Wednesday, May 27, 2009

Surat Terbuka dan Seruan dari Pemimpin-pemimpin Agama Islam

Sebuah Persamaan (Kalimat Bersama) di Antara Kami dan Kamu
(Ringkasan dan Ikhtisar)

Kaum Muslim dan Nasrani bersama-sama berjumlah lebih dari setengah populasi dunia. Tanpa perdamaian dan keadilan antara kedua komunitas agama ini, tidak ada perdamaian yang berarti di dunia. Masa depan dunia ini tergantung pada perdamaian antar kaum Muslim dan Nasrani.

Dasar dari perdamaian dan pengertian ini sudah ada. Yaitu bagian dari prinsip yang sangat mendasar dari kedua kepercayaan: kasih kepada Allah yang Maha Esa dan kasih kepada sesama. Prinsip-prinsip ini ditemukan berulang-ulang di dalam teks-teks suci Islam dan Kekristenan. Kesatuan Allah, pentingnya kasih kepada Dia, dan pentingnya kasih kepada sesama dengan demikian menjadi dasar yang sama dalam Islam dan Kekristenan. Yang berikut hanyalah beberapa contoh:

Tentang Kesatuan Allah, Allah berkata dalam Kitab Suci Al Qur’an: Katakanlan (ya Muhammad): Dialah Allah yang Mahaesa. Allah yang dituju (untuk meminta hayat) (Al-Ikhlas, 112:1-2). Mengenai pentingnya kasih kepada Allah, Allah berkata dalam Kitab Suci Al Qur’an: Sebutlah, nama Tuhanmu dan berbaktilah kepadaNya sebenar-benarnya berbakti (Al-Muzzammil, 73:8). Mengenai pentingnya kasih kepada sesama, Nabi Muhammad SAW berkata: “Tidak seorangpun dari kamu memiliki iman sampai kamu mengasihi sesamamu sebagaimana kamu mengasihi dirimu sendiri.”

Dalam Perjanjian Baru, Yesus Kristus berkata: “Hukum yang terutama ialah: ‘Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Inilah hukum yang pertama’. Dan hukum yang kedua ialah: ‘Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri’. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum.” (Mark 12:29-31)

Dalam Kitab Suci Al Qur’an, Allah yang Maha Tinggi memerintahkan kaum Muslim untuk memberikan seruan kepada kaum Nasrani (dan Yahudi - Ahli Kitab):

Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah kamu kepada kalimat yang bersamaan antara kami dan antara kamu, (yaitu) bahwa tidak ada yang kita sembah kecuali Allah dan tiada kita mempersekutukanNya dengan sesuatupun dan tiada setengah kita mengangkat yang lain menjadi Tuhan, selain dari Allah. Kalau mereka berpaling, katakanlah kepadanya: Jadi saksilah kamu bahwa kami orang-orang Islam. (Aal ‘Imran 3:64)

Kata-kata: tiada kita mempersekutukanNya dengan sesuatupun berhubungan dengan Kesatuan Allah dan kata-kata: tiada yang kita sembah kecuali Allah berhubungan dengan sungguh-sungguh mengasihi Allah. Oleh sebab itu semua kata tersebut berhubungan dengan Hukum yang Terutama dan Terbesar. Menurut salah satu tafsir paling tua dan paling berwenang di atas Kitab Suci Al Qur’an kata-kata: tiada setengah kita mengangkat yang lain menjadi Tuhan selain dari Allah, berarti ‘bahwa tidak seorang pun dari kita boleh mematuhi yang lain, sehingga tidak taat pada apa yang telah diperintahkan Allah’. Inilah berhubungan dengan Hukum Kedua, karena di mana keadilan dan kemerdekaan dalam agama merupakan sebuah bagian penting dari mengasihi sesama.

Oleh sebab itu untuk mentaati Kitab Suci Al Qur’an kami sebagai kaum Muslim mengundang kaum Nasrani untuk berkumpul bersama kami berdasarkan apa sama di antara kita, yang juga merupakan hal terpenting bagi iman dan amalan hidup kita: Dua Hukum tentang kasih.


Dengan Nama Allah, Yang Maha Pengasih, Penyayang
Dan semoga damai dan berkat ada pada Nabi Muhammad

Sebuah Persamaan (Kalimat Bersama) di antara Kami dan Kamu
Dengan Nama Allah, Yang Maha Pengasih, Penyayang,

Serulah (manusia) ke jalan (agama) Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan pengajaran yang baik, dan berbantahlah (berdebatlah) dengan mereka dengan (jalan) yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui orang-orang yang sesat dari jalanNya dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
(Kitab Suci Al Qur’an, Al-Nahl, 16:125)

(I) KASIH KEPADA ALLAH

KASIH KEPADA ALLAH DALAM ISLAM

Kesaksian Iman

Inti kepercayaan dalam Islam terdiri dari dua kesaksian iman atau Shahadat i, yang menyatakan bahwa: Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah. Dua Kesaksian ini adalah hal-hal mendasar dalam Islam. Orang yang menyaksikannya adalah seorang Muslim; orang yang menolaknya bukanlah seorang Muslim. Lebih dari itu, Nabi Muhammad SAW mengatakan: Ingatan yang terbaik adalah: ‘tidak ada Tuhan selain Allah’….ii

Hal Terbaik yang Pernah Dikatakan Semua Nabi-nabi

Memperluas arti ingatan yang terbaik tersebut, Nabi Muhammad SAW juga berkata: Hal terbaik yang sudah saya katakan – diri saya sendiri, dan nabi-nabi yang datang sebelum saya- adalah: ‘Tidak ada Tuhan selain Allah, Dia Esa, Dia tidak memiliki sekutu, Dia yang memerintah dan Dia adalah pujian dan Dia yang berkuasa atas segala sesuatu’iii. Kalimat-kalimat sesudah Kesaksian Iman yang Pertama semuanya diambil dari Kitab Suci Al Qur’an; masing-masing menjelaskan suatu cara mengasihi Allah, dan ketaatan kepadaNya.

Kata-kata: Dia Esa, mengingatkan kaum Muslim bahwa hati.iv mereka harus diserahkan Allah yang Esa, karena Allah berkata dalam Kitab Suci Al Qur’an: Allah tidak menjadikan dua buah hati dalam dada seorang laki-laki (Al-Ahzab, 33:4). Allah itu Absolut dan oleh karena itu ketaatan kepadaNya harus sungguh-sungguh tulus.

Kata-kata: Dia tidak memiliki sekutu, mengingatkan Kaum Muslim bahwa mereka harus mengasihi Allah secara khusus, tanpa saingan di dalam jiwa mereka, karena Allah berkata dalam Kitab Suci Al Qur’an: Di antara manusia ada yang mengambil lain daripada Allah beberapa sekutu (berhala), sedang mereka itu mengasihinya, seperti mengasihi Allah. Tetapi orang-orang yang beriman amat kasih kepada Allah.…. (Al-Baqarah, 2:165). Tentu saja, …..kemudian menjadi lembut kulit dan hati mereka untuk mengingat Allah…. (Az-Zumar, 39:23).

Kata-kata: Dialah yang memerintah, mengingatkan kaum Muslim bahwa pikiran atau pengertian mereka harus secara menyeluruh diserahkan kepada Allah, karena memerintah tepatnya adalah segala sesuatu dalam penciptaan atau keberadaan dan segala sesuatu yang dapat dipahami pikiran. Dan semua adalah di Tangan Allah, karena Allah berkata dalam Kitab Suci Al Qur’an: Maha suci (Allah) yang di tanganNya kerajaan (pemerintahan), dan Dia Mahakuasa atas tiap-tiap sesuatu. (Al-Mulk, 67:1).

Kata-kata: Dia adalah pujian mengingatkan kaum Muslim bahwa mereka harus bersyukur kepada Allah dan mempercayaiNya dengan semua perasaan dan emosi mereka. Allah mengatakan dalam Kitab Suci Al Qur’an:

Demi, kalau engkau tanyakan kepada mereka: Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan, niscaya mereka menjawab: Allah. Maka ke manakah mereka berpaling? Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendakiNya dan menyempitkannya bagi mereka. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui tiap-tiap sesuatu. Demi, kalau engkau tanyakan kepada mereka: Siapakah yang menurunkan air dari langit, lalu dihidupkanNya bumi yang telah mati, niscaya mereka menjawab: Allah. Katakanlan: Puj-pujian bagi Allah (atas pengakuan kamu itu). Tetapi kebanyakan mereka tiada memikirkan. (Al-‘Ankabut, 29:61-63)v

Untuk semua rahmat ini dan lebih lagi, manusia harus selalu sungguh-sungguh bersyukur.

Allah yang menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air dari langit, lalu dikeluarkanNya dengan air itu buah-buahan untuk rezekimu, dan dimudahkanNya kapal, supaya berlayar di lautan dengan perintahNya, begitu pula dimudahkanNya untukmu sungai-sungai. DitundukkanNya untukmu matahari dan bulan yang beredar keduanya, serta ditundukkanNya pula untukmu siang dan malam. DiberikanNya kepadamu tiap-tiap apa yang kamu minta. Jika kamu menghitung nikmat Allah, tiadalah sanggup kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu amat aniaya dan banyak ingkar (kafir nikmat). (Ibrahim, 14:32-34)vi

Memang, Al Fatihah – yang merupakan bab terbesar dalam Kitab Suci Al Qur’an vii— dimulai dengan pujian kepada Allah:

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Penyayang, (saya baca).
Segala puji bagi Allah,Tuhan (yang mendidik) semesta alam.
Yang Mahapengasih, Penyayang.
Lagi mempunyai (penguasa) hari pembalasan.
Hanya Engkaulah (ya Allah) yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami minta pertolongan.
Tunjukilah (hati) kami ke jalan yang lurus.
Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepada mereka, sedang mereka itu bukan orang-orang yang dimurkai dan bukan pula orang-orang yang sesat. (Al Fatihah, 1 :1-7)

Al Fatihah, yang diucapkan setidaknya tujuh belas kali setiap hari oleh kaum Muslim dalam shalat wajib, mengingatkan kami tentang pujian dan rasa syukur yang layak bagi Allah karena SifatNya yang Maha Pengasih dan Penyayang, tidak hanya karena Kasih dan SayangNya kepada kami dalam hidup ini, tetapi akhirnya, pada Hari Pembalasan viii ketika hal terpenting dan ketika kami berharap untuk diampuni atas dosa-dosa kami. Itulah sebabnya diakhiri dengan doa-doa untuk karunia dan tuntunan, sehingga kami mungkin dapat mencapai –melalui apa yang dimulai dengan pujian dan rasa syukur- keselamatan dan kasih, karena Allah berkata dalam Kitab Suci Al Qur’an: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan yang baik-baik, Yang Maha Pengasih akan mengadakan bagi mereka (perasaan) kasih sayang (sesamanya).. (Maryam, 19:96)

