orang Apiru] yang mulai menetap di lembah-lembah dan aliran sungai.
Di sini menarik disimak kontradiksi antara Kain dan Habel. Saat melahirkan Kain, Hawa menyebut: ‘I have created a man’ [=aku telah menjadikan seorang manusia’]. LAI memperluas penerjemahannya yakni: ‘Aku telah mendapatkan seorang anak laki-laki dengan pertolongan TUHAN’ [Kej.4:1]. Sedangkan kelahiran Habel terjadi tanpa ada penyebutan khusus mengenai nama anak itu. Beberapa sumber lain menyebut arti nama Habel [Ibr. Hebel] yakni: ‘breath of air’ atau ‘breath’ [bernafas], sebagai terjemahan atas kata ‘vanity’ [kesia-siaan], dan menunjuk kepada masa usianya yang pendek.
Kontradiksi Kain dan Habel sebenarnya adalah kontradiksi antara para peternak [orang-orang Apiru, hebrew, Ibrani, para bedouin] dan petani. Tetapi klimaksnya menjadi lain. Oleh Y, TUHAN di sini tidak lagi dilokalisasi kepada para peternak nomad, melainkan para peternak yang sudah mulai menetap di desa-desa. Langkah itu disertai dengan pengusiran Kain dari ‘tanah’ [desa], sehingga teks-teks Kejadian menggambarkan Kain selanjutnya sebagai orang pertama yang membangun kota. Kain adalah pembangun kota –dan itu adalah Mesir, yang kemudian lebih banyak mengembangkan budaya besi, sedangkan orang-orang Apiru selain menggembala sudah mengembangkan budaya agraris.
Dengan sendirinya Kej.4:3, mengenai penerimaan persembahan Habel dan penolakan persembahan Kain menjadi indikasi bahwa TUHAN menerima dan menaruh respek kepada para bedouin [peternak] dan bukan kepada Mesir.
Gambaran itu menunjukkan bahwa masyarakat Israel Alkitab memposisikan TUHAN di dalam seluruh sejarah mereka. Proses-proses perubahan sosial terjadi dengan tidak melepaskan peran dan campur tangan TUHAN. Namun bagi mereka TUHAN itu tetap menjadi milik pribadi mereka. Tahapan perubahan dari nomaden ke desa-desa pertanian di tepian aliran sungai, di luar perkotaan, merupakan tempat yang dipercayai diberi oleh TUHAN kepada mereka karena relasi khusus mereka dengan TUHAN.
Di sini realitas Israel Alkitab sebagai ‘umat pilihan TUHAN’ memberi kepada mereka status eksklusif dan membedakan diri dari masyarakat lain di sekitar. Karena itu TUHAN dalam sebutan El dilihat sebagai TUHAN yang tinggal di desa-desa, dan memberkati masyarakat pedesaan yang agraris –tidak seperti itu dengan masyarakat di perkotaan. Kota dilihat sebagai bukan tempat tinggal TUHAN; sebab itu orang desa diibaratkan sebagai orang-orang pilihan TUHAN dan orang kota itu jauh dari TUHAN. Namun masalahnya bukan cuma itu melainkan pilihan TUHAN sudah jelas yakni hanya kepada Israel Alkitab –bukan bangsa lain. TUHAN dan sifatnya yang baik masih sangat eksklusif dalam pandangan ini.
[3] Yahweh
Dari tradisi Ugarit juga konsepsi Yahweh [YHWH] muncul dan berkembang. Orang-orang Apiru yang membawa konsepsi ini ke dalam lingkungan baru di desa-desa sampai dengan berkembangnya desa-desa itu menjadi unit sosial yang besar di masa infiltrasi suku-suku Ibrani, konsep Yahweh ini terus mengalami perkembangan yang berarti.
Dari tradisi asalnya itu, ternyata konsepsi Yahweh dikembangkan dengan mengambil alih seluruh unsur dari ketuhanan El dan Ashera [Baal] seperti ada dalam mitologi Ugarit. Beberapa pakar sependapat bahwa Yahweh itu diidentikkan dengan El, sebagai salah satu ilah di Ugarit. Tradisi PL mengembangkan konsep ini dalam masa pembuangan [600-300 B.C.E]. Artinya konsepsi Yahweh sudah berkembang jauh sebelum itu, pada masa-masa awal zaman perunggu [3000-3200 B.C.E]. Penggunaan konsepsi Yahweh dilakukan dengan mengedepankan semacam persaingan antara Israel dengan orang-orang Kanani [Het, Feris, Yebus, Girgasi] –dari mana konsepsi Yahweh itu berasal.
Karena itu ideologi tanah Kanaan dihidupkan sebagai bagian dari proses transisi demografi Israel dari desa-desa di aliran sungai ke kota-kota kecil yang sedang diduduki oleh bangsa Kanani. Ideologi ini dimantapkan dengan melihat bahwa Kanaan adalah tanah perjanjian yang sudah dijanjikan Yahweh kepada mereka sejak zaman nenek-moyang.
Flashback ke masa nenek moyang ini menjadi suatu point kritik baru. Sebab jika ditarik dari Abraham, maka dalam formulasi perintah paradoks itu, tidak ada teritori khusus yang dijanjikan TUHAN itu didiami/ditempati atau diserahkan menjadi milik bangsa Israel Alkitab. Nomadis itu hanya mengembara dari satu tempat ke tampat lain, lalu menempati tanah-tanah pemberian [hibah], yang adakalanya diperoleh dengan jalan ‘mempekerjakan diri sendiri’ [bnd. Yakub di rumah laban] atau melalui negosiasi –atas nama TUHAN, dengan trik ‘menyangkali istri dan mengakuinya saudara perempuan’ [bnd. Abraham dengan Firaun – Kej. 12:10-20; Abraham atau Ishak dengan Abimelekh – Kej.20:1-18; 26:1-35 –bnd. model cerita ini sama].
Konsepsi Yahweh sebenarnya diambil alih oleh Israel Alkitab dari masyarakat Kanani yang menyembah Baal, dengan perlahan-lahan mengganti konsepsi Baalisme. Baal, dalam terjemahan umum berarti ‘Tuhan atau tuan’, yang oleh orang-orang Ibrani dikenakan pula kepada Yahweh. Lambat laun istilah-istilah Baal itu mulai ‘diplesetkan’ oleh kaum Ibrani dengan nama-nama seperti ‘Bosyet’ yang berarti ‘celaan’ atau ‘malu’. Baal dipandang sebagai yang tidak lagi berhubungan dengan manusia [Hosea 2:16], bahkan cerita Baal Peor [Bil.25:1 dyb] digunakan sebagai oposisi langsung dengan Yahweh.
