Fabel dan Kritik Sosial dalam Amsal 6:6-8
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
1. Dialog dan Tingkah Pola: Unsur Dasar Fabel
Tahun 1992, waktu duduk di Kelas II [A4] SMA Negeri 1 Ambon, kami mendapat pelajaran Sastra. Ibu Guru Sastra kami waktu itu adalah Dra. Tomasoa, yang juga seorang pujangga perempuan daerah Maluku. Beliau menerangkan tentang fabel, atau suatu jenis cerita dengan mencontohi dari hewan atau binatang.
Beberapa cerita lokal yang kala itu dituturkan a.l: kancil dan buaya, atau ‘monyet dan tuturuga’ (penyu). Cerita-cerita lucu itu memang menjadi cerita favorit orang tua kepada anak-anak mereka menjelang tidur. Lakon fabel, menunjuk pada ada suatu tingkah-pola yang perlu diperhatikan karena bisa saja menjadi bagian dari tingkah-pola manusia dalam dunia nyata. Artinya, tingkah-pola hewan-hewan/binatang itu hanyalah pemajasan atau parafrasa dari tindakan manusia yang non-fiksi, demikian penjelasan guru kami itu –kurang lebih begitu yang masih bisa saya rekam.
Dari segi kritik sastra, tingkah-pola hewan merupakan unsur baku dalam narasi fabel, yang perlu dimaknai dari dialog dalam fabel, sebab dialog tersebut menggambarkan bagaimana kira-kira tingkah-pola itu terjadi dalam suatu alam nyata. Perspektif itu yang kemudian mentransfer tingkah pola hewan ke alam hidup dan perilaku manusia.
Maka tidak heran jika semua kita tertawa geli ketika dengan cerdiknya sang kancil menipu buaya yang mau memangsanya dengan menyuruh buaya itu berjejer dulu di sepanjang sungai, lalu sang kancil akan menghitung jumlah buaya; setiba di seberang, sang kancil lalu berlari sambil tertawa terbahak-bahak.
Atau sang ‘monyet’ yang kemudian menyesal ketika terjatuh ke dalam air laut dan tidak ditolong oleh ‘tuturuga’ yang dendam karena tidak diberi pisang olehnya.
Dialog dan tingkah pola di dalam dua fabel itu mungkin saja terjadi dalam alam hidup manusia, dalam hubungan seorang dengan lainnya.
2. Oh….Pemalas
Si pemalas patut dimarahi. Sebab si pemalas tidak menggunakan dan mengembangkan potensi dalam dirinya untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
Si pemalas patut dimarahi. Karena mereka tidak menghargai waktu. Sering dan kemudian suka sekali datang terlambat. Sering dan suka sekali bekerja ‘pancuri tulang’, tidak sungguh-sungguh, apalagi jika bekerja dalam tim – sering ‘harap gampang’ (gampangan), karena merasa ada orang lain yang bisa mengerjakan tugas yang sama. Orang lain menjadi korban dari kemalasannya.
Si pemalas patut dimarahi. Mereka suka meminta upah yang adil, padahal tidak sebanding dengan kerjanya. Suka juga makan ‘gaji buta’; lalu ‘setor muka’ untuk mengisi absensi pada penghujung bulan, atau tengat gajian.
Si pemalas patut dimarahi. Mereka suka sekali yang instant. Mau yang ‘cepat saji’, dalam arti tidak mau sedikit berkorban. Mau sekali jadi, sehingga tidak mau menjalani suatu proses dengan bersungguh-sungguh. Mau makan, tetapi tidak tahu dari mana dan bagaimana mendapatkan makanan.
Si pemalas patut dimarahi. Mereka kurang bertanggungjawab, dan suka lempar salah kepada orang lain.
Si pemalas; bukannya mereka tidak mampu atau terbelakang tetapi mereka memiliki pandangan hidup yang terbatas dan sempit. Melihat hidup sebatas pada makan di hari ini. Tidak ada mental berjuang yang pantang menyerah. Mereka bukan pasrah pada kenyataan, tetapi tidak berani menghadapi kenyataan. Mereka bukan korban ketidakadilan, melainkan orang yang terkapar karena ulah sendiri di dalam suatu jalan yang bernama persaingan/kompetisi.
3. Lihatlah pada Semut
[Amsal 6:6-8]
‘Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak: biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen’.
‘Hai pemalas, pergilah kepada semut....’
Seberapa malasnya orang itu, sehingga bekerja saja tidak dilakukannya. Seberapa malasnya orang itu, sehingga tidak ada aktifitas apa pun yang dilakukannya. Bagaimana mungkin ada hasil, bekerja saja tidak! Bagaimana mungkin cukup makanan, berusaha saja tidak! Kemiskinan sudah tentu menjadi buah dari kemalasannya.
Seberapa resahnya orang yang hidup atau tinggal bersama dengan pemalas. Bukan hanya kecewa, tetapi orang seisi rumahnya marah besar. Susah berbicara kepada orang pemalas, sebab sudah pemalas, keras kepala, masa bodoh, lamban dan tidak berperspektif masa depan. Mereka menganggap segala sesuatu mudah, tetapi tidak berusaha walau sebenarnya mudah. Menganggap segala sesuatu gampang, tetapi tidak bisa memecahkan suatu masalah walau memang gampang. Menganggap sesuatu itu biasa, tetapi tidak pernah melakukan kebiasaan yang baik. Menganggap kerja itu ringan/enteng, tetapi tidak pernah mau bekerja yang ringan-ringan sekali pun [seperti mengambil air, mencuci pakaian, menyapu halaman].
Kepada siapa seorang pemalas harus mencontohi? Kepada Si A yang rajin belajar, sudah! Tetapi ia tetap malas belajar. Kepada si B yang rajin membantu orang tua, sudah! Tetapi waktunya selalu terbuang di luar rumah. Kepada si C yang suka berkebun, sudah! Tetapi ia tetap duduk-duduk dari pagi sampai sore bahkan di tepi jalan dan tempat kumpul kawanan pemalas. Kepada si D yang tidak pernah menumpuk pekrejaan kantor, sudah! Tetapi tugasnya tidak pernah beres dan sering dimarahi pimpinan/atasan. Kepada si E, si F, si G, sampai si Z, tetapi ia tidak pernah berhenti jadi pemalas.
Kepada semut saja. Artinya apa? Guru hikmat atau orang tuanya sendiri sudah bosan mendidiksi pemalas ini. Watak tidak mau berubah sudah mendarah-daging. Jadi daripada diajar berulang-ulang lebih baik disuruh belajar saja sendiri. Tetapi bukan lagi kepada manusia, melainkan kepada semut, sejenis serangga yang kecil, dan mungkin tidak terhitung sebagai yang disegani. Semut sebangsa serangga yang sering menjengkelkan karena suka mengerubuni makanan yang manis-manis, teh, suka menggigit kala sarangnya diinjak.
‘Pergilah kepada semut’ –biar dia bisa sadari bahwa setiap makhluk itu punya potensi untuk hidup dan menghidupi orang lain atau kelompoknya.
‘Pergilah kepada semut’ –biar dia bisa sadar bahwa bekerja itu perlu, apalagi jika bersama-sama, tentu tidak ada yang sulit.
‘Pergilah kepada semut’ –biar dia melakukan aktifitas [pergi] dan melihat langsung, bukan lagi mendengar. Ia harus bertindak, tidak lagi berpangku tangan. Ia harus bekerja bukan lagi duduk-duduk.
‘Pegilah kepada semut’ –biar lebih tahu diri [sadar].
‘Perhatikan lakunya dan jadilah bijak!’
Si pemalas itu termasuk orang bodoh. Bukan karena tidak tahu apa-apa, tetapi karena tahu sesuatu yang baik [bekerja] tetapi tidak mau melakukan yang baik itu. Semut tahu yang baik, dan mau melakukannya bersama-sama, dalam kelompok.
Si bodoh ini memiliki potensi [sebagai manusia] tetapi tidak didayagunakan secara optimal. Punya pikiran, tetapi tidak digunakan untuk merancang pekerjaannya. Punya tenaga tetapi tidak digunakan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Punya saudara, teman, keluarga, tetapi tidak pernah diajak bekerja bersama-sama, malah tidak mau berkorban bagi keluarga sendiri. Punya masa depan, tetapi hanya memikirkan hari ini; yang penting ada makanan, bisa tidur, bisa bangun, dan makan, tidur, bangun dan begitu seterusnya sepanjang hari. Bertadah tangan dan bergantung terus pada orang lain. Si pemalas ini selalu mengeksploitasi orang lain, bahkan istri/suami dan anaknya sendiri.
Hikmatnya rendah dari seekor atau sekawanan semut, serangga itu. Kebijaksanaan semut melebihi diri si pemalas. Perspektif masa depan semut lebih luas darinya. Semut lebih hebat merancang hidupnya dari si pemalas.
Lihatlah hikmat semut: ‘biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen’.
Tanpa pemimpin dan pengatur, berjalan dalam barisan, tidak saling mendahului, kalau berpapasan dengan teman, selalu bercium-ciuman dan saling menyapa.
Tanpa pengatur dan penguasa, bisa bekerja sama dengan baik. Mengangkat remah roti atau potongan makanan bersama-sama, dan bergilir dari satu etape ke etape berikutnya. Mencari lokasi makanan secara mandiri bersama-sama, mampu menyerang bersama-sama jika terancam, jika tidak terancam, tetap bekerja tanpa mengganggu orang lain. Saling menghormati, karena itu saat masuk keluar lobang [pintu] tidak pernah saling mendahului atau menyikut teman, tetapi masuk keluar beriring-iringan.
Menyediakan roti di musim panas –artinya bekerja di masa krisis, tidak pesimis, tidak putus asa, tidak menyalahkan hari: pagi, siang, sore malam; tidak menyalahkan cuaca: hujan, panas, mendung; tidak menyalahkan orang lain, tidak menyalahkan alam. Bekerja di masa sulit, tidak peduli pada hama, tidak mengeluh saat harga barang naik, karena terus saja bekerja. Tidak mencari-cari alasan dan menipu diri sendiri.
Pasca masa krisis, ia sudah berkelimpahan, dan dalam masa panen ia tidak lagi bekerja tetapi makan dari makanan cadangan yang dikumpulkan di waktu musim panas. Tidak seperti kita, waktu panen berfoya-foya, habis panen, habis uang, habis bahan makanan, dan habis daya untuk bekerja lagi. Itu juga irama si pemalas.
Hai pemalas, jadilah bijak dan berjuanglah walau di masa krisis sekalipun!
Lihatlah pada si semut kecil!
Thursday, November 18, 2010
Sunday, October 24, 2010
ROH YANG MEMUJI
[Bahan Renungan: Mazmur 124:6-8]
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Kekristenan itu bukan slogan, sebab kekristenan itu adalah kemampuan manusia mewujudkan pesan-pesan Injil dalam kata dan tindakan mereka. Artinya kekristenan itu adalah manusia itu sendiri, yakni manusia yang sudah dipanggil dan diutus TUHAN untuk menghadirkan tanda-tanda damai sejahtera di dunia, melalui pelayanan nyata bagi sesama manusia.
Kekristenan itu bukan roh yang mati, tetapi kekristenan itu ada dan hidup karena ROH KUDUS. Kekristenan itu berarti juga suatu kelepasan dari berbagai jerat, tantangan, godaan, cobaan, masalah, bukan secara pasif, tetapi melalui suatu usaha yang dibimbing oleh Roh Kudus. Sebab itu kekristenan itu berintikan pada relasi antarmanusia, relasi antariman. Menjadi kristen berarti berjumpa dengan semua orang dan berhadapan dengan semua masalah.
Maka kalau orang kristen harus memuji TUHAN, karena mereka mengalami bahwa di dalam rupa-rupa jerat, tantangan, godaan, cobaan, dan masalah, mereka diberi kemampuan, kekuatan, pengertian, dan kesabaran untuk berusaha keluar dari semuanya itu. Mengapa karena itu pemazmur mengajak kita memuji TUHAN, sebab di dalam tiap tantangan, godaan, cobaan, dan masalah, kita tidak sendiri.
TUHAN tidak berdiam diri, melainkan IA bertindak, bahkan di saat ketika kita lemah. Di saat kita lemah itu, sesungguhnya TUHAN membiarkan kita ‘berhenti sejenak’ agar IA yang bekerja melepaskan kita.
Itulah alasan mengapa kita harus memuji TUHAN, dan biarlah ROH pun memujiNya, dan kita memuji di dalam ROH.
Menu :
Pujilah TUHAN, Pujilah TUHAN, dan Pujilah TUHAN (saja)
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Kekristenan itu bukan slogan, sebab kekristenan itu adalah kemampuan manusia mewujudkan pesan-pesan Injil dalam kata dan tindakan mereka. Artinya kekristenan itu adalah manusia itu sendiri, yakni manusia yang sudah dipanggil dan diutus TUHAN untuk menghadirkan tanda-tanda damai sejahtera di dunia, melalui pelayanan nyata bagi sesama manusia.
Kekristenan itu bukan roh yang mati, tetapi kekristenan itu ada dan hidup karena ROH KUDUS. Kekristenan itu berarti juga suatu kelepasan dari berbagai jerat, tantangan, godaan, cobaan, masalah, bukan secara pasif, tetapi melalui suatu usaha yang dibimbing oleh Roh Kudus. Sebab itu kekristenan itu berintikan pada relasi antarmanusia, relasi antariman. Menjadi kristen berarti berjumpa dengan semua orang dan berhadapan dengan semua masalah.
Maka kalau orang kristen harus memuji TUHAN, karena mereka mengalami bahwa di dalam rupa-rupa jerat, tantangan, godaan, cobaan, dan masalah, mereka diberi kemampuan, kekuatan, pengertian, dan kesabaran untuk berusaha keluar dari semuanya itu. Mengapa karena itu pemazmur mengajak kita memuji TUHAN, sebab di dalam tiap tantangan, godaan, cobaan, dan masalah, kita tidak sendiri.
TUHAN tidak berdiam diri, melainkan IA bertindak, bahkan di saat ketika kita lemah. Di saat kita lemah itu, sesungguhnya TUHAN membiarkan kita ‘berhenti sejenak’ agar IA yang bekerja melepaskan kita.
Itulah alasan mengapa kita harus memuji TUHAN, dan biarlah ROH pun memujiNya, dan kita memuji di dalam ROH.
Menu :
Pujilah TUHAN, Pujilah TUHAN, dan Pujilah TUHAN (saja)
Saturday, October 16, 2010
Si Miskin Berhikmat yang Dilupakan
[Pengkhotbah 9:13-18]
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Sia-sia! Begitulah kesan umum orang membaca kitab Pengkhotbah. Tetapi apakah memang kitab ini ditulis untuk membuat kita menjadi pesimis? Ataukah ada pelajaran lain yang positif dari kitab ini, namun kita kurang mendalaminya, karena terjebak dengan kesan ‘sia-sia’ tadi? Mari membaca secara teliti kitab ini. Karena berbagai perumpamaan, seperti ‘menjaring angin’ tidak harus dipahami sebagai ajaran yang menanamkan rasa pesimisme di kalangan umat.
Penulis kitab Pengkhotbah sebenarnya mau berkata begini: apalah artinya kita memiliki hikmat atau berkata kita orang beriman, jika kita selalu menjadi ragu-ragu atas segala sesuatu yang sudah kita lakukan atau kerjakan? Kita selalu mengaku percaya kepada Tuhan, tetapi selalu ragu-ragu pula dengan rencana dan maksud Tuhan dalam hidup kita. Ibarat kita tidak sepenuhnya menaruh percaya kepada Tuhan, dan percaya sekedar sebatas bibir, tidak disertai dengan hati. Di sinilah letak soalnya mengapa penulis kitab Pengkhotbah mengatakan segala sesuatu sia-sia.
Sebab hati adalah pusat pengambilan keputusan moral-etika, sosial, keagamaan/iman. Hati selalu menyeimbangkan kerja akal dan rasa agar melaluinya keluar keputusan yang menentramkan hati, keputusan yang berlandaskan pada kebenaran/keadilan, keputusan yang tidak bisa diubah hanya karena suap, kekuasaan, dan emosionalitas semata. Keputusan yang keluar dari hati itu mendatangkan keharmonisan, keutuhan karena keputusan hikmat itu berguna bagi hidup di dalam masyarakat/jemaat.
Dalam teks kita ini Pengkhotbah melanjutkan sebuah pelajaran hikmat yang mendalam. Ia melihat sendiri bagaimana orang-orang menyelewengkan kekuasaannya tetapi berlagak laksana orang-orang pintar, orang yang berjasa, dan laksana orang berhikmat. Padahal mereka sudah melakukan suatu kesalahan vatal, yakni mempraktekkan kekuasaan yang menindas dan karena itu menyengsarakan orang lain hanya untuk kepentingan dan nafsu mereka. Tetapi lucunya, orang-orang seperti itu yang disegani dan ditakuti di dalam masyarakat. Malah mereka sendiri bertindak seakan-akan mereka yang penting dan patut didengarkan oleh siapa pun. Sesungguhnya yang seperti itu adalah sia-sia.
Nah lalu Pengkhotbah membandingkannya dengan hikmat seorang miskin tetapi tahu melakukan suatu perbuatan yang tujuannya menyelamatkan nasib banyak orang dari kehancuran. Orang miskin itu sudah mengambil suatu keputusan penting demi hidup masyarakat satu kota. Ia memandang nasib banyak orang itu jauh lebih berharga dari hanya dirinya; tentu bukan karena dia hanya orang miskin yang tidak punya apa-apa, sehingga kalau mati toh tidak ada yang rugi dan tidak perlu memikirkan harta-bendanya. Kekuatan hikmat seorang miskin itu ialah ketika ia mampu bukan hanya berpikir tetapi bertindak di luar kepentingan dirinya sendiri; berpikir dan bertindak demi kehidupan. Di situlah kita bisa mengerti bahwa tujuan hikmat adalah kehidupan atau terpeliharanya hidup.
Memang jasanya itu tidak diingat orang banyak, karena ia adalah orang miskin yang tidak punya pengaruh apa-apa. Tetapi si miskin itu telah memberi pelajaran hikmat yang berharga: bahwa keputusan hikmat itu lahir dari ketenangan diri. Ketenangan diri itu tidak berarti mengasingkan diri dari realitas ketidakadilan, penindasan, kemiskinan, malapetaka, melainkan keterlibatan di dalam seluruh realitas itu sambil melihat bahwa hidup yang adil, bebas, sejahtera, aman, jauh lebih penting dan harus diperjuangkan, walau kita bukanlah orang yang berkuasa, bukan orang kaya dan terpandang.
Perjuangan untuk hidup itu jauh lebih penting dari perkelahian, pertengkaran, iri hati, cemburu, dan hawa nafsu lainnya. Di situlah letak kekuatan hikmat. Hikmat itu bisa dimiliki dan dilahirkan oleh siapa pun tanpa dipengaruhi oleh status pendidikan, ekonomi, jabatan dan kekuasaan. Hikmat itu lahir dalam hidup orang-orang yang takut TUHAN.
Laki-laki gereja akan tetap dituntut untuk menjaga ketenangan hati dan hidupnya, sebab ia bertanggungjawab menjaga keutuhan hidup keluarga, jemaat, masyarakat dan bangsa. Jika kepadanya diberi tanggungjawab dan peran khusus, ia harus mampu melepaskan ambisi pada kekuasaan dan harta benda, agar ia bisa melihat kepentingan pelayanan kepada orang banyak. Ia tidak usah mencari nama atau hormat, sebab yang menjadi fokusnya adalah hidup orang banyak. Mereka berhak atas keadilan, kebebasan, keamanan, perdamaian, semua itu merupakan buah keputusan hikmat yang harus diambil.
Setiap laki-laki gereja juga diminta untuk memperhatikan cara ia berbicara, cara ia berpikir, cara ia bertindak, dan cara ia berelasi dengan orang banyak. Semua itu harus bermuara pada hikmat yang tetap baik, yaitu hikmat yang diberi TUHAN untuk hidup dalam dunia yang nyata. (*)
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Sia-sia! Begitulah kesan umum orang membaca kitab Pengkhotbah. Tetapi apakah memang kitab ini ditulis untuk membuat kita menjadi pesimis? Ataukah ada pelajaran lain yang positif dari kitab ini, namun kita kurang mendalaminya, karena terjebak dengan kesan ‘sia-sia’ tadi? Mari membaca secara teliti kitab ini. Karena berbagai perumpamaan, seperti ‘menjaring angin’ tidak harus dipahami sebagai ajaran yang menanamkan rasa pesimisme di kalangan umat.
Penulis kitab Pengkhotbah sebenarnya mau berkata begini: apalah artinya kita memiliki hikmat atau berkata kita orang beriman, jika kita selalu menjadi ragu-ragu atas segala sesuatu yang sudah kita lakukan atau kerjakan? Kita selalu mengaku percaya kepada Tuhan, tetapi selalu ragu-ragu pula dengan rencana dan maksud Tuhan dalam hidup kita. Ibarat kita tidak sepenuhnya menaruh percaya kepada Tuhan, dan percaya sekedar sebatas bibir, tidak disertai dengan hati. Di sinilah letak soalnya mengapa penulis kitab Pengkhotbah mengatakan segala sesuatu sia-sia.
Sebab hati adalah pusat pengambilan keputusan moral-etika, sosial, keagamaan/iman. Hati selalu menyeimbangkan kerja akal dan rasa agar melaluinya keluar keputusan yang menentramkan hati, keputusan yang berlandaskan pada kebenaran/keadilan, keputusan yang tidak bisa diubah hanya karena suap, kekuasaan, dan emosionalitas semata. Keputusan yang keluar dari hati itu mendatangkan keharmonisan, keutuhan karena keputusan hikmat itu berguna bagi hidup di dalam masyarakat/jemaat.
Dalam teks kita ini Pengkhotbah melanjutkan sebuah pelajaran hikmat yang mendalam. Ia melihat sendiri bagaimana orang-orang menyelewengkan kekuasaannya tetapi berlagak laksana orang-orang pintar, orang yang berjasa, dan laksana orang berhikmat. Padahal mereka sudah melakukan suatu kesalahan vatal, yakni mempraktekkan kekuasaan yang menindas dan karena itu menyengsarakan orang lain hanya untuk kepentingan dan nafsu mereka. Tetapi lucunya, orang-orang seperti itu yang disegani dan ditakuti di dalam masyarakat. Malah mereka sendiri bertindak seakan-akan mereka yang penting dan patut didengarkan oleh siapa pun. Sesungguhnya yang seperti itu adalah sia-sia.
Nah lalu Pengkhotbah membandingkannya dengan hikmat seorang miskin tetapi tahu melakukan suatu perbuatan yang tujuannya menyelamatkan nasib banyak orang dari kehancuran. Orang miskin itu sudah mengambil suatu keputusan penting demi hidup masyarakat satu kota. Ia memandang nasib banyak orang itu jauh lebih berharga dari hanya dirinya; tentu bukan karena dia hanya orang miskin yang tidak punya apa-apa, sehingga kalau mati toh tidak ada yang rugi dan tidak perlu memikirkan harta-bendanya. Kekuatan hikmat seorang miskin itu ialah ketika ia mampu bukan hanya berpikir tetapi bertindak di luar kepentingan dirinya sendiri; berpikir dan bertindak demi kehidupan. Di situlah kita bisa mengerti bahwa tujuan hikmat adalah kehidupan atau terpeliharanya hidup.
Memang jasanya itu tidak diingat orang banyak, karena ia adalah orang miskin yang tidak punya pengaruh apa-apa. Tetapi si miskin itu telah memberi pelajaran hikmat yang berharga: bahwa keputusan hikmat itu lahir dari ketenangan diri. Ketenangan diri itu tidak berarti mengasingkan diri dari realitas ketidakadilan, penindasan, kemiskinan, malapetaka, melainkan keterlibatan di dalam seluruh realitas itu sambil melihat bahwa hidup yang adil, bebas, sejahtera, aman, jauh lebih penting dan harus diperjuangkan, walau kita bukanlah orang yang berkuasa, bukan orang kaya dan terpandang.
Perjuangan untuk hidup itu jauh lebih penting dari perkelahian, pertengkaran, iri hati, cemburu, dan hawa nafsu lainnya. Di situlah letak kekuatan hikmat. Hikmat itu bisa dimiliki dan dilahirkan oleh siapa pun tanpa dipengaruhi oleh status pendidikan, ekonomi, jabatan dan kekuasaan. Hikmat itu lahir dalam hidup orang-orang yang takut TUHAN.
Laki-laki gereja akan tetap dituntut untuk menjaga ketenangan hati dan hidupnya, sebab ia bertanggungjawab menjaga keutuhan hidup keluarga, jemaat, masyarakat dan bangsa. Jika kepadanya diberi tanggungjawab dan peran khusus, ia harus mampu melepaskan ambisi pada kekuasaan dan harta benda, agar ia bisa melihat kepentingan pelayanan kepada orang banyak. Ia tidak usah mencari nama atau hormat, sebab yang menjadi fokusnya adalah hidup orang banyak. Mereka berhak atas keadilan, kebebasan, keamanan, perdamaian, semua itu merupakan buah keputusan hikmat yang harus diambil.
Setiap laki-laki gereja juga diminta untuk memperhatikan cara ia berbicara, cara ia berpikir, cara ia bertindak, dan cara ia berelasi dengan orang banyak. Semua itu harus bermuara pada hikmat yang tetap baik, yaitu hikmat yang diberi TUHAN untuk hidup dalam dunia yang nyata. (*)
Sunday, September 19, 2010
Sterkte! Kuatkanlah dirimu!
Tentang ‘rasa hati’ Leimena, Sang Teolog Kebangsaan
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Teologi, di dalam cara dan situasi apa pun, adalah dialektika antara yang abstrak (misteri) dan empirik (kontekstual). Dialektika itu menempatkan manusia, sebagai subyek [yang ber]teologi, dalam ruang pemaknaan yang nyata; artinya ia hidup dan berada di dalam dunia, di tengah suatu situasi yang dihadapinya, bahkan di tengah galau hati, keresahan, dan berbagai problem psikologisnya. Malah di dalam situasi terancam sekalipun, teologi itu mampu hadir. Dalam keadaan itu, kita bisa mengatakan bahwa setiap pemikiran dan perbuatan teologi [berteologi] didorong pula pada adanya pengharapan [hope].
Banyak kalangan menyebut bahwa berteologi selalu didorong oleh solidaritas, yakni ketika diskusi teologi dibawa masuk ke dalam ruang-ruang publik dan dilihat sebagai suatu aktifitas kehidupan yang sesungguhnya. Artinya teologi dan berteologi itu bukan aktifitas tekstual atau dogmatik, sebaliknya aktifitas kehidupan/perbuatan.
‘RASA HATI’
Dalam banyak defenisi aspek ‘belarasa’ selalu dilihat sebagai dorongan mendasar dari solidaritas manusia yang berteologi. Malah ada yang menterjemahkannya lebih dari sebatas kepedulian, solider, karena ‘belarasa’ adalah bentuk empati mendalam, di mana seseorang yang berteologi pertama-tama didorong oleh ‘pandangan dunia’ atau pemahaman dirinya, lalu melahirkan kepekaan untuk melihat realitas yang termarginalkan [individu maupun kelompok], dan mendorong suatu aksi untuk benar-benar menyatakan keberpihakan, pembelaan [advokasi], dan kepedulian. ‘Belarasa’ pada gilirannya melahirkan perubahan, pemulihan relasi, penegakan keadilan dan kebenaran, yang semuanya mengarah pada kehidupan. Maka kehidupan adalah tema dan tujuan utama dari berteologi itu sendiri.
Om Jo ~seperti juga dalam tulisan sebelumnya~ adalah teolog kebangsaan yang mampu mendemonstrasikan suatu keunggulan berteologi secara personal, dan itu yang menjadi karakternya yang khas (typical). Ia bukan saja teolog kebangsaan yang kritis, dan tegas. Ternyata sikap kritis dan tegas itu lahir dari ‘rasa hati’ yang sangat mendalam terhadap bangsa dan masyarakat [orang] Indonesia.