Kata-kata: dan Dialah yang berkuasa atas sela sesuatu, mengingatkan kaum Muslim bahwa mereka harus sadar akan Kemahakuasaan Allah dan oleh karena itu takut akan Allahix. Allah berkata dalam Kitab Suci Al Qur’an:

Bulan haram (dibalas) dengan bulan haram dan kehormatan itu berbalasan juga. Barangsiapa yang aniaya kepadamu, maka boleh kamu aniaya kepadanya, seumpama keaniayaannya kepadamu dan takutlah kepada Allah dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang taqwa. Belanjakan (hartamu) pada jalan Allah dan janganlah kamu jatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan dan berbuat baiklah. Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah, 2:194-5)…
…..
Takutlah kepada Allah dan ketahuilah bahwasanya Allah amat keras siksaanNya.. (Al-Baqarah, 2:196)

Melalui takut akan Allah, seharusnya tindakan, keperkasaan dan kekuatan kaum Muslim diperuntukkan seluruhnya bagi Allah. Allah berkata dalam Kitab Suci Al Qur’an:

…Ketahuilah, bahwa Allah bersama orang-orang yang taqwa. (At-Taubah, 9:36)

Hai orang-orang beriman, mengapa kamu, jika dikatakan orang kepadamu: “Berperanglah kamu pada jalan Allah” lalu kamu berlambat-lambat (duduk) di tanah? Adakah kamu suka dengan kehidupan di dunia ini dari pada akhirat? Maka tak adalah kesukaan hidup di dunia, diperbandingkan dengan akhirat, melainkan sedikit sekali.
Jika kamu tiada mau berperang, niscaya Allah menyiksamu dengan adzab yang pedih dan Dia akan menukar kamu dengan kaum yang lain, sedang kamu tiada mudharat kepada Allah sedikitpun. Allah Mahakuasa atas tiap-tiap sesuatu. (At-Taubah, 9:38-39)

Kata-kata: Dia yang memerintah dan Dia adalah pujian dan Dia berkuasa atas segala sesuatu, ketika diartkan secara menyeluruh, mengingatkan kaum Muslim bahwa sama seperti segala sesuatu yang diciptakan memuliakan Allah, segala sesuatu yang ada dalam jiwa mereka harus diperuntukkan bagi Allah:

Tasbih kepada Allah apa-apa yang di langit dan apa-apa yang di bumi, bagiNya kerajaan dan bagiNya puji-pujian, dan Dia Mahakuasa atas tiap-tiap sesuatu. (Al-Taghabun, 64:1)

Karena tentu saja, segala sesuatu yang ada di dalam jiwa manusia diketahui oleh, dan bertanggungjawab kepada, Allah:

Dia mengetahui apa-apa yang di langit dan di bumi, dan mengetahui apa-apa yang kamu rahasiakan dan apa-apa yang kamu nyatakan.. Allah Maha Mengetahui apa-apa yang dalam dada. (Al-Taghabun, 64:4)

Seperti yang dapat kita lihat dari semua bagian yang dikutip di atas, dalam Kitab Suci Al Qur’an jiwa-jiwa dilukiskan memiliki tiga kemampuan dasar: pikiran atau inteligen, yang dibuat untuk mengerti kebenaran, keinginan yang dibuat untuk kebebasan memilih, dan perasaan yang dibuat untuk mengasihi yang baik dan indahx. Dengan cara lain, kita dapat mengatakan bahwa jiwa manusia mengetahui dengan cara mengerti kebenaran, dengan cara menginginkan kebaikan dan melalui emosi yang saleh dan merasakan kasih untuk Allah. Selanjutnya di dalam bab yang sama dari Kitab Suci Al Qur’an (seperti dikutip di atas), Allah memerintahkan manusia untuk takut kepadaNya sebesar mungkin, dan untuk mendengarkan (dan dengan demikian mengerti kebenaran); untuk taat (dan dengan demikian mengehendaki yang baik), dan untuk menggunakan (dan dengan demikian berlaku kasih dan berbudi luhur), yang, kataNya, adalah lebih baik bagi jiwa kita. Dengan melibatkan segala sesuatu di dalam jiwa kami –kemampuan dalam pengetahuan, kehendak dan kasih- kami dapati disucikan dan mencapai keberhasilan utama:

Takutlah kamu kepada Allah sekadar tenagamu dan dengarkanlah dan ikutilah dan berdermalah, niscaya lebih baik bagi dirimu. Barangsiapa yang memelihara dirinya dari kebakhilan, maka mereka yang menang. (Al-Taghabun, 64:16)

Ringkasannya dengan demikian, jika seluruh kalimat Dia Esa, Dia tidak memiliki sekutu, Dia yang memerintah, dan Dia adalah pujian dan Dia berkuasa atas segala sesuatu ditambahkan kepada kesaksian iman –Tidak ada Tuhan selain Allah- itu ingatkan kaum Muslim bahwa hati mereka, jiwa individual mereka dan semua kemampuan dan kekuatan jiwa (atau sesederhananya seluruh hati dan jiwa mereka) harus secara total diserahkan dan dilekatkan kepada Allah. Karena itulah Allah berkata kepada Nabi Muhammad SAW dalam Kitab Suci Al Qur’an:

Katakanlah: “Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku semuanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Tiada bagiNya sekutu dan dengan demikian aku disuruh dan aku orang yang mula-mula Islam (tunduk kepada Allah)”. Katakanlah: “Apakah patut kucari Tuhan, selain daripada Allah? Padahal Dia Tuhan dari tiap-tiap sesuatu? Tiadalah usaha masing-masing orang, melainkan atas dirinya. Tiadalah orang berdosa akan memikul dosa orang yang lain….. “(Al-An’am, 6:162-164)

Ayat-ayat ini mencontohkan penyerahan Nabi Muhammad SAW yang menyeluruh dan sepenuhnya kepada Allah. Karena itu dalam Kitab Suci Al Qur’an Allah memerintahkan kaum Muslim yang benar-benar mengasihi Allah untuk mengikutu teladan ini, agar sebagai balasannya dikasihixii oleh Allah.

Katakanlah: Jika kamu mengasihi Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kamu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun, lagi Penyayang”. (Aal ‘Imran, 3:31)

Kasih kepada Allah dalam Islam oleh sebab itu adalah bagian dari ketaatan menyeluruh dan sepenuhnya kepada Allah; itu bukan hanya sebuah emosi yang cepat berlalu dan terpisah. Seperti dapat dilihat di atas, Allah memerintahkan di dalam Kitab Suci Al Qur’an: Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku semuanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Tiada bagiNya sekutu. Panggilan untuk sepenuhnya taat dan melekat pada hati dan jiwa Allah, jauh dari sekedar sebuah panggilan untuk sebuah emosi atau sebuah suasana hati saja, nyatanya merupakan sebuah perintah yang mengharuskan kasih kepada Allah yang mencakup segala sesuatu, konstan dan aktip. Itu menuntut sebuah kasih di mana hati spiritual paling dalam dan keselurahan jiwa – dengan inteligen, kehendak dan perasaannya- berpartisipasi melalui ketaatan.

Tiada Ada Sesuatu pun yang Mendatangkan Hal yang Lebih Baik

Kita sudah melihat bagaimana kalimat yang penuh berkah: Tidak ada Tuhan selain Allah, Dia Esa, Dia tidak memiliki sekutu, Dialah Yang memerintah dan Dia adalah pujian dan Dia berkuasa atas segala sesuatu - yang merupakan hal yang pernah diucapkan semua nabi –menjelaskan apa yang tersirat dalam ingatan terbaik (Tidak ada Tuhan selain Allah) dengan cara menunjukkan apa yang diwajibkan dan diperlukan, dalam hal ketaatan. Masih perlu dikatakan bahwa formula yang penuh berkah itu sendiri merupakan sebuah doa yang suci – semacam perpanjangan dari Kesaksian iman Pertama (Tidak ada Tuhan selain Allah)- pengulangan ritual yang dapat menghadirkan, melalui kasih karunia Allah, beberapa sikap ketaatan yang disyaratkannya, yaitu, mengasihi dan taat kepada Allah dengan sepenuh hati, seluruh jiwa, seluruh pikiran, seluruh keinginan atau kekuatan dan seluruh perasaan seseorang. Oleh sebab itu Nabi Muhammad SAW memerintahkan ingatan ini dengan mengatakan:

Dia yang mengucapkan: ‘Tidak ada Tuhan selain Allah, Dia Esa, Dia tidak memiliki sekutu, Dia yang memerintah dan Dia adalah pujian dan Dia berkuasa atas segala sesuatu’ seratus kali sehari, bagi mereka hal itu sama dengan memerdekakan sepuluh budak, dan seratus perbuatan baik ditulis bagi mereka dan seratus perbuatan jahat dihapuskan, dan bagi merekalah perlindungan terhadap iblis untuk hari itu sampai malamnya. Dan tidak ada yang menawarkan apa pun yang lebih baik dari itu, kecuali seseorang yang melakukan lebih dari itu.xiii

Dengan kata lain, pengingat yang penuh berkah: Tiada Tuhan selain Allah, Dia Esa, Dia tidak memiliki sekutu, Dia yang memerintah dan Dia adalah pujian dan Dia yang berkuasa atas segala sesuatu, tidak hanya mengharuskan dan menyiratkan bahwa kaum Muslim harus secara sungguh-sungguh taat kepada Allah dan mengasihi Dia dengan sepenuh hati dan seluruh jiwa mereka dan segala sesuatu yang ada di dalam diri mereka, tetapi menyediakan cara, seperti kalimat awal (pengakuan iman) – dengan cara sering mengulanginyaxiv- agar mereka dapat merealisasikan kasih ini dengan seluruh keberadaan mereka.

Allah mengatakan dalam salah satu pewahyuan paling awal dalam Kitab Suci Al Qur’an: Sebutlah nama Tuhanmu dan berbaktilah kepadaNya sebenar-benarnya berbakti. (Al-Muzzammil, 73:8).

KASIH KEPADA ALLAH ADALAH HUKUM YANG TERUTAMA DAN TERBESAR DI DALAM ALKITAB

Shema dalam Kitab Ulangan (6:4-5), suatu bagian penting dalam Perjanjian Lama dan liturgi Yahudi, mengatakan: Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.xv

Demikian juga dalam Perjanjian Baru, ketika Yesus Kristus, Sang Mesias, ditanya mengenai Hukum yang Terutama, Ia jawab:

Ketika orang-orang Farisi mendengar, bahwa Yesus telah membuat orang-orang Saduki itu bungkam, berkumpullah mereka dan seorang dari mereka, seorang ahli Taurat, bertanya untuk mencobai Dia: “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” Jawab Yesus kepadanya: Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” (Mattius 22:34-40)

Dan juga:

Lalu seorang ahli Taurat, yang mendengar Yesus dan orang-orang Saduki bersoal jawab dan tahu, bahwa Yesus memberi jawab yang tepat kepada orang-orang itu, datang kepadaNya dan bertanya: “Hukum manakah yang paling utama?” Jawab Yesus: “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.” (Markus 12:28-31)

Firman untuk sepenuhnya mengasihi Allah dengan demikian adalah Hukum yang Pertama dan yang Terutama dari Alkitab. Memang, hal tersebut dapat ditemukan di banyak bagian lain di seluruh Alkitab termasuk: Ulangan 4:29, 10:12, 11:13 (juga bagian dari Shema), 13:3, 26:16, 30:2, 30:6, 30:10; Yosua 22:5; Markus 12:32-33 dan Lukas 10:27-28.