Yahweh mulai digambarkan sebagai sosok Tuhan yang berbeda dari Baal dan konsepsi dewa-dewa yang telah dianut masyarakat Semitis lainnya. Lukisan Yahweh yang baru itu mulai dikembangkan dengan jalan menempatkan musim-musim dalam siklus yang baru, sambil menghidupkan ritus baru seperti Hari Sabath, tahun Sabath, atau tahun Yobel, sebagai waktu di mana tanah harus diberi kesempatan untuk memulihkan dirinya. Kemasan hari raya baru ini bertujuan untuk melukiskan bahwa Yahweh adalah Tuhan yang berproses bersama dengan manusia dan alam semesta. Karya Y dalam cerita penciptaan melukiskan peran Yahweh yang telah dibedakan dari Baal, yakni dengan menempatkan menuturkan urut-urutan penciptaan secara kronologis yang berpuncak bukan hanya pada penciptaan manusia melainkan pada pengudusan atas seluruh ciptaan Yahweh itu.
Sebagai Tuhan yang berproses bersama manusia, kaum Ibrani sebenarnya hendak mengatakan bahwa Yahweh itu adalah Tuhan yang hidup. Konsepsi Tuhan yang hidup ini adalah pengembangan baru dari konsepsi Tuhan kesuburan yang awalnya juga dikenakan kepada Yahweh. Dengan memberi substansi baru sebagai Tuhan yang hidup, orang-orang Ibrani hendak mengatakanbahwa Yahweh tidak hanya terlibat dalam proses-proses alamiah, melainkan semua proses itu berasal dariNya. Bumi menghasilkan gandum berdasarkan perintah atau melalui berkat Yahweh [kej.1;11; Mzm.67:7].
Konsepsi Tuhan yang hidup tadi membuat mengapa dalam rangka menegakkan kultus Yahwisme, simbol-simbol baal seperti lembu emas pernah dihancurkan dalam reformasi Musa setelah turun dari gunung Sinai, atau perintah dalam perang suci untuk menghancurkan semua simbol keagamaan yang dianggap sebagai bentuk kekafiran; bahkan label kekafiran itu adalah juga stigma terhadap eksistensi agama lain sebagai cara menghidupkan Yahwisme. Label kekafiran diberi oleh kelompok tertentu untuk menghegemoni kelompok lain demi tujuan perluasan pengaruh agama.
Setidaknya tujuan kaum Ibrani dengan Yahwisme yang baru itu mulai mendapat tempat dalam praktek agamanya. Usaha itu melahirkan monotheisme praktis yang selalu menjadi ukuran kepercayaan masyarakat.
[4] Mazmur 145:1-21 - Redefenisi Konsepsi TUHAN – keluar dari Eksklusifisme Yahudi
Topik ini akan dibahas dengan sedikit melihat ke belakang, ke penanggalan tulisan Mazmur dan tentu ditempatkan dalam kerangka sejarah sosial masyarakat Yahudi.
Norman K. Gottwald menunjukkan ada lima tahapan sampai jadinya Kitab Mazmur. Tahapan pertama dimulai dari sekitar tahun 900-an B.C.E, khususnya dalam bentuk hymne, ratapan, nyanyian syukur dan nyanyian-nyanyian istana. Beberapa Mazmur dalam bentuk doa kultus kerajaan mulai muncul sebagai refleksi akan kekuasaan Daud di masa-masa awal. Beberapa bahan lain muncul di zaman Salomo –dalam masa kudeta yang dilakukan para pengawal istana Daud [akhir abad ke-10], hingga doa-doa kultus berkaitan dengan pembangunan Bait Allah. Tahap pertama ini berlangsung cukup panjang dan dalam masa beberapa raja yang memerintah sampai Israel pecah menjadi dua [Utara dan Selatan]. Pertarungan kekuasaan dan kudeta yang tak henti-hentinya mewarnai tulisan-tulisan mazmur pada masa ini. Tahap ini berlangsung sampai Israel di bawa ke dalam pembuangan Babel –di bawah kekuasaan Nebukadnezar [605-562].
Tahapan kedua dimulai pada tahun 600-an B.C.E yang didominasi oleh mazmur-mazmur pribadi seperti mazmur Daud, Asaph, Korah yang dari segi coraknya sering dikategorikan sebagai mazmur-mazmur Elohist dan Yahwist. Tahap ini berlangsung di dalam pembuangan. Peristiwa yang paling memilukan adalah penghancuran Bait Allah dan pembuangan kedua wangsa Daud [587]. Selain itu perkembangan politik Babel yang dilanda pertikaian dengan Negara-negara sekitarnya berlangsung pula –sampai pada invasi Persia [525] yang berpuncak pada pembebasan Israel serta pembangunan kembali bait Allah [520-515] –karena itu Mazmur di tahapan ini disebut Mazmur Bait Suci. Tulisan Mazmur pada tahap kedua berlangsung bersamaan dengan proses peredaksian beberapa tulisan taurat [Ul.2], revisi tulisan-tulisan Amos [diperkirakan Amos B dan C], revisi tulisan Yunus, Mikha, Yeremia dan Deutro Yesaya, termasuk revisi YE versi Hizkia oleh imam-imam wangsa Harun [yang juga memproduksi P], Hagai, Zakaria 1-8 dan Ratapan.
Tahapan ketiga diperkirakan berlangsung pada tahun 449 B.C.E bersamaan dengan beberapa puisi didaktis [bernuansa pendidikan langsung] –sezaman dengan Samual dan Raja-raja, atau setelah peredaksian Kitab Ayub.
Tahapan keempat diperkirakan berlangsung pada tahun 445 B.C.E, -sezaman dengan Amsal pasal 30-31, juga masih dalam tahapan pembentukan beberapa sumber sastra.
Kemudian tahapan kelima muncul lima tahun kemudian yakni 440 B.C.E bersama dengan peredaksian terakhir kitab Amsal, Tawarikh, Ezra dan Nehemiah, atau pada saat persiapan kembali ke Yerusalem sampai menempati Yerusalem, dalam rencana pembangunan kembali Bait Allah II, karena itu Kitab Mazmur disebut sebagai Kitab Bait Allah II atau kitab yang digunakan dalam pembangunan kembali Bait Allah II.
Ada beberapa proses pembagian dan peredaksian Mazmur yang menarik dan menunjuk pada perubahan tertentu dalam cara pandang ketuhanan Yahudi berkaitan dengan perubahan konstelasi politik yang dilalui dalam kelima tahapan pembentukan kitab mazmur tadi.
Coote & Coote mengasumsikan bahwa ada dua redaktur yang berkontribusi dalam cara penyusunan kitab mazmur, yakni redaktur dari kalangan wangsa Daud dan para imam-imam Lewi. Dalam proses pembangunan kembali Bait Allah, Lewi memiliki kepentingan tertentu dengan tulisan mazmur yakni untuk mendudukkan kembali posisi kultus dan meluruskan sejarah Bait Allah. Untuk kepentingan itu, mereka mengesampingkan bahan Mazmur yang memuji ketuhanan Yahweh atas bangsa-bangsa [universalisme Yahweh] seperti Mzm.93; 96-99]; kecuali Mzm. 47 yang walaupun menunjuk kepada ketuhanan Yahweh atas bangsa-bangsa namun dengan penekanan yang tetap eksklusif sebab kemahakusaan Yahweh dalam Mzm itu tetap memosisikan bangsa-bangsa lain sebagai taklukan Yahweh [baca. Isreal].