Beberapa rekaman sejarah mengenai krisis awal 1965 yang menumbangkan Soekarno, seperti yang saya baca dalam buku brilian karya F.P.B. Litaay (2007) melukiskan suasana ‘rasa hati’ Om Jo yang mendalam dan mampu melahirkan kritik serta perlawanan [diskursus] terhadap Soeharto yang dinilainya berlaku kasar terhadap Presiden. Malah, menurut tulisan Litaay, ketika Soekarno ditawarkan untuk pergi ke Yogya, Om Jo yang bertindak membelokkan perjalanan Soekarno, dan membawanya ke Istana Bogor. Kisah ini mungkin dinilai sederhana, tetapi tindakan Om Jo itu membuat Indonesia terhindar dari perang saudara yang bisa saja menghancurkan Proklamasi. Komimten Om Jo pada Proklamasi ternyata lahir karena kecintaannya kepada rakyat Indonesia yang sudah merdeka. Dalam tulisan Litaay, yang juga mengutip wawancaranya dengan P.D. Latuihamallo, bahwa beberapa saat sebelum naik pesawat, dalam kondisi yang genting, Om Jo bertanya kepada Soekarno: ‘Pak Presiden, apakah anda benar mencintai rakyat?’ ‘Ya, tentu’, jawab Presiden.
Di situlah tergambar bahwa dalam krisis politik nasional itu, Om Jo tidak melihat seberapa penting kekuasaan, melainkan seberapa penting rakyat dan seberapa penting komitmen cinta [‘rasa hati’] pemimpin terhadap rakyatnya. Makanya tidak heran jika ia berani melawan Soeharto, dan menegaskan juga bahwa politik itu adalah etika untuk melayani, bukan nafsu untuk berkuasa.
‘Sterkte!’, Kuatkanlah dirimu!
Ungkapan ini dikatakan Om Jo saat Roeslan Abdulgani tertembak tangannya, 19 Desember 1948 di Yogyakarta. Saat itu Om Jo bersama beberapa perawat sedang dikawal tentara pendudukan dan berpapasan dengan Roeslan Abdulgani yang sedang diangkut dalam dokar.
Melihat keadaannya yang telah hilang beberapa jarinya, Om Jo berteriak dengan gusar: “Roeslan? Kamu terluka? Lekas ambil tetanus! Lekas ambil tetanus!
Menurut kesaksian Roeslan, sambil berteriak seperti itu Om Jo dibentak dan diancam dengan senjata oleh para pengawal, tetapi beliau tetap berteriak: ‘Lekas ambil tetanus! Lekas ambil tetanus! Hingga sayup-sayup terdengar suara Om Jo: ‘Sterkte! Kuatkanlah dirimu! (Litaay, 2007:183-4).
Om Jo seorang dokter. Lekas ambil tetanus! Kalimat itu adalah advice seorang dokter yang disampaikan kepada pasien (Roeslan) dengan tujuan agar tidak terjadi infeksi yang bisa mengancam hidup sang pasien. Bentuk terapi medis yang telah menjadi bagian dari etika kedokteran. Sungguh, Om Jo melakoni profesinya dengan baik. Tetapi lakon itu terjadi di dalam situasi yang sama sekali tidak menguntungkan baik untuk nyawanya dan para perawat yang sedang dalam pengawalan, tetapi terlebih kondisi pasien Roeslan yang sedang terluka dan juga dalam situasi perang.
Kita bisa melihat bahwa ia hanya berpapasan dengan Roeslan. Roeslan tidak sedang di kamar perawatan di sebuah Rumah Sakit atau Klinik, dan Om Jo adalah dokter jaga saat itu. Mereka berpapasan di jalan, Om Jo dalam pengawalan dan Roeslan terluka di dalam dokar. Namun aspek ‘rasa hati’ melahirkan suatu komitmen pelayanan yang tinggi meski dalam situasi yang sama sekali tidak nyaman, tidak menguntungkan dan mengancam.
Suatu bentuk respons teologi dan malah dobrakan teologi. Ia melakoni apa yang sesungguhnya menjadi inti dari berteologi itu yaitu: ‘berteriak’ melawan situasi yang tidak adil dan perlakuan yang menindas. Sebuah gerakan menolong, memulihkan, menumbuhkan dan membebaskan. Suatu teriakan kehidupan walau dirinya sendiri sedang dalam ancaman.
Tidak sampai di situ, sang dokter itu ternyata melakoni profesinya sebagai seorang beriman yang mampu melihat manusia melewati batas-batas apa pun: melewati batas situasi sosial, batas penjajahan, melewati batas ancaman, dan juga melewati batas agama. Roeslan bagi Om Jo adalah seorang manusia yang harus dipulihkan dan ditopang dalam menghadapi situasi krisisnya.
‘Sterkte’ Kuatkanlah dirimu!’, adalah bentuk penopangan Om Jo terhadap Roeslan, bukan karena tidak bisa merawatnya, melainkan karena Roeslan harus berjuang untuk mengatasi krisis yang sedang dialaminya, tetapi Om Jo tetap merasa ia harus mengadirkan diri dalam perjuangan melawan krisis yang dilakoni Roeslan sendiri.
‘Rasa hati’ selalu membuat seseorang mampu menghadirkan dirinya di dalam perjuangan orang lain atau sesama, walau tidak secara langsung. Apa yang Om Jo perlihatkan itu adalah bagian dari panggilan teologi kebangsaan yang mendorong suatu usaha mengatasi dan keluar dari krisis melalui kepedulian penuh kepada siapa pun juga.
Rujukan:
Flip P.B. Litaay, Pemikiran Sosial Johannes Leimena tentang Dwi-Kewarganegaraan di Indonesia, Salatiga: Satya Wacana Press, 2007
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Teologi, di dalam cara dan situasi apa pun, adalah dialektika antara yang abstrak (misteri) dan empirik (kontekstual). Dialektika itu menempatkan manusia, sebagai subyek [yang ber]teologi, dalam ruang pemaknaan yang nyata; artinya ia hidup dan berada di dalam dunia, di tengah suatu situasi yang dihadapinya, bahkan di tengah galau hati, keresahan, dan berbagai problem psikologisnya. Malah di dalam situasi terancam sekalipun, teologi itu mampu hadir. Dalam keadaan itu, kita bisa mengatakan bahwa setiap pemikiran dan perbuatan teologi [berteologi] didorong pula pada adanya pengharapan [hope].
Banyak kalangan menyebut bahwa berteologi selalu didorong oleh solidaritas, yakni ketika diskusi teologi dibawa masuk ke dalam ruang-ruang publik dan dilihat sebagai suatu aktifitas kehidupan yang sesungguhnya. Artinya teologi dan berteologi itu bukan aktifitas tekstual atau dogmatik, sebaliknya aktifitas kehidupan/perbuatan.
‘RASA HATI’
Dalam banyak defenisi aspek ‘belarasa’ selalu dilihat sebagai dorongan mendasar dari solidaritas manusia yang berteologi. Malah ada yang menterjemahkannya lebih dari sebatas kepedulian, solider, karena ‘belarasa’ adalah bentuk empati mendalam, di mana seseorang yang berteologi pertama-tama didorong oleh ‘pandangan dunia’ atau pemahaman dirinya, lalu melahirkan kepekaan untuk melihat realitas yang termarginalkan [individu maupun kelompok], dan mendorong suatu aksi untuk benar-benar menyatakan keberpihakan, pembelaan [advokasi], dan kepedulian. ‘Belarasa’ pada gilirannya melahirkan perubahan, pemulihan relasi, penegakan keadilan dan kebenaran, yang semuanya mengarah pada kehidupan. Maka kehidupan adalah tema dan tujuan utama dari berteologi itu sendiri.
Om Jo ~seperti juga dalam tulisan sebelumnya~ adalah teolog kebangsaan yang mampu mendemonstrasikan suatu keunggulan berteologi secara personal, dan itu yang menjadi karakternya yang khas (typical). Ia bukan saja teolog kebangsaan yang kritis, dan tegas. Ternyata sikap kritis dan tegas itu lahir dari ‘rasa hati’ yang sangat mendalam terhadap bangsa dan masyarakat [orang] Indonesia.
Beberapa rekaman sejarah mengenai krisis awal 1965 yang menumbangkan Soekarno, seperti yang saya baca dalam buku brilian karya F.P.B. Litaay (2007) melukiskan suasana ‘rasa hati’ Om Jo yang mendalam dan mampu melahirkan kritik serta perlawanan [diskursus] terhadap Soeharto yang dinilainya berlaku kasar terhadap Presiden. Malah, menurut tulisan Litaay, ketika Soekarno ditawarkan untuk pergi ke Yogya, Om Jo yang bertindak membelokkan perjalanan Soekarno, dan membawanya ke Istana Bogor. Kisah ini mungkin dinilai sederhana, tetapi tindakan Om Jo itu membuat Indonesia terhindar dari perang saudara yang bisa saja menghancurkan Proklamasi. Komimten Om Jo pada Proklamasi ternyata lahir karena kecintaannya kepada rakyat Indonesia yang sudah merdeka. Dalam tulisan Litaay, yang juga mengutip wawancaranya dengan P.D. Latuihamallo, bahwa beberapa saat sebelum naik pesawat, dalam kondisi yang genting, Om Jo bertanya kepada Soekarno: ‘Pak Presiden, apakah anda benar mencintai rakyat?’ ‘Ya, tentu’, jawab Presiden.
Di situlah tergambar bahwa dalam krisis politik nasional itu, Om Jo tidak melihat seberapa penting kekuasaan, melainkan seberapa penting rakyat dan seberapa penting komitmen cinta [‘rasa hati’] pemimpin terhadap rakyatnya. Makanya tidak heran jika ia berani melawan Soeharto, dan menegaskan juga bahwa politik itu adalah etika untuk melayani, bukan nafsu untuk berkuasa.
‘Sterkte!’, Kuatkanlah dirimu!
Ungkapan ini dikatakan Om Jo saat Roeslan Abdulgani tertembak tangannya, 19 Desember 1948 di Yogyakarta. Saat itu Om Jo bersama beberapa perawat sedang dikawal tentara pendudukan dan berpapasan dengan Roeslan Abdulgani yang sedang diangkut dalam dokar.
Melihat keadaannya yang telah hilang beberapa jarinya, Om Jo berteriak dengan gusar: “Roeslan? Kamu terluka? Lekas ambil tetanus! Lekas ambil tetanus!
Menurut kesaksian Roeslan, sambil berteriak seperti itu Om Jo dibentak dan diancam dengan senjata oleh para pengawal, tetapi beliau tetap berteriak: ‘Lekas ambil tetanus! Lekas ambil tetanus! Hingga sayup-sayup terdengar suara Om Jo: ‘Sterkte! Kuatkanlah dirimu! (Litaay, 2007:183-4).
Om Jo seorang dokter. Lekas ambil tetanus! Kalimat itu adalah advice seorang dokter yang disampaikan kepada pasien (Roeslan) dengan tujuan agar tidak terjadi infeksi yang bisa mengancam hidup sang pasien. Bentuk terapi medis yang telah menjadi bagian dari etika kedokteran. Sungguh, Om Jo melakoni profesinya dengan baik. Tetapi lakon itu terjadi di dalam situasi yang sama sekali tidak menguntungkan baik untuk nyawanya dan para perawat yang sedang dalam pengawalan, tetapi terlebih kondisi pasien Roeslan yang sedang terluka dan juga dalam situasi perang.
Kita bisa melihat bahwa ia hanya berpapasan dengan Roeslan. Roeslan tidak sedang di kamar perawatan di sebuah Rumah Sakit atau Klinik, dan Om Jo adalah dokter jaga saat itu. Mereka berpapasan di jalan, Om Jo dalam pengawalan dan Roeslan terluka di dalam dokar. Namun aspek ‘rasa hati’ melahirkan suatu komitmen pelayanan yang tinggi meski dalam situasi yang sama sekali tidak nyaman, tidak menguntungkan dan mengancam.
Suatu bentuk respons teologi dan malah dobrakan teologi. Ia melakoni apa yang sesungguhnya menjadi inti dari berteologi itu yaitu: ‘berteriak’ melawan situasi yang tidak adil dan perlakuan yang menindas. Sebuah gerakan menolong, memulihkan, menumbuhkan dan membebaskan. Suatu teriakan kehidupan walau dirinya sendiri sedang dalam ancaman.
Tidak sampai di situ, sang dokter itu ternyata melakoni profesinya sebagai seorang beriman yang mampu melihat manusia melewati batas-batas apa pun: melewati batas situasi sosial, batas penjajahan, melewati batas ancaman, dan juga melewati batas agama. Roeslan bagi Om Jo adalah seorang manusia yang harus dipulihkan dan ditopang dalam menghadapi situasi krisisnya.
‘Sterkte’ Kuatkanlah dirimu!’, adalah bentuk penopangan Om Jo terhadap Roeslan, bukan karena tidak bisa merawatnya, melainkan karena Roeslan harus berjuang untuk mengatasi krisis yang sedang dialaminya, tetapi Om Jo tetap merasa ia harus mengadirkan diri dalam perjuangan melawan krisis yang dilakoni Roeslan sendiri.
‘Rasa hati’ selalu membuat seseorang mampu menghadirkan dirinya di dalam perjuangan orang lain atau sesama, walau tidak secara langsung. Apa yang Om Jo perlihatkan itu adalah bagian dari panggilan teologi kebangsaan yang mendorong suatu usaha mengatasi dan keluar dari krisis melalui kepedulian penuh kepada siapa pun juga.
Rujukan:
Flip P.B. Litaay, Pemikiran Sosial Johannes Leimena tentang Dwi-Kewarganegaraan di Indonesia, Salatiga: Satya Wacana Press, 2007
Friday, September 17, 2010
Menjadi Kristen yang Cerdas
Bahan Bacaan: Kisah Para Rasul 6:8-15
Fokus: Ay. 10
Menjadi orang kristen kita harus cerdas. Kecerdasan kristen adalah kecerdasan yang didasarkan pada hikmat. Sebab hikmat mengajarkan kita untuk sanggup memahami kita dipanggil TUHAN untuk menghadirkan damai sejahtera, dan melakukan hal-hal yang baik. Karena jika kita kedapatan melakukan hal-hal yang salah, negatif, kita diidentikkan dengan sebagai orang bodoh; sebaliknya melakukan hal-hal baik, positif, kita disebut berhikmat (cerdas).
Stefanus menunjukkan bahwa kecerdasan kristen tampak dalam isi pemberitaan kita. Pemberitaan kristen itu berdasar pada kebenaran, dan kebenaran itu adalah kebenaran mengenai karya Kristus di tengah dunia. Bahwa Kristus adalah seorang hamba Allah yang setia yang melakukan banyak perkara besar dan ajaib di tengah dunia. Perbuatan Kristus itu memungkinkan manusia memiliki keselamatan, karena perbuatan Kristus adalah perbuatan kasih yang bertujuan menebus manusia dari dosa.
Kebenaran kristen membuat kita dihadapkan pada berbagai tantangan. Salah satunya adalah fitnahan. Tetapi itu tidak harus mematikan nilai kebenaran itu sendiri. Kini banyak orang yang sudah tidak mau lagi mengasah hikmatnya, lalu cepat terbuai ketika mendengar berbagai ajaran baru yang instant. Kecerdasan kristen juga dapat diukur dari konsistensi kita berpegang dan berpedoman pada kebenaran yang sudah kita terima, yakni kita hanyalah hamba yang harus memberitakan Injil dalam kata dan perbuatan. Karena itu kita diajak untuk tenang menghadapi semua tantangan sambil tetap berpegang pada kebenaran yang sejati, yaitu kebenaran di dalam Kristus.
Menu:
Carilah hikmat dan peluklah kebenaran
Fokus: Ay. 10
Menjadi orang kristen kita harus cerdas. Kecerdasan kristen adalah kecerdasan yang didasarkan pada hikmat. Sebab hikmat mengajarkan kita untuk sanggup memahami kita dipanggil TUHAN untuk menghadirkan damai sejahtera, dan melakukan hal-hal yang baik. Karena jika kita kedapatan melakukan hal-hal yang salah, negatif, kita diidentikkan dengan sebagai orang bodoh; sebaliknya melakukan hal-hal baik, positif, kita disebut berhikmat (cerdas).
Stefanus menunjukkan bahwa kecerdasan kristen tampak dalam isi pemberitaan kita. Pemberitaan kristen itu berdasar pada kebenaran, dan kebenaran itu adalah kebenaran mengenai karya Kristus di tengah dunia. Bahwa Kristus adalah seorang hamba Allah yang setia yang melakukan banyak perkara besar dan ajaib di tengah dunia. Perbuatan Kristus itu memungkinkan manusia memiliki keselamatan, karena perbuatan Kristus adalah perbuatan kasih yang bertujuan menebus manusia dari dosa.
Kebenaran kristen membuat kita dihadapkan pada berbagai tantangan. Salah satunya adalah fitnahan. Tetapi itu tidak harus mematikan nilai kebenaran itu sendiri. Kini banyak orang yang sudah tidak mau lagi mengasah hikmatnya, lalu cepat terbuai ketika mendengar berbagai ajaran baru yang instant. Kecerdasan kristen juga dapat diukur dari konsistensi kita berpegang dan berpedoman pada kebenaran yang sudah kita terima, yakni kita hanyalah hamba yang harus memberitakan Injil dalam kata dan perbuatan. Karena itu kita diajak untuk tenang menghadapi semua tantangan sambil tetap berpegang pada kebenaran yang sejati, yaitu kebenaran di dalam Kristus.
Menu:
Carilah hikmat dan peluklah kebenaran
Mengapa 'Salah Berdoa'? [Bagian 2]
Elifas Tomix Maspaitella
Bahan Bacaan: Yakobus 4:7-10
Ayat Fokus : ay.10 “Rendahkan dirimu di hadapan TUHAN dan IA akan meninggikan kamu”
Berdoa itu berarti kita sadar TUHAN itu berlimpah dan kaya dalam kuasa dan kasihNya. Dengan kalimat lain, orang yang berdoa itu sadar bahwa dia memiliki potensi yang terbatas, berhadapan dengan TUHAN yang omnipotent (Maha segalanya). Maka jika ia meminta dalam doa, sebetulnya bukan karena ia tidak memiliki potensi, tetapi ia meminta TUHAN memberi kemampuan untuk mengelola potensinya.
Ada dua kondisi pribadi yang mesti dibenahi saat kita berdoa: a) tahirkanlah tanganmu (ay.8a) ~maksudnya dari tangan kita biasa datang berbagai hal yang tidak terpuji, seperti mencuri, membunuh, atau menggali lobang untuk menjerat saudara kita sendiri, dan bahkan menyembunyikan apa yang kita miliki; dan (b) sucikan hati (ay.8b) ~sebab kadang dalam berdoa kita tidak sungguh-sungguh mengandalkan TUHAN, kita berdoa sambil ragu-ragu, atau berdoa sambil membayangkan rencana apa yang kita kehendaki untuk dilakukan. Padahal dengan berdoa kita berharap TUHAN menunjukkan dan memberitahukan rencanaNya lalu kita melakukan rencana itu. Hati kita bercabang, maka lidah kita pun mengeluarkan kata-kata yang tidak sejalan dengan hati kita. Kita berdoa dalam kepalsuan. Bahkan kita juga sering berdoa dengan kesombongan, lalu melebih-lebihkan apa yang kita punyai, bahkan melebih-lebihkan orang yang kita doakan, walau dia sebenarnya bersalah. Kita sering melayani ‘doa-doa pesanan’, ‘doa-doa iklan’.
Ini yang dikatakan Yakobus sebagai hal-hal yang turut membuat doa kita salah. Sebab itu ia mengajar kita bahwa dengan berdoa sesungguhnya kita sedang bertelud di bawah kemahakuasaan dan kemuliaan TUHAN. Kita tidak bisa menyembunyikan diri dan menyelubungi niat hati kita. Kita menutupnya, padahal kita lupa IA terlebih dahulu sudah mengetahuinya. Sebab itu berdoa harus dengan kerendahan hati.
DOA:
TUHAN, tiga hal kumohon daripadaMu, tetapi berilah aku satu hal yang KAU kehendaki: kerendahan hati. Amin
Bahan Bacaan: Yakobus 4:7-10
Ayat Fokus : ay.10 “Rendahkan dirimu di hadapan TUHAN dan IA akan meninggikan kamu”
Berdoa itu berarti kita sadar TUHAN itu berlimpah dan kaya dalam kuasa dan kasihNya. Dengan kalimat lain, orang yang berdoa itu sadar bahwa dia memiliki potensi yang terbatas, berhadapan dengan TUHAN yang omnipotent (Maha segalanya). Maka jika ia meminta dalam doa, sebetulnya bukan karena ia tidak memiliki potensi, tetapi ia meminta TUHAN memberi kemampuan untuk mengelola potensinya.
Ada dua kondisi pribadi yang mesti dibenahi saat kita berdoa: a) tahirkanlah tanganmu (ay.8a) ~maksudnya dari tangan kita biasa datang berbagai hal yang tidak terpuji, seperti mencuri, membunuh, atau menggali lobang untuk menjerat saudara kita sendiri, dan bahkan menyembunyikan apa yang kita miliki; dan (b) sucikan hati (ay.8b) ~sebab kadang dalam berdoa kita tidak sungguh-sungguh mengandalkan TUHAN, kita berdoa sambil ragu-ragu, atau berdoa sambil membayangkan rencana apa yang kita kehendaki untuk dilakukan. Padahal dengan berdoa kita berharap TUHAN menunjukkan dan memberitahukan rencanaNya lalu kita melakukan rencana itu. Hati kita bercabang, maka lidah kita pun mengeluarkan kata-kata yang tidak sejalan dengan hati kita. Kita berdoa dalam kepalsuan. Bahkan kita juga sering berdoa dengan kesombongan, lalu melebih-lebihkan apa yang kita punyai, bahkan melebih-lebihkan orang yang kita doakan, walau dia sebenarnya bersalah. Kita sering melayani ‘doa-doa pesanan’, ‘doa-doa iklan’.
Ini yang dikatakan Yakobus sebagai hal-hal yang turut membuat doa kita salah. Sebab itu ia mengajar kita bahwa dengan berdoa sesungguhnya kita sedang bertelud di bawah kemahakuasaan dan kemuliaan TUHAN. Kita tidak bisa menyembunyikan diri dan menyelubungi niat hati kita. Kita menutupnya, padahal kita lupa IA terlebih dahulu sudah mengetahuinya. Sebab itu berdoa harus dengan kerendahan hati.
DOA:
TUHAN, tiga hal kumohon daripadaMu, tetapi berilah aku satu hal yang KAU kehendaki: kerendahan hati. Amin
Mengapa 'Salah Berdoa'? [Bagian 1]
Elifas Tomix Maspaitella
Bahan Bacaan: Yakobus 4:1-6
Ayat Fokus : ayat 3 “Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu mint itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu”
Permohonan yang kita bawa dalam doa kepada TUHAN selalu membuat kita merasa bahwa TUHAN [harus] memberi sesuai apa yang kita minta. Benar dalam contoh mengenai jawaban doa, Yesus mengumpamakan, seorang anak meminta ikan dari bapaknya, tidak mungkin bapanya memberi ular (bnd. Luk.11:11-12). Artinya setiap anak meminta, karena (a) apa yang diminta dibutuhkannya, tetapi tidak dimilikinya; (b) dia yakin dan tahu apa yang dimintanya ada dan dimiliki oleh bapaknya.
Begitu juga saat kita berdoa. Kita tidak mempunyai tetapi membutuhkan sesuatu yang diminta, dan kita tahu semua itu ada pada TUHAN. Dalam contoh teks Lukas itu TUHAN sebagai yang memiliki segala sesuatu pasti memberi sesuai dengan apa yang diminta oleh anak-anakNya.
Maka jika kepada kita tidak diberi sesuai dengan apa yang diminta, bukan karena (a) tidak ada pada TUHAN, atau (b) TUHAN ‘sakakar’ atau tidak peduli kepada kita. Teks kita menunjuk pada suatu alasan mendasar mengapa kondisi ‘doa tidak terjawab’ itu terjadi.
Hal ‘salah berdoa’ itu bukan hal metode. Sebab metode doa itu sederhana: masuk dalam kamar, atau di mana saja, lalu ‘angka hati’, sampaikan kepada TUHAN apa yang benar-benar kita rasakan dan kita inginkan. Artinya berdoa dan isi doa itu harus jujur, lurus dan tidak bohong.
Ini lebih dari sekedar metode. Persoalan ‘doa tidak dijawab’ adalah soal motivasi kita meminta. Yakobus menulis, semuanya dikarenakan oleh ‘hawa nafsu’ yang berlebih-lebihan. Itu yang membuat tujuan doa kita menjadi kabur dan ‘belok di tengah jalan’.
Jadi persoalan ‘doa yang tidak dijawab’ atau ‘berdoa yang salah’ itu terletak pada tujuan kita meminta. Dengan begitu setelah kita memperoleh apa yang kita mintakan, kita pasti akan bertanggungjawab mengelolanya. Ibarat seorang anak, ketika meminta ikan, jika diberi kepadanya ikan, ia bisa makan. Ia meminta ikan untuk melengkapi nasi/roti yang akan dimakannya. Jadi setiap permintaan kita semata-mata bertujuan untuk melengkapi tugas dan tanggungjawab yang sudah TUHAN percayakan kepada kita.
DOA:
“TUHAN, ajar aku meluruskan niatku tiap aku datang berdoa kepadaMu”
Bahan Bacaan: Yakobus 4:1-6
Ayat Fokus : ayat 3 “Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu mint itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu”
Permohonan yang kita bawa dalam doa kepada TUHAN selalu membuat kita merasa bahwa TUHAN [harus] memberi sesuai apa yang kita minta. Benar dalam contoh mengenai jawaban doa, Yesus mengumpamakan, seorang anak meminta ikan dari bapaknya, tidak mungkin bapanya memberi ular (bnd. Luk.11:11-12). Artinya setiap anak meminta, karena (a) apa yang diminta dibutuhkannya, tetapi tidak dimilikinya; (b) dia yakin dan tahu apa yang dimintanya ada dan dimiliki oleh bapaknya.
Begitu juga saat kita berdoa. Kita tidak mempunyai tetapi membutuhkan sesuatu yang diminta, dan kita tahu semua itu ada pada TUHAN. Dalam contoh teks Lukas itu TUHAN sebagai yang memiliki segala sesuatu pasti memberi sesuai dengan apa yang diminta oleh anak-anakNya.
Maka jika kepada kita tidak diberi sesuai dengan apa yang diminta, bukan karena (a) tidak ada pada TUHAN, atau (b) TUHAN ‘sakakar’ atau tidak peduli kepada kita. Teks kita menunjuk pada suatu alasan mendasar mengapa kondisi ‘doa tidak terjawab’ itu terjadi.
Hal ‘salah berdoa’ itu bukan hal metode. Sebab metode doa itu sederhana: masuk dalam kamar, atau di mana saja, lalu ‘angka hati’, sampaikan kepada TUHAN apa yang benar-benar kita rasakan dan kita inginkan. Artinya berdoa dan isi doa itu harus jujur, lurus dan tidak bohong.
Ini lebih dari sekedar metode. Persoalan ‘doa tidak dijawab’ adalah soal motivasi kita meminta. Yakobus menulis, semuanya dikarenakan oleh ‘hawa nafsu’ yang berlebih-lebihan. Itu yang membuat tujuan doa kita menjadi kabur dan ‘belok di tengah jalan’.
Jadi persoalan ‘doa yang tidak dijawab’ atau ‘berdoa yang salah’ itu terletak pada tujuan kita meminta. Dengan begitu setelah kita memperoleh apa yang kita mintakan, kita pasti akan bertanggungjawab mengelolanya. Ibarat seorang anak, ketika meminta ikan, jika diberi kepadanya ikan, ia bisa makan. Ia meminta ikan untuk melengkapi nasi/roti yang akan dimakannya. Jadi setiap permintaan kita semata-mata bertujuan untuk melengkapi tugas dan tanggungjawab yang sudah TUHAN percayakan kepada kita.
