Perspektif Protestan
[Catatan Kecil dari Konferda V AMGPM Tanimbar Selatan]
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
1. Kerja sebagai Panggilan
Tulisan ini dikerjakan sambil mendengar sebuah ceramah dari Bupati MTB, Drs. B.S. Temmar, di hadapan Forum Konferensi Daerah V AMGPM Tanimbar Selatan, di Balai Pembinaan Umat ‘Sejahtera’ Jemaat GPM Saumlaki, Senin, 17 Januari 2011. Sang Bupati yang kemarin genap 4 tahun memimpin Kabupaten Duan Lolat ini mempersoalkan kelemahan-kelemahan sistemik yang dapat membuat program pemberdayaan menjadi gagal.
Bupati yang belajar banyak tradisi sosiologi ini langsung menohok beberapa teori sosiologi –termasuk Etika Protestantisme dan Spirit Kapitalisme, karya termashyur Max Weber yang cukup dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran teologi Luther dan Calvin, dua pesohor gereja [baca. Protestantisme].
Meminjam defenisi teologi Calvin dan Luther, Weber menegaskan kembali kerja [work] sebagai ‘panggilan’ [calling]. Sebab bagi Calvin dan Luther, aktifitas keseharian manusia dalam lingkungan sosialnya, atau bekerja di bidang-bidang ekonomi, bukanlah hal yang tabu apalagi dosa. Kalangan gereja sebelumnya melihat bahwa pekerjaan yang kudus adalah pekerjaan di dalam lingkungan gerejawi –sebab itu menjadi Imam atau bekerja di dalam lingkungan agama merupakan bentuk pekerjaan yang kudus, dan adalah panggilan TUHAN.
Weber, seperti juga Calvin dan Luther membantah pemikiran itu dengan menisbikan batasan sakral dan profan. Secara sosiologis menurut Weber realitas kapitalisme tidak semata-mata bertujuan untuk memperkaya diri sendiri melalui aktifitas-aktifitas monopoli dan eksploitasi - apa yang juga dikritik Marx dengan melihat eksploitasi itu dalam bentuk tekanan kaum borjuis [pemilik pabrik] terhadap kaum proletar [buruh tani].
Kelemahan mendasar yang terjadi ialah perspektif yang kaku dari gereja, kala itu atau mungkin juga masih ada separuhnya saat ini, yang membuat orang tidak melihat hidupnya saat ini, di dalam dunia, di dalam lingkungannya sebagai arena pertanggungjawaban iman. Gereja telah membangun suatu cara pandang eskhatologis yang terarah pada keselamatan di sorga. Karena itu mengapa kemudian muncul pemahaman predestinasi [keselamatan yang telah ditentukan sebelumnya –atau orang yang selamat itu sudah ditentukan sebelumnya], yang lalu ditolak oleh protestantisme dengan pemahaman sola-fide [hanya oleh iman –juga sola-gratia –hanya oleh anugerah dan sola-scriptura –hanya oleh Alkitab, bukan kuasa imam atau surat penghapusan dosa].
Maka introduksi kerja sebagai panggilan yang kudus memutalkkan orang-orang kristen untuk masuk ke dalam dunia ekonomi dan produksi dengan jalan memaksimalkan kerja atau meningkatkan keterampilan untuk mengelola semua potensi yang tersedia. Kerja di dunia merupakan bagian dari panggilan TUHAN kepada manusia karena dua alasan teologi yang mendasar yakni: [a] manusia adalah makhluk pekerja [homo faber] dan [b] TUHAN itu juga masih terus bekerja. Pekerjaan TUHAN tidak terhenti hanya pada penciptaan, melainkan masih terus bekerja sampai saat ini [Yoh.5:17].
Bekerja di dalam dunia bukanlah dosa dan ternyata merupakan bagian dari panggilan TUHAN kepada kita. Beberapa referensi teks Alkitab cukup memberi dukungan terhadapnya terutama mandat kebudayaan [Kej.1] yang memosisikan manusia dalam tugas menatalayani alam ciptaan TUHAN.
Untuk itu berprofesi sebagai apa pun merupakan cara manusia memenuhi panggilan TUHAN, sejauh profesi itu bertujuan untuk membangun kesejahteraan hidup dan tidak bertentangan dengan perintah-perintah atau etika-etika dasar dari hidup masyarakat dan agama.
2. Asketisme Yang Mengarah ke dunia
Dorongan untuk bekerja atau berprofesi dalam Etika Kristen, seperti dikemukakan Weber dari dasar-dasar teologi Calvin dan Luther itu disebut ‘asketisme’ [suatu cara pandang hidup atau orientasi kehidupan]. Weber menyebut bahwa Calvin dan Luther tidak membangun asketisme naif yang diploting hanya dalam kerja keimamatan atau suatu kecenderungan hidup menyendiri, terpisah dari lingkungan sosial –melainkan asketisme yang mengarah ke dunia [worldly ascetism], yaitu suatu konsentrasi kehidupan baru yang diliputi oleh motivasi untuk berkarya di tengah-tengah dunia.
Ada tujuh sikap dalam asketisme yang dimaksudkan itu, sekaligus menjadi asketisme protestantisme dalam lingkungan ekonomi atau pasar kerja, yakni:
1. Kerja keras –dalam arti mengelola seluruh potensi yang ada sesuai dengan panggilan [baca. profesi] yang dimiliki masing-masing
2. Setia –dalam arti tekun dan berpegang pada prinsip-prinsip kerja yang baik
3. Disiplin –dalam arti bekerja tepat waktu [masuk kerja tepat waktu, bekerja efektif dalam waktu kerja yang tersedia dan beristirahat selesai waktu kerja –tidak ada lembur]
4. Jujur – dalam arti tidak mencuri dan mengambil barang atau merampas hak milik orang lain
5. Adil –dalam arti memperlakukan semua orang secara terhormat, tidak ‘pandang bulu’ dan melakukan hal-hal yang terpuji
6. Hemat –dalam arti tidak membelanjakan sesuatu yang tidak diperlukan, atau tidak menghabiskan pendapatan
7. Bertanggungjawab – dalam arti mengetahui cara bekerja yang baik dan bekerja sesuai dengan cara kerja yang baik itu.
Ketujuh sikap itu sekaligus menjadi standard etika kristen dalam dunia ekonomi atau prinsip-prinsip etika kristen dalam bekerja. Sebab itu menjadi jelas bahwa semua orang kristen dituntut untuk menekuni profesinya secara baik sebab di situlah ia mewujudkan panggilan TUHAN terhadapnya. [*]
Friday, January 28, 2011
Friday, January 14, 2011
[Satu Lagi] Potret Orang Kalah
Refleksi Akhir Tahun AMGPM
1. Orang-orang [itu masih] Kalah
Nus Ukru dan kawan-kawan sejatinya pernah menulis ‘Potret Orang-orang Kalah’ yang mengulas sampai ke akar-akar penggusuran dan pemiskinan orang-orang asli Maluku dari Ujung Halmahera sampai Tenggara jauh oleh amukan mesin-mesin chainsaw, tractor, dan kebijakan pemerintah sentralisme Orde Baru yang jelas memiskinkan. Sungguh buku itu menjadi rekaman masa-masa kelabu yang umumnya diderita oleh masyarakat di kawasan Timur Indonesia.