Walaupun begitu di berbagai bagian di dalam seluruh Alkitab, dinyatakan dengan bentuk dan versi yang sedikit berbeda. Sebagai contoh, dalam Mattius 22:37 (Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu), kata Yunani untuk “hati” adalah kardia, kata untuk “jiwa” adalah psyche, dan kata untuk “pikiran” adalah dianoia. Versi dalam Markus 12:30 (Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu) kata “kekuatan” ditambahkan untuk tiga hal yang disebut sebelumnya, menerjemahkan kata Yunani ischus.

Kata-kata ahli Taurat dalam Lukas 10:27 (yang ditegaskan oleh Yesus Kristusdalam Lukas 10:28) berisi empat istilah yang sama seperti dalam Markus 12:30. Kata-kata ahli Taurat dalam Markus 12:32 (yang disetujui oleh Yesus Kristus dalam Mark 12:34) berisi juga tiga istilah tersebut: kardia (“hati”), dianoia (“pikiran”), dan ischus (“kekuatan”).

Dalam Shema di Ulangan 6:4-5 (Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan kekuatanmu). Dalam bahasa Ibrani kata untuk “hati” adalah lev, kata untuk “jiwa” adalah nefesh, dan kata untuk “kekuatan” adalah me’od.

Dalam Yosua 22:5, bangsa Israel diperintahkan oleh Yosua sebagai berikut untuk mengasihi Allah dan taat kepadaNya sebagai berikut:
“Hanya, lakukanlah dengan sangat setia perintah dan hukum, yang diperintahkan kepadamu oleh Musa, hamba TUHAN itu, yakni mengasihi TUHAN, Allahmu, hidup menurut segala jalan yang ditunjukkanNya, tetap mengikuti perintahNya, berpaut padaNya dan berbakti kepadaNya dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu” (Joshua 22:5)

Dengan demikian apa yang sama-sama dimiliki semua versi ini -walaupun ada perbedaan antara bahasa Ibrani Perjanjian Lama, kata-kata asli Yesus Kristus dalam bahasa Aram, dan bahasa Yunani yang awalnya digunakan untuk Perjanjian Baru- adalah perintah hukum untuk sepenuhnya mengasihi Allah dengan hati dan jiwa seseorang dan untuk sepenuhnya taat kepadaNya. Inilah Hukum yang Pertama dan Terutama untuk manusia.

Dengan menyoroti apa yang kita lihat sebagai sesuatu yang penting disiratkan dan diungkapkan oleh perkataan Nabi Muhammad SAW yang penuh berkah: ‘Hal terbaik yang sudah saya katakan –diri saya sendiri, dan nabi-nabi yang datang sebelum saya- adalah: ‘Tidak ada Tuhan selain Allah, Dia Esa, Dia tidak memiliki sekutu, Dia yang memerintah dan Dia adalah pujian dan Dia berkuasa atas segala sesuatuxvi, kita sekarang mungkin mengerti kata-kata ‘Hal terbaik saya katakan –diri saya sendiri, dan nabi-nabi yang datang sebelum saya’ sebagai menyamakan formula yang penuh berkah ‘Tidak ada Tuhan selain Allah, Dia Esa, Dia tidak memiliki sekutu, Dia yang memerintah dan Dia adalah pujian dan Dia berkuasa atas segala sesuatu’ secara tepat dengan ‘Hukum yang Pertama dan Terutama’ untuk mengasihi Allah dengan seluruh hati dan jiwa seseorang, seperti ditemukan di berbagai bagian di dalam Alkitab. Maksudnya untuk menyatakan, dengan kata-kata lain bahwa Nabi Muhammad SAW mungkin, melalui inspirasi, menyatakan kembali dan menyinggung Hukum Alkitab yang Terutama. Allah tahu yang terbaik, tetapi jelas kita telah melihat kesamaan mereka yang efektip dalam arti. Lebih dari itu, kita juga sudah tahu (seperti yang dapat dilihat di catatan akhir), bahwa kedua formula memiliki persamaan lain yang luar biasa: cara mereka muncul dalam beberapa versi berbeda, di mana semuanya, walaupun begitu, menekankan keutamaan kasih dan ketaatan menyeluruh kepada Allah xvii.

(II) KASIH KEPADA SESAMA MANUSIA

KASIH KEPADA SESAMA MANUSIA DALAM ISLAM

Ada banyak perintah dalam Islam mengenai perlunya dan sangat pentingnya kasih untuk -dan belas kasihan kepada- sesama. Kasih kepada sesama adalah bagian yang penting dan integral dalam iman kepada Allah dan kasih untuk Allah, karena dalam Islam tanpa kasih kepada sesama tidak ada iman yang benar kepada Allah dan tidak ada kebenaran. Nabi Mohammad SAW mengatakan: “Tidak ada seorang dari kamu memiliki iman sampai kamu mengasihi saudaramu sebagaimana kamu mengasihi dirimu sendiri.”xviii Dan: “Tidak seorang pun dari kamu memiliki iman sampai kamu mengasihi sesamamu sebagaimana kamu mengasihi dirimu sendiri.”xix

Namun demikian, empati dan simpati kepada sesama -dan bahkan doa formal- tidaklah cukup. Mereka harus disertai oleh kemurahan dan pengorbanan diri. Allah berkata dalam Kitab Suci Al Qur’an:

Bukalah kebaikan, bahwa kamu hadapkan mukamuxx arah ke Timur dan ke Barat; tetapi yang kebaikan itu ialah orang beriman kepada Allah, hari yang kemudian, malaikat-malaikat dan kitab-kitab dan nabi-nabi; dan dia memberikan harta, yang dikasihinya kepada karib kerabatnya dan anak-anak yatim dan orang-orang miskin dan orang berjalan, orang-orang yang meminta, dan untuk memerdekakan hamba sahaja; mendirikan sembahyang, memberikan zakat dan menepati janji dan berhati sabar atas kemiskinan, kemelaratan dan ketika peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang taqwah. (Al-Baqarah 2:177)

Dan juga:
Kamu tiada akan mendapat kebajikan kecuali kalau kamu nafkahkan sebagian barang yang kamu kasihi. Barang sesuatu yang kamu nafkahkan, sungguh Allah Mahamengetahuinya. (Al Imran, 3:92)

Tanpa memberikan kepada sesama apa yang kita sendiri kasihi, kita tidak benar-benar mengasihi Allah.

KASIH KEPADA SESAMA DALAM ALKITAB

Kita sudah menyebutkan kata-kata Mesias, Yesus Kristus, tentang hal yang sangat penting, menjadi nomor dua hanya setelah kasih kepada Allah, mengenai kasih kepada sesama:

Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan para nabi. (Matthew 22:38-40)

Dan:
Dan hukum yang kedua ialah: ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri’. Tidak ada hukum lain dan lebih utama dari pada kedua hukum ini. (Mark 12:31)

Hanya masih perlu dicatat bahwa hukum ini juga dapat ditemukan dalam Perjanjian Lama:
Janganlah engkau membenci saudaramu di dalam hatimu, tetapi engkau harus berterus terang menegor orang sesamamu dan janganlah engkau mendatangkan dosa kepada dirimu karena dia. Janganlah engkau menuntut balas dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN. (Imamat 19:17-18)

Oleh karena itu Hukum Kedua, seperti Hukum Pertama, mengharuskan kemurahan dan pengorbanan diri, dan pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.


(III) SAMPAI PADA SEBUAH PERSAMAAN (PADA KALIMAT BERSAMA) DI ANTARA KAMI DAN KAMU
Sampai pada sebuah Persamaan (Kalimat Bersama)!

Walaupun Islam dan Kekristenan jelas merupakan agama-agama yang berbeda – dan walaupun tidak mungkin memperkecil beberapa perbedaan formal mereka- jelas bahwa Kedua Hukum yang Terutama adalah sebuah arena dengan dasar bersama dan sebuah mata rantai antara Al Qur’an, Taurat dan Perjanjian Baru. Yang menjadi pengantar Dua Hukum dalam Taurat dan Perjanjian Baru, dan yang menjadi sumber mereka, adalah Kesatuan Allah – bahwa hanya ada satu Allah. Karena Shema dalam Taurat, dimulai: (Ulangan 6:4) Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN, Allah kita, TUHAN itu Esa! Demikian juga Yesus mengatakan: (Markus 12:29) “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan, Allah kita Tuhan itu esa. Demikian juga Allah mengatakan dalam dalam Kitab Suci Al Qur’an: Katakanlah (ya Muhammad): Dialah Allah yang Mahaesa. Allah yang dituju (untuk meminta hajat). (Al Ikhlas, 112:1-2). Oleh karena itu Kesatuan Allah, mengasihi Dia, dan mengasihi sesama membentuk suatu dasar yang sama di mana Islam dan Kekristenan (dan Yahudi) ditemukan.

Tidak bisa lain sejak Yesus mengatakan: (Mattius 22:40) “Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi”. Lebih dari itu, Allah menegaskan dalam Kitab Suci Al Qur’an bahwa Nabi Muhammad SAW tidak membawa sesuatu yang baru secara fundamental dan mendasar:
Apa-apa yang dikatakan orang kepada engkau (ya Muhammad), tidak lain, hanya (seperti) apa-apa yang telah dikatakan orang kepada rasul-rasul sebelum engkau. (Fussilat 41:43). Dan:
Katakanlah: Aku bukan perkara baru di antara rasul-rasul, dan tidak aku tahu apa yang akan diperbuat (Allah) dan terhadapmu. Aku tiada mengikut, melainkan apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tiada lain, hanya pemberi peringatan yang terang,.(Al-Ahqaf, 46:9). Oleh sebab itu juga Allah di dalam Kitab Suci Al Qur’an menegaskan bahwa kebenaran kekal yang sama mengenai Kesatuan Allah, perlunya kasih dan ketaatan menyeluruh kepada Allah (dan dengan demikian menjauhkan diri dari ilah yang palsu), dan perlunya kasih kepada sesama manusia (dan dengan demikian keadilan), mendasari semua agama yang benar:

Sesungguhnya telah kami utus seorang Rasul kepada tiap-tiap umat: Hendaklah kamu sembah Allah dan jauhilah thaghut (berhala)”. Maka di antara mereka ditunjuki Allah dan di antara mereka ada yang berhak mendapat kesesatan. Maka berjalanlah kamu di muka bumi, lalu perhatikanlah, bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (Allah)! (Al-Nahl, 16:36)

Sesungguhnya telah Kami utus beberapa rasul Kami dengan (membawa) keterangan dan Kami turunkan serta mereka kitab dan neraca (keadilan), supaya berdiri manusia di atas keadilan……….(Al-Hadid, 57:25)

Sampai pada sebuah Persamaan (Kalimat Bersama)!