Himpunan Mzm. 2-89 merupakan hasil dari peredaksian yang dilakukan Lewi. Menurut Coote dan Coote, mereka membagi Mazmur dalam dua bagian, 2-4 dan 51-72, dan menempatkan mazmur tiga pemusik yakni anak-anak lelaki Lewi, yaitu Asaf [50, 73-78], Korah [42-49 dan 84-88 –tidak termasuk 86], dan Etan [89]. Dalam rangka menghidupkan nyanyian-nyanyian kultus itu Lewi lalu menghidupkan kembali ritus peziarahan ke Bait Allah, sambil kembali kepada hukum-hukum yang ditetapkan serta mendukung reformasi Yosia yang jelas-jelas telah berhasil memulihkan Yahwisme. Rupanya peredaksian Lewi dalam semangat kultus Bait Allah itu masih dipengaruhi oleh eksklusifisme Yahwisme –sebab itu mazmur-mazmur mengenai persembahan korban, tetapi tidak menjawab persoalan teologi tentang hubungan persembahan korban bakaran dengan persembahan korban yang benar –seperti dipersoalkan dalam tradisi kenabian di zaman itu pula. Lewi lebih menekankan pembangunan kembali Bait Allah dan tembok Yerusalem [sejalan dengan program Nehemiah] sebab hanya ke dalam Bait Allah di Yerusalem persembahan korban yang benar itu diselenggarakan.
Karena itu mazmur mengenai Bait Allah dan pemilihan Yahweh terhadap Israel [bnd. Mzm.2:6-7, 27] kembali dikumandangkan, serta mazmur mengenai Sion sebagai kota berkubu dan tempat tinggal Yahweh satu-satunya [bnd. Mzm.46; 48; 76; 84 dan 87] kembali direvisi menurut kepentingan Lewi tadi. Dalam banyak hal tujuan itu dikuatkan oleh beberapa dokumen dalam tulisan Yesaya, Yeremia dan Yehezkiel khusus mengenai nubuat melawan kekuatan asing. Karena itu posisi Yerusalem menjadi semakin kokoh dan penting [baca. Sakral].
Dari situ dapat dimengerti mengapa defenisi TUHAN yang eksklusif itu menjadi perlu dan dibentuk di dalam bagian-bagian mazmur tadi. Terjadi pada masa setelah itu, suatu gaya peredaksian mazmur yang mencoba memosisikan Israel, Yahweh dan bangsa-bangsa lain, bahkan seluruh ciptaan TUHAN di dalam suatu relasi baru yang lebih terbuka.
Dari lima Jilid Mazmur , maka khusus pada Jilid V [107-150] kita menemukan corak khusus mazmur, suatu corak yang mulai bergeser sedikit dari hymne, ratapan, dan pujian [praise], ke corak pengakuan iman [afirmatif] yang selalu didahului dengan penamaan baru tentang TUHAN bahwa: ‘TUHAN itu baik’.
Perluasan pemahaman TUHAN menjadi semakin menarik ketika TUHAN dilihat menjadi bagian dari orang atau bangsa lain. Lukisan Mzm.107:1-2 ‘Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setiaNya. Biarlah itu dikatakan orang-orang yang ditebus TUHAN, yang ditebusNya dari kuasa yang menyesakkan, yang dikumpulkanNya dari negeri-negeri, dari timur dan dari barat, dari utara dan dari selatan’, telah menjadi pembuka yang menunjuk pada universalisme Yahweh dalam tradisi mazmur.
Kemudian Mzm.117 dan 118 mencoba menegaskan universalisme tadi dengan menempatkan macam-macam pergumulan yang dihadapi oleh umat. Pada bagian-bagian berikutnya, tradisi mazmur mulai melukiskan bagaimana bangsa-bangsa dan ciptaan yang lain turut mengalami bentuk-bentuk perbuatan TUHAN yang baik. Salah satu perkembangan berarti muncul dalam Mzm.138:4.
Konsepsi TUHAN yang baik tidak lagi menjadi milik eksklusif Israel [satu bangsa, suku, ras, agama], atau hanya baik kepada manusia [androsentrisme]. TUHAN dimengerti sebagai yang baik kepada semua bangsa dan semua ciptaan [kosmosentrisme].
5. BENAR! TUHAN ITU BAIK [Mzm. 145:9]
Mazmur 145 digolongkan ke dalam bentuk Pujian dan Ucapan Terimakasih, atau puji-pujian dengan cara melukiskan ~dalam kata-kata/sajak, puisi yang indah, sifat dan karakter TUHAN yang berbeda dari siapa pun di dalam hidup pemazmur/masyarakat. Sebagai sebuah hymne, Mazmur ini diawali dan diakhiri dengan ungkapan puji-pujian kepada TUHAN. Bagian awal Mzm ini [145:1] menunjuk bahwa Mzm ini tergolong Mzm individu, tetapi di bagian akhirnya pemazmur mewakili bukan hanya manusia tetapi seluruh ciptaan TUHAN untuk membawa pujian kepada TUHAN [145:21].
Yang menarik ialah dalam himpunan Mazmur-mazmur itu, lukisan mengenai sifat dan perbuatan TUHAN itu selalu dinyanyikan karena dua hal, yakni: [1] sifatnya yang berbeda; dan [2] ketidakbatasan perbuatannya. Baiklah kita menyimak sepintas kedua hal itu dalam rumpunan Mazmur-mazmur tadi.
[1] Sifat TUHAN yang berbeda dari tuhan atau kekuatan lain. Bentuk-bentuk sifat TUHAN yang khas dalam Mazmur-mazmur itu dilukiskan secara nyata dalam Mzm. 145:8, melalui empat sifat khas yaitu: pengasih dan penyayang, panjang sabar dan besar kasih setianya.