Orang-orang kalah dalam hasil penelitian Ukru dan kawan-kawan sejatinya itu juga yang dalam waktu lama direkam teman-teman Jaringan Baileu, LSM dan pemerhati kemanusiaan di negeri kita ini. Semisal itu pula apa yang diupayakan Abidin Wakanno, Jacky Manuputty, Sven Loupatty, Oliva Lasol dan kawan-kawan eLaiM [Lembaga Antar Iman untuk Kemanusiaan Maluku] selama ini merupakan suatu usaha serius untuk membangun kultur percaya diri yang tinggi akan hakekat kemanusiaan, apa tujuan menjadi manusia di dalam bingkai kebudayaan kemanusiaan [orang basudara] lintas seluruh batas dan ‘lompati’ semua tembok tinggi. Tentu masih banyak lembaga dan orang lain, termasuk melalui kampus dan organisasi kepemudaan yang punya kepedulian yang sama.
Sejenak menyimak peristiwa yang terjadi secara bertubi-tubi di Seram Utara, orang-orang Horale sebagai komunitas asli Pulau Seram terancam tergusur dari negerinya. Soalnya sederhana, mereka disebut sebagai bukan masyarakat adat yang menghuni negeri adatnya, Horale. Sementara sebagian lain lagi seperti komunitas adat di Losa, Piliana – Telutih, masih tetap menjaga akar-akar kulturalnya sambil membangun dialektika yang unik dengan saudara-saudara mereka yang sudah menjadi Kristen, demikian pula Komunitas Nuaulu di Sepa [Maluku Tengah] atau di Pulau Buru [Utara dan Selatan] dalam dialektika dengan saudara-saudaranya yang sudah menjadi Islam dan Kristen.
Namun, mereka adalah juga ‘orang-orang kalah’ yang terancam tercabut dari akar kultural dan adatnya, serta yang hak-hak ulayatnya mulai rusak akibat penebangan pohon oleh perusahan kayu lapis dan perusahan kayu lainnya, dan ada juga yang mulai dicaplok untuk kebutuhan perkebunan berskala besar, seperti kelapa sawit. Fenomenanya menjadi semakin menarik disimak karena sebagian besar komunitas asli [indigenous people] ini menjual lahannya dengan harga murah lalu beralih dari petani pemilik menjadi buruh tani dengan konsekuensi upah yang rendah.
Semua itu terjadi karena kawasan tempat tinggal atau negeri-negeri mereka sulit dijangkau atau akses ke pasar yang sulit dan mahal serta beresiko bagi kerusakan potensi sumber daya produksinya. Situasi ini yang dimanfaatkan pengijon untuk melestarikan gerakan ijonisasi atau ijonismenya.
2. Pendidikan [masih juga] Kalah
Di negeri-negeri itu pendidikan masih berlangsung seret. Mulai dari masalah ruang kelas dan bangunan sekolah yang tidak memadai sampai pada tenaga guru yang jelas-jelas terbatas – rekruitmen anak negeri setempat menjadi guru di negerinya belum menjadi jurus pamungkas untuk menyelesaikan masalah ini.
Di pedalaman pulau Buru dan Seram hal itu menjadi sebab tingginya buta huruf sampai saat ini. Akibatnya mereka masih rentan terhadap proses-proses pembodohan dalam banyak aspek, sehingga mereka terus menikmati keadaan hidup susah bukan lagi sebagai beban melainkan kenyataan, sambil menonton melalui parabola berbagai kemajuan di belahan negeri lain di Nusantara ini. Sarana air bersihnya tidak memadai, tetapi dibuat senang dengan menonton artis-artis yang cantik-cantik memerankan kemiskinan orang-orang di kota besar.
Angka putus sekolah dan pengangguran sudah menjadi hal yang lazim. Anak tidak pergi ke sekolah pun bukanlah hal yang penting untuk orang tua. Semuanya karena kondisi memaksa mereka menerima kenyataan seperti itu.
3. Kesehatan [masih juga] Kalah
Angka kematian ibu hamil dan bayi terbilang tinggi pula. Sama dengan kejadian luar biasa [KLB] Kesehatan, gizi buruk dan lainnya. Bangunan Pustu ada yang ‘dihuni rumput’ karena tidak layak dan tidak ada tenaga kesehatan/keperawatan. Lagi-lagi karena jauh dan tidak ada akses informasi dan transportasi yang memadai.
Mengapa begitu? Karena masyarakat dibuat untuk yakin bahwa: ‘orang tatua dolo-dolo tidor deng badang talanjang di degu-degu, makang makanang mantah juga tar ada yang saki macam-macam’. Idiomatik yang jelas sangat pejoratif dan mensahkan keengganan kita melayani hak-hak dasar mereka. Padahal dana kesehatan untuk daerah terpencil dan pelosok cenderung tinggi tiap tahun.
4. Ekonomi [lebih] Kalah [Lagi]
Bukan lagi rahasia umum jika negeri kita ini kaya potensi. Masyarakat kita pun masih suka dengan simbolisasi: ‘Maluku itu kaya’, ‘Segala sesuatu ada di Maluku’, ‘buang batang kasbi sa batumbuh’. Kita sangat suka dengan identitas simbolik seperti itu. Tanpa kita sadari terjadi dua hal yang sangat dilematik.
Pertama, kebanggaan simbolik membuat untuk waktu yang lama kita menjadi penonton ketika seluruh potensi kita dieksplorasi, direkrut dan diangkut keluar dari negeri kita, tanpa ada imbas kekayaan dan kesejahteraan kepada daerah dan masyarakat. Untuk waktu yang lama pula Pemerintah kita dengan senang hati dan bangga memberi ijin pengelolaan seluruh potensi kekayaan alam negeri ini. Sekarang baru ramai-ramai kita memproteksi dan meminta garansi, karena kita baru sadar atau disadarkan bahwa selama ini ‘kita telah dipukul kalah’.
Kedua, identitas simbolik tadi berdampak serius pada mindset kita mengenai kerja dan usaha ekonomi. Karena merasa ‘kaya’, kita lalu gampang terbuai dengan simbol-simbol kekayaan seperti uang, kedudukan, jabatan dan pangkat. Ruang kerja yang membuat akses ke simbol-simbol itu mudah adalah kantor, markas besar. Perilaku ambtenaris yang telah melekat itu terjadi sebab identitas simbolik tadi.
5. Agenda ‘Orang Kalah’
Apa yang harus kita kerjakan? Membuat ‘orang kalah’ berteriak dengan lantang tentang semua bentuk ketidakadilan dan monopoli yang terus melilit, lalu semua elemen bangsa dan kekuatan sipil di negeri ini membantu menjadi corong mereka untuk perjuangan kesejahteraan. Mungkin sudah terlambat, tetapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Jangan jadikan mereka sebagai data ilmiah yang tidak mampu mendorong sebuah tindakan sosial melainkan menjadikan masyarakat sebagai kekuatan pendorong perubahan sosial di negeri mereka sendiri.