Di dalam Kitab Suci Al Qur’an, Allah Yang Maha Tinggi mengatakan kepada kaum Muslim untuk memberikan seruan berikut kepada kaum Nasrani (dan Yahudi – ahli Kitab):
Katakanlah: Hai ahli kitab, marilah kamu kepada kalimat yang bersamaan antara kami dengan kamu, (yaitu) bahwa tiada yang kita sembah kecuali Allah, dan tiada kita mempersekutukanNya dengan sesuatupun dan tiada setengah kita mengangkat yang lain menjadi Tuhan, selain, dari Allah. Kalau mereka berpaling, kamu katakanlan (kepadanya): Jadi saksilah, bahwa kami orang-orang Islam. (Aal ‘Imran 3:64)

Jelas, kata-kata yang penuh berkah: tiada kita mempersekutukanNya dengan sesuatupun berhubungan dengan Kesatuan Allah. Jelas juga, tidak menyembah yang selain dari Allah, berhubungan dengan ketaatan menyeluruh kepada Allah dan dari sanalah Hukum yang Pertama dan Terutama. Menurut salah satu tafsir Kitab Suci Al Qu’ran - Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an dari Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al-Tabari (wafat 310 H. / 923 M.)—bahwa tiada setengah kita mengangkat yang lain menjadi Tuhan, selain dari Allah, berarti ‘bahwa tidak seorangpun dari kita boleh mematuhi yang lain sehingga tidak taat pada apa yang telah diperintahkan Allah, juga tidak memuliakan mereka dengan sujud kepada mereka dengan cara yang sama mereka sujud kepada Allah’. Dengan kata-kata lain kaum Muslim, Nasrani dan Yahudi masing-masing harus bebas mengikuti apa yang diperintahkan Allah kepada mereka dan tidak harus ‘sujud di hadapan raja-raja dan yang sama seperi raja’xxi; karena Allah berkata di bagian lain di dalam Kitab Suci Al Qur’an: Tidak ada paksaan dalam agama…. (Al-Baqarah, 2:256). Ini jelas berhubungan dengan Hukum Kedua dan dengan mengasihi sesama di mana keadilanxxii dan kemerdekaan dalam agama merupakan sebuah bagian yang penting. Allah berkata dalam Kitab Suci Al Qur’ an:

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu, karena agamamu dan tiada pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang berlaku adil. (Al-Mumtahinah, 60:8)

Kami dengan demikian sebagai kaum Muslim mengundang kaum Nasrani untuk mengingat kata-kata Yesus dalam Injil (Markus 12:29-31):

“… Tuhan Allah kita, TUHAN itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua yang sama dengan itu ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum yang lebih utama dari pada kedua hukum ini”.

Sebagai kaum Muslim, kami mengatakan kepada kaum Nasrani, bahwa kami tidak melawan mereka dan bahwa Islam tidak melawan mereka – selama mereka tidak berperang melawan Muslim, karena agama mereka, menindas mereka dan mengusir mereka keluar dari rumah mereka, (sesuai dengan ayat Kitab Suci Al Qur’an [Al-Mumtahinah, 60:8] yang dikutip di atas). Lebih dari itu, Allah berkata dalam Kitab Suci Al Qur’an:

Mereka itu tiada sama. Di antara ahli kitab, ada segolongan yang lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah waktu malam sedang mereka sujud. Mereka beriman kepada Allah dan hari yang kemudian dan menyuruh dengan ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, lagi bersegera mengerjakan kebaikan dan mereka itu termasuk orang-orang salih. Apa-apa kebaikan yang mereka perbuat, niscaya tiadalah dikurangkan pahalanya dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang taqwa. (Al-Imran, 3:113-115)

Apakah Kekristenan perlu melawan kaum Muslim? Dalam Injil Yesus Kristus berkata:

Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan. (Mattius 12:30)

Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita. (Markus 9:40)

… sebab barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu. (Lukas 9:50)

Menurut Blessed Theophylact’s of the New Testament ( Tafsiran Perjanjian Baru dari Theophylact yang Penuh Berkah) xxiii, pernyataan ini tidak bertentangan karena pernyataan pertama (dalam teks Yunani yang sebenarnya Perjanjian Baru) berkenaan dengan iblis, sementara pernyataan kedua dan ketiga itu berkenaan dengan orang yang mengakui Yesus, tetapi mereka bukan orang Kristen. Orang-orang Muslim mengakui Yesus, tetapi bukan kaum Nasrani. Kaum Muslin mengakui Yesus Kristus sebagai Mesias, tidak dengan cara yang sama dengan kaum Nasrani (tetapi kaum Nasrani sendiri memang tidak pernah sepakat dengan satu sama lain mengenai asal Yesus Kristus), tetapi dengan cara yang berikut ini: Al Masih, Isa anak Maryam, hanya rasul Allah dan kalimatNya, disampaikanNya kalimat itu kepada Maryam beserta roh daripadaNya.... (Al-Nisa’, 4:171). Kami dengan demikian mengundang kaum Nasrani untuk menganggap kaum Muslim tidak melawan dan oleh sebab itu bersama mereka, sesuai kata-kata Yesus Kristus di sini.

Akhirnya, sebagai kaum Muslim, dan dalam ketaatan kepada Kitab Suci Al Qur’an, kami meminta kaum Nasrani untuk bergabung bersama kami dalam hal-hal penting yang sama dalam kedua agama kita… bahwa tiada yang kita sembah kecuali Allah, dan tiada kita mempersekutukanNya dengan sesuatupun dan tiada setengah kita mengangkat yang lain menjadi Tuhan,selain, dari Allah… (Al Imran, 3:64).

Biarlah dasar yang sama ini menjadi basis dari semua dialog antar agama di masa mendatang di antara kita, karena dasar kita yang sama adalah tempat di mana tergantung seluruh Taurat dan Nabi-nabi (Matius 22:40). Allah di dalam Kitab Suci Al Qur’an mengatakan:

Katakanlah: Kami telah beriman kepada Allah dan (Kitab) yang diturunkan kepada kami dan apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak-anaknya, (begitu juga kepada kitab) yang diturunkan kepada Musa dan Isa, dan apa-apa yang diturunkan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka, tiadalah kami perbedakan seorang juga di antara mereka itu, dan kami patuh kepada Allah. Maka jika mereka beriman seperti keimanan kamu, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk; tetapi jika mereka berpaling (tiada beriman seperti keimananmu), maka hanya mereka dalam perpecahan (dengan kamu); maka engkau akan dipelihara Allah dari kejahatan mereka, dan Dia Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah, 2:136-137)

Antara Kami dan Kamu

Menemukan dasar yang sama antara kaum Muslim dan kaum Nasrani tidak hanya masalah untuk dialog umum yang sopan di antara pemimpin agama terpilih. Kekristenan dan Islam adalah agama yang terbesar dan kedua terbesar di dalam dunia dan dalam sejarah. Kaum Kristen dan kaum Muslim tercatat berjumlah lebih dari sepertiga dan lebih dari seperlima dari umat manusia secara berturut-turut. Bersama-sama mereka mencapai lebih dari 55% dari populasi dunia, menjadikan hubungan antara komunitas kedua agama menjadi faktor yang terpenting untuk menyumbang pada perdamaian yang berarti di seluruh dunia. Bila kaum Muslim dan kaum Nasrani tidak berdamai, dunia tidak bisa berdamai. Dengan persenjataan dunia moderen yang mengerikan; dengan kaum Muslim dan kaum Kristen yang hidup bersinggungan di mana-mana seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya, tidak ada pihak yang secara unilateral memenangkan sebuah konflik di antara lebih dari setengah penghuni dunia. Oleh karena itu masa depan kita bersama ada dalam masalah. Kelangsungan hidup dunia sendiri ada mungkin dalam masalah.

Dan bagi mereka yang walaupun begitu menikmati konflik dan kehancuran untuk kepentingan mereka sendiri atau mengetahui bahwa akhirnya mereka bertahan untuk mendapatkan keuntungan melalui hal itu, kami katakan bahwa semua jiwa kekal kita sendiri juga ada dalam masalah bila kita gagal secara tulus melakukan segala usaha untuk berdamai dan berkumpul bersama dalam harmoni. Allah mengatakan dalam Kitab Suci Al Qur’an: Sesungguhnya Allah menyuruh melakukan keadilan dan berbuat kebajikan serta memberi karib kerabat dan melarang berbuat yang keji dan yang, mungkar dan kazhaliman. Dia mengajarkan kepadamu, mudah-mudahan kamu mendapat peringatan. (Al Nahl, 16:90). Yesus Kristus berkata: Berbagialah orang yang membawa damai…...(Matius 5:9), dan pula juga: Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya? (Matius 16:26).

Jadi biarkanlah perbedaan kita tidak mengakibatkan kebencian dan perselisihan di antara kita. Marilah kita hidup bersama satu sama lain hanya dalam kebenaran dan perbuatan baik. Marilah kita saling menghormati, jujur, adil dan baik terhadap satu sama lain dan hidup dalam kedamaian yang tulus, harmonis dan niat baik bersama. Allah berkata dalam Kitab Suci Al Qur’an:

Kami telah menurunkan Kitab kepada engkau (ya Muhammad) dengan (membawa) kebenaran, yang membenarkan Kitab yang di hadapannya serta mengawasinya, sebab itu hukumlah antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan jangan engkau mengikuti hawa-nafsu mereka (dan berpaling) dari kebenaran yang telah datang kepada engkau. Kami adakan untuk tiap-tiap umat di antara kamu satu syari´at (peraturan) dan satu jalan. Kalau Allah menghendaki, niscaya Ia jadikanNya kamu umat yang satu, tetapi Ia hendak mencobai kamu tentang apa yang diberikanNya kepada kamu, sebab itu berlomba-lombalah kamu (memperbuat) kebaikan. Kepada Allah tempat kembalimu sekalian, lalu Allah mengabarkan kepadamu tentang apa-apa yang telah kamu perselisihkan. (Al-Ma’idah, 5:48)


Wassalamu ‘alaikum,
Pax Vobiscum.