[a] Sifat TUHAN yang pengasih [love] terungkap dalam kuasa TUHAN penciptaan. Menariknya ialah penciptaan dalam Mazmur memiliki dimensi yang berbeda dari Kejadian [Torah]. Dalam Kejadian penciptaan dilukiskan dalam sifat TUHAN yang penuh kuasa. Di dalam kuasaNya itu, ‘baik’ [ibr. tov] adalah carapandang TUHAN terhadap semua yang sudah dijadikannya. Jadi ‘baik’ di situ bukanlah sifat TUHAN, melainkan kualitas ciptaan [bnd. istilah ‘kudus’ atau dikuduskan oleh TUHAN]. Di dalam Mazmur, ‘baik’ [ibr. tov] justru merupakan sifat dasar dari TUHAN. Jadi TUHAN di sini dilukiskan dalam sifatnya yang ‘baik’. Sifat ‘baik’-nya TUHAN itu, bagi pemazmur dialami bukan hanya oleh manusia tetapi oleh seluruh ciptaan TUHAN. Lihatlah saja lukisan dalam Mzm. 8 – tampak di sana bagaimana pemazmur mengalami sifat baik TUHAN yang bukan saja menciptakan langit dan bumi, tetapi juga manusia, dan karena itu namaNya dimuliakan di seluruh muka bumi. Lihat pula Mzm. 19:1-6 – tampak bagaimana pula langit, cakrawala, hari siang dan malam turut menceritakan sifat TUHAN yang baik; dan kepedulian TUHAN kepada semua makhluk [bnd. Mzm.33, dyl]. Atau Mzm.147:1 yang juga secara langsung menyebut TUHAN itu baik, bahkan indah! Hal ‘baik’ dan indah pada 147:1 ini juga dilukiskan bukan hanya kepada manusia tetapi terhadap ciptaan lainnya [bnd.147:8,9]. Intinya semua yang tercipta di semesta ini terjadi seperti itu, dan memainkan fungsi pada tempatnya oleh cinta TUHAN atau TUHAN yang pengasih. Jadi ay.9 – TUHAN itu baik kepada semua orang [LAI] penting dikoreksi karena dalam terjemahan asli [BHS/Biblia Hebraica Stutgartensia] dan beberapa versi bahasa Inggris [KJV, RSV, NIV], disebut ‘TUHAN itu baik kepada semuanya’. Dari segi sastra, ay.9 – ‘TUHAN itu baik kepada semuanya’ adalah penjelasan dari ay.8. Semuanya di situ menunjuk kepada semua tatanan ciptaan TUHAN, jadi semuanya menunjuk kepada semua makhluk yang diciptakan TUHAN dan ditempatkan di bumi, di bawah langit [bnd.Kej.1].
[b] Sifat penyayang [faithfulness] adalah salah satu bentuk sifat TUHAN yang ‘baik’. Namun sifat penyayang di sini lebih menjurus pada dimensi etika, yakni kesetiaan. Dalam Mzm.98:3, kesetiaan TUHAN itu terlukis dalam sifatnya yang tidak menyangkal dan tidak membatalkan janji yang telah diikatNya dengan manusia. Tetapi Mzm.145:17 dan 20, kesetiaan TUHAN itu lebih dalam lagi maknanya, yakni IA selalu bertindak adil dan menunjuk jalan-jalan keadilan kepada umatNya, serta mengasihi semua orang yang bertindak adil, menurut jalan-jalan yang sudah ditunjukNya itu. Jadi hal penyayang itu menjurus pada konsistensi sikap. Sang penyayang tidak akan mengubah sikapnya hanya karena kepentingan tertentu, melainkan kokoh di dalam sikapnya oleh karena ada ikatan janji yang telah dibuat.
[c] Sifat Panjang sabar [compassion] itu merupakan perluasan dari sifat penyayang. Sifat ini terwujud melalui cara TUHAN memelihara semua ciptaanNya dengan memberi kepada semua ciptaan itu fungsi dan tempat masing-masing. Sifat ini menjurus pada ketertiban atau tata tertib [order], yang memungkinkan tiap ciptaan itu berfungsi tanpa harus saling mendominasi satu dengan lainnya. Karena menjurus pada tata tertib, maka dalam sifat panjang sabar terletak dimensi kemahakuasaan atau pemerintahan TUHAN yang benar-benar adil dan tidak memihak. Lukisan Mzm.145 mengenai kemuliaan, kerajaan, keperkasaan, adalah bentuk-bentuk kemahakuasaan TUHAN sebagai bentuk pengungkapan ke-panjang sabaranNya TUHAN itu. Jadi kerajaanNya adalah kerajaan damai sejahtera, kekuasaanNya itu adil, dan keperkasaanNya tampak dalam tindakanNya menyelamatkan dan memulihkan seluruh ciptaanNya itu. Bahkan setiap ciptaan diberi kemampuan untuk memulihkan diriNya sendiri. Di situlah terletak alasan mengapa pemazmur melukiskan dalam Mzm ini semua ciptaan TUHAN memuji-muji DIA [145:10-11].
[d] Sifat Besar kasih setianya [affection] lebih menjurus pada tindakan TUHAN yang ‘overprotective’. Dalam Mzm. 145, beberapa sifat itu misalnya dalam ay.9 – di mana pemazmur melukiskan kerahmatan/kerahiman TUHAN. Bahwa IA adalah sumber dari semua ciptaanNya, atau semua yang tercipta itu keluar atau jadi dariNya. Dimensi kerahiman atau kerahmatan itu menempatkan segala yang tercipta itu sebagai bagian yang menyatu [inhern] dengan TUHAN, dan tidak bisa dilepaskan dariNya. TUHAN dan ciptaanNya itu satu, dan ciptaan itu tidak bisa dilepaskan atau melepaskan diri dari TUHAN. Ciptaan itu adalah penyataan diri TUHAN, atau TUHAN itu dapat dilihat, dipahami melalui ciptaanNya. Ayat 14-20 adalah lukisan panjang lebar mengenai sifat TUHAN yang satu ini. Bagaimana IA membela orang-orang yang lemah, memberi berkat kepada yang miskin, melindungi dan menghidupi semua ciptaanNya [bnd. kata ‘membuka tangan’ dan ‘mengenyangkan’ dlm ay.16], IA memelihara relasi atau dekat dengan orang yang takut kepadaNya, dan mengasihi semua orang yang mengasihi/setia kepadaNya.
Seruan pujian dalam ay.1 dan 21 menegaskan bahwa Mzm.145 adalah bentuk hymne dari seseorang atas nama semua ciptaan TUHAN, jadi bukan pribadi atas nama semua manusia. Corak ini menarik, sebab dalam himpunan Mzm yang serumpun dengan Mzm.145, tampilnya pribadi mengatasnamakan seluruh ciptaan memperlihatkan kesadaran kemakhlukan dari seorang manusia. Bahwa sama dengan ciptaan lainnya, manusia itu pun diciptakan TUHAN. Bobot kualitasnya tidak diukur dari akal [kesadaran] seperti klaim teologi penciptaan selama ini, melainkan oleh kepedulian dan kebersamaan dengan semua ciptaan lain untuk memuji Tuhan. Jadi aspek ritual dan pengalaman bersama [sosialisasi] yang diutamakan dalam Mzm ini. Ritual dalam arti pujian itu adalah ungkapan terima kasih dan penghargaan kepada TUHAN, dan pengalaman bersama [sosialisasi] adalah bentuk tanggungjawab memelihara ketertiban ciptaan TUHAN yang sudah ada.