Elifas Tomix Maspaitella
Ketua Umum PB AMGPM
1. Orang-orang [itu masih] Kalah
Nus Ukru dan kawan-kawan sejatinya pernah menulis ‘Potret Orang-orang Kalah’ yang mengulas sampai ke akar-akar penggusuran dan pemiskinan orang-orang asli Maluku dari Ujung Halmahera sampai Tenggara jauh oleh amukan mesin-mesin chainsaw, tractor, dan kebijakan pemerintah sentralisme Orde Baru yang jelas memiskinkan. Sungguh buku itu menjadi rekaman masa-masa kelabu yang umumnya diderita oleh masyarakat di kawasan Timur Indonesia.
Orang-orang kalah dalam hasil penelitian Ukru dan kawan-kawan sejatinya itu juga yang dalam waktu lama direkam teman-teman Jaringan Baileu, LSM dan pemerhati kemanusiaan di negeri kita ini. Semisal itu pula apa yang diupayakan Abidin Wakanno, Jacky Manuputty, Sven Loupatty, Oliva Lasol dan kawan-kawan eLaiM [Lembaga Antar Iman untuk Kemanusiaan Maluku] selama ini merupakan suatu usaha serius untuk membangun kultur percaya diri yang tinggi akan hakekat kemanusiaan, apa tujuan menjadi manusia di dalam bingkai kebudayaan kemanusiaan [orang basudara] lintas seluruh batas dan ‘lompati’ semua tembok tinggi. Tentu masih banyak lembaga dan orang lain, termasuk melalui kampus dan organisasi kepemudaan yang punya kepedulian yang sama.
Sejenak menyimak peristiwa yang terjadi secara bertubi-tubi di Seram Utara, orang-orang Horale sebagai komunitas asli Pulau Seram terancam tergusur dari negerinya. Soalnya sederhana, mereka disebut sebagai bukan masyarakat adat yang menghuni negeri adatnya, Horale. Sementara sebagian lain lagi seperti komunitas adat di Losa, Piliana – Telutih, masih tetap menjaga akar-akar kulturalnya sambil membangun dialektika yang unik dengan saudara-saudara mereka yang sudah menjadi Kristen, demikian pula Komunitas Nuaulu di Sepa [Maluku Tengah] atau di Pulau Buru [Utara dan Selatan] dalam dialektika dengan saudara-saudaranya yang sudah menjadi Islam dan Kristen.
Namun, mereka adalah juga ‘orang-orang kalah’ yang terancam tercabut dari akar kultural dan adatnya, serta yang hak-hak ulayatnya mulai rusak akibat penebangan pohon oleh perusahan kayu lapis dan perusahan kayu lainnya, dan ada juga yang mulai dicaplok untuk kebutuhan perkebunan berskala besar, seperti kelapa sawit. Fenomenanya menjadi semakin menarik disimak karena sebagian besar komunitas asli [indigenous people] ini menjual lahannya dengan harga murah lalu beralih dari petani pemilik menjadi buruh tani dengan konsekuensi upah yang rendah.
Semua itu terjadi karena kawasan tempat tinggal atau negeri-negeri mereka sulit dijangkau atau akses ke pasar yang sulit dan mahal serta beresiko bagi kerusakan potensi sumber daya produksinya. Situasi ini yang dimanfaatkan pengijon untuk melestarikan gerakan ijonisasi atau ijonismenya.
2. Pendidikan [masih juga] Kalah
Di negeri-negeri itu pendidikan masih berlangsung seret. Mulai dari masalah ruang kelas dan bangunan sekolah yang tidak memadai sampai pada tenaga guru yang jelas-jelas terbatas – rekruitmen anak negeri setempat menjadi guru di negerinya belum menjadi jurus pamungkas untuk menyelesaikan masalah ini.
Di pedalaman pulau Buru dan Seram hal itu menjadi sebab tingginya buta huruf sampai saat ini. Akibatnya mereka masih rentan terhadap proses-proses pembodohan dalam banyak aspek, sehingga mereka terus menikmati keadaan hidup susah bukan lagi sebagai beban melainkan kenyataan, sambil menonton melalui parabola berbagai kemajuan di belahan negeri lain di Nusantara ini. Sarana air bersihnya tidak memadai, tetapi dibuat senang dengan menonton artis-artis yang cantik-cantik memerankan kemiskinan orang-orang di kota besar.
Angka putus sekolah dan pengangguran sudah menjadi hal yang lazim. Anak tidak pergi ke sekolah pun bukanlah hal yang penting untuk orang tua. Semuanya karena kondisi memaksa mereka menerima kenyataan seperti itu.
3. Kesehatan [masih juga] Kalah
Angka kematian ibu hamil dan bayi terbilang tinggi pula. Sama dengan kejadian luar biasa [KLB] Kesehatan, gizi buruk dan lainnya. Bangunan Pustu ada yang ‘dihuni rumput’ karena tidak layak dan tidak ada tenaga kesehatan/keperawatan. Lagi-lagi karena jauh dan tidak ada akses informasi dan transportasi yang memadai.
Mengapa begitu? Karena masyarakat dibuat untuk yakin bahwa: ‘orang tatua dolo-dolo tidor deng badang talanjang di degu-degu, makang makanang mantah juga tar ada yang saki macam-macam’. Idiomatik yang jelas sangat pejoratif dan mensahkan keengganan kita melayani hak-hak dasar mereka. Padahal dana kesehatan untuk daerah terpencil dan pelosok cenderung tinggi tiap tahun.
4. Ekonomi [lebih] Kalah [Lagi]
Bukan lagi rahasia umum jika negeri kita ini kaya potensi. Masyarakat kita pun masih suka dengan simbolisasi: ‘Maluku itu kaya’, ‘Segala sesuatu ada di Maluku’, ‘buang batang kasbi sa batumbuh’. Kita sangat suka dengan identitas simbolik seperti itu. Tanpa kita sadari terjadi dua hal yang sangat dilematik.
Pertama, kebanggaan simbolik membuat untuk waktu yang lama kita menjadi penonton ketika seluruh potensi kita dieksplorasi, direkrut dan diangkut keluar dari negeri kita, tanpa ada imbas kekayaan dan kesejahteraan kepada daerah dan masyarakat. Untuk waktu yang lama pula Pemerintah kita dengan senang hati dan bangga memberi ijin pengelolaan seluruh potensi kekayaan alam negeri ini. Sekarang baru ramai-ramai kita memproteksi dan meminta garansi, karena kita baru sadar atau disadarkan bahwa selama ini ‘kita telah dipukul kalah’.
Kedua, identitas simbolik tadi berdampak serius pada mindset kita mengenai kerja dan usaha ekonomi. Karena merasa ‘kaya’, kita lalu gampang terbuai dengan simbol-simbol kekayaan seperti uang, kedudukan, jabatan dan pangkat. Ruang kerja yang membuat akses ke simbol-simbol itu mudah adalah kantor, markas besar. Perilaku ambtenaris yang telah melekat itu terjadi sebab identitas simbolik tadi.