© 2007 C.E., 1428 H.,
The Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought, Jordan.
Lihat: www.acommonword.org or: www.acommonword.com


CATATAN

i Dalam Bahasa Arab: La illaha illa Allah Muhammad rasul Allah. Kedua Shahadah sebenarnya muncul (biarpun terpisah) sebagai kalimat-kalimat dalam Kitab Suci Al Qur’an (dalam Muhammad 47:19, dan Al-Fath 48:29, berturut-turut).
ii Sunan Al-Tirmidhi, Kitab Al-Da’awat, 462/5, no. 3383; Sunan Ibn Majah, 1249/2.
iii Sunan Al-Tirmidhi, Kitab Al-Da’awat, Bab al-Du’a fi Yawm ‘Arafah, Hadith no. 3934.
Pentinglah untuk mencatat bahwa kalimat-kalimat tambahan , Dia Esa, Dia tidak memeiliki sekutu, Dia yang memerintah dan Dia adalah pujian dan Dia berkuasa atas segala sesuatu, semuanya dari Kitab Suci Al Qur’an, dalam bentuk-bentuk yang tepat ini, meskipun di tempat-tempat yang berbeda-beda. Dia Esa –mengacu pada Allah- ditemukan sekurang-kurangnya enam kali dalam Kitab Suci Al Qur’an (7:70; 14:40; 39:45; 40:12; 40:84 and 60:4). Dia tidak memiliki sekutu, ditemukan sekurang-kurangnya satu kali persis dalam bentuk itu (Al-An’am, 6:163). Dia yang memerintah dan Dia adalah pujian dan dia Mahakuasa atas segala sesuatu, ditemukan satu kali persis dalam bentuk ini dalam Kitab Suci Al Qur’an (Al-Taghabun, 64:1), dan bagian-bagiannya ditemukan sejumlah kali lain (umpamanya, kata-kata, Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, ditemukan sekurang-kurangnya lima kali: 5:120; 11:4; 30:50; 42:9 and 57:2).
iv Hati itu
Dalam Islam hati (rohani, bukan fisik) adalah alat penerimaan pengetahuan rohani dan metafisik. Tentang salah satu penglihatan Nabi Muhammad SAWllah berkata dalam Kitab Suci Al Qur’an Suci: Tidaklah hatinya mendustakan apa yang dia lihat. (al-Najm, 53:11) Memang, di tempat lain dalam Kitab Suci Al Qur’ani, Allah berkata: Maka sesungguhnya bukan pandangan (mata) yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada.. (Al-Hajj, 22:46; bacalah ayat seluruhnya dan juga: 2:9-10; 2:74; 8:24; 26:88-89; 48:4; 83:14 dan lain-lain. Ternyata ada lebih dari seratus sebutan hati dan sinonim-sinonimnya dalam Kitab Suci Al Qur’an.)
Sekarang ada paham-paham yang berbeda-beda antara orang-orang Muslim menyangkut Penglihatan Allah yang langsung (seperti bertentangan dengan kenyataan-kenyataan rohani pada dirinya). Allah, biar dalam hidup ini atau dalam hidup akhirat—Allah berkata dalam Kitab Suci Al Qur’an Suci (tentang Hari Kiamat): Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu bercahaya, kepada Tuhannya mereka melihat (Al-Qiyamah, 75:22-23). Namun Allah juga berkata dalam Kitab Suci Al Qur’an: Itulah Allah Tuhan kamu, tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia dan Dialah Pemelihara segala sesuatu. Dia tidak dapat dicapai penglihatan sedang Dia meliputi penglihatan dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui Sungguh telah datang kepada kamu keterangan dari Tuhanmu maka barangsiapa yang memperhatikan (keterangan) itu maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri, dan barangsiapa yang buta maka (kerugiannya) bagi dirinya sendiri. Dan aku sekali-kali bukanlah pemelihara atas kamu. (Al-An’am, 6:102-104)
Bagaimanapun juga jelaslah bahwa paham Muslim akan hati (rohani) tak berbeda jauh dari paham hati (rohani) Kristen, seperti nampak dalam kata-kata Yesus dalam Perjanjian Baru: Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. (Matius 5:8); dan kata Paulus: Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambar yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, seperti aku sendiri dikenal. (1 Korintus 13:12)
v Lihat juga: Luqman, 31:25.
vi Lihat juga: Al-Nahl, 16:3-18.
vii Sahih Bukhari, Kitab Tafsir Al-Qur’an, Bab ma Ja’a fi Fatihat Al-Kitab (Hadith no.1); juga: Sahih
Bukhari, Kitab Fada’il Al-Qur’an, Bab Fadl Fatihat Al-Kitab, (Hadith no.9), no. 5006.
viii Nabi Muhammad SAWberkata:
Allah memiliki seratus kemurahan. Dia menurunkan satu dari padanya ke antara makhluk-makhluk dan manusia-manusia dan binatang-binatang dan hewan-hewan dan oleh karena itu mereka ada perasaan satu sama yang lain; dan oleh karenanya binatang-binatang buas punya perasaan buat keturunannya. Dan Allah menunda kesembilan puluh sembilan kemurahan itu yang olehnya Dia berahmat pada hamba-hambaNya pada Hari Kiamat. (Sahih Muslm, Kitab Al-Tawbah; 2109/4; no. 2752; lihat juga Sahih Bukhari, Kitab Al-Riqaq, no. 6469).
ix Takut akan Allah adalah Permulaan Hikmah
Tentang Nabi Muhammad SAW dikatakan: Bagian yang pokok dalam hikmah ialah takut akan Allah- Kemuliaan bagiNya- (Musnad al-Shahab, 100/1; Al-Dulaymi, Musnad Al-Firdaws, 270/2; Al-Tirmidhi, Nawadir Al-Usul; 84/3;
Al-Bayhaqi, Al-Dala’il dan Al-Bayhaqi, Al-Shu’ab; Ibn Lal, Al-Makarim; Al-Ash’ari, Al-Amthal, dll.)
Jelaslah ini sama dengan kata-kata Nabi Solomon dalam Alkitab: Takut akan TUHAN adalah permulaan hikmat…. (Amsal 9:10); and: Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan. (Amsal 1:7)
x Pikiran, Keinginan dan Perasaan dalam Qur’an Suci
Demikian Allah dalam Kitab Suci Al Qur’an menyampaikan kepada manusia untuk beriman dan berseru kepadaNya (dengan menggunakan pikiran) dengan ketakutan (yang mendorong keinginan) dan dengan harapan (dan dengan demikian dengan perasaan):
Hanya sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, apabila diperingatkan dengannya, mereka tunduk sujud dan mereka bertasbih dengan memuji Tuhannya sedang mereka tidak sombong.
Mereka merenggangkan lambungnya dari tempat tidur, mereka menyeru Tuhannya dengan takut dan penuh harap, dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepadanya.
Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka dari penyejuk (nikmat) sebagai balasan terhadap apa yang mereka telah kerjakan. (Al-Sajdah, 32:15-17)
Berdoalah kepada Tuhan kamu dengan merendahkan diri dan dengan suara pelan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi sesudah baiknya dan berdoalah kepadaNya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan. (Al-A’raf, 7:55-56)
Seperti Nabi Muhammad SAW sendiri digambarkan dengan memakai istilah-istilah yang menunjukkan pengetahuan (dan oleh karena itu pikiran), mendatangkan harapan (dan oleh karena itu perasaan) dan menanamkan ketakutan (dan oleh karena itu menggalakkan keinginan):
Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai saksi dan pembawa kabar gembira dan memberi peringatan.. (Al-Ahzab, 33:45)
Sesungguhnya Kami mengutus engkau (Muhammad) sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. (Al-Fath, 48:8)
xi A Teladan baik yang berlimpah-limpah
Cinta dan taqwa Nabi Muhammad SAW yang menyeluruh kepada Allah merupakan model buat orang-orang Muslim yang mereka usahakan untuk ditiru. Allah berkata dalam Kitab Suci Al Qur’an:
Sungguh pada diri Rasullah itu teladan yang baik bagi kamu, bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan hari kemudian dan banyak mengingat Allah. (Al-Ahzab, 33:21)
Kegenapan cinta ini menolak keduniawian dan keakuan dan adalah indah dan memikat orang Muslim. Cinta kepada Allah disukai oleh orang-orang Muslim. Allah berkata dalam Kitab Suci Al Qur’an:
Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya ditengah-tengah kamu ada Rasullah, kalau dia menuruti kamu dalam beberapa urusan, niscaya kamu akan mendapatkan kesusahan, tetapi Allah telah menimbulkan cintamu pada iman dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu, dan menimbulkan kebencianmu kepada kekafiran, kefasikan dan maksiat. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Hujurat, 49:7)
xii ‘Cinta yang benar-benar’ merupakan tambahan kepada Rahmat Allah universal, yang meliputi segala sesuatu (Al-A’raf, 7:156); tetapi Allah paling mengetahui.
xiii Sahih Al-Bukhari, Kitab Bad’ al-Khalq, Bab Sifat Iblis wa Junudihi; Hadith no. 3329.
Versi-versi lain dari Perkataan yang Penuh Berkah
Perkataan Nabi Muhammad SAW ditemukan dalam seluzin hadith (perkataan Nabi Muhammad SAW) dalam lingkungan-lingkungan yang berbeda-beda dan versi-versi berbeda-beda sedikit.
Yang kami kutip dalam naskah kami (Tiada Tuhan selain Allah, Dia Esa. Dia tidak memiliki sekutu. Dia memerintah , dan Dia adalah pujian, dan Dia berkuasa atas segala sesuatu) adalah versi yang paling singkat. Itu ditemukan dalam Sahih al-Bukhari: Kitab al-Adhan (no. 852); Kitab al-Tahajjud (no. 1163); Kitab al19
‘Umrah (no. 1825); Kitab Bad’ al-Khalq (no. 3329); Kitab al-Da‘awat (nos. 6404, 6458, 6477); Kitab al-Riqaq
(no. 6551); Kitab al-I‘tisam bi’l-Kitab (no. 7378); in Sahih Muslim: Kitab al-Masajid (nos. 1366, 1368, 1370,
1371, 1380); Kitab al-Hajj (nos. 3009, 3343); Kitab al-Dhikr wa’l-Du‘a’ (nos. 7018, 7020, 7082, 7084); in
Sunan Abu Dawud: Kitab al-Witr (nos. 1506, 1507, 1508); Kitab al-Jihad (no. 2772); Kitab al-Kharaj (no.
2989); Kitab al-Adab (nos. 5062, 5073, 5079); in Sunan al-Tirmidhi: Kitab al-Hajj (no. 965); Kitab al-Da‘awat