Buku Rujukan:
Robert B. Coote dan David Robert Ord, The Bible First History: From Eden to the court of David with the Yahwist, Philadelpiha: Fortress Press, 1989
Norman K. Gottwald, Hebrew Bible, A Socio-Literary Introduction, Philadelphia: Fortress Press, 1987
L.K; Handy, Among Host of Heaven: The Syro-Palestinian Pantheon as Bureaucracy, Winona Lake, IN: Eisenbrauns, 1993
Lowel K. Handy, ‘The Appearance of Pantheon in Judah’, dalam Diana Vikander Edelman (ed.), The Triumph of Elohim, From Yahwisms to Judhaisms, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publ., co., 1996
Herbert Niehr, Der Höchste Gott: Alttestamentlischer JHWH-Glaube in Kontext syrisch-kanaanaischer Religion des 1. Jahrtausend v. Chr, BZW 190; Berlin and New York: Walter de Gruyter, 1990, [Terj. Ing. Herbert Niehr, “The Rise of YHWH in Judahite and Israelite Religion: Methodological and Religio-Historical Aspects”, Diana Vikander Edelman (ed.), The Triumph of Elohim, From Yahwisms to Judhaisms, Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publ., co., 1996
Th. C. Vriezen, Agama Israel Kuno, terj. I.J. Cairns, Jakarta: BPK Gunung Mulia, cetakan ke-3, 2001
Robert B. Coote & Mary P. Coote, Kuasa, Politik & Proses Pembuatan Alkitab, terj. Minda Perangin-angin, Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cetakan I, 2001
Koruptor! ‘Proyek Gagal’ TUHAN
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Banyak barang elektronik yang adalah hasil dari ‘proyek gagal’. Barang itu tidak memadai dalam menjalankan fungsi sebagaimana ‘blue print’-nya. Sama dengan produk Jeans. Setelah disortir jika ada yang belum ditempelkan label, maka langsung dipisahkan dan dijual di pasar gelap. Proyek gagal itu biasa dijual dengan harga miring alias murah. Meski begitu, banyak orang yang suka membeli proyek gagal. Selain ternyata bagus-bagus, murah dan bisa dijangkau dengan mudah, termasuk oleh mereka ada dalam kelas menengah ke bawah. Apalagi jika proyek gagal itu dijual di pasar ‘Cakbo’ alias Cakar [dan] bongkar –yang memang hanya dikunjungi orang-orang miskin.
Kesan disukai tadi sama dengan sifat gamang sebagian besar orang di Republik ‘Gagal’ ini melakukan tindakan korupsi. Mulai dari pejabat golongan III sekelas Gayus Tambunan sampai pada Menteri dan Anggota DPR-RI. Ternyata kegamangan itu menjadi sebentuk perilaku karena sifatnya yang juga gampang. Gampang dilakukan, gampang juga menghindar hukuman. Sudah dihukum, toh gampang juga jalan-jalan dan menyuap dalam status terdakwa. Gamang + gampang = gancang [suka melakukan suatu hal sebagai hobi/habitus].
Manusia yang gancang korupsi mengalami kerusakan fungsi-fungsi asalinya. Ada yang macet di level kesadaran dan pengenalan dirinya. Ada jaringan yang tersumbat di level kepercayaannya, sehingga mereka terlalu percaya diri, mampu dan suka mencuri dan merampok milik orang lain secara ‘bertanggungjawab’: karena diketahui banyak orang. Kita tidak sedang menyoal tidak ada rasa malu lagi dalam dirinya. Kita sedang meresahkan sifat kebinatangan yang masih ternyata mengendap di level kesadaran bawahnya. Rasa rakus dan hasrat merampas begitu kuat sehingga menepikan akhlak dan kesadaran bathinnya.
Ternyata ada, malah banyak sekali makhluk manusia seperti itu di Indonesia. Jangankan hukum positif yang berlaku di bangsa dan negara ini, larangan jangan mencuri, jangan merampok, jangan mengingini barang sesamamu yang diajarakan agama juga tidak mempan bagi mereka. Mereka adalah manusia tetapi perilaku kebinatangan lebih dominan. Mereka hidup dalam masyarakat manusia tetapi memandang sesamanya sebagai lawan yang harus disikat, dirampok. Perilaku korupsi dilakukan secara sadar dan itu lebih berbahaya dari membunuh.
Bukan hanya para koruptor, para penegak hukum dan aparatur negara yang mudah dan suka terima suap dan memanipulasi fakta dan aturan hukum demi melindungi koruptor adalah proyek gagal TUHAN. Hukum dibuat untuk dilanggar oleh penegaknya sendiri. Hukum di tangan penegak yang mata sebelah kanannya terbuka sama dengan tangan kanannya yang memegang pundi-pundi. Mata kirinya tertutup dan tangan kirinya memegang pedang dan palu sekaligus. Akibatnya terhadap para koruptor, mata mereka melihat isi pundi-pundi; dan ibu Mina yang mengambil tiga buah kakau mata mereka tertutup lalu menebas pedang dan mengetok palu vonis.
Kenyataan seperti itu sudah menjadi fakta sosial dalam budaya penegakan hukum di Indonesia. Jika ada seseorang yang melanggar hukum, dengan melihat status sosialnya kita sudah bisa menduga sikap penegak hukum terhadapnya. Apalagi yang mau disesali? Masyarakat kecil dibelajarkan untuk terpaksa hidup sambil menerima nasib dan takdir bikinan para penguasa. [*]
Banyak barang elektronik yang adalah hasil dari ‘proyek gagal’. Barang itu tidak memadai dalam menjalankan fungsi sebagaimana ‘blue print’-nya. Sama dengan produk Jeans. Setelah disortir jika ada yang belum ditempelkan label, maka langsung dipisahkan dan dijual di pasar gelap. Proyek gagal itu biasa dijual dengan harga miring alias murah. Meski begitu, banyak orang yang suka membeli proyek gagal. Selain ternyata bagus-bagus, murah dan bisa dijangkau dengan mudah, termasuk oleh mereka ada dalam kelas menengah ke bawah. Apalagi jika proyek gagal itu dijual di pasar ‘Cakbo’ alias Cakar [dan] bongkar –yang memang hanya dikunjungi orang-orang miskin.
Kesan disukai tadi sama dengan sifat gamang sebagian besar orang di Republik ‘Gagal’ ini melakukan tindakan korupsi. Mulai dari pejabat golongan III sekelas Gayus Tambunan sampai pada Menteri dan Anggota DPR-RI. Ternyata kegamangan itu menjadi sebentuk perilaku karena sifatnya yang juga gampang. Gampang dilakukan, gampang juga menghindar hukuman. Sudah dihukum, toh gampang juga jalan-jalan dan menyuap dalam status terdakwa. Gamang + gampang = gancang [suka melakukan suatu hal sebagai hobi/habitus].
Manusia yang gancang korupsi mengalami kerusakan fungsi-fungsi asalinya. Ada yang macet di level kesadaran dan pengenalan dirinya. Ada jaringan yang tersumbat di level kepercayaannya, sehingga mereka terlalu percaya diri, mampu dan suka mencuri dan merampok milik orang lain secara ‘bertanggungjawab’: karena diketahui banyak orang. Kita tidak sedang menyoal tidak ada rasa malu lagi dalam dirinya. Kita sedang meresahkan sifat kebinatangan yang masih ternyata mengendap di level kesadaran bawahnya. Rasa rakus dan hasrat merampas begitu kuat sehingga menepikan akhlak dan kesadaran bathinnya.