5. Agenda ‘Orang Kalah’
Apa yang harus kita kerjakan? Membuat ‘orang kalah’ berteriak dengan lantang tentang semua bentuk ketidakadilan dan monopoli yang terus melilit, lalu semua elemen bangsa dan kekuatan sipil di negeri ini membantu menjadi corong mereka untuk perjuangan kesejahteraan. Mungkin sudah terlambat, tetapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Jangan jadikan mereka sebagai data ilmiah yang tidak mampu mendorong sebuah tindakan sosial melainkan menjadikan masyarakat sebagai kekuatan pendorong perubahan sosial di negeri mereka sendiri.
Elifas Tomix Maspaitella
Ketua Umum PB AMGPM
MENJADI SIPIL YANG DEWASA
Refleksi Akhir Tahun AMGPM
1. Pengantar
Dalam era demokrasi, negara [state] adalah wadah yang menghimpun dan mengakselerasi semua kepentingan atau kebutuhan rakyat. Artinya negara bertanggungjawab menyelenggarakan segala hal yang bertujuan untuk pemenuhan hak-hak dasar warganya. Jika tidak, maka negara itu tidak mengemban tugas luhurnya sendiri.
Negara dalam representasinya ialah pemerintah yang atas kewenangan tadi mendapat kepercayaan atau dipercayakan oleh rakyat untuk mengatur penyelenggaraan hak-hak hidupnya. Lazim dalam teorinya demokrasi disebut sebagai pemerintahan rakyat – dari, oleh dan untuk rakyat. Seperti juga lazim orang menyebut ‘suara rakyat adalah suara Tuhan’ [vox populi vox Dei]. Seperti itu pula lazim setiap periode pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum kepala daerah semua kandidat menokohkan dirinya sebagai pelayan rakyat, pejuang bagi kesejahteraan dan lain seterusnya.
Kelaziman-kelaziman itu yang ternyata tidak muncul di ranah praksis, karena itu demokrasi adalah sebuah wacana semu yang tersusun apik di buku-buku teori, lembar-lembar keputusan negara, UU, Perpu, Perda dan Propeda. Demokrasi dan pelayanan publik itu menjadi isi pidato politik dalam seremoni berbagai kegiatan pemerintahan, sarasehan, pengresmian suatu proyek dan lain sejenisnya.
Makanya mengapa perlu ada organisasi sipil [OS] yang handal tetapi elegan dan jujur. OS sebagai potensi energi positif masyarakat sipil adalah mediator atau jembatan penghubung antara sipil yakni rakyat [civilian/citizen] dengan pemerintah [government, state]. OS memainkan peran strategis seperti itu karena negara kedapatan tidak lagi menjalankan tugas luhur tadi. Tujuan dari pergerakan OS adalah agar negara kembali menjalankan tugas luhurnya supaya masyarakat terlayani dalam seluruh kemaslahatannya.
Munculnya berbagai OS termasuk elemen organisasi kepemudaan [OKP] penting diletakkan di dalam diskursus kebutuhan publik seperti tadi. Realitas bernegara memperlihatkan bahwa dalam konteks pergerakan sipil [civil movement], setiap OS dituntut untuk semakin profesional memediasi lalu lintas pemenuhan kebutuhan rakyat akan keadilan, perdamaian, kesejahteraan, penegakan hukum sebagai bentuk hak-hak demokrasinya. OS tidak boleh berubah fungsi menjadi suatu pergerakkan massif yang anarkhis dan anti-dialog. OS perlu membangun budaya dialog dan diplomasi yang benar-benar bertumpu pada usaha membangun mekanisme kontrol yang positif. Dimensi massiv-nya dilihat sebagai kekuatan pressure yang positif dibarengi dengan dialog yang intelektual yang kritis.
2. Gejala Munculnya Uncivil-organization/Uncivil-society
Ketika OS tidak menjalankan fungsi-fungsi sipilnya secara baik, dalam arti seluruh perjuangannya tidak lagi untuk rakyat melainkan untuk dirinya atau pribadi-pribadi tertentu yang memimpin atau mengendalikan suatu OS, maka OS itu berubah menjadi Uncivil-Organization [Organisasi Unsipil]. Ini bukan semata pembiasan, melainkan degradasi jati diri dan motivasi luhur perjuangan kritis.
Di tengah situasi bangsa, negara dan pemerintahan yang ‘hongi’ [hiruk pikuk karena bencana alam, tak menentu karena korupsi di tengah hamparan kemiskinan, munafik di tengah tuntutan supremasi hukum, monopolis dengan alasan pensejahteraan, dan lainnya] OS yang baik akan membentuk masyarakat sipil yang dewasa. Sehingga perjuangan untuk melawan tindakan kekerasan, korupsi, kolusi, penyelewengan kewenangan negara, usaha mengentaskan kemiskinan, melawan pembodohan dan marginalisasi, akan menjadi perjuangan masyarakat sipil secara bersama-sama.
Mewaspadai OS menjadi Uncivil-organization adalah usaha dan kerja keras semua pihak. Dalam arti itu OS tidak boleh membiarkan diri menjadi kekuatan penetrasi kelompok atau pribadi tertentu yang ternyata bertujuan untuk kepentingan kelompok atau pribadi itu. OS mesti memaksimalkan kekuatan interpenetrasinya dan karena itu menembusi setiap sekat dengan membangun jejaring perjuangan bersama di antara semua OS yang ada. Kita tidak melihat ini sebagai perlunya suatu wadah bersama, melainkan suatu paradigma perjuangan bersama dan esensi kebersamaan itu terletak pada perjuangan hak-hak dasar rakyat [*]
Elifas Tomix Maspaitella
Ketua Umum PB AMGPM
1. Pengantar
Dalam era demokrasi, negara [state] adalah wadah yang menghimpun dan mengakselerasi semua kepentingan atau kebutuhan rakyat. Artinya negara bertanggungjawab menyelenggarakan segala hal yang bertujuan untuk pemenuhan hak-hak dasar warganya. Jika tidak, maka negara itu tidak mengemban tugas luhurnya sendiri.
Negara dalam representasinya ialah pemerintah yang atas kewenangan tadi mendapat kepercayaan atau dipercayakan oleh rakyat untuk mengatur penyelenggaraan hak-hak hidupnya. Lazim dalam teorinya demokrasi disebut sebagai pemerintahan rakyat – dari, oleh dan untuk rakyat. Seperti juga lazim orang menyebut ‘suara rakyat adalah suara Tuhan’ [vox populi vox Dei]. Seperti itu pula lazim setiap periode pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum kepala daerah semua kandidat menokohkan dirinya sebagai pelayan rakyat, pejuang bagi kesejahteraan dan lain seterusnya.