DOA:
“TUHAN, ajar aku meluruskan niatku tiap aku datang berdoa kepadaMu”
Thursday, August 26, 2010
PEMIKIRAN TEOLOGI JOHANNES LEIMENA
Suatu Upaya Awal
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Pendahuluan
Beta sebenarnya hendak menulis sebuah pemikiran Teologi Johannes Leimena, karena dari banyak cerita dan penelitian mengenainya, selain sebagai pemikir dan tokoh bangsa yang malang melintang di 'rimba' politik, kenegaraan, pelayanan sosial sebagai seorang dokter, Om Jo, begitu menurut sapaan di kalangan GMKI, adalah seorang tokoh gereja, yang turut membidani lahirnya Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), serta seorang pentolan CSV yang merupakan cikal bakal GMKI. Beta kira karena itu, Om Jo, adalah seorang yang patut disebut sebagai peletak dasar TEOLOGI KEBANGSAAN. Ia menggelisahkan beta untuk melihat Indonesia sebagai sebuah kenyataan teologis.
Beta berusaha membahas topik ini dengan meminjam beberapa sari pemikiran seorang Pahlawan Sejati bangsa Indonesia yakni DR. Johannes Leimena, yang oleh kalangan GMKI disapa Om Jo. Sebab menurut beta, setelah Rasul Paulus yang coba memposisikan relasi orang-orang kristen dengan pemerintah/negara, di Indonesia Johannes Leimena yang kembali melihat pentingnya hal itu, dengan mengedepankan apa yang suka ia sebut ‘keinsyafan kenegaraan’ (staatsbewustzijn) yang hanya dapat tumbuh jika ada ‘keinsyafan kebangsaan’ (volksbewustzijn). Seterusnya ternyata yang dimaksudkan Om Jo adalah ‘tanggungjawab’ atau ‘bertanggungjawab’ kepada negara dan masyarakat (bangsa).
Kembali pada soal ‘peran ganda’ itu, Om Jo dalam salah satu tulisannya (1955) menulis begini:
Kita yang hidup di antara dua waktu, yaitu antara kenaikan Tuhan ke sorga dan kedatangan kedua kalinya dalam dunia ini, tidak dapat melepaskan diri kita dari bumi (dunia) ini, tapi wajib turut serta dalam pemeliharaan dunia ini, turut serta dalam pekerjaan menegakan kerajaan sorga [damai sejahtera] dalam dunia ini.
Juga mengenai negara, orang Kristen mempunyai suatu kedudukan yang ‘paradoxaal’. Ia adalah warga dari negaranya dalam dunia ini dan ia adalah juga warga dari kerajaan Kristus. Ia mempunyai ‘double citizenship” (dwikewarganegaraan). Hal ini pula mengakibatkan suatu ketegangan (spanning) dalam kehidupannya sebagai warga negara.
Sebenarnya, semua pernyataan ini berkisar pada soal yang besar: …”Bagaimanakah orang kristen dapat hidup dengan Tuhannya dan bersamaan dengan itu hidup sebagai warga negara yang baik”, lebih tegas lagi: ‘bagaimanakah kita dapat hidup sebagai orang Kristen yang sejati dan sebagai warga negara yang sejati dan yang bertanggungjawab’.
Beta merasa penting mengemukakan pernyataan dan pertanyaan teologis Om Jo itu untuk mengatakan bahwa ternyata dalam kaitan dengan ‘dwikewarganegaraan’ kita itu Om Jo mendorong kita [gereja/orang kristen] untuk melihat Indonesia secara sosio-teologis, atau dalam bahasa yang lebih operasional, melihat Indonesia sebagai ajang berteologi gereja [dan agama-agama].
Bertanggungjawab
Aspek ‘bertanggungjawab’ adalah suatu gagasan dan sikap sosio-teologis seorang Om Jo yang juga dijadikan sebagai pijakan untuk mengkritisi kehidupan bernegara dan juga mengkritisi [berteologi] gereja.
Karena dipengaruhi oleh Teologi Luther, Calvin dan Barth, beta percaya bahwa hal ‘bertanggungjawab’ yang Om Jo maksudkan adalah agar negara memahami bahwa negara dan bangsa adalah entitas sosial yang harus bertanggungjawab terhadap hidup warganya. Demikian pun warga negara dan warga bangsa (masyarakat) mesti menyadari bahwa mereka adalah juga entitas sosial yang harus bertanggungjawan terhadap hidup bersama di dalam bangsa dan negara. Secara politis kita merumuskannya dalam apa yang disebut ‘hak dan kewajiban’.
Om Jo, dalam kaitan dengan teolog-teolog tadi, lalu akan sepakat untuk mendefenisikan hal bertanggungjawab itu sebagai ‘panggilan’ (Jer. Beruf, Ing. Calling). Artinya negara dan seluruh aparaturnya mendapat panggilan dari Tuhan untuk melayani kesejahteraan, keadilan, kebenaran, dan kedamaian bagi warganya. Tanpa itu negara adalah tiran dan penjajah. Sebaliknya warga negara juga mendapat panggilan untuk melayani sesama dan bangsa (masyarakat), serta memelihara kehidupan bernegara yang damai, adil, rukun, dan penuh cinta kasih.
Hidup bersama (Samenleven)
Mungkin bahasa teologi untuk hal ini adalah ‘koinonia’, tetapi Om Jo menggunakan istilah ‘samenleven’ dari bahasa Belanda untuk merefleksikan aspek kedua dari tanggungjawab itu. Menariknya ‘samenleven’ diterjemahkannya dari suatu relasi dasar ‘aku-engkau’. Secara sosiologis, bahwa manusia itu ada oleh karena ada manusia yang lain. Kesadaran akan ada [sumbangan] orang lain yang kiranya menentukan cara kita berdiri terhadap manusia lain. Karena itu hubungan ‘aku-engkau’ yang berhasil dikelola akan membentuk masyarakat [samenleving = masyarakat]. Sebab itu ada persekutuan [dalam bangsa] karena terdapat suatu ikatan yang menghubungkan oknum-oknum [individu]menjadi satu bangsa. Ikatan itu menurut Om Jo adalah ‘pengasihan’ [liefdesgebod]. Karena itu persekutuan dalam bangsa menjadi kuat karena ikatan-ikatan hidup yang selalu dibangun menjadi daya rekat hidup bersama.
Politik ber-etika
Om Jo juga dikenal sebagai pendiri dasar teologi politik Indonesia. Pernyataannya: ‘Politik bukan alat kekuasaan, tetapi etika untuk melayani’, perlu dijadikan rujukan untuk melihat bagaimana kehidupan politik bangsa ini dikembangkan.
Jika kita menafsirnya, pernyataan itu lahir dari suatu penghayatan yang mendalam akan ‘dwikewarganegaraan’ tadi. Sebab menurutnya Indonesia ini negara baru, dan kita sedang berhadapan dengan soal-soal kenegaraan, dan soal-soal kebangsaan yang besar. Ia bermaksud untuk mengatakan bahwa tidak ada persoalan yang harus dipandang enteng atau sulit, karena semua itu adalah soal kita sendiri. Karena itu kita harus bersama-sama memecahkannya. Itulah yang dimaksudkan dengan tanggungjawab/bertanggungjawab.
Menariknya bahwa ia melihat hal itu pada tataran sebuah etika politik, agar kekuasaan itu benar-benar dikelola untuk membangun bangsa ini secara baik. Karena itu menurutnya pula, orang Indonesia akan bisa membangun Indonesia dengan baik jika ia memandang bahwa negara ini ada karena karunia Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan telah menganugerahkan kepada bangsa Indonesia suatu negara. Tuhan mempunyai maksud dengan negara ini. Tuhan memberikan suatu tugas kepada negara dan bangsa itu, ialah tugas memelihara kehidupannya sendiri dengan sebaik-baiknya.
Bagaimana Pemuda Kristen di Indonesia?
Beta tidak memberi semacam formula atau ayat sakti mengenai bagaimana pemuda Kristen harus menjadi ‘tulang punggung’ bangsa dan gereja. Sebab siapa pun dia, warga bangsa ini, mendapat panggilan yang sama dari Tuhan yaitu untuk saling mengasihi dan melayani kota [bangsa] di mana mereka ada, sambil mengusahakan kesejahteraan kota [masyarakat] itu.
Problem-problem sebagai orang kristen harus dilihat sebagai problem orang dan bangsa Indonesia. Sebab itu sensetifitas sosial yang harus dibangun, bukan sensetifitas agama yang sempit dan kaku. Sebab agama-agama itu adalah bagian dari budaya orang Indonesia, bukan kiriman orang lain dari luar untuk ‘terpaksa’ kita anut. Kita adalah pemuda Indonesia yang kemudian beragama kristen. Hal kita beragama adalah hal kita mengekspresikan iman sebagai orang Indonesia. Memang kemudian agama itu menuntut kita untuk hidup sesuai dengan ajaran/doktrin, tetapi doktrin agama ternyata menuntut kita untuk mengasihi sesama dan mengasihi Tuhan. Mengasihi bangsa, bertanggungjawab sebagai warga bangsa, adalah wujud mengasihi Tuhan dan bertanggungjawab sebagai orang beriman.
Demikian!
(Materi Diskusi Kepemudaan Kristen, GMKI Cabang Ambon. 23 Agustus 2010, Gereja Maranatha, Ambon – beta Panel bersama Dr. Poly Koritelu dan Hendry Pasalbessy. Aslinya materi ini berjudul: "TANGGUNGJAWAB PEMUDA KRISTEN SEBAGAI TULANG PUNGGUNG GEREJA DAN NEGARA, Menyoal Kembali Konsepsi Peran Ganda dalam Teologi Johannes Leimena")
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Pendahuluan
Beta sebenarnya hendak menulis sebuah pemikiran Teologi Johannes Leimena, karena dari banyak cerita dan penelitian mengenainya, selain sebagai pemikir dan tokoh bangsa yang malang melintang di 'rimba' politik, kenegaraan, pelayanan sosial sebagai seorang dokter, Om Jo, begitu menurut sapaan di kalangan GMKI, adalah seorang tokoh gereja, yang turut membidani lahirnya Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), serta seorang pentolan CSV yang merupakan cikal bakal GMKI. Beta kira karena itu, Om Jo, adalah seorang yang patut disebut sebagai peletak dasar TEOLOGI KEBANGSAAN. Ia menggelisahkan beta untuk melihat Indonesia sebagai sebuah kenyataan teologis.
Beta berusaha membahas topik ini dengan meminjam beberapa sari pemikiran seorang Pahlawan Sejati bangsa Indonesia yakni DR. Johannes Leimena, yang oleh kalangan GMKI disapa Om Jo. Sebab menurut beta, setelah Rasul Paulus yang coba memposisikan relasi orang-orang kristen dengan pemerintah/negara, di Indonesia Johannes Leimena yang kembali melihat pentingnya hal itu, dengan mengedepankan apa yang suka ia sebut ‘keinsyafan kenegaraan’ (staatsbewustzijn) yang hanya dapat tumbuh jika ada ‘keinsyafan kebangsaan’ (volksbewustzijn). Seterusnya ternyata yang dimaksudkan Om Jo adalah ‘tanggungjawab’ atau ‘bertanggungjawab’ kepada negara dan masyarakat (bangsa).
Kembali pada soal ‘peran ganda’ itu, Om Jo dalam salah satu tulisannya (1955) menulis begini:
Kita yang hidup di antara dua waktu, yaitu antara kenaikan Tuhan ke sorga dan kedatangan kedua kalinya dalam dunia ini, tidak dapat melepaskan diri kita dari bumi (dunia) ini, tapi wajib turut serta dalam pemeliharaan dunia ini, turut serta dalam pekerjaan menegakan kerajaan sorga [damai sejahtera] dalam dunia ini.
Juga mengenai negara, orang Kristen mempunyai suatu kedudukan yang ‘paradoxaal’. Ia adalah warga dari negaranya dalam dunia ini dan ia adalah juga warga dari kerajaan Kristus. Ia mempunyai ‘double citizenship” (dwikewarganegaraan). Hal ini pula mengakibatkan suatu ketegangan (spanning) dalam kehidupannya sebagai warga negara.
Sebenarnya, semua pernyataan ini berkisar pada soal yang besar: …”Bagaimanakah orang kristen dapat hidup dengan Tuhannya dan bersamaan dengan itu hidup sebagai warga negara yang baik”, lebih tegas lagi: ‘bagaimanakah kita dapat hidup sebagai orang Kristen yang sejati dan sebagai warga negara yang sejati dan yang bertanggungjawab’.
Beta merasa penting mengemukakan pernyataan dan pertanyaan teologis Om Jo itu untuk mengatakan bahwa ternyata dalam kaitan dengan ‘dwikewarganegaraan’ kita itu Om Jo mendorong kita [gereja/orang kristen] untuk melihat Indonesia secara sosio-teologis, atau dalam bahasa yang lebih operasional, melihat Indonesia sebagai ajang berteologi gereja [dan agama-agama].
Bertanggungjawab
Aspek ‘bertanggungjawab’ adalah suatu gagasan dan sikap sosio-teologis seorang Om Jo yang juga dijadikan sebagai pijakan untuk mengkritisi kehidupan bernegara dan juga mengkritisi [berteologi] gereja.
Karena dipengaruhi oleh Teologi Luther, Calvin dan Barth, beta percaya bahwa hal ‘bertanggungjawab’ yang Om Jo maksudkan adalah agar negara memahami bahwa negara dan bangsa adalah entitas sosial yang harus bertanggungjawab terhadap hidup warganya. Demikian pun warga negara dan warga bangsa (masyarakat) mesti menyadari bahwa mereka adalah juga entitas sosial yang harus bertanggungjawan terhadap hidup bersama di dalam bangsa dan negara. Secara politis kita merumuskannya dalam apa yang disebut ‘hak dan kewajiban’.
Om Jo, dalam kaitan dengan teolog-teolog tadi, lalu akan sepakat untuk mendefenisikan hal bertanggungjawab itu sebagai ‘panggilan’ (Jer. Beruf, Ing. Calling). Artinya negara dan seluruh aparaturnya mendapat panggilan dari Tuhan untuk melayani kesejahteraan, keadilan, kebenaran, dan kedamaian bagi warganya. Tanpa itu negara adalah tiran dan penjajah. Sebaliknya warga negara juga mendapat panggilan untuk melayani sesama dan bangsa (masyarakat), serta memelihara kehidupan bernegara yang damai, adil, rukun, dan penuh cinta kasih.
Hidup bersama (Samenleven)
Mungkin bahasa teologi untuk hal ini adalah ‘koinonia’, tetapi Om Jo menggunakan istilah ‘samenleven’ dari bahasa Belanda untuk merefleksikan aspek kedua dari tanggungjawab itu. Menariknya ‘samenleven’ diterjemahkannya dari suatu relasi dasar ‘aku-engkau’. Secara sosiologis, bahwa manusia itu ada oleh karena ada manusia yang lain. Kesadaran akan ada [sumbangan] orang lain yang kiranya menentukan cara kita berdiri terhadap manusia lain. Karena itu hubungan ‘aku-engkau’ yang berhasil dikelola akan membentuk masyarakat [samenleving = masyarakat]. Sebab itu ada persekutuan [dalam bangsa] karena terdapat suatu ikatan yang menghubungkan oknum-oknum [individu]menjadi satu bangsa. Ikatan itu menurut Om Jo adalah ‘pengasihan’ [liefdesgebod]. Karena itu persekutuan dalam bangsa menjadi kuat karena ikatan-ikatan hidup yang selalu dibangun menjadi daya rekat hidup bersama.
Politik ber-etika
Om Jo juga dikenal sebagai pendiri dasar teologi politik Indonesia. Pernyataannya: ‘Politik bukan alat kekuasaan, tetapi etika untuk melayani’, perlu dijadikan rujukan untuk melihat bagaimana kehidupan politik bangsa ini dikembangkan.
Jika kita menafsirnya, pernyataan itu lahir dari suatu penghayatan yang mendalam akan ‘dwikewarganegaraan’ tadi. Sebab menurutnya Indonesia ini negara baru, dan kita sedang berhadapan dengan soal-soal kenegaraan, dan soal-soal kebangsaan yang besar. Ia bermaksud untuk mengatakan bahwa tidak ada persoalan yang harus dipandang enteng atau sulit, karena semua itu adalah soal kita sendiri. Karena itu kita harus bersama-sama memecahkannya. Itulah yang dimaksudkan dengan tanggungjawab/bertanggungjawab.
Menariknya bahwa ia melihat hal itu pada tataran sebuah etika politik, agar kekuasaan itu benar-benar dikelola untuk membangun bangsa ini secara baik. Karena itu menurutnya pula, orang Indonesia akan bisa membangun Indonesia dengan baik jika ia memandang bahwa negara ini ada karena karunia Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan telah menganugerahkan kepada bangsa Indonesia suatu negara. Tuhan mempunyai maksud dengan negara ini. Tuhan memberikan suatu tugas kepada negara dan bangsa itu, ialah tugas memelihara kehidupannya sendiri dengan sebaik-baiknya.
Bagaimana Pemuda Kristen di Indonesia?
Beta tidak memberi semacam formula atau ayat sakti mengenai bagaimana pemuda Kristen harus menjadi ‘tulang punggung’ bangsa dan gereja. Sebab siapa pun dia, warga bangsa ini, mendapat panggilan yang sama dari Tuhan yaitu untuk saling mengasihi dan melayani kota [bangsa] di mana mereka ada, sambil mengusahakan kesejahteraan kota [masyarakat] itu.
Problem-problem sebagai orang kristen harus dilihat sebagai problem orang dan bangsa Indonesia. Sebab itu sensetifitas sosial yang harus dibangun, bukan sensetifitas agama yang sempit dan kaku. Sebab agama-agama itu adalah bagian dari budaya orang Indonesia, bukan kiriman orang lain dari luar untuk ‘terpaksa’ kita anut. Kita adalah pemuda Indonesia yang kemudian beragama kristen. Hal kita beragama adalah hal kita mengekspresikan iman sebagai orang Indonesia. Memang kemudian agama itu menuntut kita untuk hidup sesuai dengan ajaran/doktrin, tetapi doktrin agama ternyata menuntut kita untuk mengasihi sesama dan mengasihi Tuhan. Mengasihi bangsa, bertanggungjawab sebagai warga bangsa, adalah wujud mengasihi Tuhan dan bertanggungjawab sebagai orang beriman.
Demikian!
(Materi Diskusi Kepemudaan Kristen, GMKI Cabang Ambon. 23 Agustus 2010, Gereja Maranatha, Ambon – beta Panel bersama Dr. Poly Koritelu dan Hendry Pasalbessy. Aslinya materi ini berjudul: "TANGGUNGJAWAB PEMUDA KRISTEN SEBAGAI TULANG PUNGGUNG GEREJA DAN NEGARA, Menyoal Kembali Konsepsi Peran Ganda dalam Teologi Johannes Leimena")
Saturday, July 17, 2010
PATU KAPALAE
Artefak Kapal Dagang Cina di Horale, Maluku Tengah
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Pengantar
Menelusuri jejak peninggalan Cina di Maluku memiliki daya tarik tersendiri. Suatu jejak sejarah yang belum terlalu diminati kalangan ilmuan dan sejarahwan. Karena itu rekaman dan narasi sejarah mengenai Maluku selalu diwarnai dengan cerita Eropa, karena itu artefak-artefak Eropa yang paling banyak dipelihara atau dilestarikan.
Padahal jika diakui secara jujur, jejak Cina merupakan jejak tertua, bahkan sudah ada jauh sebelum datangnya orang Eropa ke Maluku [mengenai ini, saya sedang mempersiapkan satu tulisan lain lagi sebagai kajian ulang terhadap rekaman data dan catatan beberapa ilmuwan barat].
Apa yang kemudian diulas dalam artikel ini adalah sebuah temuan baru yang patut dicurigai sebagai bukti bahwa pengaruh Cina di Maluku begitu mendalam dan meluas sampai ke daerah pedalaman.
Pulau Seram adalah salah satu lokus yang di sini jejak Cina bisa ditemukan pula. Saya belum sempat menelusuri ke daerah-daerah lain di Pulau Seram, tetapi temuan kali ini tidak bisa diabaikan untuk menelusuri lebih mendalam jejak Cina itu sendiri.
Kebetulan saya bersama dengan Komisi Keesaan dan Pembinaan Umat Jemaat Bethania, Sektor Mahanaim, Klasis GPM Kota Ambon, melakukan ‘koinonia terpadu’ di Jemaat Horale, Klasis Seram Utara-Wahai pada 28 Juni – 1 Juli 2010. Di Horale inilah saya ‘berhasil’ menemukan beberapa bukti peninggalan Cina yang memang masih perlu ditelusuri keabsahannya lebih lanjut.
Nakaena, Nakapatu, Nakaheli – Nama itu menunjuk ke Pengaruh Cina [?]
Horale adalah nama negeri adat ini seperti dikenal secara luas di Maluku. Negeri orang-orang Wemale yang seluruh komunitasnya berbahasa Wemale. Pada 2006-2008 berada dalam suatu krisis, terkait dengan pertikaian dan sengketa batas tanah negeri dengan Saleman, yang penduduknya berasal dari Utara dan memiliki bahasa yang sangat mirip dengan orang-orang di Utara (Banggoi).
Nama Horale itu adalah sebutan masa kini bagi negeri ini. Dahulu kala, negeri ini dikenal dengan nama NAKAENA, atau NEGERI NAGA [NAKA=NAGA, [H]ENA=NEGERI]. Dari mana berasal kata ‘naka=naga’ itu tidak bisa diingat secara pasti oleh beberapa tua adat di Horale, yang menuturkan cerita ini (Bapak Toby Latumapina, Bapak Piet Patalatu, Bapak Yeye Maatuku Sailemane, dan Bung Piet Mahaklory – Selasa, 29 Juni, jam 22.20-00.15].
Dari cerita mereka, diketahui bahwa dahulu nenek moyang mereka pindah dari Nunusaku, saat terjadi peristiwa perpecahan di sana [baca tulisan saya ‘Mitos Gunug Suci: Solohua Kasale Patai’]. Dalam perjalanan dari Talamenasiwa, nenek moyang mereka berjalan dengan mengikuti petunjuk bintang di langit yang menyerupai naga, sampai tiba di negerinya ini dan mendirikan negeri ini.
Jadi nama ‘naka=naga’ itu bersumber dari mitologi orang Horale tadi. Nama itu sendiri bisa memberi indikasi pada adanya pengaruh Cina, namun jejaknya agak sulit ditelusuri mengingat banyak catatan sejarah masa lampau yang sudah dilupakan oleh informan. Termasuk arsip-arsip negeri yang telah terbakar di kantor negeri. Selain itu kebiasaan bertutur dari orang tua kepada anak-anak dahulu selalu dianggap tabu, sehingga tidak ada suatu cerita sejarah yang lengkap dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Ketika ditelusuri lebih lanjut memang sulit menemukan adanya pengaruh Cina pada nama ‘naka=naga’ itu. Tetapi nama Nakaena menjadi sebutan sakral bagi negeri ini. Sebelum menjadi Horale, terdapat dua wilayah, yaitu Nakapatu = Naga batu, yang kini menjadi Pusat Negeri Horale, dan Nakaheli = Naga kusu-kusu/alang-alang, yang bertempat di Saka, sebagai salah satu wilayah Horale. Nakaheli sendiri kemudian digabungkan ke Nakapatu pada tahun 1937, karena terjadi wabah penyakit alam [malaria] di tahun itu.
Kanelabuane = Pelabuhan Horale
Selain nama nakaena, nakapatu dan nakaheli tadi, labuhan negeri Horale ditandai dengan dua batu penunjuk setinggi 1,5m, dan selalu tampak di permukaan air laut baik kala air surut maupun air pasang.
Labuhan ini dikenal dengan nama ‘kenalabuane’. Nama ‘kena’ sendiri menurut informan (Bapak Pice Patalatu) adalah nama seorang pedagang Cina yang dahulu melakukan kegiatan berdagang di Seram Utara, dan kapalnya selalu berlabuh di lautan depan negeri Horale.
Kedua batu itu selalu menjadi penunjuk karena memang lautan di labuhan itu dipenuhi batu yang membuat airnya dangkal. Kedua batu itu menjadi penanda bahwa permukaan air di antara kedua batu itu tergolong dalam, sehingga bisa dilalui oleh kapal jika hendak ke tepi pantai Horale. Memang sudah sulit menemukan penggambaran detail mengenai kapal Cina dan pedagang yang bernama ‘Kena’ tersebut, tetapi masyarakat Horale mengenangnya dari nama labuhan itu sendiri.
Patukapale/lakapale; patu = batu, kapale = kapal
Nama patukapale adalah sebutan untuk artefak batu di pesisir pantai Horale yang menunjuk pada adanya sebuah kapal yang karam/terdampar di pantai itu. Sebutan ‘patu’ (=batu) adalah sebutan khas dalam bahasa Wemale. Sebaliknya ‘kapale’ adalah cara orang Wemale membunyikan suatu benda atau subyek dengan menambahkan akhiran ‘e’ pada kata itu. Kebiasaan membahasa seperti itu dilekatkan pada beberapa istilah dalam Bahasa Melayu Ambon, seperti Tuhan = Tuhane, Kapal = Kapale.
Dari jenis batu ini sendiri, bisa dilihat jelas perbedaannya secara fisik dengan batu-batu yang lain yang ada di pesisir pantai itu. Warnanya yang agak kehitaman mengingatkan kita pada proses membatu yang bisa saja terjadi pada bahan besi. Saya sempat meminta ijin untuk mengambil sampel, yang sedang diusahakan untuk diuji pada laboratorium Arkeologi. Tujuannya untuk mengetahui jenis bahan mineral yang terkandung di dalamnya, jika ada unsur besi, berarti bisa menjadi bukti bahwa sebutan ‘patukapale’ itu jelas pada kapal yang terdampat/karam. Apakah itu kapal Cina, bisa juga ditelusuri dari dua penjelasan di atas, atau sumber-sumber ilmiah lainnya.
Artefak ini ada di pesisir pantai dan berada di dua lokasi yang berdekatan. Pada lokasi pertama, yang disebut ‘patukapale’ ada susunan batu pipih seluas kurang lebih 2 meter. Di atasnya ada beberapa bentuk yang unik. Menurut kebiasaan orang Horale, disebut sebagai gong (=papuw), tifa (=tipale) dan sumur [=parike, perigi, mungkin kendi porselin yang turut membatu]. Tiga jenis barang ini pun tergolong sebagai artefak Cina yang banyak ditemui di Maluku dan menjadi bagian dari kultur seni masyarakat Maluku.
Pada lokasi kedua, terdapat susunan batu yang lebih luas dan lebih banyak, dan dianggap sebagai serpihan-serpihan kapal itu juga. Jadi adanya tidak bisa dipisahkan dari ‘patukapale’ itu. Menurut cerita informan, jika tiba musim Barat, ‘patukapale’ itu bertambah luas karena separuh dari ‘patukapale’ itu muncul dipermukaan seiring dengan pengikisan pasir oleh ombak besar.
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Pengantar
Menelusuri jejak peninggalan Cina di Maluku memiliki daya tarik tersendiri. Suatu jejak sejarah yang belum terlalu diminati kalangan ilmuan dan sejarahwan. Karena itu rekaman dan narasi sejarah mengenai Maluku selalu diwarnai dengan cerita Eropa, karena itu artefak-artefak Eropa yang paling banyak dipelihara atau dilestarikan.
Padahal jika diakui secara jujur, jejak Cina merupakan jejak tertua, bahkan sudah ada jauh sebelum datangnya orang Eropa ke Maluku [mengenai ini, saya sedang mempersiapkan satu tulisan lain lagi sebagai kajian ulang terhadap rekaman data dan catatan beberapa ilmuwan barat].
Apa yang kemudian diulas dalam artikel ini adalah sebuah temuan baru yang patut dicurigai sebagai bukti bahwa pengaruh Cina di Maluku begitu mendalam dan meluas sampai ke daerah pedalaman.
Pulau Seram adalah salah satu lokus yang di sini jejak Cina bisa ditemukan pula. Saya belum sempat menelusuri ke daerah-daerah lain di Pulau Seram, tetapi temuan kali ini tidak bisa diabaikan untuk menelusuri lebih mendalam jejak Cina itu sendiri.