Ternyata ada, malah banyak sekali makhluk manusia seperti itu di Indonesia. Jangankan hukum positif yang berlaku di bangsa dan negara ini, larangan jangan mencuri, jangan merampok, jangan mengingini barang sesamamu yang diajarakan agama juga tidak mempan bagi mereka. Mereka adalah manusia tetapi perilaku kebinatangan lebih dominan. Mereka hidup dalam masyarakat manusia tetapi memandang sesamanya sebagai lawan yang harus disikat, dirampok. Perilaku korupsi dilakukan secara sadar dan itu lebih berbahaya dari membunuh.
Bukan hanya para koruptor, para penegak hukum dan aparatur negara yang mudah dan suka terima suap dan memanipulasi fakta dan aturan hukum demi melindungi koruptor adalah proyek gagal TUHAN. Hukum dibuat untuk dilanggar oleh penegaknya sendiri. Hukum di tangan penegak yang mata sebelah kanannya terbuka sama dengan tangan kanannya yang memegang pundi-pundi. Mata kirinya tertutup dan tangan kirinya memegang pedang dan palu sekaligus. Akibatnya terhadap para koruptor, mata mereka melihat isi pundi-pundi; dan ibu Mina yang mengambil tiga buah kakau mata mereka tertutup lalu menebas pedang dan mengetok palu vonis.
Kenyataan seperti itu sudah menjadi fakta sosial dalam budaya penegakan hukum di Indonesia. Jika ada seseorang yang melanggar hukum, dengan melihat status sosialnya kita sudah bisa menduga sikap penegak hukum terhadapnya. Apalagi yang mau disesali? Masyarakat kecil dibelajarkan untuk terpaksa hidup sambil menerima nasib dan takdir bikinan para penguasa. [*]
Gayus dan Parodi Hukum
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Komedian vs Politisi
Siapa yang lucu antara komedian dan politisi? Ini pertanyaan yang tidak penting. Sebab komedian memiliki sense of humor [kemampuan melucu] yang bertujuan membangkitkan sense of amusing [rasa lucu] pemirsa atau penonton. Mereka tidak sekedar melawak melainkan berusaha membawakan sesuatu cerita dengan gaya dan tingkah yang tidak sekedar lucu tetapi mampu membangkitkan rasa geli dan memancing tawa pemirsa atau penonton.
Politisi memiliki kharisma membangkitkan rasa percaya [sense of trust] rakyat melalui tutur kata, konsistensi ketika menjalankan fungsi-fungsi legislasi mereka. Jika politisi memparodikan sesuatu, ternyata tidak membangkitkan sense kelucuan pemirsa atau konstituent, melainkan membangkitkan rasa heran konstituent bahwa: ‘mereka kok lucu’. Suatu ironi, sebab konstituent –tanpa diajari, tentu tahu bahwa apa yang ‘diparodikan’ politisi itu ibarat jurang menganga antara teori dan praksis.
Parodi Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR-RI dengan Kapolri pada 24 Januari 2011 yang disiarkan secara Live oleh salah satu TV swasta Nasional memperlihatkan ironi itu. Masalah Gayus Tambunan –agar jelas beda dengan Gayus Lumbuun anggota Komisi III DPR-RI, terus ‘diburu’ tetapi dengan asumsi-asumsi politis yang terus terkurung dalam tema-tema normatif.
Bukankah untuk mengusut masalah mafia perpajakan yang dilakukan Gayus jelas harus dimulai dengan terlebih dahulu men-list [mendaftarkan] perusahaan yang ada dalam bagian kerja Gayus, sebagai obyek pajak yang berada dalam ‘kewenangan’ Gayus itu? Tentu perusahan-perusahan itu bernama, pemiliknya jelas, dan jumlah pajak tertanggungnya pun jelas. Susah-susah mencari siapa yang memberi uang, siapa yang meloloskan dia keluar masuk Lapas, siapa yang dijumpainya di Singapura, Macau, Bali, dll –nama perusahan dan pemilik sebagai obyek pajak saja tidak pernah berani disebut atau diungkap. Semua politisi di Komisi III malah bertindak membela kepentingan tertentu atas nama partai. Lihat saja gaya Ruhut ‘Poltak’ Sitompul yang terus mengatasnamakan dirinya sebagai Jurubicara Partai Demokrat, atau Edison Betaubun sebagai wakil dari Partai Golkar. Itu yang lucu, sebab Komisi III sendiri terpolarisasi dalam egosentrisme partai politik; bukan Komisi untuk kepentingan umum. Bukankah itu berarti ternyata pemilik perusahan obyek pajak itu adalah petinggi partai? Apa yang tidak jelas kepada rakyat? Semuanya jelas, hanya parodi di pentas politik DPR-RI yang membuatnya absurd, tidak kentara.
Gayus vs Polisi
Gayus bukan polisi, melainkan pelanggar hukum yang meminta menjadi staf ahli Kapolri. Inikah sindiran Gayus kepada institusi Polri? Gayus mungkin menilai dirinya lebih lihai dari kecermatan Reskrim Polri mengusut jaringan mafia perpajakan dan korupsi di Indonesia.
Para petinggi Polri disebut-sebut terjerat dalam masalah Gayus –bahkan Kapolri membeberkan sembilan faktor yang membuat anggota Polri bisa terseret dalam masalah per-mafia-an kasus. Ini merupakan bukti bahwa piranti hukum sebagai pengawal tidak juga ditaati oleh para penegak hukum itu sendiri. Mungkinkah dengan begitu kita memandang lumrah pomeo: ‘jika ada 10 sarja hukum, maka ada 10 pendapat tentang suatu masalah hukum’. Melumrahkan pomeo itu sama dengan mengatakan hukum itu relativ dan tafsir hukum itu selalu bertumpu pada subyektifitas. Maka lucu memang jika penegak hukum termasuk kepolisian menjadi gampang dan gamang melakukan praktek pelanggaran hukum; termasuk karena itu membiarkan Gayus lenggak-lenggong ke sana kemari, dan membiarkan para petinggi kepolisian dikejar-kejar berbagai tuduhan khalayak ramai.
Spekulasi hukum seperti itu menggambarkan bahwa supremasi hukum di Indonesia dilemahkan oleh para penegak hukum sendiri. Maka orang bermodal dapat saja melakukan pelanggaran hukum karena para penegaknya juga bisa diajak melanggari hukum itu. Ini jelas parodi yang membuat Gayus lebih lihai dari kecermatan kepolisian.