Kelaziman-kelaziman itu yang ternyata tidak muncul di ranah praksis, karena itu demokrasi adalah sebuah wacana semu yang tersusun apik di buku-buku teori, lembar-lembar keputusan negara, UU, Perpu, Perda dan Propeda. Demokrasi dan pelayanan publik itu menjadi isi pidato politik dalam seremoni berbagai kegiatan pemerintahan, sarasehan, pengresmian suatu proyek dan lain sejenisnya.
Makanya mengapa perlu ada organisasi sipil [OS] yang handal tetapi elegan dan jujur. OS sebagai potensi energi positif masyarakat sipil adalah mediator atau jembatan penghubung antara sipil yakni rakyat [civilian/citizen] dengan pemerintah [government, state]. OS memainkan peran strategis seperti itu karena negara kedapatan tidak lagi menjalankan tugas luhur tadi. Tujuan dari pergerakan OS adalah agar negara kembali menjalankan tugas luhurnya supaya masyarakat terlayani dalam seluruh kemaslahatannya.
Munculnya berbagai OS termasuk elemen organisasi kepemudaan [OKP] penting diletakkan di dalam diskursus kebutuhan publik seperti tadi. Realitas bernegara memperlihatkan bahwa dalam konteks pergerakan sipil [civil movement], setiap OS dituntut untuk semakin profesional memediasi lalu lintas pemenuhan kebutuhan rakyat akan keadilan, perdamaian, kesejahteraan, penegakan hukum sebagai bentuk hak-hak demokrasinya. OS tidak boleh berubah fungsi menjadi suatu pergerakkan massif yang anarkhis dan anti-dialog. OS perlu membangun budaya dialog dan diplomasi yang benar-benar bertumpu pada usaha membangun mekanisme kontrol yang positif. Dimensi massiv-nya dilihat sebagai kekuatan pressure yang positif dibarengi dengan dialog yang intelektual yang kritis.
2. Gejala Munculnya Uncivil-organization/Uncivil-society
Ketika OS tidak menjalankan fungsi-fungsi sipilnya secara baik, dalam arti seluruh perjuangannya tidak lagi untuk rakyat melainkan untuk dirinya atau pribadi-pribadi tertentu yang memimpin atau mengendalikan suatu OS, maka OS itu berubah menjadi Uncivil-Organization [Organisasi Unsipil]. Ini bukan semata pembiasan, melainkan degradasi jati diri dan motivasi luhur perjuangan kritis.
Di tengah situasi bangsa, negara dan pemerintahan yang ‘hongi’ [hiruk pikuk karena bencana alam, tak menentu karena korupsi di tengah hamparan kemiskinan, munafik di tengah tuntutan supremasi hukum, monopolis dengan alasan pensejahteraan, dan lainnya] OS yang baik akan membentuk masyarakat sipil yang dewasa. Sehingga perjuangan untuk melawan tindakan kekerasan, korupsi, kolusi, penyelewengan kewenangan negara, usaha mengentaskan kemiskinan, melawan pembodohan dan marginalisasi, akan menjadi perjuangan masyarakat sipil secara bersama-sama.
Mewaspadai OS menjadi Uncivil-organization adalah usaha dan kerja keras semua pihak. Dalam arti itu OS tidak boleh membiarkan diri menjadi kekuatan penetrasi kelompok atau pribadi tertentu yang ternyata bertujuan untuk kepentingan kelompok atau pribadi itu. OS mesti memaksimalkan kekuatan interpenetrasinya dan karena itu menembusi setiap sekat dengan membangun jejaring perjuangan bersama di antara semua OS yang ada. Kita tidak melihat ini sebagai perlunya suatu wadah bersama, melainkan suatu paradigma perjuangan bersama dan esensi kebersamaan itu terletak pada perjuangan hak-hak dasar rakyat [*]
Elifas Tomix Maspaitella
Ketua Umum PB AMGPM
HUKUM ‘GAYUS’ [Gagal Teyus] di INDONESIA
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
[Ketua Umum PB AMGPM]
I
Jelajah Istilah
Katong [kita] pasti memiliki kegelisahan yang berbeda dengan fenomena penegakan hukum di Republik Indonesia yang dari waktu ke waktu mempertontonkan drama berbagai kasus pelanggaran hukum. Drama yang jelas menunjukkan perbedaan perlakuan terhadap koruptor berdasi dan pejabat koruptor dengan Ibu Mina, nenek tua yang dituduh mencuri tiga buah kakau.
Tidak hanya itu, tetapi reaksi pemerintah yang berbeda pula terhadap pelanggaran HAM di dunia internasional. Katong tentu ingat bagaimana sikap Presiden SBY sebagai representasi Pemerintah Indonesia yang ‘lombo’ terhadap ‘perampokan’ lagu ‘Rasa Sayang e’ dan Reog Ponorogo oleh Pemerintah dan masyarakat Malaysia. Demikian pun terhadap nasib petugas Kementrian Kelautan dan Perikanan RI yang ditahan pemerintah Malaysia –kemudian ditukarkan dengan nelayan Malaysia yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Tetapi SBY bereaksi cepat –lebih cepat dari PRC Polri malah, ketika terjadi pembakaran Alqur’an di Florida.
Ternyata tidak hanya itu, setiap kali TKW/TKI diperlakukan tidak manusiawi di Malaysia, pemerintah pun bereaksi sangat cepat, tidak demikian ketika kasus yang sama terjadi di Arab Saudi. Selalu ada perbedaan-perbedaan yang mencolok sebagai lukisan sejati bahwa penegakan hukum di negara ini ‘gayus’ –alias gagal teyus.
Istilah ‘Gayus’ itu sendiri beta pinjam dari fenomena hukum saat ini di Negara rechstaat ini. ‘Gayus’ adalah petugas Kantor Pajak yang berhasil mengatur seluruh praktek dan jalannya roda hukum di Indonesia dewasa ini. Beta pinjam istilah itu sebab menurut beta kegagalan penegakan hukum telah menjadi budaya di Indonesia ketika yang tersangkut di dalamnya adalah penguasa dan pengusaha besar dan berpengaruh. Maka tidak heran jika kasus-kasus yang melibatkan mereka ‘gayus’ –alias gagal teyus. Sedangkan istilah teyus sebenarnya adalah ‘terus’ –tetapi di mulut Ellexia, anak saya yang berumur 2,9 tahun –yang belum bisa melafalkan huruf ‘r’ –jadinya teyus.
Sebab itu ‘Gayus’ adalah sebuah istilah untuk menegaskan bahwa sampai saat ini –entah mungkin seterusnya, wajah hukum di negeri kita akan terus begitu-begitu saja. Pesimistik? Mungkin ya. Tetapi sebenarnya realistis, sebab kenyataannya selalu begitu. Tidak ada perubahan.
Tetapi mungkin pula benar, hanya Gayus Tambunan yang bisa mengobrak-abrik seluruh sistem hukum dan politik di Indonesia. Apa yang membuat dia ternyata sungguh sangat berpengaruh seperti itu? Atau ada sistem yang memang sengaja dibuat sehingga sosok ini menjadi sungguh sangat luar biasa.