Kebetulan saya bersama dengan Komisi Keesaan dan Pembinaan Umat Jemaat Bethania, Sektor Mahanaim, Klasis GPM Kota Ambon, melakukan ‘koinonia terpadu’ di Jemaat Horale, Klasis Seram Utara-Wahai pada 28 Juni – 1 Juli 2010. Di Horale inilah saya ‘berhasil’ menemukan beberapa bukti peninggalan Cina yang memang masih perlu ditelusuri keabsahannya lebih lanjut.
Nakaena, Nakapatu, Nakaheli – Nama itu menunjuk ke Pengaruh Cina [?]
Horale adalah nama negeri adat ini seperti dikenal secara luas di Maluku. Negeri orang-orang Wemale yang seluruh komunitasnya berbahasa Wemale. Pada 2006-2008 berada dalam suatu krisis, terkait dengan pertikaian dan sengketa batas tanah negeri dengan Saleman, yang penduduknya berasal dari Utara dan memiliki bahasa yang sangat mirip dengan orang-orang di Utara (Banggoi).
Nama Horale itu adalah sebutan masa kini bagi negeri ini. Dahulu kala, negeri ini dikenal dengan nama NAKAENA, atau NEGERI NAGA [NAKA=NAGA, [H]ENA=NEGERI]. Dari mana berasal kata ‘naka=naga’ itu tidak bisa diingat secara pasti oleh beberapa tua adat di Horale, yang menuturkan cerita ini (Bapak Toby Latumapina, Bapak Piet Patalatu, Bapak Yeye Maatuku Sailemane, dan Bung Piet Mahaklory – Selasa, 29 Juni, jam 22.20-00.15].
Dari cerita mereka, diketahui bahwa dahulu nenek moyang mereka pindah dari Nunusaku, saat terjadi peristiwa perpecahan di sana [baca tulisan saya ‘Mitos Gunug Suci: Solohua Kasale Patai’]. Dalam perjalanan dari Talamenasiwa, nenek moyang mereka berjalan dengan mengikuti petunjuk bintang di langit yang menyerupai naga, sampai tiba di negerinya ini dan mendirikan negeri ini.
Jadi nama ‘naka=naga’ itu bersumber dari mitologi orang Horale tadi. Nama itu sendiri bisa memberi indikasi pada adanya pengaruh Cina, namun jejaknya agak sulit ditelusuri mengingat banyak catatan sejarah masa lampau yang sudah dilupakan oleh informan. Termasuk arsip-arsip negeri yang telah terbakar di kantor negeri. Selain itu kebiasaan bertutur dari orang tua kepada anak-anak dahulu selalu dianggap tabu, sehingga tidak ada suatu cerita sejarah yang lengkap dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Ketika ditelusuri lebih lanjut memang sulit menemukan adanya pengaruh Cina pada nama ‘naka=naga’ itu. Tetapi nama Nakaena menjadi sebutan sakral bagi negeri ini. Sebelum menjadi Horale, terdapat dua wilayah, yaitu Nakapatu = Naga batu, yang kini menjadi Pusat Negeri Horale, dan Nakaheli = Naga kusu-kusu/alang-alang, yang bertempat di Saka, sebagai salah satu wilayah Horale. Nakaheli sendiri kemudian digabungkan ke Nakapatu pada tahun 1937, karena terjadi wabah penyakit alam [malaria] di tahun itu.
Kanelabuane = Pelabuhan Horale
Selain nama nakaena, nakapatu dan nakaheli tadi, labuhan negeri Horale ditandai dengan dua batu penunjuk setinggi 1,5m, dan selalu tampak di permukaan air laut baik kala air surut maupun air pasang.
Labuhan ini dikenal dengan nama ‘kenalabuane’. Nama ‘kena’ sendiri menurut informan (Bapak Pice Patalatu) adalah nama seorang pedagang Cina yang dahulu melakukan kegiatan berdagang di Seram Utara, dan kapalnya selalu berlabuh di lautan depan negeri Horale.
Kedua batu itu selalu menjadi penunjuk karena memang lautan di labuhan itu dipenuhi batu yang membuat airnya dangkal. Kedua batu itu menjadi penanda bahwa permukaan air di antara kedua batu itu tergolong dalam, sehingga bisa dilalui oleh kapal jika hendak ke tepi pantai Horale. Memang sudah sulit menemukan penggambaran detail mengenai kapal Cina dan pedagang yang bernama ‘Kena’ tersebut, tetapi masyarakat Horale mengenangnya dari nama labuhan itu sendiri.
Patukapale/lakapale; patu = batu, kapale = kapal
Nama patukapale adalah sebutan untuk artefak batu di pesisir pantai Horale yang menunjuk pada adanya sebuah kapal yang karam/terdampar di pantai itu. Sebutan ‘patu’ (=batu) adalah sebutan khas dalam bahasa Wemale. Sebaliknya ‘kapale’ adalah cara orang Wemale membunyikan suatu benda atau subyek dengan menambahkan akhiran ‘e’ pada kata itu. Kebiasaan membahasa seperti itu dilekatkan pada beberapa istilah dalam Bahasa Melayu Ambon, seperti Tuhan = Tuhane, Kapal = Kapale.
Dari jenis batu ini sendiri, bisa dilihat jelas perbedaannya secara fisik dengan batu-batu yang lain yang ada di pesisir pantai itu. Warnanya yang agak kehitaman mengingatkan kita pada proses membatu yang bisa saja terjadi pada bahan besi. Saya sempat meminta ijin untuk mengambil sampel, yang sedang diusahakan untuk diuji pada laboratorium Arkeologi. Tujuannya untuk mengetahui jenis bahan mineral yang terkandung di dalamnya, jika ada unsur besi, berarti bisa menjadi bukti bahwa sebutan ‘patukapale’ itu jelas pada kapal yang terdampat/karam. Apakah itu kapal Cina, bisa juga ditelusuri dari dua penjelasan di atas, atau sumber-sumber ilmiah lainnya.
Artefak ini ada di pesisir pantai dan berada di dua lokasi yang berdekatan. Pada lokasi pertama, yang disebut ‘patukapale’ ada susunan batu pipih seluas kurang lebih 2 meter. Di atasnya ada beberapa bentuk yang unik. Menurut kebiasaan orang Horale, disebut sebagai gong (=papuw), tifa (=tipale) dan sumur [=parike, perigi, mungkin kendi porselin yang turut membatu]. Tiga jenis barang ini pun tergolong sebagai artefak Cina yang banyak ditemui di Maluku dan menjadi bagian dari kultur seni masyarakat Maluku.
Pada lokasi kedua, terdapat susunan batu yang lebih luas dan lebih banyak, dan dianggap sebagai serpihan-serpihan kapal itu juga. Jadi adanya tidak bisa dipisahkan dari ‘patukapale’ itu. Menurut cerita informan, jika tiba musim Barat, ‘patukapale’ itu bertambah luas karena separuh dari ‘patukapale’ itu muncul dipermukaan seiring dengan pengikisan pasir oleh ombak besar.
Thursday, July 15, 2010
NAZAR
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Pengantar
Tulisan ini muncul dari pertanyaan anggota Jemaat GPM Rumahtiga mengenai na[t]zar jemaat untuk pembangunan kembali Gedung Gereja Ebenhaezer saat peletakan batu penjuru pembangunan itu [22 April 2009]. Gedung gereja tua ini hancur akibat konflik sosial 4 Juli 2000. Gereja ini sendiri dibangun sejak 22 April 1821 (peletakan batu penjuru), dan ditahbiskan pada 29 November 1928.
Kembali kepada pokok tulisan ini, na[t]zar secara umum dipahami jemaat-jemaat GPM sebagai ‘uang pergumulan’. Saya menulis na[t]zar mengikuti cara lafalisasi orang-orang Kristen di Maluku. Ada beberapa kebiasaan yang tersangkut dengan pemahaman itu:
Pertama, setiap rumah pada kamar utama selalu ada ‘meja sumbayang’ dan di atasnya diletakkan ‘piring na[t]zar’. ‘Meja sumbayang’ merupakan tempat khusus untuk berdoa atau pergumulan keluarga, dan piring na[t]zar menjadi simbol kehadiran Tuhan dalam doa itu. Dewasa ini cara itu hanya ada pada beberapa keluarga [tidak semua keluarga memiliki meja sumbayang dan piring na[t]zar lagi.
Kedua, sebab itu orang berdoa di ‘meja sumbayang’ selalu sambil memegang piring na[t]zar yang terlebih dahulu sudah diletakkan ‘uang sumbayang’. Setelah berdoa, biasanya uang sumbayang itu dibawa ke gereja dan diletakkan dalam peti derma atau pundi-pundi kolekta.
Ketiga, ada pula pada beberapa keluarga di mana ‘uang sumbayang’ dijadikan ‘alas pergumulan’ satu tahun ~jadi biasanya diletakkan saat ‘doa taong baru’ [1 Januari], dan baru akan diantar ke gereja pada ‘malang konci taong’ [malam kunci tahun- 31 Desember]. ‘Uang pergumulan’ ~dahulu dalam bentuk uang koin logam~ dibungkus dengan kertas, dan diletakkan di dalam ‘piring na[t]zar. Di sini ada larangan ~terutama kepada anak-anak: ‘ingatang, seng boleh ambel uang sumbayang’ [=ingat, jangan ambil uang sembahyang]. Sebab biasanya dalam ‘piring na[t]zar’ ada pula uang-uang persembahan untuk dibawa ke ibadah oleh setiap anggota keluarga. ‘Uang na[t]zar’ tadi baru akan dibawa ke gereja pada ibadah akhir tahun. Kemudian berkembang cara dimasukkan dalam amplop yang memang dikhususkan sebagai ‘alas pergumulan’. Mengenai jumlah, dahulu bernilai Rp.1000, [uang logam] ~sekarang relatif tergantung pada masing-masing keluarga.
Keempat, kebiasaan tadi dalam beberapa kasus cenderung bersifat mistis. Saya pernah menemui di salah satu jemaat, ada orang yang berdoa meminta seorang saudaranya ‘dihukum’ Tuhan, dan membawa ke gereja ‘uang na[t]zar’ yang dibungkus dengan kertas untuk dimasukkan ke dalam kantong kolekta. Di dalam kertas itu dituliskan nama saudara yang bermasalah dengannya, disertai doa agar saudaranya itu dihukum Tuhan [sehingga sakit dan mati]. Orang yang namanya dituliskan pada kertas berisi ‘uang na[t]zar’ itu takut dan meminta saya melayani doa agar ia tidak sakit dan apalagi mati.
Dari bentuk pemahaman dan cara tadi lazimnya na[t]zar dikaitkan dengan hal-hal material yaitu uang yang terkait dengan simbol material berikut yaitu ‘piring sumbayang’ dan ‘meja sumbayang’. Dalam arti itu, na[t]zar memiliki arti yang jauh lebih mendalam dari sekedar hal material itu. Kebiasaan orang menyebut na[t]zar dengan istilah lain ‘uang sumbayang’, berarti hal ‘sumbayang’ atau ‘doa’merupakan esensinya. Ada suatu hal tertentu yang disampaikan [declare] sebagai ‘pengungkapan hati’ [angka hati] yakni sebuah permohonan, perjanjian, dan bahkan komitmen dengan Tuhan. Na[t]zar kiranya dilihat dalam arti seperti itu, sebab hal-hal material tadi hanyalah media untuk menegaskan aspek ‘pengungkapan hati’ tadi. Karena itu sering kita temui orang yang membuat ‘na[t]zar’ selalu kelihatan serius dan sungguh-sungguh. Aspek keyakinan dan keseriusan ini yang menjadi kekuatan motivasi dari na[t]zar itu. Selebihnya na[t]zar itu ternyata melibatkan pribadi kita dengan Tuhan.
Makna Na[t]zar dalam Tradisi Alkitab
Na[t]zar dalam tradisi Alkitab dipahami sebagai ‘janji yang sungguh-sungguh [serius] dengan [baca. dibuat dengan] Tuhan’. Mengadakan na[t]zar dengan Tuhan merupakan bentuk praktek agama yang utama, dan identik dengan mengadakan perjanjian. Artinya manusia adalah subyek yang bertindak dan berprakarsa mengadakan perjanjian dengan Tuhan. Tuhan merupakan subyek yang dilibatkan manusia dalam perjanjian itu, bahwa manusia akan mematuhi perjanjian tersebut dan Tuhan berhak meminta pertanggungjawaban atas seluruh konsekuensi na[t]zar tadi. Dalam arti itu Tuhan berfungsi mengawasi pemenuhan janji manusia atas na[t]zar yang dibuatnya dengan Tuhan.
Beberapa unsur pokok dari tradisi na[t]zar dalam Alkitab bisa ditelusuri berikut ini:
[SATU] – NA[T]ZAR SEBAGAI JANJI
Na[t]zar berarti membuat janji dengan Tuhan. Janji itu dibuat dengan sungguh-sungguh atau serius. Orang yang membuat janji itu menginginkan sesuatu. Ia percaya bahwa Tuhan sanggup memberi sesuatu itu kepadanya. Sebab itu ia mengadakan perjanjian dengan Tuhan. Dalam teologi PL, bentuk janji ini bersifat bersyarat [conditional law]. Formulasi hukumnya: ‘jika…maka’. Artinya, jika Tuhan memberi sesuatu [sesuai yang diinginkan], maka orang yang berna[t]zar akan melakukan sesuatu juga kepada Tuhan.
Contohnya bisa dibaca dalam Kejadian 28:20-22:
Lalu bernazarlah Yakub: "Jika Allah akan menyertai dan akan melindungi aku di jalan yang kutempuh ini, memberikan kepadaku roti untuk dimakan dan pakaian untuk dipakai, sehingga aku selamat kembali ke rumah ayahku, maka TUHAN akan menjadi Allahku. Dan batu yang kudirikan sebagai tugu ini akan menjadi rumah Allah. Dari segala sesuatu yang Engkau berikan kepadaku akan selalu kupersembahkan sepersepuluh kepada-Mu."
Dari contoh itu bisa dilihat bahwa Yakub membuat janji dengan Tuhan agar Tuhan melindunginya di perjalanan sambil memenuhi segala kebutuhannya [makanan, pakaian, tempat berteduh yang aman]. Jika itu diberikan Tuhan, ia akan menjadikan Tuhan sebagai Allahnya, dan mendirikan tugu [menhir] untuk memperingati penyertaan Tuhan terhadapnya, dan memberi persembahan persepuluhan kepada Tuhan.
Contoh ini menarik. Sebab unsur na[t]zar yang dilibatkan di sini adalah janji kepercayaan [iman] kepada Tuhan, yang diwujudkan dengan membangun tugu pemujaan dan memenuhi hukum persepuluhan [ttg persepuluhan lihat tulisan saya juga mengenai Persepuluhan]. Dengan begitu na[t]zar merupakan bentuk janji kepercayaan dan janji untuk memenuhi tuntutan kepercayaan itu. Karena itu penting diperhatikan pula Kejadian 31:13 ~di mana Tuhan mengingatkan Yakub akan na[t]zar yang pernah dibuatnya dengan Tuhan di Bethel [Kej.28:20-22].
[DUA] – KEWAJIBAN DAN KESANGGUPAN MEMBAYAR
Apa yang dituntut dari na[t]zar itu adalah sebuah kewajiban [obligation] untuk memenuhi janji yang sudah dibuat sebelumnya dengan Tuhan. Istilah ‘bayarlah’ [pay] dalam Mazmur 50:14 sebenarnya tidak bermakna memberi sejumlah uang, ibarat orang berbelanja [transaksi], tetapi tuntutan memenuhi kewajiban seperti yang sudah dijanjikan.
Karena itu unsur material yang dilibatkan sebagai tanda na[t]zar sesungguhnya merupakan bentuk penghormatan kepada Tuhan yang yang harus bisa dipenuhi atau disanggupi ‘pelunasannya’ oleh manusia. Sebab itu jika seseorang ber- na[t]zar, ia harus terlebih dahulu berjanji untuk memenuhi na[t]zar itu apa pun alasannya. Jika ia tidak bisa atau nantinya tidak sanggup, lebih baik ia tidak ber- na[t]zar sama sekali, agar ia terhindar dari dosa dalam arti berbohong dan mempermainkan Tuhan.
Teks Mazmur 56:12,13 dan 22:25-26 memperlihatkan bagaimana pemazmur menunjukkan bahwa ia akan sanggup memenuhi kewajiban na[t]zarnya kepada Tuhan, bahkan membayarnya di hadapan jemaat atau orang banyak. Ini semata-mata memperlihatkan bahwa ia benar-benar serius dan bersungguh-sungguh mengadakan na[t]zar (baca juga. Janji) dengan Tuhan. Kesanggupan untuk memenuhi kewajiban na[t]zar itu harus disampaikan terlebih dahulu sebelum atau pada saat na[t]zar itu dibuat dengan Tuhan. Bukan baru setelah itu [bnd. Amsal 20:25]. Jadi dengan ber-na[t]zar kita langsung berjanji bahwa kita akan sanggup memenuhi semua kewajiban na[t]zar. Maka jika tidak dipenuhi, kita berdosa dalam arti berbohong atau membohongi Tuhan.
[TIGA] NA[T]ZAR TIDAK SAMA DENGAN PERSEMBAHAN KORBAN
Secara tegas hukum-hukum dalam PL membedakan na[t]zar dari berbagai bentuk persembahan seperti diatur dalam Hukum Musa. Menurut tradisi PL, Hukum Musa itu mengikat dalam arti segala ketentuannya harus dipenuhi secara legalis. Ada pasal-pasal hukum tertentu yang harus diperhatikan dan tidak boleh dilanggar. Tidak hanya itu, imam menjadi pengawas atas hukum tadi. Secara teknis, hukum-hukum itu selalu diingatkan kepada umat mulai dari dalam keluarga dan dalam ibadah-ibadah umum.
Sifat na[t]zar berbeda dari itu. Na[t]zar lebih bersifat personal, dan karena itu meminta kewajiban untuk memenuhi perjanjian yang pernah dibuat. Tanda bahwa manusia akan memenuhi segala kewajiban na[t]zar adalah dengan memberi persembahan khusus kepada Tuhan. Jelas bahwa korban na[t]zar itu berbeda dari korban sembelihan dan korban sukarela [Imamat 7:16].
Dalam Imamat 22:-23 disebut: TUHAN berfirman kepada Musa: "Berbicaralah kepada Harun serta anak-anaknya dan kepada semua orang Israel dan katakan kepada mereka: Siapapun dari umat Israel dan dari orang asing di antara orang Israel yang mempersembahkan persembahannya, baik berupa sesuatu persembahan nazar maupun berupa sesuatu persembahan sukarela, yang hendak dipersembahkan mereka kepada TUHAN sebagai korban bakaran, maka supaya TUHAN berkenan akan kamu, haruslah persembahan itu tidak bercela dari lembu jantan, domba atau kambing. Segala yang bercacat badannya janganlah kamu persembahkan, karena dengan itu TUHAN tidak berkenan akan kamu. Juga apabila seseorang mempersembahkan kepada TUHAN korban keselamatan sebagai pembayar nazar khusus atau sebagai korban sukarela dari lembu atau kambing domba, maka korban itu haruslah yang tidak bercela, supaya TUHAN berkenan akan dia, janganlah badannya bercacat sedikitpun. Binatang yang buta atau yang patah tulang, yang luka atau yang berbisul, yang berkedal atau yang berkurap, semuanya itu janganlah kamu persembahkan kepada TUHAN dan binatang yang demikian janganlah kamu taruh sebagai korban api-apian bagi TUHAN ke atas mezbah. Tetapi seekor lembu atau domba yang terlalu panjang atau terlalu pendek anggotanya bolehlah kaupersembahkan sebagai korban sukarela, tetapi sebagai korban nazar TUHAN tidak akan berkenan akan binatang itu.
Dari situ jelas bahwa korban na[t]zar itu haruslah yang dikhususkan, bukan sesuatu yang umumnya dipersembahkan. Sifatnya yang khusus itu yang menunjukkan bahwa korban na[t]zar itu adalah sesuatu yang tidak boleh disetarakan dengan bentuk korban lainnya. Korban itu adalah yang terpilih, karena itu yang terbaik dari segala sesuatu yang ada atau dimiliki.
Tentu karena itu, kolekta yang kita persembahkan dalam ibadah jemaat, sebagai na[t]zar juga haruslah persembahan khusus. Bukan ‘sisa hasil belanja’, atau ‘yang lebih dari apa yang diperoleh [mis. gaji]’, melainkan persembahan yang memang sudah diangkat secara khusus.
Kita diingatkan ketika Yefta harus memenuhi kewajiban korban na[t]zarnya dengan mempersembahkan anak perempuannya untuk Tuhan. Yefta dalam kasus itu telah memprasyaratkan korban kepada Tuhan dari sesuatu kepunyaannya yang keluar dari rumahnya untuk menyambut dia jika Tuhan memberi kemenangan kepadanya di medan perang. Bahwa ternyata dari semua yang terbaik miliknya, anak perempuannya yang terlebih dahulu keluar dari rumah ketika ia pulang dengan membawa kemenangan [bnd. Hakim-hakim 11:30-35].
Kesediaan anak gadisnya untuk di-na[t]zar-kan oleh bapaknya menunjukkan bahwa na[t]zar yang diucapkan Yefta diketahui juga oleh keluarganya. Jadi sebenarnya Yefta ber-na[t]zar dengan/bersama keluarganya. Mereka tidak saja terlibat di dalam na[t]zar Yefta tetapi menyanggupinya, sebagai sebuah perjanjian yang sungguh-sungguh dengan Tuhan. Maka anak gadisnya tidak dapat menolak tuntutan na[t]zar itu. Apakah ini bentuk fatalisme? Anak gadisnya itu hanya memberi jawaban terhadap kesetiaan mereka dalam ber-na[t]zar.
[EMPAT] – NA[T]ZAR MENGENAI ORANG
Beberapa hukum na[t]zar dalam PL juga mengatur tata cara pelunasan na[t]zar, jika na[t]zar itu mengenai orang. Pertanyaan penting di sini adalah apa yang dimaksud dengan na[t]zar khusus mengenai orang?
Jenis na[t]zar untuk orang yang pertama adalah na[t]zar atas permohonan khusus terhadap orang, misalnya ketika sedang sakit, atau dalam kondisi tertentu. Hukum dalam Imamat 27 menegaskan tentang tata cara pelunasan itu, a.l:
Subyek na[t]zar Jumlah bayaran na[t]zar
- Laki-laki (20-60 thn) - 50 syikal perak (syikal kudus) = 500 gram
- Perempuan (20-60 thn) - 30 syikal perak
- Laki-laki (5-20 thn) - 20 syikal perak
- Perempuan (5-20 thn) - 10 syikal perak
- Laki-laki (1 bulan-5 thn) - 5 syikal perak
- Perempuan (1 bulan-5 thn) - 3 syikal perak
- Orang miskin - jumlahnya ditetapkan imam sesuai kemampuannya
Ket. Syikal = ukuran timbangan sebesar 11,4 gram. Biasanya dipakai untuk ukuran jumlah uang. ‘Syikal Kudus’ ialah syikal (timbangan) yang utuh, yang disimpan di dalam Kemah Suci (Kel.30:13).
Jumlah bayaran na[t]zar itu menjadi wajib bagi setiap orang yang ber- na[t]zar mengenai orang-orang tadi. Ini menandakan bahwa na[t]zar juga sering dilakukan di dalam keluarga terhadap anggota-anggota keluarga itu. Jumlah bayaran na[t]zar di atas menjadi simbol dari kesetiaan seseorang atau sekeluarga yang ber- na[t]zar.
Sehingga menjadi berbeda dalam perlakuan pelunasan itu terhadap orang miskin. Imam yang berhak menentukan jumlah na[t]zar-nya, disesuaikan dengan kemampuan keluarga atau orang miskin itu. Di sini tampak pengaruh hukum-hukum sosial di dalam Kitab Taurat terhadap pemberlakuan ketentuan pelunasan na[t]zar. Selalu ada motivasi sosial dalam kerangka perlindungan terhadap orang miskin, anak yatim/piatu, janda, dan orang asing yang miskin (pengungsi).
Jenis na[t]zar untuk orang yang kedua adalah na[t]zar agar orang itu kelak menjadi nazir atau abdi Allah. Seperti yang terjadi pada diri Simso, atau juga Hana terhadap Samuel. Beberapa ketentuan pokok dari na[t]zar jenis ini tergambar dalam Bilangan 6:2-21. Bahwa orang yang di-na[t]zar-kan itu harus mengkhususkan dirinya bagi TUHAN, dalam arti seluruh hidupnya diabdikan untuk pelayanan kepada TUHAN [umumnya di Bait Allah].
Simbol pengudusan dirinya itu ada pada rambut yang harus dibiarkan terus panjang, dijauhkan dari pisau cukur, dalam arti tidak boleh dipotong [tidak boleh pendek/botak], dan orang itu harus hidup sesuai dengan bunyi na[t]zar yang diucapkan oleh orang yang ber- na[t]zar mengenai dia.
Jenis na[t]zar untuk orang yang ketiga adalah yang diucapkan oleh seorang perempuan [bnd. Bilangan 30:1-16]. Jika ia masih gadis dan na[t]zar itu diucapkan di rumahnya, lalu ayahnya tidak mendengar ia mengucapkannya, maka segala ketentuan na[t]zar itu menjadi berlaku dan harus dipenuhi. Tetapi jika ayahnya mendengar dan melarangnya, ketentuan na[t]zar itu tidak berlaku. Ini dikarenakan seorang anak perempuan yang masih gadis menjadi tanggungjawab sepenuhnya dari ayahnya, sampai hari ia menikah, atau memiliki suami.
Demikian pun na[t]zar yang diucapkan seorang istri. Jika suaminya mendengar dan tidak berkata apa-apa, maka seluruh ketentuan na[t]zar itu ditanggung sendiri olehnya. Tetapi jika didengar oleh suaminya, dan suaminya membatalkan na[t]zar itu, maka seluruh na[t]zar itu dianggap batal, atau tidak berlaku lagi. Artinya bahwa suami selalu mampu menilai sanggup tidaknya istri menanggung suatu na[t]zar yang diikatkan dengan TUHAN. Sebaliknya na[t]zar seorang janda atau perempuan yang telah diceraikan, ketentuan na[t]zar-pun tetap berlaku.
Ketentuan hukum seperti itu terjadi oleh sebab setiap orang yang ber- na[t]zar secara pribadi mengikat dirinya secara utuh dengan TUHAN. Ia membuat suatu janji yang tidak bisa dibatalkan antara dia dengan TUHAN.
Monday, June 7, 2010
Rethinking Diakonia
[Teks Budaya Buru dan Rekonsepsi Diakonia]
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Pengantar
7 Juni 2010, jam 13.25-14.16, saya bertemu dan duduk makan bersama Pdt. John Beay (Ketua Majelis Jemaat Waesoar, Klasis GPM Buru Selatan) dan Pdt. Kely Tupan (Ketua Majelis Jemaat Waelo, Klasis GPM Buru Selatan). Kami ber-‘diskusi swasta’ sambil makang ikang bakar colo-colo di RM Dedes II di Jln. Said Perintah, Ambon.
Kegelisahan Pdt. Beay yang melayani Jemaat dengan anggota 10 kepala keluarga di Waesoar mengenai bagaimana membangun karakter bergereja yang dibangun dari material budaya lokal menjadi sesuatu yang hangat melebihi ikan bakar yang sudah dihidangkan di hadapan kami. Pdt. Kely yang baru 2 tahun di Jemaat Waelo dalam tugas pertama sebagai Pendeta sudah cukup menjadi penyejuk dengan ide-ide ‘segar’ laksana juice nangka blanda yang mulai ‘disedot’ dari gelas kami masing-masing.
Dengan melihat ‘pramusaji’ yang datang dan melayani kami, Pdt. Beay berkata: ‘beta pernah bilang par teman-teman Pdt di Buru, mangapa katong seng kembangkan saja istilah ‘Kalebat’ ganti atau untuk menterjemahkan diakonia yang masih susah dipahami oleh jemaat di sana’.
Agar materi itu tidak hilang atau dilupakan, sepulang dari ‘diskusi swasta’ di tempat swasta itu, saya mencoba menuliskan pokok ini.
Terminologi Yunani/Gereja
Dalam terminologi teologi, kata diakonia berasal dari istilah Yunani yang kerap dilafal ‘dee-ak-on-ee’-ah, atau ‘di-ak-on-en’ yang berarti ‘pelayanan atau melayani. Arti teknisnya menjurus pada ‘melayani meja makan’.