Gayus vs Jaksa/Hakim
Enteng sekali gaya Gayus menjawab semua pertanyaan hakim dan jaksa bahkan ketika harus sesuai dengan BAP sekalipun. Ia malah didakwa dengan UU perpajakan –yang oleh banyak kalangan akademisi adalah kurang tepat, karena mestinya digunakan UU pencucian uang. Para akademisi hukum yang adalah profesor dan dosen para penegak hukum itu sendiri malah merasa heran mengapa para penegak hukum mempraktekkan sesuatu yang justru berbeda dengan teori hukum yang dipelajari di perguruan tinggi. Apakah jarak antara teori dan praktek memang selalu niscaya sehingga orang gampang berdalih bahwa teori itu mubazir sebab di lapangan faktanya jadi lain?
Untuk hal-hal yang legal saja azas relativisme telah berlaku, bagaimana lagi untuk hal-hal yang niscaya? Ini menandakan bahwa memang Indonesia ini panggung parodi yang dimainkan hanya oleh mereka yang ada dalam lingkaran kekuasaan dan permodalan. Lihat saja, belum tuntas kasus Gayus, para anggota DPR-RI yang memburu Gayus rame-rame ditahan oleh kasus penyuapan dalam perebutan tampuk kekuasaan BI.
Ini menjadi menarik, yakni PR hukum terus bertambah di tengah banyak PR yang belum selesai dikerjakan: BLBI, Century, Mafia perpajakan, pemalsuan paspor, Lapindo, dst. Ada apa dengan fenomena ini? Jelas! Pertarungan para elite politik dan perang antarpartai politik. Alias tidak ada satu parpol yang bersih dan berhak ‘berteriak: maling’ terhadap parpol lainnya. Jika masalah Gayus dihembuskan [serangan terhadap petinggi partai Golkar], tentu Century ditiup angin pula [serangan terhadap petinggi partai Demokrat/Presiden dan Wapres]. Nah sekarang ada angin baru lagi yakni penyuapan dalam kasus pemilihan Deputy Senior BI [serangan terhadap PDIP].
Jaksa dan Hakim yang diharapkan menjadi eksekutor berbagai praktek ketidakbenaran ini berada pada dua posisi: semakin kuat atau bisa mempermainkan keadaan. Sebab institusi hukum pun mendapat angin: tidak bisa seenaknya dituduh main mata dengan pelanggar hukum karena politisi pun suka main mata dengan pelanggar hukum. Iwan Fals selalu benar: ‘maling teriak maling…’
Gayus vs Sipil
Gayus adalah sipil yang berubah menjadi un-sipil. Pelayan publik di Dirjen Perpajakan yang mesti menagih pajak tertanggung dari obyek pajak berubah memperkaya diri sendiri. Tugasnya menarik pajak yang berguna bagi pensejahteraan rakyat mengalami bias karena kerakusan sebagai sifat zoologi –demikian sitiran Elias Canetti, sehingga membuat dia bukan hanya kaya melainkan menjadi semakin ‘perkasa’ –karena dapat menembusi terali besi dan pengawalan ekstra ketat aparat keamanan di berbagai tempat.
Kelompok un-sipil seperti Gayus melemahkan posisi kesejahteraan sipil yang sebenarnya. Sipil yang berhak sejahtera kehilangan akses kesejahteraannya, sebab selain Gayus, kelompok un-sipil lain, yakni perusahan-perusahan besar obyek pajak yang manipulatif dan beberapa partai politik pun telah mencoreng usaha-usaha keejahteraan itu.
Kesimpulannya semua lembaga sipil di negara ini telah menjadi un-sipil, sebab jika pelanggaran hukum berupa pencurian buah cokelat/kakau, ayam, perkelahian antarwarga, stigma separatis sampai ke terorisme –yang dilakoni oleh masyarakat kecil, hukumnya jelas, langsung, tegas dan cepat. Ibarat sidang tilang kendaraan bermotor. Tetapi jika melibatkan petinggi, pengusaha besar, atau sesama rekan se-partai maka kasus-kasus itu menguap, bahkan ada yang hilang. Maka tidak heran jika Suciati terus akan merenungi nasibnya sebab misteri kematian suaminya Munir tetap akan menguap dan mungkin suatu waktu hilang.
Oh, sipil…..mungkin sudah begini nasib kita. Mereka membuat kita berhak meratapi dan menangisi nasib kita sendiri. Mengapa jadi rakyat kecil dan biasa ya????? Jangan-jangan ini salah TUHAN???? [*]
Komedian vs Politisi
Siapa yang lucu antara komedian dan politisi? Ini pertanyaan yang tidak penting. Sebab komedian memiliki sense of humor [kemampuan melucu] yang bertujuan membangkitkan sense of amusing [rasa lucu] pemirsa atau penonton. Mereka tidak sekedar melawak melainkan berusaha membawakan sesuatu cerita dengan gaya dan tingkah yang tidak sekedar lucu tetapi mampu membangkitkan rasa geli dan memancing tawa pemirsa atau penonton.
Politisi memiliki kharisma membangkitkan rasa percaya [sense of trust] rakyat melalui tutur kata, konsistensi ketika menjalankan fungsi-fungsi legislasi mereka. Jika politisi memparodikan sesuatu, ternyata tidak membangkitkan sense kelucuan pemirsa atau konstituent, melainkan membangkitkan rasa heran konstituent bahwa: ‘mereka kok lucu’. Suatu ironi, sebab konstituent –tanpa diajari, tentu tahu bahwa apa yang ‘diparodikan’ politisi itu ibarat jurang menganga antara teori dan praksis.
Parodi Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR-RI dengan Kapolri pada 24 Januari 2011 yang disiarkan secara Live oleh salah satu TV swasta Nasional memperlihatkan ironi itu. Masalah Gayus Tambunan –agar jelas beda dengan Gayus Lumbuun anggota Komisi III DPR-RI, terus ‘diburu’ tetapi dengan asumsi-asumsi politis yang terus terkurung dalam tema-tema normatif.
Bukankah untuk mengusut masalah mafia perpajakan yang dilakukan Gayus jelas harus dimulai dengan terlebih dahulu men-list [mendaftarkan] perusahaan yang ada dalam bagian kerja Gayus, sebagai obyek pajak yang berada dalam ‘kewenangan’ Gayus itu? Tentu perusahan-perusahan itu bernama, pemiliknya jelas, dan jumlah pajak tertanggungnya pun jelas. Susah-susah mencari siapa yang memberi uang, siapa yang meloloskan dia keluar masuk Lapas, siapa yang dijumpainya di Singapura, Macau, Bali, dll –nama perusahan dan pemilik sebagai obyek pajak saja tidak pernah berani disebut atau diungkap. Semua politisi di Komisi III malah bertindak membela kepentingan tertentu atas nama partai. Lihat saja gaya Ruhut ‘Poltak’ Sitompul yang terus mengatasnamakan dirinya sebagai Jurubicara Partai Demokrat, atau Edison Betaubun sebagai wakil dari Partai Golkar. Itu yang lucu, sebab Komisi III sendiri terpolarisasi dalam egosentrisme partai politik; bukan Komisi untuk kepentingan umum. Bukankah itu berarti ternyata pemilik perusahan obyek pajak itu adalah petinggi partai? Apa yang tidak jelas kepada rakyat? Semuanya jelas, hanya parodi di pentas politik DPR-RI yang membuatnya absurd, tidak kentara.