II
HUKUM ‘GAYUS’ karena PENETRASI POLITIK
Banyak teori yang mengatakan bahwa salah satu dan mungkin faktor pengaruh kegagalan hukum di Indonesia adalah penetrasi politik dalam penegakan hukum. Banyak masalah hukum diselesaikan atau dialihkan pembahasannya di ruang legislatif atau terganjal pemrosesannya karena intervensi kekuasaan. Suatu regim selalu berhasil menyembunyikan, menghilangkan, atau malah menekan agar kasus pelanggaran hukum tertentu tidak boleh diusut tuntas. Tidak hanya itu bahkan tidak boleh dipublikasi media. Di zaman Orde Baru, pembredelan media merupakan bentuk penekanan politik dan kekuasaan yang turut mematikan proses penegakan hukum. Tidak hanya itu, mutasi dengan alasan tour of duty juga selalu menjadi alasan jika suatu kasus pelanggaran hukum nyaris lepas kawalan kekuasaan dan hampir masuk ke ruang pengadilan.
Maka tidak heran sampai saat ini –termasuk di Maluku, seorang Kapolda yang briliant bertugas tak cukup 3 bulan, atau Kepala Kejaksaan yang getol menuntaskan kasus pelanggaran hukum tertentu ‘poti-poti’ dimutasikan.
Nanti pada regim berikutnya kasus-kasus lama ‘dibangkitkan dari kuburannya’. Bagaikan bangkai, ada yang sudah berbau busuk, ada yang tinggal tulang-belulang saja, bahkan ada yang nyaris musnah karena sudah lama terbenam dan tercampur dengan tanah.
Pada saat SBY membatalkan keberangkatannya ke Negeri Belanda, Adnan Buyung Nasution –yang kini menjadi Kuasa Hukum Gayus Tambunan, pada salah satu TV Swasta, menyalahkan penasehat hukum SBY yang katanya kurang memahami sistem politik dan hukum di Negeri Belanda. Buyung –kira-kira berkata begini: ‘jangan pakai mindset Indonesia untuk menilai realitas hukum dan politik di Negeri Belanda dong. Itu salah’. Artinya Buyung tahu persis bahwa TRIAS POLITIKA dijalankan secara konsisten di sana, sehingga hukum tidak pernah diitervensi oleh kekuasaan dalam hal sekecil apa sekalipun.
Seperti itu yang Buyung tahu, tetapi jadinya lain ketika terjadi di Indonesia, bahkan terhadap kasus Gayus Tambunan yang kini turut ditanganinya. Betapa pertarungan kekuasaan dan uang bukan saja terus terjadi tetapi dibiarkan juga teyus terjadi.
Berapa banyak kasus pelanggaran hukum yang ‘digelar’ di Pansus DPR RI juga DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang tuntas penyelesaiannya? Apakah ketidaktuntasannya karena hukum tidak boleh diintervensi oleh politik atau karena anggota legislatif tidak berkewenangan menyidik, memeriksa dan mengadili? Realitas itu memperlihatkan bahwa legislator kita pun sukanya ‘menyidangkan’ seseorang dengan dalih merugikan masyarakat –tetapi tidak mampu ‘memaksa’ aparat penegak hukum untuk menuntaskannya. Ketetapan Pansus Century adalah salah satu faktanya.
Yang terjadi malah kasus-kasus tertentu digunakan sebagai komoditi politik untuk menaikkan posisi tawar parpol tertentu –mereka saling serang, saling menuding, bahkan mengeluarkan kata-kata kasar secara blak-blakan dan tidak sopan. Selepas itu mereka melakukan lobi-lobi panjang dan mahal, lalu diam-diam kasus-kasus itu tak terdengar lagi. Itu berarti dunia politik dan dunia hukum kita sama saja.
III
HUKUM ‘GAYUS’ karena TIRANI UANG
Penegak hukum kita memang dibuat ‘kalalerang’ oleh masalah si Gayus Tambunan. Begitu divonis bersalah, Gayus menghilang. Dicari sana-sini, dia malah [akhirnya] menyerahkan diri. Dijebloskan ke dalam Lapas yang tentu berjeruji besi. Hanya tikus, hewan terbesar yang bisa lolos dari balik jeruji itu selain serangga seperti nyamuk, lalat, kecoa dan semut [itu pun mungkin tidak ada di kamar-kamar khusus dalam Lapas].
Memang Lapas di Indonesia sudah berganti wajah. Keseraman dan stigma penjara tidak ada lagi. Sebab Lapas sudah menjadi wadah pembinaan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran hukum. Namun begitu wajahnya berubah, Lapas malah ‘di-make over’, sampai kulkas, kasur busa, lemari pun bisa masuk dan AC pun terpasang. Tidak hanya itu, narkoba dan uang beredar luas di Lapas.
Lenggak-lenggok Gayus keluar masuk Lapas, bahkan ke Luar Negeri sudah cukup memberi bukti bahwa tidak ada batas yang tidak bisa dilanggar di negara ini –jika uang telah mengambil bagian. Artinya advokasi sebagai metode komunikasi hukum telah diparalelkan dengan negosiasi atau transaksi yang bermuatan uang. Praktek-praktek bisnis menjadi bagian pokok dari praktek penegakan hukum dewasa ini. Sebab itu pelaku pelanggar hukum bisa diposisikan sebagai pemegang saham di dalam Lapas. Sejauh prakteknya begitu, maka pelanggar hukum dapat diidentifikasi sebagai ‘komoditi ekonomi’ –kasusnya tidak lagi menjadi komoditi hukum, sehingga pelakunya bisa bertransaksi dengan masalahnya.
Tentunya katong tidak perlu dibingungkan. Sebab di Amerika pun, si pelanggar hukum bisa membayar uang denda dan terbebas dari jerat hukum. Apakah defenisi denda itu berlaku untuk semua kasus pelanggaran hukum? Di Indonesia juga demikian. Terdakwa selalu didakwakan hukuman badan dan wajib membayar denda sejumlah uang. Namun kasus Gayus lain lagi, untuk keluar bebas dan bebas ke mana-mana –sebagai penghuni Lapas, ia bisa saja memberi uang kepada mereka yang membisniskan penghukumannya, termasuk petugas Imigrasi –sesuai dengan temuan terakhir ini.
Sejauhmana uang bermain dalam roda penegakan hukum di negara ini? Tentu karena ada pemodal yang berkepentingan dengan seorang terdakwa. Nah siapa di balik Gayus? Atau siapa yang memanjakan Gayus? Gampang diduga, yaitu pebisnis yang tidak taat pajak. Walau gampang diduga, jika diketahui orang itu ternyata sulit –atau tidak boleh, ditetapkan sebagai tersangka baru dalam kasus ini. Otomatis Gayus akan terus menanggung hukuman. Tetapi dia enjoy saja, karena toh bebas keluar dan bebas ke mana-mana dalam status sebagai penghuni Lapas.