(nos. 3718, 3743, 3984); in Sunan al-Nasa’i: Kitab al-Sahw (nos. 1347, 1348, 1349, 1350, 1351); Kitab
Manasik al-Hajj (nos. 2985, 2997); Kitab al-Iman wa’l-Nudhur (no. 3793); in Sunan Ibn Majah: Kitab al-Adab
(no. 3930); Kitab al-Du‘a’ (nos. 4000, 4011); dan dalam Muwatta’ Malik: Kitab al-Qur’an (nos. 492, 494); Kitab
al-Hajj (no. 831).
Versi yang lebih panjang memuat kata-kata yuhyi wa yumi -(Tiada Tuhan selain Allah, Dia Esa. Dan Dia tidak memiliki sekutu. Dia memerintah, dan Dia adalah pujian. Dia memberi kehidupan, Dia memberi kematian, dan Dia berkuasa atas segala sesuatu.)—ditemukan dalam Sunan Abu Dawud: Kitab al-Manasik (no. 1907); dalam Sunan al-
Tirmidhi: Kitab al-Salah (no. 300); Kitab al-Da‘awat (nos. 3804, 3811, 3877, 3901); dan dalam Sunan al-Nasa’i:
Kitab Manasik al-Hajj (nos. 2974, 2987, 2998); Sunan Ibn Majah: Kitab al-Manasik (no. 3190).
Versi lain yang lebih panjang memuat kata-kata bi yadihi al-khay -(Tiada Tuhan selain Allah, Dia Esa. Dia tidak memiliki sekutu. Dia memerintah, dan Dia adalah pujian. Di dalam tanganNya adalah yang baik, dan Dia berkuasa atas segala sesuatu.)—ditemukan dalam Sunan Ibn Majah: Kitab al-Adab (no. 3931); Kitab al-Du‘a’ (no. 3994).
Versi yang paling panjang memuat kata-kata yuhyi wa yumit wa Huwa Hayyun la yamut bi yadihi alkhay -(Tiada Tuhan selain Allah, Dia Esa, Dia tidak memiliki sekutu. Dia memerintah, dan Dia adalah pujian. Dia memberi kehidupan dan Dia memberi kematian. Dialah Yang Hidup, yang tidak mati. Dalam tanganNya adalah yang baik, dan Dia berkuasa atas segala sesuatu.) ditemukan dalam Sunan al-Tirmidhi: Kitab al-Da‘awat (no. 3756) dan dalam Sunan Ibn Majah: Kitab al-Tijarat (no. 2320), dengan perbedaan bahwa hadith yang terakhir ini membaca: bi yadihi al-khayr kuluhu (di dalam tanganNya adalah segala kebaikan).
Namun penting untuk dicatat, bahwa Nabi Muhammad SAW hanya menguraikan versi pertama (yang paling singkat) sebagai: yang paling baik aku katakan – aku sendiri, dan nabi-nabi yang datang sebelum aku, dan hanya tentang versi itu Nabi SAW berkata: Dan tiada seorangpun yang membawa sesuatu yang lebih baik dari pada ini, kecuali orang yang melakukan lebih dari itu. (Kutipan-kutipan ini mengacu kepada sistim bilangan The Sunna Project’s Encyclopaedia of Hadith [Jam‘ Jawami‘ al-Ahadith wa’l-Asanid], dipersiapkan dalam kerja sama dengan ahli-ahli al-Azhar, yang mencakup Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidhi, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibn Majah, dan Muwatta’ Malik.)
xiv Ingatan berkali-kali akan Allah dalam Qur’an Suci
Kitab Suci Al Qur’an itu sarat dengan perintah-perintah untuk berkali-kali berseru kepada Allah atau mengingat Allah:
Dan ingatlah nama Tuhanmu di waktu pagi dan petang. (Al-Insan, 76:25)
Ingatlah Allah dalam keadaan berdiri, dalam keadaan duduk dan dalam keadaan berbaring (Al-Nisa, 4:103).
Dan sebutlah Tuhanmu dalam hatimu dengan penuh kerendahan dan rasa takut dan dengan tidak mengeraskan suara di waktu pagi dan petang, dan jangan engkau termasuk orang-orang yang lalai. (Al-‘Araf, 7:205).
… Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah di waktu petang dan pagi (Aal ‘Imran, 3:41).
Hai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah dengan ingatan yang banyak, dan bertasbihlah kepadaNya pagi dan petang. (Al-Ahzab, 33:41-42). (Lihatlah juga: 2:198-200; 2:203; 2:238-239; 3:190-191; 6:91; 7:55; 7:180; 8:45; 17:110; 22:27-41; 24:35-38; 26:227; 62:9-10; 87:1-17, dll.)
Sama pula Kitab Suci Al Qur’an sarat dengan ayat-ayat yang menggarisbawahi apa yang terpenting dalam Ingatan akan Allah (lihatlah 2:151-7; 5:4; 6:118; 7:201; 8:2-4; 13:26-28; 14:24-27; 20:14; 20:33-34; 24:1; 29:45; 33:35; 35:10; 39:9; 50:37; 51:55-58; dan 33:2; 39:22-23 dan 73:8-9 sebagaimana sudah dikutip, dll. ), dan akibat-akibat yang ngerikan bila tak dipraktekkannya (lihatlah: 2:114; 4:142; 7:179-180; 18:28; 18:100-101; 20:99-101; 20:124-127; 25:18; 25:29; 43:36; 53:29; 58:19; 63:9; 72:17 dll.; lihatlah juga 107:4-6). Karenanya Allah pada akhirnya berkata dalam Kitab Suci Al Qur’an:
Apabila belum tiba waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk khusyuk hati mereka mengingat Allah …. ? (Al-Hadid, 57:16);
…. Jangan lupa mengingatKu (Taha, 20:42),
dan: dan ingatlah Tuhanmu apa bila engkau lupa (Al-Kahf, 18:24).
xv Di dalamnya (naskah asli) seluruh Kitab Alkitab diambil dari New King James Version. Copyright © 1982 by Thomas Nelson, Inc.
xvi Sunan Al-Tirmithi, Kitab Al-Da’wat, Bab al-Du’a fi Yawm ‘Arafah, Hadith no. 3934. Op. cit..
xvii
Dalam posisi yang Paling Baik
Kekristenan dan Islam memiliki paham-paham tentang penciptaan manusia dalam posisi yang paling baik dan dari nafasNya sendiri. Kitab Kejadian berkata: (Kejadian 1:27) Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka.
Dan:
(Kejadian 2:7) ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup di dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.
Dan Nabi Muhammad SAW berkata: Sungguh Allah menciptakan Adam menurut gambarNya sendiri (Sahih Al-Bukhari, Kitab Al-Isti’than, 1; Sahih Muslim, Kitab Al-Birr 115; Musnad Ibn Hanbal, 2: 244, 251, 315, 323 dst. dll.)
Dan sungguh Kami menciptakan kamu lalu Kami membentuk kamu. Kemudian Kami katakan kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka mereka pun sujud kecuali iblis; dia tidak termasuk mereka yang sujud. (Al-A’raf, 7:11)
Demi buah tin dan zaitun dan bukit Sinai, dan negeri yang aman ini (Mekah), sungguh Kami menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk. Kemudian Kami mengembalikanya kepada yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka pada mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Maka siapakah (lagi) yang dapat mendustakanmu, sesudah itu tentang agama. (Al-Tin, 95:1-8)
Allah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap; dan Dia membentuk kamu lalu Dia membaguskan bentuk kamu, dan Dia memberi kamu rezeki dari yang baik-baik; itulah Allah kamu; Maha Berkah Allah semesta alam. (Al-Ghafir, 40:64)
Bahkan orang-orang yang zalim itu mengikuti hawa nafsu mereka tanpa ilmu. Maka siapakah orang yang dapat memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan Allah. Dan tidak ada penolong bagi mereka.
Maka hadapkanlah dirimu dengan lurus kepada agama (Islam), fitrah (agama) Allah yang telah Dia ciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan bagi ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (Al-Rum, 30:29-30) - Maka apabila Aku telah menyempurnakannya dan Aku meniupkan kepadanya dari ruh (ciptaan)Ku, maka hendaklah kamu tunduk sujud kepadanya. (Sad, 38:72)
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang membuat kerusakan dan menumpahkan darah padanya, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian mengemukakannya (nama-nama itu) kepada para malaikat lalu berfirman, “Beritahukanlah kepadaMu nama-nama benda itu jika kamu memang benar!”
Mereka menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak ada pengetahuan bagi kami selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Allah berfirman, “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama itu!” Maka setelah memberitahukan kepada mereka nama-nama itu, Allah berfirman, “Bukankah sudah Aku katakan kepada kamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan lebih mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?”
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam.” Maka sujudlah mereka kecuali iblis ia enggan dan takbur dan ia adalah termasuk golongan kafir.
Dan Kami berfirman, “Hai Adam, tinggallah engkau dan isterimu di surga ini dan makanlah dari padanya sepuas-puasnya sesuka kamu berdua, tetapi janganlah kamu mendekati pohon ini yang akan menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim!” (Al-Baqarah, 2:30-35)
xviii Sahih Al-Bukhari, Kitab al-Iman, Hadith no.13.
xix Sahih Muslim , Kitab al-Iman, 67-1, Hadith no.45.
xx Penafsir-penafsir Kitab Suci Al Qur’an yang klasik (lihatlah: Tafsir Ibn Kathir, Tafsir Al-Jalalayn) pada umumnya berkesepakatan bahwa ini mengacu pada (gerak-gerak terakhir) doa Muslim.
xxi Abu Ja’far Muhammad Bin Jarir Al-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, (Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, 1st ed, 1992/1412,) tafsir of Aal-‘Imran, 3:64;Volume 3, pp. 299-302.
xxii Menurut ahli-ahli tata bahasa yang dikutip Tabari (karya dikutip, op. cit.) kata ‘sama’ (sawa’) dalam ‘suatu kalimat bersama antara kita’ juga berarti ‘adil’, ‘jujur’ (adl).
xxiii Theophylact (1055-1108 M.) yang Berberkat adalah Uskup Agung Gereja Ortodoks Ochrid dan Bulgaria (1090-1108 M). Bahasa aslinya adalah Bahasa Yunani Perjanjian Baru. Buku Tafsirnya adalah tersedia di Inggeris pada Chrysostom Press.