Karena itu dalam bahasa Yunani, kata tersebut bergenus kata benda feminim, yang berarti ‘pelayanan’ jadi bukan pada bagaimana melakukan melainkan apa yang dihasilkan dari kerja melayani. Dalam arti itu, diakonia selalu mengarah pada sistem kerja yang turut melibatkan ‘local partner’ atau mitra lokal, dan bertujuan untuk membawa perubahan yang terus-menerus (sustainable) bagi dunia dan dalam hidup masyarakat.
Dari genus kata tadi, diakonia merepresentasi tugas yang terkait dengan beberapa aspe, a.l:
Pertama, melayani, misalnya dari seseorang yang berada di bawah pengaruh orang lain (pimpinan)
Kedua, melayani, misalnya kepada siapa yang mendapat amanat dari Tuhan dan ditetapkan sebagai pelayan di tengah orang lain; seperti Musa, para rasul, para nabi, penginjil, dll
Ketiga, melayani, oleh seseorang yang ditunjuk secara khusus oleh gereja untuk membantu menyalurkan bantuan gereja (bersifat karitatif) kepada orang lain
Keempat, melayani dalam posisi sebagai diaken dalam lembaga atau organisasi gereja, dan
Kelima, melayani, dalam arti sosial yakni dalam relasi antar-keluarga dan masyarakat, khusus dalam hal menyediakan makanan (melayani meja – ibaratnya pramusaji di Rumahmakan)
Saya mencoba mengambil dimensi makna yang kelima untuk masuk ke dalam diskusi kontekstual diakonia dengan forma budaya dan bahasa orang Buru [Selatan].
Terminologi Buru [Selatan]
Menurut Pdt. John Beay dan Pdt. Kely Tupan, bahasa Buru [Selatan] yang bermakna identik dengan diakonia dalam dimensi kelima di atas adalah ‘Kalebat’. Arti sebenarnya dari ‘kalebat’ adalah ‘pikulang’ ~atau dalam istilah Melayu Ambon ‘hahalang’, yaitu sejumlah barang yang [sedang] dipikul oleh seseorang untuk dibawa pulang ke rumahnya. Umumnya yang dipikul itu adalah barang-barang kebutuhan makan keluarga. Karena itu ‘pikulang’ atau ‘hahalang’ diambil dari situasi seseorang setelah bekerja di kebun, lalu pulang sambil memikul bahan makanan yang diambilnya guna makan keluarga.
Dari arti itu ‘kalebat’ mengasumsikan seseorang yang sedang melaksanakan tugas melayani orang banyak. Ia melayani dengan terlebih dahulu bekerja atau mencari apa yang akan dijadikan material untuk melayani tadi. Dalam tradisi orang Buru, semisal ‘elodi’ atau berburu. Setiap pulang dari ‘elodi’ mereka selalu memikul barang-barang hasil berburu itu bersama-sama. Sampai di dalam negeri ada semacam ‘pawai’ keliling negeri [kemudian mengelilingi gereja ~setelah menjadi Kristen] untuk menyampaikan kepada masyarakat bahwa bahan persediaan makanan mereka untuk musim tertentu [musim hujan] sudah siap/ada.
Jadi ‘kalebat’ itu tidak dijalankan satu orang saja, tetapi oleh satu keluarga atau kelompok. Keterlibatan partner lokal dalam ‘kalebat’ memberi makna bahwa pelayanan itu dilakukan secara bersama-sama. ‘Kalebat’ berdimensi komunalitas/sosial.
Sebagai contoh, dalam tradisi di Buru, jika ada seorang anggota keluarga hendak mengawinkan anaknya, anggota kerabat dan masyarakat lainnya akan datang ke rumahnya untuk merundingkan hal itu bersama-sama. Perundingan itu sendiri disebut ‘waeopoto’ [etimologi: wae=air, poto= panas’ > air panas untuk diminum’ ≥ berbicara/berunding sambil minum kopi atau teh panas]. Hasil ‘waepoto’ itu berupa kesepakatan jenis tanggungan kepada tiap anggota kerabat atau partner lokal lainnya. Mereka itu yang akan pergi bekerja [termasuk berburu/elodi] untuk mencari bahan makanan yang nantinya digunakan untuk melayani makan masyarakat dalam pesta perkawinan itu.
Jadi ‘kalebat’ itu dilaksanakan sebagai cerminan kepedulian untuk menyediakan kebutuhan berkelanjutan (sustainable).
Penutup
Diakhir ‘diskusi swasta’ itu muncul pula terminologi lain yang cukup penting untuk memperkaya kajian-kajian teologi kontekstual dengan menggali terus dari materi budaya lokal kita di Maluku. Istilah itu adalah ‘kalabai’ semacam kapata atau model bernyanyi dalam masyarakat adat di Buru. Dalam ‘kalabai’ itu ada semacam pesan-pesan ironi yang bertujuan untuk mengingatkan seseorang akan kesalahan yang sudah dilakukan. Jika orang itu benar melakukan kesalahan, dia akan meminta pengampunan atau maaf. Namun jika ia tidak melakukan kesalahan, maka ia wajib mengklarifikasi hal itu.
Artinya melalui ‘kalabai’ ada reformasi atau pemulihan hubungan sosial antar-warga. Ketika diterjemahkan dalam liturgi, ‘kalabai’ bisa menjadi catatan kritis terhadap formulir-formulir liturgi kita. Kita mengaku dosa sesuai formulir liturgi padahal dalam ibadah itu kita tidak berhasil memperbaiki hubungan antar-jemaat. Mungkin saja ada orang yang masuk ibadah sambil marah kepada saudara yang duduk di depan atau sampingnya. Tetapi setelah rumusan pengakuan dosa, tidak ada revitalisasi hubungannya dengan saudaranya itu. (*)
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Pengantar
7 Juni 2010, jam 13.25-14.16, saya bertemu dan duduk makan bersama Pdt. John Beay (Ketua Majelis Jemaat Waesoar, Klasis GPM Buru Selatan) dan Pdt. Kely Tupan (Ketua Majelis Jemaat Waelo, Klasis GPM Buru Selatan). Kami ber-‘diskusi swasta’ sambil makang ikang bakar colo-colo di RM Dedes II di Jln. Said Perintah, Ambon.
Kegelisahan Pdt. Beay yang melayani Jemaat dengan anggota 10 kepala keluarga di Waesoar mengenai bagaimana membangun karakter bergereja yang dibangun dari material budaya lokal menjadi sesuatu yang hangat melebihi ikan bakar yang sudah dihidangkan di hadapan kami. Pdt. Kely yang baru 2 tahun di Jemaat Waelo dalam tugas pertama sebagai Pendeta sudah cukup menjadi penyejuk dengan ide-ide ‘segar’ laksana juice nangka blanda yang mulai ‘disedot’ dari gelas kami masing-masing.
Dengan melihat ‘pramusaji’ yang datang dan melayani kami, Pdt. Beay berkata: ‘beta pernah bilang par teman-teman Pdt di Buru, mangapa katong seng kembangkan saja istilah ‘Kalebat’ ganti atau untuk menterjemahkan diakonia yang masih susah dipahami oleh jemaat di sana’.
Agar materi itu tidak hilang atau dilupakan, sepulang dari ‘diskusi swasta’ di tempat swasta itu, saya mencoba menuliskan pokok ini.
Terminologi Yunani/Gereja
Dalam terminologi teologi, kata diakonia berasal dari istilah Yunani yang kerap dilafal ‘dee-ak-on-ee’-ah, atau ‘di-ak-on-en’ yang berarti ‘pelayanan atau melayani. Arti teknisnya menjurus pada ‘melayani meja makan’.
Karena itu dalam bahasa Yunani, kata tersebut bergenus kata benda feminim, yang berarti ‘pelayanan’ jadi bukan pada bagaimana melakukan melainkan apa yang dihasilkan dari kerja melayani. Dalam arti itu, diakonia selalu mengarah pada sistem kerja yang turut melibatkan ‘local partner’ atau mitra lokal, dan bertujuan untuk membawa perubahan yang terus-menerus (sustainable) bagi dunia dan dalam hidup masyarakat.
Dari genus kata tadi, diakonia merepresentasi tugas yang terkait dengan beberapa aspe, a.l:
Pertama, melayani, misalnya dari seseorang yang berada di bawah pengaruh orang lain (pimpinan)
Kedua, melayani, misalnya kepada siapa yang mendapat amanat dari Tuhan dan ditetapkan sebagai pelayan di tengah orang lain; seperti Musa, para rasul, para nabi, penginjil, dll
Ketiga, melayani, oleh seseorang yang ditunjuk secara khusus oleh gereja untuk membantu menyalurkan bantuan gereja (bersifat karitatif) kepada orang lain
Keempat, melayani dalam posisi sebagai diaken dalam lembaga atau organisasi gereja, dan
Kelima, melayani, dalam arti sosial yakni dalam relasi antar-keluarga dan masyarakat, khusus dalam hal menyediakan makanan (melayani meja – ibaratnya pramusaji di Rumahmakan)
Saya mencoba mengambil dimensi makna yang kelima untuk masuk ke dalam diskusi kontekstual diakonia dengan forma budaya dan bahasa orang Buru [Selatan].
Terminologi Buru [Selatan]
Menurut Pdt. John Beay dan Pdt. Kely Tupan, bahasa Buru [Selatan] yang bermakna identik dengan diakonia dalam dimensi kelima di atas adalah ‘Kalebat’. Arti sebenarnya dari ‘kalebat’ adalah ‘pikulang’ ~atau dalam istilah Melayu Ambon ‘hahalang’, yaitu sejumlah barang yang [sedang] dipikul oleh seseorang untuk dibawa pulang ke rumahnya. Umumnya yang dipikul itu adalah barang-barang kebutuhan makan keluarga. Karena itu ‘pikulang’ atau ‘hahalang’ diambil dari situasi seseorang setelah bekerja di kebun, lalu pulang sambil memikul bahan makanan yang diambilnya guna makan keluarga.
Dari arti itu ‘kalebat’ mengasumsikan seseorang yang sedang melaksanakan tugas melayani orang banyak. Ia melayani dengan terlebih dahulu bekerja atau mencari apa yang akan dijadikan material untuk melayani tadi. Dalam tradisi orang Buru, semisal ‘elodi’ atau berburu. Setiap pulang dari ‘elodi’ mereka selalu memikul barang-barang hasil berburu itu bersama-sama. Sampai di dalam negeri ada semacam ‘pawai’ keliling negeri [kemudian mengelilingi gereja ~setelah menjadi Kristen] untuk menyampaikan kepada masyarakat bahwa bahan persediaan makanan mereka untuk musim tertentu [musim hujan] sudah siap/ada.
Jadi ‘kalebat’ itu tidak dijalankan satu orang saja, tetapi oleh satu keluarga atau kelompok. Keterlibatan partner lokal dalam ‘kalebat’ memberi makna bahwa pelayanan itu dilakukan secara bersama-sama. ‘Kalebat’ berdimensi komunalitas/sosial.
Sebagai contoh, dalam tradisi di Buru, jika ada seorang anggota keluarga hendak mengawinkan anaknya, anggota kerabat dan masyarakat lainnya akan datang ke rumahnya untuk merundingkan hal itu bersama-sama. Perundingan itu sendiri disebut ‘waeopoto’ [etimologi: wae=air, poto= panas’ > air panas untuk diminum’ ≥ berbicara/berunding sambil minum kopi atau teh panas]. Hasil ‘waepoto’ itu berupa kesepakatan jenis tanggungan kepada tiap anggota kerabat atau partner lokal lainnya. Mereka itu yang akan pergi bekerja [termasuk berburu/elodi] untuk mencari bahan makanan yang nantinya digunakan untuk melayani makan masyarakat dalam pesta perkawinan itu.
Jadi ‘kalebat’ itu dilaksanakan sebagai cerminan kepedulian untuk menyediakan kebutuhan berkelanjutan (sustainable).
Penutup
Diakhir ‘diskusi swasta’ itu muncul pula terminologi lain yang cukup penting untuk memperkaya kajian-kajian teologi kontekstual dengan menggali terus dari materi budaya lokal kita di Maluku. Istilah itu adalah ‘kalabai’ semacam kapata atau model bernyanyi dalam masyarakat adat di Buru. Dalam ‘kalabai’ itu ada semacam pesan-pesan ironi yang bertujuan untuk mengingatkan seseorang akan kesalahan yang sudah dilakukan. Jika orang itu benar melakukan kesalahan, dia akan meminta pengampunan atau maaf. Namun jika ia tidak melakukan kesalahan, maka ia wajib mengklarifikasi hal itu.
Artinya melalui ‘kalabai’ ada reformasi atau pemulihan hubungan sosial antar-warga. Ketika diterjemahkan dalam liturgi, ‘kalabai’ bisa menjadi catatan kritis terhadap formulir-formulir liturgi kita. Kita mengaku dosa sesuai formulir liturgi padahal dalam ibadah itu kita tidak berhasil memperbaiki hubungan antar-jemaat. Mungkin saja ada orang yang masuk ibadah sambil marah kepada saudara yang duduk di depan atau sampingnya. Tetapi setelah rumusan pengakuan dosa, tidak ada revitalisasi hubungannya dengan saudaranya itu. (*)
Thursday, May 13, 2010
Jejak Cina di Maluku
Suatu Hermeneutika Sejarah (Lokus Lease)
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
1. Carapandang Sejarah yang Digunakan di Sini
Judul di atas merupakan suatu usaha membahas dimensi sejarah gereja yang kiranya ditempatkan dan dipahami juga dalam konteks sejarah sosial secara menyeluruh. Memang ada aspek spesifik atau partikular dari sejarah, tetapi tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah secara umum.
Beta mengalami sedikit kesulitan untuk menyajikan judul di atas sebagai sebuah tulisan sejarah, sebab beta memiliki sedikit data yang bisa membuat tulisan ini mengandung salah satu ciri penting dari sejarah itu sendiri yakni diakronik.
Jika kita menyimak sistem pendataan sejarah, maka ada dua jenis data. Pertama, data tentang rekaman peristiwa di dalam suatu masa, yang memuat tindakan para aktor yang nota-bene adalah elite dalam suatu sistem sosial di masa lampau. Data ini berbentuk laporan-laporan atau arsip, dokumentasi, dan bangunan [yang lebih banyak menjadi fokus arkeologi]. Kedua, hasil penafsiran suatu peristiwa sejarah, yang disusun oleh orang-orang lain di masa kemudian, sebagai suatu bentuk telaah kritis terhadap jenis data pertama tadi. Data jenis kedua ini pun terbagi menjadi dua, yaitu penafsiran ‘komunitas penulis sejarah’ yang cenderung bertendensi politis, dan penafsiran kritikus yang melihat adanya sisi-sisi tertentu yang terabaikan, atau adanya ketimpangan di dalam rangkaian sejarah itu, dsb – yang bertanya mengapa tindakan orang-orang lokal tidak terekam sebagai event yang penting dalam sejarah.
Suara para pelaku sejarah atau masyarakat di dalam lokus terjadinya suatu event sejarah sering terabaikan, dalam arti tidak ‘naik cetak’. Sebab itu event yang menjadi data adalah tindakan para elite atau serangkaian aktifitas suatu institusi. Dengan berkembangnya hermeneutika sejarah, tindakan komunitas di dalam lokus sejarah menjadi penting. Kendalanya yaitu tidak ada data atau rekaman yang akurat, dalam arti lebih banyak mengandalkan ‘tradisi lisan’, yang terkadang kurang akurat, sebab pelaku sejarah sudah lama “meninggal”, atau terlalu lama “dibungkamkan”. Sejarah dalam arti itu bukanlah suatu diskripsi atas historisitas yang konkruen, yang mendramatisasikan dinamika setiap “pelaku sejarah”. Historisitas – dalam tradisi ilmu – adalah suatu gambaran menyeluruh (detail) mengenai waktu dan ruang keberadaan manusia. Bahwa manusia adalah produk dari sejarah itu sendiri, dan memiliki eksistensi historis, artinya memiliki relasi setara antara dirinya dengan orang lain di tengah lingkungan keberadaannya itu (zitz im leben). Idealnya bahwa penceritaan sejarah harus memandang setiap pelaku sejarah sebagai orang-orang yang sejajar, memiliki peran yang sama-sama penting dalam bingkai sejarah. Tafsir sosial yang mendudukkan posisi dan status sosial mereka: mis. seorang sebagai raja, kepala soa, gubernur, majikan, buruh, dll.
Sebab itu peneropongan terhadap konteks sejarah gereja/kekristenan di Lease coba ditelusuri dengan melihat konstelasi dalam hubungan ‘siapa yang membawa pesan dan siapa penerimanya’ . Pemahaman itu memperlihatkan perlunya suatu proses hermeneutik.
2. Posisi Lease dalam Konteks Ekonomi dan Politik:
2.1. Pulau Rempah-rempah yang Ditemukan dan Disembunyikan China
Sebenarnya dengan menelusuri jejak-jejak perdagangan China, kita bisa menyusun dan mengreksi kembali sejarah ekonomi di Maluku yang selama ini sangat nederlandscentris.
Orang selama ini memperkirakan bahwa cengkeh menjadi terkenal di pasar Eropa karena dibawa oleh Portugis dan/atau armada VOC. Asumsi ini salah! Sebab sejak abad ke-3 cengkeh sudah dikenal secara umum oleh masyarakat Terqa di Mesopotamia dan Syria, dan diperkenalkan oleh bangsa China [dan pedagang-pedagang Arab]. Di Mesopotamia, cengkeh hanya dikonsumsikan oleh kelompok menengah ke atas sebagai pengharum mulut jika akan menghadap Raja. Cengkeh menjadi simbol status sosial. Dalam beberapa dokumen sejarah diungkapkan bahwa pala dan cengkeh sudah dikenal di kalangan bangsa Syria. Pliny, sejarahwan Romawi juga menyebut tentang keberadaan rempah-rempah berupa cengkeh dan pala sebagai barang dagang mewah dan mahal yang ditemukan di pasar Romawi kuno sejak abad ke-3, dan semakin populer di pasar Eropa sekitar abad ke-10.
Malah nama Maluku sudah tercatat dalam tambo dinasti Tang di negeri China (618-906) yang menyebut tentang ‘Miliku’, yaitu suatu daerah yang dipakai sebagai patokan penentuan arah ke kerajaan Holing (Kalingga) yang ada di sebelah Barat. W.P. Groenveldt memperkirakan ‘Mi-li-ku’ ini sebagai Maluku. artinya sekurang-kurangnya Maluku sudah dikenal di negeri China pada abad ke-7.
J.C. Van Leur menyebut:
‘Sejak abad pertama Masehi, Indonesia sudah turut mengambil bagian dalam perdagangan Asia Purba dengan jalan niaga yang melalui Asia Tenggara dari China di Timur ke Laut Tengah di bagian barat. Pada waktu itu Indonesia terkenal sebagai pengekspor rempah-rempah, bahan obat-obatan, kayu berharga, hasil-hasil hutan, binatang dan burung yang indah. Cengkih adalah satu-satunya tanaman yang hanya terdapat di Maluku waktu itu. Pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut China mengetahui Maluku sebagai penghasil cengkeh, akan tetapi mereka merahasiakan jalan pelayarannya.”
Dokumen China yang menceritakan panjang lebar mengenai keberadaan Maluku adalah Annaal China dari dinasti Ming (1368-1643), menyebut Maluku berada di laut Tenggara. Sebelum itu, dan sampai dengan 1421, peta navigasi China mengenai keberadaan pulau rempah-rempah disimpan sebagai dokumen rahasia, dan yang dipublikasi adalah peta yang sudah diubah sistem navigasinya. Dalam Annaal China disebut:
Maluku memiliki ‘gunung dupa’ (incense mountain), dan jika telah ‘turun hujan’, maka dupa itu berjatuhan menutupi tanah sehingga penduduk tidak mampu menghimpunnya karena banyaknya. Tempat menyimpannya banyak dan kemudian dibawa ke perahu-perahu pedagang untuk dijual.”
Gavin Menzies bercerita panjang lebar tentang bagaimana ekspansi dagang dan armada laut China menerobosi lautan dan membuat peta pelayaran lalu untuk sekian waktu lamanya ‘menyembunyikan’ Maluku sebagai pulau rempah-rempah, beberapa abad kemudian baru diketahui oleh orang-orang Eropa.
Adalah Kaisar Zhu Di, Putra Langit, merupakan tokoh kunci dalam seluruh perkembangan sistem navigasi dan ekspansi armada laut China pada tahun 1421. Dia kemudian memerintahkan Dinasti Song dan Yuan (bangsa Mongol) untuk membangun perdagangan luar negeri, sehingga kemudian Zhu Di mengontrol perdagangan rempah-rempah dari Arab yang dulu pernah didominasinya. Ia mulai mendorong 250 buah ‘kapal harta’ besar bertiang sembilan, 3.500 lain, terdiri dari 1.350 kapal patroli dan kapal perang dalam jumlah yang sama, 400 kapal perang besar, 400 kapal barang untuk mengangkut padi, air dan kuda bagi armada lautnya. Tujuan dari ekspansi armada lautnya ialah menciptakan kembali jalur perdagangan melintasi Asia Tengah yang pernah dimiliki China di zaman keemasan Dinasti Tang selama lima abad sebelumnya.
Dalam dua dekade, ekspansi armada laut China itu telah berhasil merekrut berbagai potensi kekayaan alam. Bahkan runtuhnya kekaisaran Romawi telah mengakibatkan kemunduran ekonomi dan pertanian di Eropa. Sedangkan China terus berkembang, termasuk dalam bidang pengobatan. Di sini sebenarnya mulai muncul minat Eropa (Spanyol dan Portugis) untuk mengumpulkan bahan pangan, emas, dan rempah-rempah – yang sudah terlebih dahulu diperkenalkan China kepada mereka. Pada saat itulah, animo untuk mencari daerah rempah-rempah mulai mempengaruhi orang-orang Eropa .
Perjalanan menemukan Pulau Rempah-rempah ternyata melalui jalur Australia. Kala itu China juga mencari berbagai bahan tambang, seperti timah yang membawa mereka ke dalam komunitas Aborigin di Arnhem Land. Penggalian bahan-bahan tambang dan uranium mengakibatkan kematian yang luar biasa pada Oktober 1423. Pengetahuan China mengenai jalan ke Pulau Rempah-rempah ditunjukkan dalam peta Rotz, yaitu peta yang digambar oleh kartografer di atas armada kapal Zhou Man. Dalam peta itu, arti penting Ambon, yang saat itu menjadi pusat pertemuan dua pulau Rempah-rempah Ternate dan Tidore ditekankan oleh warnanya yang merah di peta.
Dikabarkan bahwa:
“…ketika meninggalkan Australia, kapal Zhou Man masih memuat sutera dan porselen. Namun pulau rempah-rempah berada di antara Australia dan kampung halaman [China], dan rempah-rempah saat itu menjadi komoditas sangat berharga di China. Bahkan ketika armada laut itu menjadi rombongan beberapa kapal saja, mereka masih bisa membawa ribuan ton keramik. Dengan berlayar ke Pulau Rempah-rempah Zhou Man akhirnya memiliki kesempatan untuk menukarkan barang-barang bawaannya dengan barang yang berharga seperti pala, merica dan cengkeh”.
“Pada abad pertengahan, Ternate dan Tidore adalah pusat perdagangan rempah-rempah dan merupakan pulau yang sangat produktif. Mereka menjadi legenda dan telah dicari selama berabad-abad, karena semua rempah-rempah dapat diperoleh di sana dalam jumlah yang sangat besar. Hingga kini, keharuman khusus cengkeh bisa dicium dari lautan luas, jauh sebelum pulau itu terlihat.”
Dengan melihat pada peta Rotz mengenai jalan pulang Zhou Man dari Australia yang melalui pulau rempah-rempah, dia tidak hanya membawa serta rempah-rempah melainkan juga menukarkan barang-barang porselen yang juga ditukarkan dengan batik, artefak, air bersih, buah dan juga daging. Aktifitas barter ini menjadi salah satu bentuk kontak antara orang-orang China, dan India [yang mengekori perjalanan China] dengan komunitas di kawasan kepulauan Maluku .
Proses dagang China dengan orang-orang Maluku terjadi melalui serangkaian aktifitas negosiasi yang sederhana. Dalam salah satu dokumen dari Ma Huan, seperti dikutip Menzies, diceritakan bagaimana barang-barang dari armada laut dijual dan bentuk kontrak dagang yang digunakan:
…ketika harga telah disepakati, mereka pun mencatat perjanjian itu. Sang ketua dan Chei-Ti bersama dengan tuannya Kasim semuanya bergabung bersama, lalu si tengkulak mengatakan: ‘Pada bulan dan hari tertentu, kita semua telah bergandengan tangan dan menyepakati perjanjian ini dengan jabat tangan. Meski [harga] mahal ataupun murah, kita tidak akan pernah membatalkan atau mengubahnya.
Tindakan ‘jabat tangan’ itu dilihat sebagai semacam ‘bukti kontrak’ atau ‘kwitansi’ untuk praktek jual-beli. Seperti lazimnya, orang-orang China akan mengambil rempah-rempah berupa cengkeh dari masyarakat Maluku, kemudian mereka meninggalkan berbagai porselin dan barang-barang China lainnya termasuk sutera .
Braudel, seperti juga dikutip Menzies, menulis:
[Bangsa China] mengelilingi seluruh negeri. Dengan timbangan [dacing] di tangan, mereka membeli semua rempah yang mereka jumpai. Setelah menimbang sedikit sehingga mereka dapat menentukan kira-kira jumlahnya, mereka menawarkan pembayaran dalam uang gepokan, banyaknya tergantung pada kebutuhan si penjual akan uang. Dengan cara ini mereka dapat menimbun sedemikian banyak sesuai dengan kapasitas kapal-kapal yang datang dari China, dan menjualnya senilai lima puluh ribu caixas [mata uang Portugis], padahal mereka membelinya tidak lebih dari dua belas ribu.
Ternyata dengan cara seperti itu, China turut mendominasi perdagangan pada level praksis di masyarakat. Mereka mengontrol penentuan dan tingkat harga, dan karenanya turut mengontrol jumlah distribusi dan pasokan rempah-rempah yang diperdagangkan.
Des Alwi menyebut bahwa hasil penelitian Universitas Brown, Amerika Serikat dengan Yayasan Warisan dan Budaya Banda Naira dan Universitas Pattimura pada 1996-1998, menyebut bahwa:
“kira-kira 900 sampai 1.000 tahun yang lalu kapal-kapal China sudah berdagang di Banda karena ditemukan pecahan piring-piring zaman Dinasti Ming dan juga pecahan kendi-kendi, tempayan dari tanah liat yang dibuat oleh orang Banda pada zaman Pra Islam abad ke-9. Bendera yang dipakai Kampung Adat Namaswar adalah Naga China, katanya dirampas dari perang di laut dengan bajak laut China. Tetapi sebenarnya bendera naga itu diserahkan oleh pedagang China kepada rakyat Banda. Begitupun korakora Ratu dan Namaswar memakai ukiran-ukiran naga”.
Dari Pulau Rempah-rempah inilah baru Zhou Man pulang ke China dengan memuat ribuan ton rempah-rempah yang bahkan tersimpan sebagai cadangan rempah-rempah dalam gudang, yang kemudian dijual dengan harga 10 kali lebih tinggi dari harga ketika dibeli di pulau rempah-rempah.
Sebab itu keberadaan orang-orang China di Maluku sudah ada sebelum masuknya bangsa Eropa. Memang kita masih perlu mencari bukti mengenai apakah dalam perjalanan kembali Ma Huan dan episode setelah itu, sebelum Magellan menemukan jalur rempah-rempah dari peta Rotz, apakah sebagian anggota armada laut China menetap di Maluku atau baru datang setelah Magellan menemukan jalur ini. Sebab beberapa data juga menyebut bahwa pedagang China kemudian membeli tanah dari penguasa-penguasa setempat untuk melakukan berbagai usaha mereka di bidang ekonomi; terutama ketika ditemukan pula adanya produk lain yang laku di pasar Eropa seperti teripang, sirip ikan, mutiara, merica, dll.