IV
HUKUM ‘GAYUS’ jadi BUDAYA HUKUM
Semoga pernyataan itu tidak melecehkan wibawa penegakan hukum. Beta percaya juga tidak. Alasan beta menggunakan istilah itu sebab kegagalan penegakan hukum di Indonesia karena intervensi politik dan tirani uang sudah berlangsung sejak Republik ini lahir. Lihat saja mereka yang dipenjara. Orang-orang kecil yang mencuri barang-barang kecil. Orang-orang miskin yang terpaksa mencuri karena tekanan struktural. Orang-orang berpendidikan rendah yang karena kelangkaan lapangan pekerjaan, pengangguran yang membludak, kekerasan yang membudaya di kota besar, lalu terpaksa menjadi preman atau malah ada yang preman kampung dan kampungan.
Memang ada pula pejabat. Tetapi mereka tidak memiliki dukungan kuat oleh partai politik atau institusi dan malah oleh pejabat tertentu yang berkuasa. Mereka mungkin juga lawan politik rekannya sendiri, atau sepak terjangnya dinilai membahayakan institusi tertentu. Alih-alih muncul istilah ‘seng ada bekingan’.
Tapol pun demikian. Stigma subversif dan separatis dialamatkan kepada mereka dengan tujuan agar masyarakat menganggap mereka sebagai musuh bersama. Padahal mungkin mereka hanya melakukan tugas kontrol dan kritik sipil tanpa perlawanan senjata atau parade militer dan bukan pula paramiliter.
Karena itu HUKUM ‘GAYUS’ bisa menjadi budaya penegakan hukum di negeri ini. Beta tidak menafikkan berbagai prestasi penegakan hukum yang tercapai selama ini. Sebab ini hanyalah sebuah refleksi dari apa yang bisa menjadi bahaya dalam dunia penegakan hukum di Indonesia. [*]
[Ketua Umum PB AMGPM]
I
Jelajah Istilah
Katong [kita] pasti memiliki kegelisahan yang berbeda dengan fenomena penegakan hukum di Republik Indonesia yang dari waktu ke waktu mempertontonkan drama berbagai kasus pelanggaran hukum. Drama yang jelas menunjukkan perbedaan perlakuan terhadap koruptor berdasi dan pejabat koruptor dengan Ibu Mina, nenek tua yang dituduh mencuri tiga buah kakau.
Tidak hanya itu, tetapi reaksi pemerintah yang berbeda pula terhadap pelanggaran HAM di dunia internasional. Katong tentu ingat bagaimana sikap Presiden SBY sebagai representasi Pemerintah Indonesia yang ‘lombo’ terhadap ‘perampokan’ lagu ‘Rasa Sayang e’ dan Reog Ponorogo oleh Pemerintah dan masyarakat Malaysia. Demikian pun terhadap nasib petugas Kementrian Kelautan dan Perikanan RI yang ditahan pemerintah Malaysia –kemudian ditukarkan dengan nelayan Malaysia yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Tetapi SBY bereaksi cepat –lebih cepat dari PRC Polri malah, ketika terjadi pembakaran Alqur’an di Florida.
Ternyata tidak hanya itu, setiap kali TKW/TKI diperlakukan tidak manusiawi di Malaysia, pemerintah pun bereaksi sangat cepat, tidak demikian ketika kasus yang sama terjadi di Arab Saudi. Selalu ada perbedaan-perbedaan yang mencolok sebagai lukisan sejati bahwa penegakan hukum di negara ini ‘gayus’ –alias gagal teyus.
Istilah ‘Gayus’ itu sendiri beta pinjam dari fenomena hukum saat ini di Negara rechstaat ini. ‘Gayus’ adalah petugas Kantor Pajak yang berhasil mengatur seluruh praktek dan jalannya roda hukum di Indonesia dewasa ini. Beta pinjam istilah itu sebab menurut beta kegagalan penegakan hukum telah menjadi budaya di Indonesia ketika yang tersangkut di dalamnya adalah penguasa dan pengusaha besar dan berpengaruh. Maka tidak heran jika kasus-kasus yang melibatkan mereka ‘gayus’ –alias gagal teyus. Sedangkan istilah teyus sebenarnya adalah ‘terus’ –tetapi di mulut Ellexia, anak saya yang berumur 2,9 tahun –yang belum bisa melafalkan huruf ‘r’ –jadinya teyus.
Sebab itu ‘Gayus’ adalah sebuah istilah untuk menegaskan bahwa sampai saat ini –entah mungkin seterusnya, wajah hukum di negeri kita akan terus begitu-begitu saja. Pesimistik? Mungkin ya. Tetapi sebenarnya realistis, sebab kenyataannya selalu begitu. Tidak ada perubahan.
Tetapi mungkin pula benar, hanya Gayus Tambunan yang bisa mengobrak-abrik seluruh sistem hukum dan politik di Indonesia. Apa yang membuat dia ternyata sungguh sangat berpengaruh seperti itu? Atau ada sistem yang memang sengaja dibuat sehingga sosok ini menjadi sungguh sangat luar biasa.
II
HUKUM ‘GAYUS’ karena PENETRASI POLITIK
Banyak teori yang mengatakan bahwa salah satu dan mungkin faktor pengaruh kegagalan hukum di Indonesia adalah penetrasi politik dalam penegakan hukum. Banyak masalah hukum diselesaikan atau dialihkan pembahasannya di ruang legislatif atau terganjal pemrosesannya karena intervensi kekuasaan. Suatu regim selalu berhasil menyembunyikan, menghilangkan, atau malah menekan agar kasus pelanggaran hukum tertentu tidak boleh diusut tuntas. Tidak hanya itu bahkan tidak boleh dipublikasi media. Di zaman Orde Baru, pembredelan media merupakan bentuk penekanan politik dan kekuasaan yang turut mematikan proses penegakan hukum. Tidak hanya itu, mutasi dengan alasan tour of duty juga selalu menjadi alasan jika suatu kasus pelanggaran hukum nyaris lepas kawalan kekuasaan dan hampir masuk ke ruang pengadilan.
Maka tidak heran sampai saat ini –termasuk di Maluku, seorang Kapolda yang briliant bertugas tak cukup 3 bulan, atau Kepala Kejaksaan yang getol menuntaskan kasus pelanggaran hukum tertentu ‘poti-poti’ dimutasikan.
Nanti pada regim berikutnya kasus-kasus lama ‘dibangkitkan dari kuburannya’. Bagaikan bangkai, ada yang sudah berbau busuk, ada yang tinggal tulang-belulang saja, bahkan ada yang nyaris musnah karena sudah lama terbenam dan tercampur dengan tanah.
Pada saat SBY membatalkan keberangkatannya ke Negeri Belanda, Adnan Buyung Nasution –yang kini menjadi Kuasa Hukum Gayus Tambunan, pada salah satu TV Swasta, menyalahkan penasehat hukum SBY yang katanya kurang memahami sistem politik dan hukum di Negeri Belanda. Buyung –kira-kira berkata begini: ‘jangan pakai mindset Indonesia untuk menilai realitas hukum dan politik di Negeri Belanda dong. Itu salah’. Artinya Buyung tahu persis bahwa TRIAS POLITIKA dijalankan secara konsisten di sana, sehingga hukum tidak pernah diitervensi oleh kekuasaan dalam hal sekecil apa sekalipun.