A Common Word – Kalimat Bersama!

Suatu Tanggapan
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


1. Menguji kembali Asumsi
Dua asumsi dari A Common Word (ACW) dalam suatu perspektif eccumenical dialogue antara Islam dan Kristen: (1) Islam dan Kristen menyumbang lebih dari separuh (55%) penduduk dunia; dan (2) memiliki ajaran yang sama mengenai kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama.

Asumsi yang pertama, tidak mesti dimengerti secara taktis, melainkan dimengerti secara paradigmatik, bahwa Islam dan Kristen menjadi komunitas yang membentuk sebagian peradaban masyarakat dan peradaban beragama di dunia; baik pada basis-basis komunitas lokal maupun dalam persaudaraan global.

Sebab jika asumsi itu dimengerti secara taktis, maka dialog ekumenis yang dibangun akan terperangkap dalam klaim posisi.

Asumsi yang kedua menohok kembali pada persoalan mendasar yakni apakah dialog ekumenis mesti dibangun kembali dari dasar ajaran – sesuatu yang dalam waktu lama dihindari karena bayangan ‘benturan’.

Jika asumsi kedua ini yang kemudian dipakai, tugas intelektual Islam dan Kristen adalah melakukan hermeneutik atau dekonstruksi tafsir terhadap varian-varian Kitab Suci (Qur’an dan Alkitab) mengenai berbagai hal yang ‘sama’ tadi. Tanpa itu, maka pemahaman terhadapnya akan terperangkap dalam ‘kecurigaan missiologis’.

Keberanian untuk mendialogkan ajaran-ajaran itu secara terbuka (dan bersama-sama) adalah suatu upaya baru untuk membangun dialog ekumenis yang sejajar; dalam arti membangun suatu kesadaran sejarah/kritis yang lebih dinamis.

Keberanian itu harus disertai dengan konsekuensi menguji ulang varian-varian teks itu dalam praksis. Sebab Islam dan Kristen dewasa ini adalah komunitas pembaca yang terstruktur dalam tiga lapisan pemahaman: (1) teolog profesional – yaitu mereka yang belajar teologi secara akademis dan memiliki basis pemahaman yang baik terhadap teks Kitab Suci serta dimensi pengajaran agama. Di level ini, Imam, Ustad, Khatib, Pendeta, Pastor, Gembala Sidang, menempati posisi dan peran tersendiri; (2) kaum menengah, termasuk dan terutama pada level pelaku di bidang sosial-politik dan strata menengah dalam konteks sosial. Mereka ini selalu memainkan peran-peran negosiasi untuk kepentingan-kepentingan sosial-politik. Dalam negosiasi itu, tidak jarang agama dan ajaran agama dijadikan sebagai titik tolak bahkan konsumsi politik (politisasi). Karena itu, seringkali terjadi bias dan benturan di level ini; (3) umat/masyarakat yang ada di level bawah, atau komunitas lokal setempat. Mereka ini yang setiap waktu menjalankan tertib agama dan tertib sosial secara permanen berdasarkan pada tradisi dan akkidah/ajaran yang dianut dan kearifan-kearifan lokal atau modal sosial yang lahir dari kebudayaan mereka. Terkadang konflik di level menengah berimbas ke sini, sehingga kelompok ini sering dijadikan sebagai ‘sasaran obyektifasi agama’. Padahal mereka tekun dan setia menjalankan ajaran/akkidah agama dan berusaha untuk memeliharanya sebagai sesuatu yang sakral.

2. Motivasi Teologis ACW
Yang dimaksudkan dengan teologi di sini mencakup tataran diskursus dan praksis. Sebab itu, ACW coba dimengerti sebagai suatu upaya mendudukkan: (1) cara pandang teologi yang lebih terbuka (inklusif-transformatif) – dengan memahamkan kembali ajaran Kasih sebagai inti ajaran agama-agama; dan (2) kerangka berteologi kontekstual, yaitu yang mengarah pada perdamaian (dan keadilan) melalui dialog yang utuh (diskursus dan praksis).

Merujuk ke ACW, motivasi dasar dirumuskannya ACW adalah “biarkanlah perbedaan kita tidak mengakibatkan kebencian dan perselisihan di antara kita. Marilah kita hidup bersama satu sama lain hanya dalam kebenaran dan perbuatan baik. Marilah kita saling menghormati, jujur, adil dan baik terhadap satu sama lain dan hidup dalam kedamaian yang tulus, harmonis dan niat baik bersama.”

Dengan demikian menjadi panggilan bagi setiap agama untuk membangun suatu kesadaran baru dan peradaban kemanusiaan, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dijunjung oleh kesetaraan, cinta kasih, kejujuran, keadilan, ketulusan, dan keharmonisan tadi.
Panggilan seperti itu adalah sesuatu yang Islami, juga Kristiani. Meninggalkan atau mengabaikan panggilan itu membuat Islam dan Kristen, serta agama-agama itu sendiri kehilangan esensi dan jatidirinya.

Mengacu dari panggilan itu, ACW adalah suatu teks yang tidak saja mengundang partisipasi dan dialog agama-agama secara global, tetapi reaktualisasi agama-agama pada tataran lokal/setempat secara dinamis (kontekstual).

3. Merujuk ke Isi ACW
Tiga bagian ACW: (1) kasih kepada Tuhan; (2) kasih kepada sesama; dan (3) sebuah persamaan/kalimat bersama merupakan suatu teks atau dokumen yang perlu dikritisi secara arif.
Dari sisi literer, ACW sebenarnya hanyalah tulisan ulang atau rekoleksi teks-teks Qur’an dan Alkitab, yang kemudian dipilih pada ayat-ayat emas yang berbicara mengenai kasih. Di sini menariknya ialah tauhid menjadi semacam proklamasi;

Islam:
Tentang Kesatuan Allah, Allah berkata dalam Kitab Suci Al Qur’an: KATAKANLAN (ya Muhammad): Dialah Allah yang Mahaesa. Allah yang dituju (untuk meminta hayat) (Al-Ikhlas, 112:1-2). Mengenai pentingnya kasih kepada Allah, Allah berkata dalam Kitab Suci Al Qur’an: Sebutlah, nama Tuhanmu dan berbaktilah kepadaNya sebenar-benarnya berbakti (Al-Muzzammil, 73:8). Mengenai pentingnya kasih kepada sesama, Nabi Muhammad SAW berkata: “Tidak seorangpun dari kamu memiliki iman sampai kamu mengasihi sesamamu sebagaimana kamu mengasihi dirimu sendiri.”

Kristen:
“Hukum yang terutama ialah: ‘DENGARLAH, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Inilah hukum yang pertama’. Dan hukum yang kedua ialah: ‘Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri’. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum.” (Mark 12:29-31)

Catatan bersama kita bahwa, tauhid itu membuat ACW dimengerti sebagai suatu penegasan ulang atas hukum agama yang sebenarnya sudah ada, namun belum menjadi suatu gerakan bersama untuk mempromosikan kasih dan keadilan di dunia.

Sedangkan hal TUHAN itu ESA, merupakan sesuatu yang kiranya menjadi titik berangkat yang sama. Pertanyaan kritisnya ialah, jika ada ajaran yang sama dalam agama-agama, apakah ajaran itu merupakan perintah atau firman dari dua atau tiga dan lebih Tuhan yang berbeda, atau sebenarnya hanya dari Tuhan yang satu.

Tentu kita pun tidak bisa mengabaikan bahwa mengenai pokok Tuhan, ACW membuka peluang untuk adanya klarifikasi tentang ‘sekutu Tuhan’ (Al-Baqarah 2:165) – sesuatu yang mungkin mengarah kepada Trinitas dalam kekristenan.

Dari sisi isi, terlepas dari ‘kalimat bersama’, yakni mengenai kasih, teks-teks yang ambivalen perlu diklarifikasi atau ditafsir kembali dalam konteks pembaca saat ini. Dahulu, dalam diskursus teologi agama-agama (teologi religionum) dan dialog antar-iman, bukankah kita selalu berusaha menghindari debat tentang ajaran, dan menyerahkan ajaran menjadi urusan masing-masing agama. Padahal ACW malah mau menjadikan kembali ajaran sebagai bahan dialog untuk membentuk praksis bersama agama-agama.

Itu berarti ada masalah dengan ‘carapandang’ beragama kita. Suatu carapandang yang tekstual cenderung melahirkan mentalitas beragama yang fundamental dan tertutup – dan juga biblisentris. Akibatnya kita melindungi dan memelihara kesakralan teks-teks yang tertulis itu, lalu mengagungkannya sebagai suatu jatidiri. Ini suatu pendekatan yang oleh Norman Gottwald disebut ‘divine system’.

Padahal kita lupa bahwa teks-teks yang kita pandang suci atau malah kita sucikan itu diambil dan dihasilkan dari ruang sosial yang kompleks, yang memuat berbagai dinamika. Ini suatu pendekatan yang disebut Norman Gottwald sebagai ‘human system’.

3.1. Kasih kepada Tuhan
Saya mencoba melihat beberapa aspek saja dari dimensi ini untuk menjadi bahan diskusi selanjutnya. Namun sebelum lebih lanjut, pertanyaan kritis ialah apakah kita masih perlu membicarakan ‘siapa dan bagaimana Tuhan’ itu? Mungkin tidak perlu! Sebab Tuhan adalah realitas yang final bagi dan di dalam agama manapun. Paham Tuhan yang satu tentu tidak menggeserkan sedikitpun berbagai nama (atributif) Tuhan yang teraksarakan menurut bahasa dan istilah tiap agama, sesuai dengan bahasa yang digunakan komunitas agama itu.

ACW menawarkan suatu etika, yakni ‘mengasihi Tuhan’. Dalam ACW, alasan ‘mengasihi Tuhan’ menurut atau dalam Islam karena beberapa alasan:

- Tuhan itu Esa, atau Tuhan itu satu, dan tidak memiliki sekutu (Al-Baqarah, 2:165)
- Tuhan itu yang memerintah dan maha kuasa atas segala sesuatu (Al-Mulk, 67:1)
- Tuhan itu yang menciptakan langit dan bumi (Al-‘Ankabut, 29:61-63; Ibrahim, 14:32-34)
- Tuhan itu maha Pengasih, maha Penyayang, dan karena itu harus disembah (Al Fatihah, 1:1-7)
- Tuhan itu amat keras dalam siksaanNya (Al-Baqarah, 2:194-5)

Artinya, Tuhan menghendaki suatu monotheisme praktis, bahwa umat hanya harus percaya kepada Tuhan/Allah.

Dalam perspektif yang sama, alasan ‘mengasihi Tuhan’ dalam Kristen – seperti kutipan dalam ACW, a.l:
- Tuhan itu esa! (Mrk.12:28-31)

Referensi yang digunakan ACW hanyalah dari Injil Markus ini, dengan tidak mengabaikan varian lain dalam PL (Ulangan 4:29, 10:12, 11:13, 13:3; Yosua 22:5; Imamat 19:17-18) dan PB (Markus 12:32-33; Lukas 10:27-28; Matius 22:34-40).

Sementara gambaran sikap Yesus, sebagaimana juga diceritakan Injil-injil, sebagai bentuk compasion Tuhan kepada umat manusia, yang umumnya menjadi alasan mengapa orang Kristen ‘mengasihi Tuhan’ tidak dirujuk dalam ACW. Apakah itu terjadi karena Trinitas merupakan sesuatu yang mengganjal dalam diskursus Tuhan itu Esa?

Di sinilah mengapa saya katakan bahwa diskrusus mengenai Tuhan kiranya tidak usah kita perlebar, tetapi mesti terus didalami dalam masing-masing agama. Tugas kita, dalam kerangka ACW, adalah bagaimana ‘mengasihi Tuhan’ itu sendiri. Sebenarnya injil Matius memperluas hukum ini dengan ungkapan ‘…dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Mat. 22:37).