Richard Chauvel berhasil membantu kita melirik sedikit kepada jejak-jejak China dengan memberi data statistik tahun 1930 :
Orang Ambon Buton Suku lainnya (Jawa, dll) Orang Eropa Oriental
Kota Ambon 7.593 5.994 1.878 1.869
6.436 (Kristen)
2.106 (Islam)
Pulau Ambon 38.715 9.164 1.051 247 310
20.961 (Kristen)
17.923 (Islam)
Saparua 38.458 1.015 273 290 359
29.933(Kristen)
8.462 (Islam)
Total 84.766 10.179 7.318 2.415 2.538
Dari data itu tergambar bahwa kontak orang-orang Buton, Jawa, dan China dengan orang-orang Maluku sudah terjadi sebelum periode perdagangan Eropa. Mereka semua melakukan tindak perdagangan lokal dengan pusat rempah-rempah. Karena itu tidak heran jika cengkeh masuk ke Eropa juga melalui pedagang Arab yang membawanya dari jalur Samudera Pasai. Sebab saat itu Malaka juga menjadi bandar dagang yang penting. Kontak China dengan pedagang-pedagang Arab dan India juga terjadi di bandar Malaka.
Sisi lain dari data itu ialah komunitas suku-suku tadi di Pulau Saparua juga cukup signifikan. Orang Buton di Saparua pada tahun itu sudah mencapai 1.015 orang, suku Jawa 273 orang, dan China 359 orang. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut, sebab terbentuknya komunitas Buton, Jawa, dan China di kawasan ini berdampak pada berbagai aspek dalam kehidupan perekonomian. Orang Buton lebih condong pada usaha perkebunan, sebagai petani penggarap. Dahulu mereka biasa meminta sebidang tanah dari penduduk setempat untuk ‘biking kabong’. Mereka bahkan tinggal di ‘rumah-rumah kabong’ yang sederhana, tetapi yang lambat laun turut mengubah formasi permukiman sosial di tia-tiap negeri. Mulai terbentuk kampung Buton di berbagai tempat , seiring dengan pertambahan penduduk yang adalah anggota keluarga ‘orang pertama’. Populasinya berkembang cepat karena perkawinan yang tinggi termasuk ‘kawin muda’.
Sementara orang-orang Jawa dan suku lainnya memiliki sifat bermukim yang tidak sama dengan orang Buton, karena itu hampir tidak ditemui bekas permukiman orang Jawa . Sifat itu pun sama dengan orang China. Namun karena modal yang besar, orang China mengontrol sistem perdagangan lokal dan antarpulau di dalam kawasan-kawasan yang kecil seperti Lease. Sebab itu di hampir setiap negeri, bahkan yang sulit dijangkau oleh transportasi laut sekalipun, sudah dijumpai adanya ‘Toko China’ yang mengontrol perdagangan berbagai hasil alam, hasil kebun, hasil laut, dan juga penjualan barang kelontongan seperti pakaian, nampan, piring, gelas, muk/cangkir, dll. Secara sosiologis kemudian muncul sebutan seperti China Saparua, China Dobo, China Banda, dll.
Pola kerja orang Buton mungkin sama dengan pola kerja orang Ambon-Lease; sehingga tidak ada pertukaran sistem ekonomi yang terlalu signifikan. Mungkin perbedaannya hanya pada mentalitas kerja. Tetapi orang China memperkenalkan sistem perekonomian yang baru. Beberapa hal yang diperkenalkan mereka a.l: perdagangan antarpulau – suatu jenis usaha baru yang bisa disebut mendorong orang Lease keluar dari pulau-pulau mereka dan mulai berdagang di pulau lainnya. Beta memperkirakan bahwa sistem ‘papalele’ juga adalah suatu model kerja baru yang turut dipengaruhi oleh gaya berdagang orang China . China juga memperkenalkan sistem jual-beli dengan menyertakan uang atau barang berharga, dan manajemen pascapanen dalam bentuk ‘simpan uang’.
Untuk aspek pertama ini beta lebih condong untuk mendiskusikan pengaruh China di Maluku, walau dengan bahan yang serba terbatas. Tujuannya adalah untuk melihat bagaimana ketika motivasi dagang benar-benar berjalan demi kepentingan dagang; dan membandingkannya dengan motivasi dagang yang bertindih rapat dengan motivasi politik (kolonialisme) dan penyiaran agama di lapis lainnya. Ini sebenarnya untuk melihat dampaknya pada respons masyarakat setempat; bahkan terhadap injil atau agama baru yang dibawa.
Data Chauvel itu memperlihatkan adanya dinamika hubungan penduduk Kristen dan Islam di Ambon-Lease, dan dalam variasi sosialnya orang oriental di kemudian hari ternyata ‘memilih’ menjadi kristen ketimbang Islam. Memang perlu data yang cukup untuk membenarkan tesis bahwa hal itu terjadi karena saat jalur perdagangan ke Asia Tenggara didominasi oleh orang Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda, China terpaksa harus membangun persahabatan dengan mereka agar bisa turut bersama-sama dalam menjalankan perdagangan rempah-rempah dari Maluku. Mereka [China] tidak mau kehilangan apa yang sejak semula mereka temukan. Ini yang kemudian menjadi sebab mengapa sebagian orang China memilih tinggal di Ambon, dan membeli tanah di Saparua, Haruku, Nusalaut, dan sampai ke Seram [pada abad ke-18/19] setelah produksi cengkeh di Maluku Tengah mulai diusahakan secara besar-besaran oleh VOC.
Sama halnya dengan orang-orang Buton dan Jawa yang lebih banyak muslim atau sejak awal, sebelum ke Maluku adalah muslim. Mereka kemudian membentuk perkampungan sosial tersendiri, dan merapat dengan negeri-negeri Kristen di Ambon-Lease.
2.2. Pedagang Jawa dan Sulawesi Dalam Konstelasi Kerajaan Lokal di Lease
Pedagang Jawa sudah mengenal rempah-rempah dalam waktu yang cukup lama. Bahkan mereka berperan penting dalam perdagangan rempah-rempah melalui jalur Malaka dan Samudera Pasai. Setelah pedagang Arab mulai berkenalan dengan rempah-rempah dari pelaut-pelaut dan pedagang China, pada zaman Islam, pedagang Jawa-lah yang juga memperkenalkan rempah-rempah kepada mereka.
Ternate, Tidore dan Banda telah menjadi pusat rempah-rempah yang cukup dikenal dan terhubung dengan Malaka. Pada posisi itu pelabuhan Hitu di Ambon menjadi penting karena menjadi jembatan penghubung antara pusat penghasil rempah-rempah dengan pusat pasar di Malaka. Ambon sendiri tidak menghasilkan rempah-rempah, atau ada tetapi dalam jumlah yang kecil. Ambon-Lease baru menjadi penting dalam perdagangan rempah-rempah pada abad ke-16 ketika posisi Portugis goyah di Ternate, Tidore dan Hitu. Maka dalam 2 abad sebelum kedatangan Belanda, Portugis mulai menganjurkan masyarakat di Ambon-Lease menanami pohon cengkeh dan Pala. Dalam masa itu posisi Banda menjadi sentral yang cukup penting dalam menguasai jalur produksi rempah-rempah, dan turut dikontrol oleh Portugis.
Seiring dengan bertumbuhnya Malaka menjadi bandar dagang yang penting di Nusantara, maka ekspansi pedagang-pedagang Jawa ke Maluku mulai meningkat. Penguasa wilayah di Ternate justru membuat kebijakan-kebijakan penting yang mendorong munculnya abad civilisasi di kawasan kepulauan Maluku. Ridjali mencatat bahwa di bawah kekuasaan Gapi Baguna di Ternate (1432-1465), ia mengundang pedagang-pedagang China, Arab dan Jawa untuk berdagang, kemudian menetap agar mereka dapat menularkan pengetahuan dan keterampilannya yang sudah lebih maju kepada masyarakat setempat. Juga disebutkan bahwa ia mengarahkan masyarakatnya supaya menerima orang asing ini dan belajar rahasia pengetahuan mereka. Lambat laut orang Ternate tidak lagi memakai pakaian dari kulit kayu dan daun-daunan, melainkan mulai memakai tekstil yang dijual oleh China dan Arab, serta menanam kapas dan menenun kain. Mereka juga belajar membangun rumah dan perahu dengan teknik yang canggih, dan mempergunakan peralatan rumah tangga yang lebih baik.
Jejak pedagang Jawa di Ambon-Lease memang sulit ditemukan, cukup berbeda dengan orang Buton. Namun dari beberapa data yang ada, beberapa di antara pedagang Jawa yang tidak meneruskan usaha dagangnya memilih bermukim di Ambon-Lease, dan terutama dari Tuban dan Gresik. Di masa Hindu, orang-orang Jawa berhasil datang ke Maluku bersamaan dengan pamor Kerajaan Majapahit . Sedangkan orang Jawa gelombang berikutnya mulai menetap di Ambon-Lease di zaman Islam. Melalui jalur Seram Timur dan Seram Utara, seperti terlihat dari sejarah keleluhuran beberapa negeri di Ambon, orang-orang Tuban dan Gresik turut membantu proses penyiaran Islam di Ambon-Lease. Dengan demikian, melalui Hitu, sebagai Kerajaan Islam terbesar di Ambon, mereka kemudian menyebar ke beberapa daerah lainnya, termasuk di Lease. Data mengenai keberadaan mereka di Lease sedikit sulit direkonstruksi.
Namun, dalam masa Kerajaan Iha, sudah ada kontak dagang dengan Malaka. Bahkan menurut catatan Rumphius, orang-orang Iha juga turut membawa cengkeh ke Malaka; serta di sana mereka bertemu dengan pedagang China, Arab, dan Jawa. Jika kontak itu dibuka maka jalurnya pasti datang dari Ternate; para pedagang dari Jawa (Gresik, Tuban dan Banjar) juga terhubung dengan Lease melalui jalur Ternate tadi.
Dalam konstelasi hubungan itu, menarik disimak cerita keleluhuran orang-orang Ullath (Beilohy Amalatu). Dari rekaman sejarahnya, diceritakan mengenai beberapa nama turunan Nunusaku.
“Dulama Nunusaku lahir tahun 1532 dan isterinja Siti Maka Nunusaku. Sultan Hua Ali Haris lahir tahun 1557 dan insterinja Siti Kien Nunusaku. Kasale Latu Nunusaku lahir tahun 1582 dan isterinja Siti Makahalal Nunusaku isterinja jang I dan isterinja jang ke II Siti Hadjar Nunusaku. Kasale Latu Nunusaku dengan isterinja jang pertama melahirkan:
1. Seorang Puteri jang pertama dengan rombongan pergi ke Istana Buton jang melahirkan keturunan Sultan di Buton
2. Anak jang kedua berangkat dengan rombongan dan menempati negeri Buano
3. Anak jang ketiga dengan rombongan berangkat dan menempati negeri Oma
4. Anak jang keempat dengan rombongannja berangkat dan menempati negeri Ullathe
Data itu menunjukkan relasi intens dengan suku-suku di luar Maluku [dari Sulawesi dan Jawa] menjadi bagian dari sejarah dan hubungan keleluhuran [ancestor relationship] orang-orang Ambon-Lease. Suatu model pembauran yang intens [gemeinschaft] yang turut membawa berbagai perubahan dalam tata kehidupan agama masyarakat di Ambon-Lease.
Orang Ullath juga tidak menyangsikan adanya hubungan keleluhuran dari Upu Siwabessy dan Nekaulu dengan keturunan dari kesultanan Ternate. Hal ini bisa dibenarkan sebab ekspansi Kerajaan Ternate ke Saparua dan Haruku cukup tinggi dan berdampak dalam tata pemerintahan di sana. Selain itu, selain Kerajaan Iha yang bersekutu dengan Ternate, Kerajaan Alaka dan Amaika justru menjadi rival Ternate di Lease. Bahkan kedua Kerajaan ini [Amaika dan Alaka ] kemudian turut menentukan dalam sejarah ekspansi Eropa [Portugis] ke Lease. Relasi yang kemudian dikembangkan pula oleh Belanda untuk menghancurkan hegemoni Ternate dan Kerajaan Iha.
Tidak hanya itu, sikap permusuhan Eropa dengan orang-orang Saparua turut disulut oleh bangkitnya kekuatan Lokal (mis. Tuhaha) dalam membantu Kerajaan Alaka bertempur melawan Portugis. Kekuatan lokal yang sama yakni Porto dan Itawaka kemudian pula bersekutu dengan Belanda untuk menggempur Kerajaan Iha.
Dengan demikian secara politis, heroika orang-orang lokal di Lease melalui organisasi militer tradisional sudah merupakan tipikal orang Lease. Tanpa disadari, jatuhnya eksistensi Kerajaan-kerajaan Islam di Lease turut memperburuk citra hubungan antarnegeri di Lease, karena negeri-negeri yang kemudian menjadi sekutu Eropa ‘dibaptis’ menjadi Kristen. Dalam kasus ini, intensitas hubungan orang Portugis dengan masyarakat Poru Amarima, Porto, perlu diteliti secara lebih mendalam. Sebab Porto dapat disebut sebagai Jemaat Katolik pertama di Lease. Data itu diharapkan bisa menjelaskan bagaimana sampai Portugis bisa berhasil ‘membaptiskan’ Porto.
Setidaknya relasi Kerajaan Ternate ,dan komunitas dari Sulawesi Selatan/Tenggara dan Jawa dengan Kerajaan-kerajaan di Lease, dan pengaruh Eropa di Lease dapat membantu peneropongan sejarah gereja yang berlangsung dalam berbagai dinamika hubungan masyarakat dengan Kerajaan-kerajaan Islam di sana.
2.3. ‘Misi Dagang’ dalam ‘Baju Politik-Agama’
Menelusuri jejak Eropa di Maluku sama dengan menelusuri separuh dari sejarah Maluku itu sendiri, sebab Eropa silih berganti menguasai kawasan rempah-rempah ini, dan membangunnya menjadi suatu daerah koloni di Asia Tenggara.
Dua sub topik tadi, mengenai China dan Jawa memang perlu dipaparkan secara khusus karena selama ini pemahaman sejarah di Maluku terpatok dalam nederlandslogi, suatu paparan sejarah yang berpusat pada Belanda atau Eropa, padahal ada jalur lain yang lebih awal dan hampir luput dari catatan sejarah kita. Kedua jalur itu memperlihatkan suatu hal yang berbeda dalam pendekatan perdagangan, dan perdagangan yang berbau politis atau dilabeli penyiaran agama. Beta tidak akan mengulas panjang lebar tentang keberadaan Eropa dalam sejarah perdagangan rempah-rempah dan kolonialisme di Maluku untuk menghindari ‘penulisan ulang’ atau ‘dobol tindis’ atas catatan-catatan sejarah yang sudah ada. Untuk itu beta lebih cenderung memaparkan beberapa data sejarah sambil berusaha menganalisa posisi dan peran gereja [di Lease] di dalam konteks yang dihadapkan.
KESATU: Lease dan Ternate
Setidaknya posisi Ambon-Lease sudah cukup dikenal ketika Kerajaan Ternate dan Tidore memperluas sayap kekuasaannya. Posisi Ambon menjadi penting melalui Hitu yang kemudian bertumbuh menjadi sebuah Kerajaan Islam di Ambon. Dalam Hikayat Tanah Hitu, diceritakan bahwa relasi dengan Ternate dan Jailolo telah turut membawa orang-orang Hitu berlayar ke Jawa dan belajar mengenai Islam di sana. Sekembalinya mereka: ‘lalu negeri Hitupun masuk iman kepada Allah dan nabi Mohammad serta agama rasulu’llah sallah’llahu ‘alaihi wa sallam’.
Seiring dengan perluasan Kerajaan Ternate, Islam turut masuk ke Ambon-Lease. Karena jalur perdagangan rempah-rempah dari Ternate ke Malaka semakin ramai, maka kedatangan orang-orang Jawa, termasuk yang membawa agama Islam ke Hitu juga tidak terelakkan. Masyarakat Hitu mulai berkenalan dengan Islam pada abad-abad itu (abad ke-14) dan karena Kerajaan Iha merupakan salah satu sekutu Ternate, maka terbentuklah Pan Islami antara Ternate-Hitu-Iha.
Ricklefs mengatakan bahwa Islam yang masuk ke Maluku dibawa oleh pedagang muslim Jawa dan Melayu. Gelar ‘sultan’ di Ternate dan Raja Tidore yang bernama Al-Mansur adalah bukti bahwa Islam turut mengubah tatanan pemerintahan lokal setempat, dan gelar ‘radja’ diperoleh dari kontak dengan India, sebab penguasa-penguasa setempat memandang India sebagai ‘pembimbing budaya’, namun dalam hal berdagang, lebih dekat dengan China.
Perjumpaan kerajaan-kerajaan di Maluku dengan kerajaan-kerajaan dari luar Maluku (mis. Jawa) ternyata tidak mengubah struktur politik di Maluku, sebab kehidupan politik tetap berlangsung seperti lazimnya, dan tidak ada perampasan kekuasaan anggota keluarga seperti yang kerap terjadi pada kerajaan-kerajaan di Malaka, dll.
Melihat relasi Ternate-Hitu-Iha menjadi penting selain untuk melihat bagaimana Islam masuk ke Lease, tetapi juga perlawanan komunitas agama suku terhadap kekuasaan Ternate yang bertendensi Islam. Hal ini bisa dilihat dalam pertempuran kerajaan-kerajaan di Lease dengan Ternate.
KEDUA: Komunitas di dan seputar Benteng
Pada saat masuknya Eropa ke Ternate dan Tidore, kontak kedua kerajaan ini dengan Hitu dan Banda telah lama berlangsung. Seperti cerita sejarah yang ada, pertentangan politik di Ternate dengan Portugis yang mendorong Portugis menjadikan Hitu (Ambon) sebagai pangkalannya. Namun relasi dengan Hitu yang kemudian terkoyak memaksa Portugis beralih ke Leitimor, melalui Hatiwii, dan selanjutnya membangun pangkalan armada laut dan benteng baru di Ambon.
Pola pembangunan benteng ini merupakan salah satu cara memaksimalkan kontrol politik dan ekonomi terhadap daerah-daerah penghasil rempah-rempah . Cara ini kemudian dipakai Belanda saat membangun instalasi militer di seputar Benteng. Pendekatan ini rupanya berjalan efektif di Ambon untuk mengatur produksi cengkeh di Pulau Ambon, Haruku, Saparua dan Nusalaut.
Sejak zaman Portugis, benteng sudah dibangun di Ternate, Tidore, dan sampai ke Ambon (Victoria). Pada zaman VOC, eksistensi Benteng Victoria dipertahankan, dan ada pula Benteng Middelburg yang dibangun di Passo. Di Leihitu terdapat juga Benteng Amsterdam (Hila), Rotterdam (Larike), dan Leiden (Hitu Lama). Sementara di Pulau Haruku, VOC membangun benteng Zeelandia (Haruku) dan Hoorn (Kariuw). Di Saparua terdapat benteng Duurstede (Saparua), Delft (Porto) , Holandia (Ouw), dan Velsen (Nolloth). Dan di Nusalaut terdapat benteng Berverwijk (Sila).
Di Ambon, di seputar benteng terdapat instalasi militer seperti yang kini tampak pada YonKav 5 – dulu Markas 733, Markas Brimob Air Besar Passo, dan Yonif Waiheru. Pola ini tidak kelihatan di Saparua, Haruku dan Nusalaut. Artinya tidak ada instalasi militer di sekitar benteng. Dengan demikian benteng-benteng itu berfungsi untuk: (a) mengkoordinasi perdagangan rempah-rempah; (b) memudahkan kontrol terhadap para raja/orangkaya/pati – juga untuk kepentingan dagang cengkeh. Sementara di Ambon, selain instalasi militer, juga terdapat perkampungan ‘kuli’, yaitu orang-orang Ambon yang dipekerjakan di Benteng dan tenaga pendayung kora-kora hongi. Kelas sosial yang lebih mapan adalah kaum ‘burger’ , kaum ‘mardijkers’ yang dalam hal tertentu setara dengan para ‘buerger’, kemudian komunitas di dalam Benteng yang adalah orang Eropa.
Dalam kaitan dengan sejarah gereja, komunitas benteng ini harus diberikan catatan tersendiri. Awalnya kekristenan dan pelayanan rohani [kristen] hanya ditujukan kepada para penghuni benteng yaitu orang Eropa yang adalah pegawai pemerintahan dan militer yang tinggal di tangsi atau instalasi militer di sekitar benteng. Lambat laun baru orang-orang seputar benteng yaitu para Inlandsche Burger dan Chinesche Burger . Orang Ambon lokal baru mengalami sentuhan rohani kristen setelah terbentuknya jemaat-jemaat Protestan di Leitimor. Saat itu baru kekristenan keluar dari benteng dan lingkungan elite masuk ke dalam komunitas setempat.
Karena corak benteng di Saparua, Haruku dan Nusalaut berbeda dari corak benteng di Ambon, maka otomatis pelayanan rohani di dalam benteng tidak pernah keluar dari lingkungan tersebut. Di sini kita patut berterima kasih kepada para Zending yang kemudian bekerja secara intens di jemaat-jemaat setempat. Mengenai misi para Zending kita bisa merekam beberapa nama yang sangat berjasa besar a.l: Joseph Kam, Heurnius, J. Akersloot, J.F. Bormeister, J. Starink, L. Lammers dan D. Müller (1821).
Di sisi lain, seiring dengan koordinasi penanaman cengkeh dan hongi yang semakin efektif melalui jalur Saparua, maka orang-orang benteng mulai terpola dengan sistem sosial seperti di Ambon. Namun perluasan perkebunan rempah-rempah di Saparua, Haruku, Nusalaut dan Banda, membuat muncul kelas elite baru yaitu para pemilik budak, tentu tidak lain adalah para burger tadi.
Enklaar mencatat bahwa:
Di Pulau Saparua ia [Joseph Kam ] bertemu dengan beberapa orang tuan dan nyonya yang sangat simpatik terhadap pemasukan orang-orang kafir itu. Tetapi para pemilik budak tidak selalu didorong oleh semangat pekejaran injil semata-mata. Sebab siapa yang tidak mau memasukkan budak-budaknya ke dalam agama Kristen, akan sangat kehilangan hormat orang kepadanya. Pada hampir setiap perjalanan keliling di beberapa jemaat ada sejumlah orang Arafuru dan Bugis dan budak-budak yang bermacam-macam asalnya harus dibaptiskan. Di Pulau Banda gereja memperoleh banyak anggota dari antara budak-budak di perkebunan rempah-rempah.
Karena itu benteng turut menciptakan kelas elite di dalam masyarakat, dan elite itu adalah elite kristen yang bukan hanya memandang rendah agama suku [kafir] melainkan juga memandang rendah penganutnya.
Bahkan dalam satu laporan tanggal 7 Juni 1828, yang disusun oleh Magistraat (Jaksa) mengenai kesaksian dua orang budak dari L. Schmidt de Haart, Asisten Residen Saparua-Haruku, yang sedang diadili dengan tuduhan mengadakan perdagangan budak secara tidak sah. Perdagangan budak pada waktu itu berpusat di Seram Timur. Budak yang diperdagangkan di sana dibawa oleh bajak laut. Selanjutnya menurut peraturan tahun 1825 semua orang yang berstatus budak harus dibebaskan dan perdagangan budak dilarang keras.
KETIGA: Relasi dengan Benteng
Dalam kaitan dengan fenomena ekonomi dan politik dalam konteks sejarah gereja di Lease, penting pula dicatat bagaimana reaksi orang-orang Lease terhadap kebijakan benteng yang tidak menguntungkan masyarakat, serta tentu tidak menguntungkan eksistensi kekristenan di jemaat-jemaat setempat.
Kebijakan menyatukan Governement der Molukken yang semula berpusat di Ternate; Gouvernement van Amboina berpusat di Ambon dan mencakup Maluku Tengah; serta Gouvernement van Banda berpusat di Banda dan mencakup Malra dan MBD; menjadi Gouvernement van Molukken yang berpusat di Ambon pada 1817, adalah suatu kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan semua jalur perdagangan rempah-rempah dan koordinasi pemerintahan pada satu tangan yakni Belanda.
Karena pusat pemerintahan dipegang sepenuhnya oleh Gubernur di Ambon, maka seluruh koordinasi pemerintahan berlangsung di Ambon. Ini membuat tingkat migrasi orang Lease, Maluku Tenggara, dan Ternate ke Ambon menjadi cukup tinggi. Hal mana turut menjadi alasan mengapa gereja di Ambon jauh lebih berkembang dari di daerah-daerah penghasil rempah-rempah.
Namun, posisi Haruku dalam saat itu cukup menentukan eksistensi pekabaran injil di Maluku. Dalam suatu perselisihan antara orang-orang Kaibobu dengan Pendeta Zending J. Akersloot, raja-raja di Haruku, Sameth dan Aboru menulis surat kepada Residen Haruku (12 November 1822) yang mengadukan tindakan raja Kaibobu mengusir Akersloot. Diadukan bahwa raja tidak suka kepada injil karena masih menganut agama suku, tetapi masyarakat bersedia menerima Akersloot. Hasilnya justru cukup menarik disimak, yakni atas Putusan Residen Haruku 25 Februari 1823 No. 467, raja Kaibobu diberhentikan dari jabatannya sebagai raja.
Struktur pemerintahan adat yang selama ini dikoordinasi melalui lumatau berubah secara drastis di zaman Belanda. Karena itu Gubernur di Ambon sangat berperan penting dalam mengatasi berbagai masalah di setiap negeri.
Beberapa bentuk masalah yang dialami negeri-negeri di Lease dan dilaporkan ke Gubernur di Ambon, a.l:
Pemberhentian 3 kepala soa : Keputusan Gubernur tertanggal 13 Januari 1865 No. 140 tentang pemberhentian 3 kepala soa dari negeri Oma (Pulau Haruku) yaitu: a). Benjamin Patikawa untuk soa Pattikawa; b). Hermanus Kaijhatu untuk soa Parij dan c). Abraham Hukom untuk soa Tunij, karena dituduh sebagai pemimpin huru-hara pada tanggal 29 Desember 1864, dan dihukum penjara 3 bulan dan pengangkatan a). Dominggos Kaijhatu sebagai kepala untuk soa Parij dan b). Daniel Hukom sebagai kepala untuk soa Tunij
Sistem peradilan: Landraad, yang diadakan untuk penduduk negeri (sudah ada sejak abad ke-17) – Gubernur Ambon sebagai ketua. Groote Landraad di setiap wilayah Asisten Residen (Saparua dan Hila). Kedua adalah Raad van Justitie di Ambon yang diketuai oleh Gubernur. Di Maluku Tengah ada dua instansi peradilan lain dan tidak termasuk dalam perkembangan sistem hukum Barat, yaitu Regentsraad: badan yang ketentuannya dijamin dalam Peraturan 1824, diketuai oleh Penguasa Negeri yang bersangkutan (Raja, Pati atau Orangkaya), dengan para kepala soa dan Tuagama (di negeri Kristen) atau Imam (di negeri Islam) sebagai anggotanya. Badan ini menangani perkara-perkara kecil, dalam hal perdatau maupun pidana landasan yang dipakai adalah adat. Sistem hukum dan peradilan tradisional kedua adalah Saniri yang rupanya hanya terdapat pada kalangan suku-suku Wemale dan Alune di Seram Barat yang menganggap dirinya termasuk Patasiwameten.
Contoh masalah pengaduan hukum: surat E.C. van Capelle, janda Johannes Salomon Kesaulya (Raja negeri Sirisori) yang maju bersama tentara Belanda di bawah pimpinan Mayor Beetjes pada saat mengerang pasukan Pattimura di Waisisil pada pertengahan bulan Mei 1817. Surat ini ditujukan kepada J.A. Neijs, Residen di Ambon dengan isi: pengaduan tentang perampasan harta milik almarhum suaminya di saat memuncak perang Pattimura. Barang yang disita itu adalah: pedang, obat senapan, pisau, teropong, uang, pakaian dan minuman anggur serta arak, dll. Perampasan itu dilakukan utusan Pattij Ouw pada 20 Mei.