Seperti itu yang Buyung tahu, tetapi jadinya lain ketika terjadi di Indonesia, bahkan terhadap kasus Gayus Tambunan yang kini turut ditanganinya. Betapa pertarungan kekuasaan dan uang bukan saja terus terjadi tetapi dibiarkan juga teyus terjadi.
Berapa banyak kasus pelanggaran hukum yang ‘digelar’ di Pansus DPR RI juga DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang tuntas penyelesaiannya? Apakah ketidaktuntasannya karena hukum tidak boleh diintervensi oleh politik atau karena anggota legislatif tidak berkewenangan menyidik, memeriksa dan mengadili? Realitas itu memperlihatkan bahwa legislator kita pun sukanya ‘menyidangkan’ seseorang dengan dalih merugikan masyarakat –tetapi tidak mampu ‘memaksa’ aparat penegak hukum untuk menuntaskannya. Ketetapan Pansus Century adalah salah satu faktanya.
Yang terjadi malah kasus-kasus tertentu digunakan sebagai komoditi politik untuk menaikkan posisi tawar parpol tertentu –mereka saling serang, saling menuding, bahkan mengeluarkan kata-kata kasar secara blak-blakan dan tidak sopan. Selepas itu mereka melakukan lobi-lobi panjang dan mahal, lalu diam-diam kasus-kasus itu tak terdengar lagi. Itu berarti dunia politik dan dunia hukum kita sama saja.
III
HUKUM ‘GAYUS’ karena TIRANI UANG
Penegak hukum kita memang dibuat ‘kalalerang’ oleh masalah si Gayus Tambunan. Begitu divonis bersalah, Gayus menghilang. Dicari sana-sini, dia malah [akhirnya] menyerahkan diri. Dijebloskan ke dalam Lapas yang tentu berjeruji besi. Hanya tikus, hewan terbesar yang bisa lolos dari balik jeruji itu selain serangga seperti nyamuk, lalat, kecoa dan semut [itu pun mungkin tidak ada di kamar-kamar khusus dalam Lapas].
Memang Lapas di Indonesia sudah berganti wajah. Keseraman dan stigma penjara tidak ada lagi. Sebab Lapas sudah menjadi wadah pembinaan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran hukum. Namun begitu wajahnya berubah, Lapas malah ‘di-make over’, sampai kulkas, kasur busa, lemari pun bisa masuk dan AC pun terpasang. Tidak hanya itu, narkoba dan uang beredar luas di Lapas.
Lenggak-lenggok Gayus keluar masuk Lapas, bahkan ke Luar Negeri sudah cukup memberi bukti bahwa tidak ada batas yang tidak bisa dilanggar di negara ini –jika uang telah mengambil bagian. Artinya advokasi sebagai metode komunikasi hukum telah diparalelkan dengan negosiasi atau transaksi yang bermuatan uang. Praktek-praktek bisnis menjadi bagian pokok dari praktek penegakan hukum dewasa ini. Sebab itu pelaku pelanggar hukum bisa diposisikan sebagai pemegang saham di dalam Lapas. Sejauh prakteknya begitu, maka pelanggar hukum dapat diidentifikasi sebagai ‘komoditi ekonomi’ –kasusnya tidak lagi menjadi komoditi hukum, sehingga pelakunya bisa bertransaksi dengan masalahnya.
Tentunya katong tidak perlu dibingungkan. Sebab di Amerika pun, si pelanggar hukum bisa membayar uang denda dan terbebas dari jerat hukum. Apakah defenisi denda itu berlaku untuk semua kasus pelanggaran hukum? Di Indonesia juga demikian. Terdakwa selalu didakwakan hukuman badan dan wajib membayar denda sejumlah uang. Namun kasus Gayus lain lagi, untuk keluar bebas dan bebas ke mana-mana –sebagai penghuni Lapas, ia bisa saja memberi uang kepada mereka yang membisniskan penghukumannya, termasuk petugas Imigrasi –sesuai dengan temuan terakhir ini.
Sejauhmana uang bermain dalam roda penegakan hukum di negara ini? Tentu karena ada pemodal yang berkepentingan dengan seorang terdakwa. Nah siapa di balik Gayus? Atau siapa yang memanjakan Gayus? Gampang diduga, yaitu pebisnis yang tidak taat pajak. Walau gampang diduga, jika diketahui orang itu ternyata sulit –atau tidak boleh, ditetapkan sebagai tersangka baru dalam kasus ini. Otomatis Gayus akan terus menanggung hukuman. Tetapi dia enjoy saja, karena toh bebas keluar dan bebas ke mana-mana dalam status sebagai penghuni Lapas.
IV
HUKUM ‘GAYUS’ jadi BUDAYA HUKUM
Semoga pernyataan itu tidak melecehkan wibawa penegakan hukum. Beta percaya juga tidak. Alasan beta menggunakan istilah itu sebab kegagalan penegakan hukum di Indonesia karena intervensi politik dan tirani uang sudah berlangsung sejak Republik ini lahir. Lihat saja mereka yang dipenjara. Orang-orang kecil yang mencuri barang-barang kecil. Orang-orang miskin yang terpaksa mencuri karena tekanan struktural. Orang-orang berpendidikan rendah yang karena kelangkaan lapangan pekerjaan, pengangguran yang membludak, kekerasan yang membudaya di kota besar, lalu terpaksa menjadi preman atau malah ada yang preman kampung dan kampungan.
Memang ada pula pejabat. Tetapi mereka tidak memiliki dukungan kuat oleh partai politik atau institusi dan malah oleh pejabat tertentu yang berkuasa. Mereka mungkin juga lawan politik rekannya sendiri, atau sepak terjangnya dinilai membahayakan institusi tertentu. Alih-alih muncul istilah ‘seng ada bekingan’.
Tapol pun demikian. Stigma subversif dan separatis dialamatkan kepada mereka dengan tujuan agar masyarakat menganggap mereka sebagai musuh bersama. Padahal mungkin mereka hanya melakukan tugas kontrol dan kritik sipil tanpa perlawanan senjata atau parade militer dan bukan pula paramiliter.
Karena itu HUKUM ‘GAYUS’ bisa menjadi budaya penegakan hukum di negeri ini. Beta tidak menafikkan berbagai prestasi penegakan hukum yang tercapai selama ini. Sebab ini hanyalah sebuah refleksi dari apa yang bisa menjadi bahaya dalam dunia penegakan hukum di Indonesia. [*]
Subscribe to:
Posts (Atom)
TALITA KUM
(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella Paduan Terompet Jemaat Rumahtiga di Rohua, Januari 2009 A. Perspektif Ibadah merupakan suatu aktifitas agama ...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella [Materi Ibadah Keluarga Perangkat Pelayan Jemaat Rumahtiga, 17 September 2013] Pengantar Tulisan ini...
-
Mazmur 34:16, 17 – Tafsir dan Rekritik Oleh. Elifas Tomix Maspaitella 1. Berawal dari paradigma ‘serba dua’ Saya memberi judul di...