Gayus vs Polisi
Gayus bukan polisi, melainkan pelanggar hukum yang meminta menjadi staf ahli Kapolri. Inikah sindiran Gayus kepada institusi Polri? Gayus mungkin menilai dirinya lebih lihai dari kecermatan Reskrim Polri mengusut jaringan mafia perpajakan dan korupsi di Indonesia.
Para petinggi Polri disebut-sebut terjerat dalam masalah Gayus –bahkan Kapolri membeberkan sembilan faktor yang membuat anggota Polri bisa terseret dalam masalah per-mafia-an kasus. Ini merupakan bukti bahwa piranti hukum sebagai pengawal tidak juga ditaati oleh para penegak hukum itu sendiri. Mungkinkah dengan begitu kita memandang lumrah pomeo: ‘jika ada 10 sarja hukum, maka ada 10 pendapat tentang suatu masalah hukum’. Melumrahkan pomeo itu sama dengan mengatakan hukum itu relativ dan tafsir hukum itu selalu bertumpu pada subyektifitas. Maka lucu memang jika penegak hukum termasuk kepolisian menjadi gampang dan gamang melakukan praktek pelanggaran hukum; termasuk karena itu membiarkan Gayus lenggak-lenggong ke sana kemari, dan membiarkan para petinggi kepolisian dikejar-kejar berbagai tuduhan khalayak ramai.
Spekulasi hukum seperti itu menggambarkan bahwa supremasi hukum di Indonesia dilemahkan oleh para penegak hukum sendiri. Maka orang bermodal dapat saja melakukan pelanggaran hukum karena para penegaknya juga bisa diajak melanggari hukum itu. Ini jelas parodi yang membuat Gayus lebih lihai dari kecermatan kepolisian.
Gayus vs Jaksa/Hakim
Enteng sekali gaya Gayus menjawab semua pertanyaan hakim dan jaksa bahkan ketika harus sesuai dengan BAP sekalipun. Ia malah didakwa dengan UU perpajakan –yang oleh banyak kalangan akademisi adalah kurang tepat, karena mestinya digunakan UU pencucian uang. Para akademisi hukum yang adalah profesor dan dosen para penegak hukum itu sendiri malah merasa heran mengapa para penegak hukum mempraktekkan sesuatu yang justru berbeda dengan teori hukum yang dipelajari di perguruan tinggi. Apakah jarak antara teori dan praktek memang selalu niscaya sehingga orang gampang berdalih bahwa teori itu mubazir sebab di lapangan faktanya jadi lain?
Untuk hal-hal yang legal saja azas relativisme telah berlaku, bagaimana lagi untuk hal-hal yang niscaya? Ini menandakan bahwa memang Indonesia ini panggung parodi yang dimainkan hanya oleh mereka yang ada dalam lingkaran kekuasaan dan permodalan. Lihat saja, belum tuntas kasus Gayus, para anggota DPR-RI yang memburu Gayus rame-rame ditahan oleh kasus penyuapan dalam perebutan tampuk kekuasaan BI.
Ini menjadi menarik, yakni PR hukum terus bertambah di tengah banyak PR yang belum selesai dikerjakan: BLBI, Century, Mafia perpajakan, pemalsuan paspor, Lapindo, dst. Ada apa dengan fenomena ini? Jelas! Pertarungan para elite politik dan perang antarpartai politik. Alias tidak ada satu parpol yang bersih dan berhak ‘berteriak: maling’ terhadap parpol lainnya. Jika masalah Gayus dihembuskan [serangan terhadap petinggi partai Golkar], tentu Century ditiup angin pula [serangan terhadap petinggi partai Demokrat/Presiden dan Wapres]. Nah sekarang ada angin baru lagi yakni penyuapan dalam kasus pemilihan Deputy Senior BI [serangan terhadap PDIP].
Jaksa dan Hakim yang diharapkan menjadi eksekutor berbagai praktek ketidakbenaran ini berada pada dua posisi: semakin kuat atau bisa mempermainkan keadaan. Sebab institusi hukum pun mendapat angin: tidak bisa seenaknya dituduh main mata dengan pelanggar hukum karena politisi pun suka main mata dengan pelanggar hukum. Iwan Fals selalu benar: ‘maling teriak maling…’
Gayus vs Sipil
Gayus adalah sipil yang berubah menjadi un-sipil. Pelayan publik di Dirjen Perpajakan yang mesti menagih pajak tertanggung dari obyek pajak berubah memperkaya diri sendiri. Tugasnya menarik pajak yang berguna bagi pensejahteraan rakyat mengalami bias karena kerakusan sebagai sifat zoologi –demikian sitiran Elias Canetti, sehingga membuat dia bukan hanya kaya melainkan menjadi semakin ‘perkasa’ –karena dapat menembusi terali besi dan pengawalan ekstra ketat aparat keamanan di berbagai tempat.
Kelompok un-sipil seperti Gayus melemahkan posisi kesejahteraan sipil yang sebenarnya. Sipil yang berhak sejahtera kehilangan akses kesejahteraannya, sebab selain Gayus, kelompok un-sipil lain, yakni perusahan-perusahan besar obyek pajak yang manipulatif dan beberapa partai politik pun telah mencoreng usaha-usaha keejahteraan itu.
Kesimpulannya semua lembaga sipil di negara ini telah menjadi un-sipil, sebab jika pelanggaran hukum berupa pencurian buah cokelat/kakau, ayam, perkelahian antarwarga, stigma separatis sampai ke terorisme –yang dilakoni oleh masyarakat kecil, hukumnya jelas, langsung, tegas dan cepat. Ibarat sidang tilang kendaraan bermotor. Tetapi jika melibatkan petinggi, pengusaha besar, atau sesama rekan se-partai maka kasus-kasus itu menguap, bahkan ada yang hilang. Maka tidak heran jika Suciati terus akan merenungi nasibnya sebab misteri kematian suaminya Munir tetap akan menguap dan mungkin suatu waktu hilang.
Oh, sipil…..mungkin sudah begini nasib kita. Mereka membuat kita berhak meratapi dan menangisi nasib kita sendiri. Mengapa jadi rakyat kecil dan biasa ya????? Jangan-jangan ini salah TUHAN???? [*]
Subscribe to:
Posts (Atom)
TALITA KUM
(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella Paduan Terompet Jemaat Rumahtiga di Rohua, Januari 2009 A. Perspektif Ibadah merupakan suatu aktifitas agama ...
-
Materi Khotbah Bahan Khotbah : Mazmur 72:1-11 Saudara-saudaraku, Tulisan dalam Mazmur 72:1-11(20), merupakan suatu hymne kepada keadilan dar...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella [Materi Ibadah Keluarga Perangkat Pelayan Jemaat Rumahtiga, 17 September 2013] Pengantar Tulisan ini...