Kontrol penduduk (razia) sudah terjadi pada 25 September 1829 – perintah dari Groote Landraad Ambon 25 September 1829 – ada desas-desus tentang akan meletusnya suatu pemberontakan oleh bekas pasukan Pattimura yang masih bersembunyi di perbukitan. Setelah meyakini hal itu ia mengumpulkan para penguasa desa dan memerintahkan agar melaporkan setiap orang yang tidak sah dalam desanya. Dari seorang yang ditawan ia mendapat kabar bahwa soldadu-soldadu Saparua di Ambonlah yang merupakan perencana pemberontakan itu.
KEEMPAT: Reaksi Terhadap Benteng
Sejarah gereja di Saparua tidak bisa dilepaskan dari pecahnya perang Pattimura. Saya tidak mengulasnya lagi karena telah ada dalam berbagai dokumen sejarah yang khusus tentang itu.
Selama satu tahun (1817-1818), aktifitas gereja yang selama ini dijalankan oleh Pendeta Joseph Kam pun mandeg. Ia bahkan harus kembali dari perjalanannya ke Saparua karena ada perang yang dikomandoi Kapitan Thomas Matulessy yang berhasil pula menghimpun kapitan-kapitan dari negeri Salam dan Sarane di Nusalaut dan Haruku.
Perjuangan merebut Benteng Duurstede adalah simbolisasi dari protes orang Lease terhadap kebijakan pemerintah (terutama di bidang ekonomi) yang memiskinkan orang-orang Lease. Di sisi inilah kita perlu memberi catatan kritis mengenai bagaimana sikap orang-orang Salam dan Sarane di Lease terhadap kolonialisme.
Ada faktor kesadaran lokal yang mampu membentuk suatu pemahaman dan sikap bersama untuk melawan kolonialisme. Kita melihat dalam masa itu tidak ada pemikiran dikotomi agama. Suatu pembelajaran positif yang bisa menjadi point kritik terhadap orientasi beragama di Maluku saat ini.
Perang Pattimura merupakan momentum yang menarik untuk menyimak kembali pemaknaan Kristen dan Islam di Lease [dan Maluku].
2.4. Gereja-gereja di Lease dalam Konteks Indonesia
Kini kita dituntut untuk melihat bagaimana eksistensi gereja-gereja di Lease dalam konteks Indonesia merdeka. Beberapa buku mengenai Lease sudah cukup baik memaparkan hal ini. Karena itu apa yang hendak diurai di sini hanyalah sebuah upaya membangun lagi kesadaran sejarah kita dengan melihat:
- Bagaimana Gereja di Lease bertumbuh dalam lingkungan kebudayaan setempat.
- Bagaimana Gereja di Lease dalam konteks pluralisme agama
- Bagaimana Gereja di Lease dalam konteks perubahan politik lokal, seiring dengan pemekaran Kecamatan
- Bagaimana Gereja di Lease membangun suatu jaringan kemitraan antarpulau dalam berbagai aspek: ekonomi, politik, sosial, budaya, dll
- Bagaimana Gereja di Lease turut menyikapi ketertinggalan masyarakat, kemiskinan, dll
Beta sadar bahwa point-point itu adalah pokok-pokok pikiran untuk dikembangkan dalam kerangka membangun suatu kesadaran sejarah baru di tengah konteks Indonesia. Suatu kesadaran sejarah bahwa kita bertumbuh dari basis-basis kultural yang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Apa yang selama ini menjadi debat Injil-Kebudayaan adalah suatu fenomena yang tidak usah sampai mengusik cara beragama kita. Sebaliknya harus selalu dilihat sebagai bagian dari dinamika pergumulan sejarah yang terus berubah ke depan.
Demikian yang sempat beta sampaikan!
3. Buku Rujukan:
Abdurahman, Paramitha, “The Wind, New Faces, New Forces”, dalam Paramitha R. Abdurachman, Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-jejak Kebudayaan Portugis di Indonesia, Jakarta: Obor dan LIPI, 2008
Abineno, J.L.Ch., Sejarah Apostolat di Indonesia II/1, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978
Alwi, Des, Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon, Jakarta: Dian Rakyat, 2005
Andaya, Leonard, The World of Maluku: Eastern Indonesia in Early Modern Period, Honolulu: University of Hawaii Press, 1993
Braudel, F., The Wheel of Commerce, terj. Silân Reynolds, Fontana, 1985
B.S.S.U, Dari Gunung Turun ke Pantai Sampai Djadinja Negeri Ullath, Culemborg, Holland: I.S.D.M, 1990
Chauvel, Richard, Nationalists, Soldiers and Separatists: The Ambonese Islands From Colonialism to Revolt, 1880-1950, Leiden: KITLV Press, 1990
Departemen P&K, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Sejarah Daerah Maluku, Jakarta: Dep.P&K, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, 1976/1977
Enklaar, I.H., Joseph Kam Rasul Maluku, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, edisi kedua, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003
Leirissa, R.Z., et.al (red.), Maluku Tengah di Masa Lampau: Gambaran Sekilas Lewat Arsip Abad Sembilan Belas, Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1982
Leirissa, R.Z., et.al., Ambonku doeloe, kini, esok, Ambon: Pemerintah Kota Ambon, cetakan pertama, Maret 2004
Manusama, Z.J., Hikayat Tanah Hitu, copyright, 1977
Menzies, Gavin, 1421 Saat China Menemukan Dunia, [terj. Tufel Najib Msyadad], Jakarta: Pusat Alvabet, September 2006
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi, cetakan II, 2005
Sanneh, Lamin, Encountering the West: Christianity and the Global Cultural Process, Maryknoll, New York: Orbis Books, 1993
Suantika, I Wayan, Berita Penelitian Arkheologi (Vol 1 No 1 Agustus 2005
Tjandrasasmita, Uka, “The Introduction of Islam and the Growth of Moslem Coastal Cities in the Indonesian Archipelago”, dalam Dynamics of Indonesian History, edited by. Haryati Soebadio & Carine A. du Marchie Sarvaas, North Holland Publ. Co., Amsterdam, 1978
Vlekke, Bernard H. M., Nusantara Sejarah Indonesia, Jakarta: KPG, cetakan kedua, Juni 2008
Wachterhauser, Brice R., “History and Language in Understanding”, dalam Hermeneutics and Modern Philosophy, edited by. Brice R. Wactherhauser, New York: State University of New York, 1986
Wairisal, L.D., Saparua, Kota Pahlawan Pattimura, dengan Kepulauan Lease dari Masa ke Masa,Jilid II, Yayasan Ina Hasalaut, cetakan pertama, Agustus 2005
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
1. Carapandang Sejarah yang Digunakan di Sini
Judul di atas merupakan suatu usaha membahas dimensi sejarah gereja yang kiranya ditempatkan dan dipahami juga dalam konteks sejarah sosial secara menyeluruh. Memang ada aspek spesifik atau partikular dari sejarah, tetapi tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah secara umum.
Beta mengalami sedikit kesulitan untuk menyajikan judul di atas sebagai sebuah tulisan sejarah, sebab beta memiliki sedikit data yang bisa membuat tulisan ini mengandung salah satu ciri penting dari sejarah itu sendiri yakni diakronik.
Jika kita menyimak sistem pendataan sejarah, maka ada dua jenis data. Pertama, data tentang rekaman peristiwa di dalam suatu masa, yang memuat tindakan para aktor yang nota-bene adalah elite dalam suatu sistem sosial di masa lampau. Data ini berbentuk laporan-laporan atau arsip, dokumentasi, dan bangunan [yang lebih banyak menjadi fokus arkeologi]. Kedua, hasil penafsiran suatu peristiwa sejarah, yang disusun oleh orang-orang lain di masa kemudian, sebagai suatu bentuk telaah kritis terhadap jenis data pertama tadi. Data jenis kedua ini pun terbagi menjadi dua, yaitu penafsiran ‘komunitas penulis sejarah’ yang cenderung bertendensi politis, dan penafsiran kritikus yang melihat adanya sisi-sisi tertentu yang terabaikan, atau adanya ketimpangan di dalam rangkaian sejarah itu, dsb – yang bertanya mengapa tindakan orang-orang lokal tidak terekam sebagai event yang penting dalam sejarah.
Suara para pelaku sejarah atau masyarakat di dalam lokus terjadinya suatu event sejarah sering terabaikan, dalam arti tidak ‘naik cetak’. Sebab itu event yang menjadi data adalah tindakan para elite atau serangkaian aktifitas suatu institusi. Dengan berkembangnya hermeneutika sejarah, tindakan komunitas di dalam lokus sejarah menjadi penting. Kendalanya yaitu tidak ada data atau rekaman yang akurat, dalam arti lebih banyak mengandalkan ‘tradisi lisan’, yang terkadang kurang akurat, sebab pelaku sejarah sudah lama “meninggal”, atau terlalu lama “dibungkamkan”. Sejarah dalam arti itu bukanlah suatu diskripsi atas historisitas yang konkruen, yang mendramatisasikan dinamika setiap “pelaku sejarah”. Historisitas – dalam tradisi ilmu – adalah suatu gambaran menyeluruh (detail) mengenai waktu dan ruang keberadaan manusia. Bahwa manusia adalah produk dari sejarah itu sendiri, dan memiliki eksistensi historis, artinya memiliki relasi setara antara dirinya dengan orang lain di tengah lingkungan keberadaannya itu (zitz im leben). Idealnya bahwa penceritaan sejarah harus memandang setiap pelaku sejarah sebagai orang-orang yang sejajar, memiliki peran yang sama-sama penting dalam bingkai sejarah. Tafsir sosial yang mendudukkan posisi dan status sosial mereka: mis. seorang sebagai raja, kepala soa, gubernur, majikan, buruh, dll.
Sebab itu peneropongan terhadap konteks sejarah gereja/kekristenan di Lease coba ditelusuri dengan melihat konstelasi dalam hubungan ‘siapa yang membawa pesan dan siapa penerimanya’ . Pemahaman itu memperlihatkan perlunya suatu proses hermeneutik.
2. Posisi Lease dalam Konteks Ekonomi dan Politik:
2.1. Pulau Rempah-rempah yang Ditemukan dan Disembunyikan China
Sebenarnya dengan menelusuri jejak-jejak perdagangan China, kita bisa menyusun dan mengreksi kembali sejarah ekonomi di Maluku yang selama ini sangat nederlandscentris.
Orang selama ini memperkirakan bahwa cengkeh menjadi terkenal di pasar Eropa karena dibawa oleh Portugis dan/atau armada VOC. Asumsi ini salah! Sebab sejak abad ke-3 cengkeh sudah dikenal secara umum oleh masyarakat Terqa di Mesopotamia dan Syria, dan diperkenalkan oleh bangsa China [dan pedagang-pedagang Arab]. Di Mesopotamia, cengkeh hanya dikonsumsikan oleh kelompok menengah ke atas sebagai pengharum mulut jika akan menghadap Raja. Cengkeh menjadi simbol status sosial. Dalam beberapa dokumen sejarah diungkapkan bahwa pala dan cengkeh sudah dikenal di kalangan bangsa Syria. Pliny, sejarahwan Romawi juga menyebut tentang keberadaan rempah-rempah berupa cengkeh dan pala sebagai barang dagang mewah dan mahal yang ditemukan di pasar Romawi kuno sejak abad ke-3, dan semakin populer di pasar Eropa sekitar abad ke-10.
Malah nama Maluku sudah tercatat dalam tambo dinasti Tang di negeri China (618-906) yang menyebut tentang ‘Miliku’, yaitu suatu daerah yang dipakai sebagai patokan penentuan arah ke kerajaan Holing (Kalingga) yang ada di sebelah Barat. W.P. Groenveldt memperkirakan ‘Mi-li-ku’ ini sebagai Maluku. artinya sekurang-kurangnya Maluku sudah dikenal di negeri China pada abad ke-7.
J.C. Van Leur menyebut:
‘Sejak abad pertama Masehi, Indonesia sudah turut mengambil bagian dalam perdagangan Asia Purba dengan jalan niaga yang melalui Asia Tenggara dari China di Timur ke Laut Tengah di bagian barat. Pada waktu itu Indonesia terkenal sebagai pengekspor rempah-rempah, bahan obat-obatan, kayu berharga, hasil-hasil hutan, binatang dan burung yang indah. Cengkih adalah satu-satunya tanaman yang hanya terdapat di Maluku waktu itu. Pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut China mengetahui Maluku sebagai penghasil cengkeh, akan tetapi mereka merahasiakan jalan pelayarannya.”
Dokumen China yang menceritakan panjang lebar mengenai keberadaan Maluku adalah Annaal China dari dinasti Ming (1368-1643), menyebut Maluku berada di laut Tenggara. Sebelum itu, dan sampai dengan 1421, peta navigasi China mengenai keberadaan pulau rempah-rempah disimpan sebagai dokumen rahasia, dan yang dipublikasi adalah peta yang sudah diubah sistem navigasinya. Dalam Annaal China disebut:
Maluku memiliki ‘gunung dupa’ (incense mountain), dan jika telah ‘turun hujan’, maka dupa itu berjatuhan menutupi tanah sehingga penduduk tidak mampu menghimpunnya karena banyaknya. Tempat menyimpannya banyak dan kemudian dibawa ke perahu-perahu pedagang untuk dijual.”
Gavin Menzies bercerita panjang lebar tentang bagaimana ekspansi dagang dan armada laut China menerobosi lautan dan membuat peta pelayaran lalu untuk sekian waktu lamanya ‘menyembunyikan’ Maluku sebagai pulau rempah-rempah, beberapa abad kemudian baru diketahui oleh orang-orang Eropa.
Adalah Kaisar Zhu Di, Putra Langit, merupakan tokoh kunci dalam seluruh perkembangan sistem navigasi dan ekspansi armada laut China pada tahun 1421. Dia kemudian memerintahkan Dinasti Song dan Yuan (bangsa Mongol) untuk membangun perdagangan luar negeri, sehingga kemudian Zhu Di mengontrol perdagangan rempah-rempah dari Arab yang dulu pernah didominasinya. Ia mulai mendorong 250 buah ‘kapal harta’ besar bertiang sembilan, 3.500 lain, terdiri dari 1.350 kapal patroli dan kapal perang dalam jumlah yang sama, 400 kapal perang besar, 400 kapal barang untuk mengangkut padi, air dan kuda bagi armada lautnya. Tujuan dari ekspansi armada lautnya ialah menciptakan kembali jalur perdagangan melintasi Asia Tengah yang pernah dimiliki China di zaman keemasan Dinasti Tang selama lima abad sebelumnya.
Dalam dua dekade, ekspansi armada laut China itu telah berhasil merekrut berbagai potensi kekayaan alam. Bahkan runtuhnya kekaisaran Romawi telah mengakibatkan kemunduran ekonomi dan pertanian di Eropa. Sedangkan China terus berkembang, termasuk dalam bidang pengobatan. Di sini sebenarnya mulai muncul minat Eropa (Spanyol dan Portugis) untuk mengumpulkan bahan pangan, emas, dan rempah-rempah – yang sudah terlebih dahulu diperkenalkan China kepada mereka. Pada saat itulah, animo untuk mencari daerah rempah-rempah mulai mempengaruhi orang-orang Eropa .
Perjalanan menemukan Pulau Rempah-rempah ternyata melalui jalur Australia. Kala itu China juga mencari berbagai bahan tambang, seperti timah yang membawa mereka ke dalam komunitas Aborigin di Arnhem Land. Penggalian bahan-bahan tambang dan uranium mengakibatkan kematian yang luar biasa pada Oktober 1423. Pengetahuan China mengenai jalan ke Pulau Rempah-rempah ditunjukkan dalam peta Rotz, yaitu peta yang digambar oleh kartografer di atas armada kapal Zhou Man. Dalam peta itu, arti penting Ambon, yang saat itu menjadi pusat pertemuan dua pulau Rempah-rempah Ternate dan Tidore ditekankan oleh warnanya yang merah di peta.
Dikabarkan bahwa:
“…ketika meninggalkan Australia, kapal Zhou Man masih memuat sutera dan porselen. Namun pulau rempah-rempah berada di antara Australia dan kampung halaman [China], dan rempah-rempah saat itu menjadi komoditas sangat berharga di China. Bahkan ketika armada laut itu menjadi rombongan beberapa kapal saja, mereka masih bisa membawa ribuan ton keramik. Dengan berlayar ke Pulau Rempah-rempah Zhou Man akhirnya memiliki kesempatan untuk menukarkan barang-barang bawaannya dengan barang yang berharga seperti pala, merica dan cengkeh”.
“Pada abad pertengahan, Ternate dan Tidore adalah pusat perdagangan rempah-rempah dan merupakan pulau yang sangat produktif. Mereka menjadi legenda dan telah dicari selama berabad-abad, karena semua rempah-rempah dapat diperoleh di sana dalam jumlah yang sangat besar. Hingga kini, keharuman khusus cengkeh bisa dicium dari lautan luas, jauh sebelum pulau itu terlihat.”
Dengan melihat pada peta Rotz mengenai jalan pulang Zhou Man dari Australia yang melalui pulau rempah-rempah, dia tidak hanya membawa serta rempah-rempah melainkan juga menukarkan barang-barang porselen yang juga ditukarkan dengan batik, artefak, air bersih, buah dan juga daging. Aktifitas barter ini menjadi salah satu bentuk kontak antara orang-orang China, dan India [yang mengekori perjalanan China] dengan komunitas di kawasan kepulauan Maluku .
Proses dagang China dengan orang-orang Maluku terjadi melalui serangkaian aktifitas negosiasi yang sederhana. Dalam salah satu dokumen dari Ma Huan, seperti dikutip Menzies, diceritakan bagaimana barang-barang dari armada laut dijual dan bentuk kontrak dagang yang digunakan:
…ketika harga telah disepakati, mereka pun mencatat perjanjian itu. Sang ketua dan Chei-Ti bersama dengan tuannya Kasim semuanya bergabung bersama, lalu si tengkulak mengatakan: ‘Pada bulan dan hari tertentu, kita semua telah bergandengan tangan dan menyepakati perjanjian ini dengan jabat tangan. Meski [harga] mahal ataupun murah, kita tidak akan pernah membatalkan atau mengubahnya.
Tindakan ‘jabat tangan’ itu dilihat sebagai semacam ‘bukti kontrak’ atau ‘kwitansi’ untuk praktek jual-beli. Seperti lazimnya, orang-orang China akan mengambil rempah-rempah berupa cengkeh dari masyarakat Maluku, kemudian mereka meninggalkan berbagai porselin dan barang-barang China lainnya termasuk sutera .
Braudel, seperti juga dikutip Menzies, menulis:
[Bangsa China] mengelilingi seluruh negeri. Dengan timbangan [dacing] di tangan, mereka membeli semua rempah yang mereka jumpai. Setelah menimbang sedikit sehingga mereka dapat menentukan kira-kira jumlahnya, mereka menawarkan pembayaran dalam uang gepokan, banyaknya tergantung pada kebutuhan si penjual akan uang. Dengan cara ini mereka dapat menimbun sedemikian banyak sesuai dengan kapasitas kapal-kapal yang datang dari China, dan menjualnya senilai lima puluh ribu caixas [mata uang Portugis], padahal mereka membelinya tidak lebih dari dua belas ribu.
Ternyata dengan cara seperti itu, China turut mendominasi perdagangan pada level praksis di masyarakat. Mereka mengontrol penentuan dan tingkat harga, dan karenanya turut mengontrol jumlah distribusi dan pasokan rempah-rempah yang diperdagangkan.
Des Alwi menyebut bahwa hasil penelitian Universitas Brown, Amerika Serikat dengan Yayasan Warisan dan Budaya Banda Naira dan Universitas Pattimura pada 1996-1998, menyebut bahwa:
“kira-kira 900 sampai 1.000 tahun yang lalu kapal-kapal China sudah berdagang di Banda karena ditemukan pecahan piring-piring zaman Dinasti Ming dan juga pecahan kendi-kendi, tempayan dari tanah liat yang dibuat oleh orang Banda pada zaman Pra Islam abad ke-9. Bendera yang dipakai Kampung Adat Namaswar adalah Naga China, katanya dirampas dari perang di laut dengan bajak laut China. Tetapi sebenarnya bendera naga itu diserahkan oleh pedagang China kepada rakyat Banda. Begitupun korakora Ratu dan Namaswar memakai ukiran-ukiran naga”.
Dari Pulau Rempah-rempah inilah baru Zhou Man pulang ke China dengan memuat ribuan ton rempah-rempah yang bahkan tersimpan sebagai cadangan rempah-rempah dalam gudang, yang kemudian dijual dengan harga 10 kali lebih tinggi dari harga ketika dibeli di pulau rempah-rempah.
Sebab itu keberadaan orang-orang China di Maluku sudah ada sebelum masuknya bangsa Eropa. Memang kita masih perlu mencari bukti mengenai apakah dalam perjalanan kembali Ma Huan dan episode setelah itu, sebelum Magellan menemukan jalur rempah-rempah dari peta Rotz, apakah sebagian anggota armada laut China menetap di Maluku atau baru datang setelah Magellan menemukan jalur ini. Sebab beberapa data juga menyebut bahwa pedagang China kemudian membeli tanah dari penguasa-penguasa setempat untuk melakukan berbagai usaha mereka di bidang ekonomi; terutama ketika ditemukan pula adanya produk lain yang laku di pasar Eropa seperti teripang, sirip ikan, mutiara, merica, dll.
Richard Chauvel berhasil membantu kita melirik sedikit kepada jejak-jejak China dengan memberi data statistik tahun 1930 :
Orang Ambon Buton Suku lainnya (Jawa, dll) Orang Eropa Oriental
Kota Ambon 7.593 5.994 1.878 1.869
6.436 (Kristen)
2.106 (Islam)
Pulau Ambon 38.715 9.164 1.051 247 310
20.961 (Kristen)
17.923 (Islam)
Saparua 38.458 1.015 273 290 359
29.933(Kristen)
8.462 (Islam)
Total 84.766 10.179 7.318 2.415 2.538
Dari data itu tergambar bahwa kontak orang-orang Buton, Jawa, dan China dengan orang-orang Maluku sudah terjadi sebelum periode perdagangan Eropa. Mereka semua melakukan tindak perdagangan lokal dengan pusat rempah-rempah. Karena itu tidak heran jika cengkeh masuk ke Eropa juga melalui pedagang Arab yang membawanya dari jalur Samudera Pasai. Sebab saat itu Malaka juga menjadi bandar dagang yang penting. Kontak China dengan pedagang-pedagang Arab dan India juga terjadi di bandar Malaka.
Sisi lain dari data itu ialah komunitas suku-suku tadi di Pulau Saparua juga cukup signifikan. Orang Buton di Saparua pada tahun itu sudah mencapai 1.015 orang, suku Jawa 273 orang, dan China 359 orang. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut, sebab terbentuknya komunitas Buton, Jawa, dan China di kawasan ini berdampak pada berbagai aspek dalam kehidupan perekonomian. Orang Buton lebih condong pada usaha perkebunan, sebagai petani penggarap. Dahulu mereka biasa meminta sebidang tanah dari penduduk setempat untuk ‘biking kabong’. Mereka bahkan tinggal di ‘rumah-rumah kabong’ yang sederhana, tetapi yang lambat laun turut mengubah formasi permukiman sosial di tia-tiap negeri. Mulai terbentuk kampung Buton di berbagai tempat , seiring dengan pertambahan penduduk yang adalah anggota keluarga ‘orang pertama’. Populasinya berkembang cepat karena perkawinan yang tinggi termasuk ‘kawin muda’.
Sementara orang-orang Jawa dan suku lainnya memiliki sifat bermukim yang tidak sama dengan orang Buton, karena itu hampir tidak ditemui bekas permukiman orang Jawa . Sifat itu pun sama dengan orang China. Namun karena modal yang besar, orang China mengontrol sistem perdagangan lokal dan antarpulau di dalam kawasan-kawasan yang kecil seperti Lease. Sebab itu di hampir setiap negeri, bahkan yang sulit dijangkau oleh transportasi laut sekalipun, sudah dijumpai adanya ‘Toko China’ yang mengontrol perdagangan berbagai hasil alam, hasil kebun, hasil laut, dan juga penjualan barang kelontongan seperti pakaian, nampan, piring, gelas, muk/cangkir, dll. Secara sosiologis kemudian muncul sebutan seperti China Saparua, China Dobo, China Banda, dll.
Pola kerja orang Buton mungkin sama dengan pola kerja orang Ambon-Lease; sehingga tidak ada pertukaran sistem ekonomi yang terlalu signifikan. Mungkin perbedaannya hanya pada mentalitas kerja. Tetapi orang China memperkenalkan sistem perekonomian yang baru. Beberapa hal yang diperkenalkan mereka a.l: perdagangan antarpulau – suatu jenis usaha baru yang bisa disebut mendorong orang Lease keluar dari pulau-pulau mereka dan mulai berdagang di pulau lainnya. Beta memperkirakan bahwa sistem ‘papalele’ juga adalah suatu model kerja baru yang turut dipengaruhi oleh gaya berdagang orang China . China juga memperkenalkan sistem jual-beli dengan menyertakan uang atau barang berharga, dan manajemen pascapanen dalam bentuk ‘simpan uang’.
Untuk aspek pertama ini beta lebih condong untuk mendiskusikan pengaruh China di Maluku, walau dengan bahan yang serba terbatas. Tujuannya adalah untuk melihat bagaimana ketika motivasi dagang benar-benar berjalan demi kepentingan dagang; dan membandingkannya dengan motivasi dagang yang bertindih rapat dengan motivasi politik (kolonialisme) dan penyiaran agama di lapis lainnya. Ini sebenarnya untuk melihat dampaknya pada respons masyarakat setempat; bahkan terhadap injil atau agama baru yang dibawa.
Data Chauvel itu memperlihatkan adanya dinamika hubungan penduduk Kristen dan Islam di Ambon-Lease, dan dalam variasi sosialnya orang oriental di kemudian hari ternyata ‘memilih’ menjadi kristen ketimbang Islam. Memang perlu data yang cukup untuk membenarkan tesis bahwa hal itu terjadi karena saat jalur perdagangan ke Asia Tenggara didominasi oleh orang Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda, China terpaksa harus membangun persahabatan dengan mereka agar bisa turut bersama-sama dalam menjalankan perdagangan rempah-rempah dari Maluku. Mereka [China] tidak mau kehilangan apa yang sejak semula mereka temukan. Ini yang kemudian menjadi sebab mengapa sebagian orang China memilih tinggal di Ambon, dan membeli tanah di Saparua, Haruku, Nusalaut, dan sampai ke Seram [pada abad ke-18/19] setelah produksi cengkeh di Maluku Tengah mulai diusahakan secara besar-besaran oleh VOC.
Sama halnya dengan orang-orang Buton dan Jawa yang lebih banyak muslim atau sejak awal, sebelum ke Maluku adalah muslim. Mereka kemudian membentuk perkampungan sosial tersendiri, dan merapat dengan negeri-negeri Kristen di Ambon-Lease.
2.2. Pedagang Jawa dan Sulawesi Dalam Konstelasi Kerajaan Lokal di Lease
Pedagang Jawa sudah mengenal rempah-rempah dalam waktu yang cukup lama. Bahkan mereka berperan penting dalam perdagangan rempah-rempah melalui jalur Malaka dan Samudera Pasai. Setelah pedagang Arab mulai berkenalan dengan rempah-rempah dari pelaut-pelaut dan pedagang China, pada zaman Islam, pedagang Jawa-lah yang juga memperkenalkan rempah-rempah kepada mereka.
Ternate, Tidore dan Banda telah menjadi pusat rempah-rempah yang cukup dikenal dan terhubung dengan Malaka. Pada posisi itu pelabuhan Hitu di Ambon menjadi penting karena menjadi jembatan penghubung antara pusat penghasil rempah-rempah dengan pusat pasar di Malaka. Ambon sendiri tidak menghasilkan rempah-rempah, atau ada tetapi dalam jumlah yang kecil. Ambon-Lease baru menjadi penting dalam perdagangan rempah-rempah pada abad ke-16 ketika posisi Portugis goyah di Ternate, Tidore dan Hitu. Maka dalam 2 abad sebelum kedatangan Belanda, Portugis mulai menganjurkan masyarakat di Ambon-Lease menanami pohon cengkeh dan Pala. Dalam masa itu posisi Banda menjadi sentral yang cukup penting dalam menguasai jalur produksi rempah-rempah, dan turut dikontrol oleh Portugis.
Seiring dengan bertumbuhnya Malaka menjadi bandar dagang yang penting di Nusantara, maka ekspansi pedagang-pedagang Jawa ke Maluku mulai meningkat. Penguasa wilayah di Ternate justru membuat kebijakan-kebijakan penting yang mendorong munculnya abad civilisasi di kawasan kepulauan Maluku. Ridjali mencatat bahwa di bawah kekuasaan Gapi Baguna di Ternate (1432-1465), ia mengundang pedagang-pedagang China, Arab dan Jawa untuk berdagang, kemudian menetap agar mereka dapat menularkan pengetahuan dan keterampilannya yang sudah lebih maju kepada masyarakat setempat. Juga disebutkan bahwa ia mengarahkan masyarakatnya supaya menerima orang asing ini dan belajar rahasia pengetahuan mereka. Lambat laut orang Ternate tidak lagi memakai pakaian dari kulit kayu dan daun-daunan, melainkan mulai memakai tekstil yang dijual oleh China dan Arab, serta menanam kapas dan menenun kain. Mereka juga belajar membangun rumah dan perahu dengan teknik yang canggih, dan mempergunakan peralatan rumah tangga yang lebih baik.
Jejak pedagang Jawa di Ambon-Lease memang sulit ditemukan, cukup berbeda dengan orang Buton. Namun dari beberapa data yang ada, beberapa di antara pedagang Jawa yang tidak meneruskan usaha dagangnya memilih bermukim di Ambon-Lease, dan terutama dari Tuban dan Gresik. Di masa Hindu, orang-orang Jawa berhasil datang ke Maluku bersamaan dengan pamor Kerajaan Majapahit . Sedangkan orang Jawa gelombang berikutnya mulai menetap di Ambon-Lease di zaman Islam. Melalui jalur Seram Timur dan Seram Utara, seperti terlihat dari sejarah keleluhuran beberapa negeri di Ambon, orang-orang Tuban dan Gresik turut membantu proses penyiaran Islam di Ambon-Lease. Dengan demikian, melalui Hitu, sebagai Kerajaan Islam terbesar di Ambon, mereka kemudian menyebar ke beberapa daerah lainnya, termasuk di Lease. Data mengenai keberadaan mereka di Lease sedikit sulit direkonstruksi.
Namun, dalam masa Kerajaan Iha, sudah ada kontak dagang dengan Malaka. Bahkan menurut catatan Rumphius, orang-orang Iha juga turut membawa cengkeh ke Malaka; serta di sana mereka bertemu dengan pedagang China, Arab, dan Jawa. Jika kontak itu dibuka maka jalurnya pasti datang dari Ternate; para pedagang dari Jawa (Gresik, Tuban dan Banjar) juga terhubung dengan Lease melalui jalur Ternate tadi.
Dalam konstelasi hubungan itu, menarik disimak cerita keleluhuran orang-orang Ullath (Beilohy Amalatu). Dari rekaman sejarahnya, diceritakan mengenai beberapa nama turunan Nunusaku.
“Dulama Nunusaku lahir tahun 1532 dan isterinja Siti Maka Nunusaku. Sultan Hua Ali Haris lahir tahun 1557 dan insterinja Siti Kien Nunusaku. Kasale Latu Nunusaku lahir tahun 1582 dan isterinja Siti Makahalal Nunusaku isterinja jang I dan isterinja jang ke II Siti Hadjar Nunusaku. Kasale Latu Nunusaku dengan isterinja jang pertama melahirkan:
1. Seorang Puteri jang pertama dengan rombongan pergi ke Istana Buton jang melahirkan keturunan Sultan di Buton
2. Anak jang kedua berangkat dengan rombongan dan menempati negeri Buano
3. Anak jang ketiga dengan rombongan berangkat dan menempati negeri Oma
4. Anak jang keempat dengan rombongannja berangkat dan menempati negeri Ullathe
Data itu menunjukkan relasi intens dengan suku-suku di luar Maluku [dari Sulawesi dan Jawa] menjadi bagian dari sejarah dan hubungan keleluhuran [ancestor relationship] orang-orang Ambon-Lease. Suatu model pembauran yang intens [gemeinschaft] yang turut membawa berbagai perubahan dalam tata kehidupan agama masyarakat di Ambon-Lease.
Orang Ullath juga tidak menyangsikan adanya hubungan keleluhuran dari Upu Siwabessy dan Nekaulu dengan keturunan dari kesultanan Ternate. Hal ini bisa dibenarkan sebab ekspansi Kerajaan Ternate ke Saparua dan Haruku cukup tinggi dan berdampak dalam tata pemerintahan di sana. Selain itu, selain Kerajaan Iha yang bersekutu dengan Ternate, Kerajaan Alaka dan Amaika justru menjadi rival Ternate di Lease. Bahkan kedua Kerajaan ini [Amaika dan Alaka ] kemudian turut menentukan dalam sejarah ekspansi Eropa [Portugis] ke Lease. Relasi yang kemudian dikembangkan pula oleh Belanda untuk menghancurkan hegemoni Ternate dan Kerajaan Iha.
Tidak hanya itu, sikap permusuhan Eropa dengan orang-orang Saparua turut disulut oleh bangkitnya kekuatan Lokal (mis. Tuhaha) dalam membantu Kerajaan Alaka bertempur melawan Portugis. Kekuatan lokal yang sama yakni Porto dan Itawaka kemudian pula bersekutu dengan Belanda untuk menggempur Kerajaan Iha.
Dengan demikian secara politis, heroika orang-orang lokal di Lease melalui organisasi militer tradisional sudah merupakan tipikal orang Lease. Tanpa disadari, jatuhnya eksistensi Kerajaan-kerajaan Islam di Lease turut memperburuk citra hubungan antarnegeri di Lease, karena negeri-negeri yang kemudian menjadi sekutu Eropa ‘dibaptis’ menjadi Kristen. Dalam kasus ini, intensitas hubungan orang Portugis dengan masyarakat Poru Amarima, Porto, perlu diteliti secara lebih mendalam. Sebab Porto dapat disebut sebagai Jemaat Katolik pertama di Lease. Data itu diharapkan bisa menjelaskan bagaimana sampai Portugis bisa berhasil ‘membaptiskan’ Porto.
Setidaknya relasi Kerajaan Ternate ,dan komunitas dari Sulawesi Selatan/Tenggara dan Jawa dengan Kerajaan-kerajaan di Lease, dan pengaruh Eropa di Lease dapat membantu peneropongan sejarah gereja yang berlangsung dalam berbagai dinamika hubungan masyarakat dengan Kerajaan-kerajaan Islam di sana.
2.3. ‘Misi Dagang’ dalam ‘Baju Politik-Agama’
Menelusuri jejak Eropa di Maluku sama dengan menelusuri separuh dari sejarah Maluku itu sendiri, sebab Eropa silih berganti menguasai kawasan rempah-rempah ini, dan membangunnya menjadi suatu daerah koloni di Asia Tenggara.
Dua sub topik tadi, mengenai China dan Jawa memang perlu dipaparkan secara khusus karena selama ini pemahaman sejarah di Maluku terpatok dalam nederlandslogi, suatu paparan sejarah yang berpusat pada Belanda atau Eropa, padahal ada jalur lain yang lebih awal dan hampir luput dari catatan sejarah kita. Kedua jalur itu memperlihatkan suatu hal yang berbeda dalam pendekatan perdagangan, dan perdagangan yang berbau politis atau dilabeli penyiaran agama. Beta tidak akan mengulas panjang lebar tentang keberadaan Eropa dalam sejarah perdagangan rempah-rempah dan kolonialisme di Maluku untuk menghindari ‘penulisan ulang’ atau ‘dobol tindis’ atas catatan-catatan sejarah yang sudah ada. Untuk itu beta lebih cenderung memaparkan beberapa data sejarah sambil berusaha menganalisa posisi dan peran gereja [di Lease] di dalam konteks yang dihadapkan.
KESATU: Lease dan Ternate
Setidaknya posisi Ambon-Lease sudah cukup dikenal ketika Kerajaan Ternate dan Tidore memperluas sayap kekuasaannya. Posisi Ambon menjadi penting melalui Hitu yang kemudian bertumbuh menjadi sebuah Kerajaan Islam di Ambon. Dalam Hikayat Tanah Hitu, diceritakan bahwa relasi dengan Ternate dan Jailolo telah turut membawa orang-orang Hitu berlayar ke Jawa dan belajar mengenai Islam di sana. Sekembalinya mereka: ‘lalu negeri Hitupun masuk iman kepada Allah dan nabi Mohammad serta agama rasulu’llah sallah’llahu ‘alaihi wa sallam’.
Seiring dengan perluasan Kerajaan Ternate, Islam turut masuk ke Ambon-Lease. Karena jalur perdagangan rempah-rempah dari Ternate ke Malaka semakin ramai, maka kedatangan orang-orang Jawa, termasuk yang membawa agama Islam ke Hitu juga tidak terelakkan. Masyarakat Hitu mulai berkenalan dengan Islam pada abad-abad itu (abad ke-14) dan karena Kerajaan Iha merupakan salah satu sekutu Ternate, maka terbentuklah Pan Islami antara Ternate-Hitu-Iha.
Ricklefs mengatakan bahwa Islam yang masuk ke Maluku dibawa oleh pedagang muslim Jawa dan Melayu. Gelar ‘sultan’ di Ternate dan Raja Tidore yang bernama Al-Mansur adalah bukti bahwa Islam turut mengubah tatanan pemerintahan lokal setempat, dan gelar ‘radja’ diperoleh dari kontak dengan India, sebab penguasa-penguasa setempat memandang India sebagai ‘pembimbing budaya’, namun dalam hal berdagang, lebih dekat dengan China.
Perjumpaan kerajaan-kerajaan di Maluku dengan kerajaan-kerajaan dari luar Maluku (mis. Jawa) ternyata tidak mengubah struktur politik di Maluku, sebab kehidupan politik tetap berlangsung seperti lazimnya, dan tidak ada perampasan kekuasaan anggota keluarga seperti yang kerap terjadi pada kerajaan-kerajaan di Malaka, dll.
Melihat relasi Ternate-Hitu-Iha menjadi penting selain untuk melihat bagaimana Islam masuk ke Lease, tetapi juga perlawanan komunitas agama suku terhadap kekuasaan Ternate yang bertendensi Islam. Hal ini bisa dilihat dalam pertempuran kerajaan-kerajaan di Lease dengan Ternate.
KEDUA: Komunitas di dan seputar Benteng
Pada saat masuknya Eropa ke Ternate dan Tidore, kontak kedua kerajaan ini dengan Hitu dan Banda telah lama berlangsung. Seperti cerita sejarah yang ada, pertentangan politik di Ternate dengan Portugis yang mendorong Portugis menjadikan Hitu (Ambon) sebagai pangkalannya. Namun relasi dengan Hitu yang kemudian terkoyak memaksa Portugis beralih ke Leitimor, melalui Hatiwii, dan selanjutnya membangun pangkalan armada laut dan benteng baru di Ambon.
Pola pembangunan benteng ini merupakan salah satu cara memaksimalkan kontrol politik dan ekonomi terhadap daerah-daerah penghasil rempah-rempah . Cara ini kemudian dipakai Belanda saat membangun instalasi militer di seputar Benteng. Pendekatan ini rupanya berjalan efektif di Ambon untuk mengatur produksi cengkeh di Pulau Ambon, Haruku, Saparua dan Nusalaut.
Sejak zaman Portugis, benteng sudah dibangun di Ternate, Tidore, dan sampai ke Ambon (Victoria). Pada zaman VOC, eksistensi Benteng Victoria dipertahankan, dan ada pula Benteng Middelburg yang dibangun di Passo. Di Leihitu terdapat juga Benteng Amsterdam (Hila), Rotterdam (Larike), dan Leiden (Hitu Lama). Sementara di Pulau Haruku, VOC membangun benteng Zeelandia (Haruku) dan Hoorn (Kariuw). Di Saparua terdapat benteng Duurstede (Saparua), Delft (Porto) , Holandia (Ouw), dan Velsen (Nolloth). Dan di Nusalaut terdapat benteng Berverwijk (Sila).
Di Ambon, di seputar benteng terdapat instalasi militer seperti yang kini tampak pada YonKav 5 – dulu Markas 733, Markas Brimob Air Besar Passo, dan Yonif Waiheru. Pola ini tidak kelihatan di Saparua, Haruku dan Nusalaut. Artinya tidak ada instalasi militer di sekitar benteng. Dengan demikian benteng-benteng itu berfungsi untuk: (a) mengkoordinasi perdagangan rempah-rempah; (b) memudahkan kontrol terhadap para raja/orangkaya/pati – juga untuk kepentingan dagang cengkeh. Sementara di Ambon, selain instalasi militer, juga terdapat perkampungan ‘kuli’, yaitu orang-orang Ambon yang dipekerjakan di Benteng dan tenaga pendayung kora-kora hongi. Kelas sosial yang lebih mapan adalah kaum ‘burger’ , kaum ‘mardijkers’ yang dalam hal tertentu setara dengan para ‘buerger’, kemudian komunitas di dalam Benteng yang adalah orang Eropa.
Dalam kaitan dengan sejarah gereja, komunitas benteng ini harus diberikan catatan tersendiri. Awalnya kekristenan dan pelayanan rohani [kristen] hanya ditujukan kepada para penghuni benteng yaitu orang Eropa yang adalah pegawai pemerintahan dan militer yang tinggal di tangsi atau instalasi militer di sekitar benteng. Lambat laun baru orang-orang seputar benteng yaitu para Inlandsche Burger dan Chinesche Burger . Orang Ambon lokal baru mengalami sentuhan rohani kristen setelah terbentuknya jemaat-jemaat Protestan di Leitimor. Saat itu baru kekristenan keluar dari benteng dan lingkungan elite masuk ke dalam komunitas setempat.
Karena corak benteng di Saparua, Haruku dan Nusalaut berbeda dari corak benteng di Ambon, maka otomatis pelayanan rohani di dalam benteng tidak pernah keluar dari lingkungan tersebut. Di sini kita patut berterima kasih kepada para Zending yang kemudian bekerja secara intens di jemaat-jemaat setempat. Mengenai misi para Zending kita bisa merekam beberapa nama yang sangat berjasa besar a.l: Joseph Kam, Heurnius, J. Akersloot, J.F. Bormeister, J. Starink, L. Lammers dan D. Müller (1821).
Di sisi lain, seiring dengan koordinasi penanaman cengkeh dan hongi yang semakin efektif melalui jalur Saparua, maka orang-orang benteng mulai terpola dengan sistem sosial seperti di Ambon. Namun perluasan perkebunan rempah-rempah di Saparua, Haruku, Nusalaut dan Banda, membuat muncul kelas elite baru yaitu para pemilik budak, tentu tidak lain adalah para burger tadi.
Enklaar mencatat bahwa:
Di Pulau Saparua ia [Joseph Kam ] bertemu dengan beberapa orang tuan dan nyonya yang sangat simpatik terhadap pemasukan orang-orang kafir itu. Tetapi para pemilik budak tidak selalu didorong oleh semangat pekejaran injil semata-mata. Sebab siapa yang tidak mau memasukkan budak-budaknya ke dalam agama Kristen, akan sangat kehilangan hormat orang kepadanya. Pada hampir setiap perjalanan keliling di beberapa jemaat ada sejumlah orang Arafuru dan Bugis dan budak-budak yang bermacam-macam asalnya harus dibaptiskan. Di Pulau Banda gereja memperoleh banyak anggota dari antara budak-budak di perkebunan rempah-rempah.
Karena itu benteng turut menciptakan kelas elite di dalam masyarakat, dan elite itu adalah elite kristen yang bukan hanya memandang rendah agama suku [kafir] melainkan juga memandang rendah penganutnya.
Bahkan dalam satu laporan tanggal 7 Juni 1828, yang disusun oleh Magistraat (Jaksa) mengenai kesaksian dua orang budak dari L. Schmidt de Haart, Asisten Residen Saparua-Haruku, yang sedang diadili dengan tuduhan mengadakan perdagangan budak secara tidak sah. Perdagangan budak pada waktu itu berpusat di Seram Timur. Budak yang diperdagangkan di sana dibawa oleh bajak laut. Selanjutnya menurut peraturan tahun 1825 semua orang yang berstatus budak harus dibebaskan dan perdagangan budak dilarang keras.
KETIGA: Relasi dengan Benteng
Dalam kaitan dengan fenomena ekonomi dan politik dalam konteks sejarah gereja di Lease, penting pula dicatat bagaimana reaksi orang-orang Lease terhadap kebijakan benteng yang tidak menguntungkan masyarakat, serta tentu tidak menguntungkan eksistensi kekristenan di jemaat-jemaat setempat.
Kebijakan menyatukan Governement der Molukken yang semula berpusat di Ternate; Gouvernement van Amboina berpusat di Ambon dan mencakup Maluku Tengah; serta Gouvernement van Banda berpusat di Banda dan mencakup Malra dan MBD; menjadi Gouvernement van Molukken yang berpusat di Ambon pada 1817, adalah suatu kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan semua jalur perdagangan rempah-rempah dan koordinasi pemerintahan pada satu tangan yakni Belanda.
Karena pusat pemerintahan dipegang sepenuhnya oleh Gubernur di Ambon, maka seluruh koordinasi pemerintahan berlangsung di Ambon. Ini membuat tingkat migrasi orang Lease, Maluku Tenggara, dan Ternate ke Ambon menjadi cukup tinggi. Hal mana turut menjadi alasan mengapa gereja di Ambon jauh lebih berkembang dari di daerah-daerah penghasil rempah-rempah.
Namun, posisi Haruku dalam saat itu cukup menentukan eksistensi pekabaran injil di Maluku. Dalam suatu perselisihan antara orang-orang Kaibobu dengan Pendeta Zending J. Akersloot, raja-raja di Haruku, Sameth dan Aboru menulis surat kepada Residen Haruku (12 November 1822) yang mengadukan tindakan raja Kaibobu mengusir Akersloot. Diadukan bahwa raja tidak suka kepada injil karena masih menganut agama suku, tetapi masyarakat bersedia menerima Akersloot. Hasilnya justru cukup menarik disimak, yakni atas Putusan Residen Haruku 25 Februari 1823 No. 467, raja Kaibobu diberhentikan dari jabatannya sebagai raja.
Struktur pemerintahan adat yang selama ini dikoordinasi melalui lumatau berubah secara drastis di zaman Belanda. Karena itu Gubernur di Ambon sangat berperan penting dalam mengatasi berbagai masalah di setiap negeri.
Beberapa bentuk masalah yang dialami negeri-negeri di Lease dan dilaporkan ke Gubernur di Ambon, a.l:
Pemberhentian 3 kepala soa : Keputusan Gubernur tertanggal 13 Januari 1865 No. 140 tentang pemberhentian 3 kepala soa dari negeri Oma (Pulau Haruku) yaitu: a). Benjamin Patikawa untuk soa Pattikawa; b). Hermanus Kaijhatu untuk soa Parij dan c). Abraham Hukom untuk soa Tunij, karena dituduh sebagai pemimpin huru-hara pada tanggal 29 Desember 1864, dan dihukum penjara 3 bulan dan pengangkatan a). Dominggos Kaijhatu sebagai kepala untuk soa Parij dan b). Daniel Hukom sebagai kepala untuk soa Tunij
Sistem peradilan: Landraad, yang diadakan untuk penduduk negeri (sudah ada sejak abad ke-17) – Gubernur Ambon sebagai ketua. Groote Landraad di setiap wilayah Asisten Residen (Saparua dan Hila). Kedua adalah Raad van Justitie di Ambon yang diketuai oleh Gubernur. Di Maluku Tengah ada dua instansi peradilan lain dan tidak termasuk dalam perkembangan sistem hukum Barat, yaitu Regentsraad: badan yang ketentuannya dijamin dalam Peraturan 1824, diketuai oleh Penguasa Negeri yang bersangkutan (Raja, Pati atau Orangkaya), dengan para kepala soa dan Tuagama (di negeri Kristen) atau Imam (di negeri Islam) sebagai anggotanya. Badan ini menangani perkara-perkara kecil, dalam hal perdatau maupun pidana landasan yang dipakai adalah adat. Sistem hukum dan peradilan tradisional kedua adalah Saniri yang rupanya hanya terdapat pada kalangan suku-suku Wemale dan Alune di Seram Barat yang menganggap dirinya termasuk Patasiwameten.
Contoh masalah pengaduan hukum: surat E.C. van Capelle, janda Johannes Salomon Kesaulya (Raja negeri Sirisori) yang maju bersama tentara Belanda di bawah pimpinan Mayor Beetjes pada saat mengerang pasukan Pattimura di Waisisil pada pertengahan bulan Mei 1817. Surat ini ditujukan kepada J.A. Neijs, Residen di Ambon dengan isi: pengaduan tentang perampasan harta milik almarhum suaminya di saat memuncak perang Pattimura. Barang yang disita itu adalah: pedang, obat senapan, pisau, teropong, uang, pakaian dan minuman anggur serta arak, dll. Perampasan itu dilakukan utusan Pattij Ouw pada 20 Mei.
Kontrol penduduk (razia) sudah terjadi pada 25 September 1829 – perintah dari Groote Landraad Ambon 25 September 1829 – ada desas-desus tentang akan meletusnya suatu pemberontakan oleh bekas pasukan Pattimura yang masih bersembunyi di perbukitan. Setelah meyakini hal itu ia mengumpulkan para penguasa desa dan memerintahkan agar melaporkan setiap orang yang tidak sah dalam desanya. Dari seorang yang ditawan ia mendapat kabar bahwa soldadu-soldadu Saparua di Ambonlah yang merupakan perencana pemberontakan itu.
KEEMPAT: Reaksi Terhadap Benteng
Sejarah gereja di Saparua tidak bisa dilepaskan dari pecahnya perang Pattimura. Saya tidak mengulasnya lagi karena telah ada dalam berbagai dokumen sejarah yang khusus tentang itu.
Selama satu tahun (1817-1818), aktifitas gereja yang selama ini dijalankan oleh Pendeta Joseph Kam pun mandeg. Ia bahkan harus kembali dari perjalanannya ke Saparua karena ada perang yang dikomandoi Kapitan Thomas Matulessy yang berhasil pula menghimpun kapitan-kapitan dari negeri Salam dan Sarane di Nusalaut dan Haruku.
Perjuangan merebut Benteng Duurstede adalah simbolisasi dari protes orang Lease terhadap kebijakan pemerintah (terutama di bidang ekonomi) yang memiskinkan orang-orang Lease. Di sisi inilah kita perlu memberi catatan kritis mengenai bagaimana sikap orang-orang Salam dan Sarane di Lease terhadap kolonialisme.
Ada faktor kesadaran lokal yang mampu membentuk suatu pemahaman dan sikap bersama untuk melawan kolonialisme. Kita melihat dalam masa itu tidak ada pemikiran dikotomi agama. Suatu pembelajaran positif yang bisa menjadi point kritik terhadap orientasi beragama di Maluku saat ini.
Perang Pattimura merupakan momentum yang menarik untuk menyimak kembali pemaknaan Kristen dan Islam di Lease [dan Maluku].
2.4. Gereja-gereja di Lease dalam Konteks Indonesia
Kini kita dituntut untuk melihat bagaimana eksistensi gereja-gereja di Lease dalam konteks Indonesia merdeka. Beberapa buku mengenai Lease sudah cukup baik memaparkan hal ini. Karena itu apa yang hendak diurai di sini hanyalah sebuah upaya membangun lagi kesadaran sejarah kita dengan melihat:
- Bagaimana Gereja di Lease bertumbuh dalam lingkungan kebudayaan setempat.
- Bagaimana Gereja di Lease dalam konteks pluralisme agama
- Bagaimana Gereja di Lease dalam konteks perubahan politik lokal, seiring dengan pemekaran Kecamatan
- Bagaimana Gereja di Lease membangun suatu jaringan kemitraan antarpulau dalam berbagai aspek: ekonomi, politik, sosial, budaya, dll
- Bagaimana Gereja di Lease turut menyikapi ketertinggalan masyarakat, kemiskinan, dll
Beta sadar bahwa point-point itu adalah pokok-pokok pikiran untuk dikembangkan dalam kerangka membangun suatu kesadaran sejarah baru di tengah konteks Indonesia. Suatu kesadaran sejarah bahwa kita bertumbuh dari basis-basis kultural yang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Apa yang selama ini menjadi debat Injil-Kebudayaan adalah suatu fenomena yang tidak usah sampai mengusik cara beragama kita. Sebaliknya harus selalu dilihat sebagai bagian dari dinamika pergumulan sejarah yang terus berubah ke depan.
Demikian yang sempat beta sampaikan!
3. Buku Rujukan:
Abdurahman, Paramitha, “The Wind, New Faces, New Forces”, dalam Paramitha R. Abdurachman, Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-jejak Kebudayaan Portugis di Indonesia, Jakarta: Obor dan LIPI, 2008
Abineno, J.L.Ch., Sejarah Apostolat di Indonesia II/1, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978
Alwi, Des, Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon, Jakarta: Dian Rakyat, 2005
Andaya, Leonard, The World of Maluku: Eastern Indonesia in Early Modern Period, Honolulu: University of Hawaii Press, 1993
Braudel, F., The Wheel of Commerce, terj. Silân Reynolds, Fontana, 1985
B.S.S.U, Dari Gunung Turun ke Pantai Sampai Djadinja Negeri Ullath, Culemborg, Holland: I.S.D.M, 1990
Chauvel, Richard, Nationalists, Soldiers and Separatists: The Ambonese Islands From Colonialism to Revolt, 1880-1950, Leiden: KITLV Press, 1990
Departemen P&K, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Sejarah Daerah Maluku, Jakarta: Dep.P&K, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, 1976/1977
Enklaar, I.H., Joseph Kam Rasul Maluku, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, edisi kedua, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003
Leirissa, R.Z., et.al (red.), Maluku Tengah di Masa Lampau: Gambaran Sekilas Lewat Arsip Abad Sembilan Belas, Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1982
Leirissa, R.Z., et.al., Ambonku doeloe, kini, esok, Ambon: Pemerintah Kota Ambon, cetakan pertama, Maret 2004
Manusama, Z.J., Hikayat Tanah Hitu, copyright, 1977
Menzies, Gavin, 1421 Saat China Menemukan Dunia, [terj. Tufel Najib Msyadad], Jakarta: Pusat Alvabet, September 2006
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi, cetakan II, 2005
Sanneh, Lamin, Encountering the West: Christianity and the Global Cultural Process, Maryknoll, New York: Orbis Books, 1993
Suantika, I Wayan, Berita Penelitian Arkheologi (Vol 1 No 1 Agustus 2005
Tjandrasasmita, Uka, “The Introduction of Islam and the Growth of Moslem Coastal Cities in the Indonesian Archipelago”, dalam Dynamics of Indonesian History, edited by. Haryati Soebadio & Carine A. du Marchie Sarvaas, North Holland Publ. Co., Amsterdam, 1978
Vlekke, Bernard H. M., Nusantara Sejarah Indonesia, Jakarta: KPG, cetakan kedua, Juni 2008
Wachterhauser, Brice R., “History and Language in Understanding”, dalam Hermeneutics and Modern Philosophy, edited by. Brice R. Wactherhauser, New York: State University of New York, 1986
Wairisal, L.D., Saparua, Kota Pahlawan Pattimura, dengan Kepulauan Lease dari Masa ke Masa,Jilid II, Yayasan Ina Hasalaut, cetakan pertama, Agustus 2005
Subscribe to:
Posts (Atom)
TALITA KUM
(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella Paduan Terompet Jemaat Rumahtiga di Rohua, Januari 2009 A. Perspektif Ibadah merupakan suatu aktifitas agama ...
-
Materi Khotbah Bahan Khotbah : Mazmur 72:1-11 Saudara-saudaraku, Tulisan dalam Mazmur 72:1-11(20), merupakan suatu hymne kepada keadilan dar...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella [Materi Ibadah Keluarga Perangkat Pelayan Jemaat Rumahtiga, 17 September 2013] Pengantar Tulisan ini...