Artinya manusia memberi totalitas hidup mereka (perasaan, sikap dan pengetahuan) dalam rangka ‘mengasihi Tuhan’. Dengan demikian bukan hanya melalui ritus dan tradisi agama, seperti ibadah, dll, tetapi juga melalui aksi kehidupan yang nyata; yakni di dalam relasi dengan alam semesta dan sesama manusia.

3.2. Kasih kepada Sesama

‘Mengasihi Tuhan’ dalam Islam, Kristen dan agama manapun berlangsung dalam dunia yang riil. Karena itu, ‘mengasihi Tuhan’ terwujud dalam ‘mengasihi sesama’.

Surah Al-Baqarah yang dijadikan acuan dalam ACW menunjukkan bahwa ruang ‘mengasihi sesama’ juga tidak terjadi dalam ritus.

Bukalah kebaikan, bahwa kamu hadapkan mukamuxx arah ke Timur dan ke Barat; tetapi yang kebaikan itu ialah orang beriman kepada Allah, hari yang kemudian, malaikat-malaikat dan kitab-kitab dan nabi-nabi; dan dia memberikan harta, yang dikasihinya kepada karib kerabatnya dan anak-anak yatim dan orang-orang miskin dan orang berjalan, orang-orang yang meminta, dan untuk memerdekakan hamba sahaja; mendirikan sembahyang, memberikan zakat dan menepati janji dan berhati sabar atas kemiskinan, kemelaratan dan ketika peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang taqwah. (Al-Baqarah 2:177)

Dan juga:

Kamu tiada akan mendapat kebajikan kecuali kalau kamu nafkahkan sebagian barang yang kamu kasihi. Barang sesuatu yang kamu nafkahkan, sungguh Allah Mahamengetahuinya. (Al Imran, 3:92)

Kiblat dalam Islam adalah perwujudan kebaikan. Dan kiblat itu adalah ke arah sesama, dengan jalan memberikan harta, ....kepada karib kerabatnya dan anak-anak yatim dan orang-orang miskin dan orang berjalan (=pengelana/orang asing), orang yang meminta (=gelandangan), dan untuk memerdekakan hamba sahaja; mendirikan sembahyang, memberikan zakat, menepati janji, berhati sabar atas kemiskinan, kemelaratan dan ketika peperangan.

Ada suatu etika praksis. Hal yang sebenarnya juga sama dalam Kristen. Memang ACW hanya mengutip Matius 22:38-40, dan Imamat 19:17-18. Tetapi hukum shema seperti awalnya dikutip dalam ACW malah menunjukkan berbagai bentuk etika praksis dalam rangka mewujudkan kasih kepada sesama, bahkan sampai kepada orang asing, dan musuh.

Imamat: 19:18 Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN.
Imamat: 19:34 Orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu seperti orang Israel asli dari antaramu, kasihilah dia seperti dirimu sendiri, karena kamu juga orang asing dahulu di tanah Mesir; Akulah TUHAN, Allahmu.
Matius: 5:43-44. Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.
Lukas: 6:27. "Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu;
Lukas: 6:35 Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.
Efesus: 5:33 Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya.
Kolose: 3:19 Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia.
Yakobus: 2:8. Akan tetapi, jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri", kamu berbuat baik.
I Petrus: 2:17 Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah, hormatilah raja!
I Petrus: 4:8 Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa.


Walau demikian, kita sependapat bahwa tanpa memberikan kepada sesama apa yang kita sendiri kasihi, kita tidak benar-benar mengasihi Allah.

Sesama manusia dalam perspektif ini adalah semua manusia lintas-batas apa pun. Jadi tidak ada klaim eksklusif atau sekat-sekat kelompok. Sesama manusia itu adalah yang menghadapi berbagai persoalan ketidakadilan sosial, ketidakadilan gender, penindasan, kemiskinan, keterpurukan, keterbelakangan, keterisolasian, dll.

3.3. Sebuah Kalimat Bersama
Kalimat bersama itu adalah: ‘Tuhan itu Esa. Kasihilah Tuhan dan kasihilah sesama’.




Di sini perlu ada dialog yang intens mengenai kasih kepada Tuhan (vertikal) dan kepada sesama (horisontal). Dialog itu akan terjadi dengan baik melalui proses mediasi teks dengan konteks. Proses-proses penerjemahan (translasi) teks ke dalam konteks yang baru menjadi pekerjaan rumah tersendiri untuk membersihkan teks-teks itu dari konteks kemunculannya yang bisa saja eksklusif.

Melakukan proses mediasi memperlihatkan pentingnya peran semua manusia. Sebab titik berangkat kita adalah agenda-agenda bersama bagi keadilan, kasih, dan perdamaian.
Apa yang kemudian disebut sebagai usaha berteologi akan muncul dalam proses mediasi itu. Di sini pemetaan konteks (lokal dan global) menjadi sesuatu yang penting agar proses berteologi itu benar-benar berlangsung pada level kebutuhan masyarakat.

3. Implementasi ACW

Sebagai suatu bentuk Respons Kristiani di Indonesia terhadap ACW, maka perlu kajian kritis terhadap teks ACW itu dengan melihat konteks kemunculan serta tujuannya. Membicarakan kembali konteks kemunculan bertujuan untuk melihat dinamika sosial dan teologis yang melahirkannya. Sebaliknya melihat kembali tujuan membuat kita bisa membangun suatu jembatan bersama untuk melanjutkan dialog agama-agama pada pokok permasalahan yang lebih riil, tidak terkurung dalam wacana, verbalisme dan apologia.

Bagaimana implementasi ACW di Indonesia? Hal ini menjadi kebutuhan kontekstual yang tidak bisa dielakkan. Bahwa diskusi pluralisme, multikulturalisme telah menjadi suatu trend dialog antar-iman. Di Maluku, Seminar Agama-agama (SAA) malah sudah menjadi agenda gereja sampai ke pelosok pedesaan, dan melibatkan komunitas Islam dan Kristen yang berasal dari satu kelompok suku dan sub-suku.

Namun sebagai bentuk respons dan implementasi dari ACW, di Indonesia perlu ditempuh dengan jalan:

- Mendorong proses penafsiran kembali (secara sosiologis, ideologis) varian-varian teks kitab suci yang ambivalen. Mengingat pembaca kitab suci sudah memiliki etika tersendiri, sesuai dengan ajaran agamanya, penafsiran kembali itu harus pula melihat psikologi agama komunitas pembaca di Indonesia. Di sini perlu pula suatu metode tafsir yang elegan. Apakah tafsir sosiologis, cross-textual analysis, atau malah tafsir naratif untuk melihat event-event sejarah yang sama, dll.

- Teks-teks yang sama perlu dipromosikan. Tetapi teks-teks yang berbeda tidak perlu dihindari atau disembunyikan. Malah menafsirkannya kembali akan memperkaya peradaban beragama untuk saling memahami satu terhadap lainnya. Bahwa kita bertumbuh dari kesamaan, dan berkembang juga karena adanya perbedaan.

- Dialog antar-iman harus berlangsung dalam aspek kehidupan (dialog kehidupan). Sebab umat di level paling dasarlah yang setiap waktu berurusan dengan hidup dan imannya.

- Forum-forum Lintas Agama seperti Forum Kerjasama Antar Umat Beragama (FKUB) perlu mengintensifkan komunikasi serta merumuskan agenda kerjasama yang lebih menyentuh aspek keadilan, kasih dan perdamaian di antara umat beragama. Membangun pemahaman yang terbuka tentang siapakah sesama manusia.

- Pimpinan Umat Beragama dan semua Lembaga Agama perlu melakukan fungsi kritis kenabian terhadap berbagai persoalan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Apalagi dalam banyak hal, agama masih dijadikan komoditi politik serta emosionalitas beragama masyarakat masih sering dimanfaatkan untuk membentuk dan melanggengkan konflik.

- Pembinaan kepada generasi muda antar-agama menjadi agenda penting. Demikian pun perlu ada perbaikan materi pembinaan umat terutama kepada Anak, Remaja dan Pemuda.

- Di Maluku, pascakonflik sosial, terbentuk permukiman yang tersegregasi. Tidak ada lagi pemukiman sosial bercampur di Kota Ambon. Masing-masing kelompok agama sudah tinggal di dalam teritori masing-masing. Ini akan menumbuhkan in-group felling yang tinggi. Karena itu tidak ada komunikasi kehidupan yang intens. Komunikasi terjadi secara transaksional, dan ruang komunikasi pun berlangsung hanya di pasar atau pusat-pusat ekonomi serta kantor. Beberapa sekolah negeri di Kota Ambon, siswanya lebih banyak berasal dari satu golongan agama (tergantung di wilayah mana sekolah itu berdiri).

Sunday, May 24, 2009

KASIH YANG SEMPURNA

Bahan Bacaan : Matius 22:37-40 (Tematis)


Teks bacaan kita hari ini mengajarkan tentang ‘kasih yang sempurna’; yaitu mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama, seperti diri kita sendiri. Ini jenis Kasih 3in1 (Three in One).

Mengasihi Tuhan itu ada syaratnya, yaitu dengan segenap hati – artinya tulus dan sungguh-sungguh, tidak ada keraguan sedikitpun, sebab hati adalah pusat segala keputusan. Dengan segenap jiwamu – artinya memberi hidup secara total kepada Tuhan. Tentu dengan jalan melakukan perbuatan baik, atau menjadikan hidup berguna bagi Tuhan, hidup yang seturut firman Tuhan. Dengan segenap akal budimu – artinya berdasarkan pada keyakinan dan pengenalan kepada Tuhan. Pertanda mengasihi Tuhan juga membuat manusia mesti belajar tentang siapa Tuhan itu. Belajar dari mana? Dari pengalaman hidup setiap hari. Tetapi juga dengan seluruh kepandaian yang kita miliki, karena kepandaian itu adalah bentuk kasih Tuhan.
Kasih yang kedua adalah ‘mengasihi sesama’. Apa syaratnya? Teks kita mengatakan syaratnya ialah ‘yang sama dengan itu’ artinya sama dengan hukum yang pertama. Berarti juga mengasih sesama dengan segenap hati, segenap jiwa, dan segenap akal budi. Jadi kalau sudah mengasihi Tuhan, berarti seperti itu pula kita mesti mengasihi sesama. Baru dilengkapi dengan syarat baru, yakni ‘seperti dirimu sendiri’.

Jadi mengasihi diri sendiri bukan menunjuk pada kasih yang eksklusif atau tertutup, sebaliknya mengasihi diri sendiri adalah pola atau model mengasihi sesama. Sebab, tidak ada orang yang membenci dirinya sendiri lalu merusakkan diri sendiri secara sengaja dan terencana.

Jadi kasih yang sempurna itu adalah mengasihi Tuhan, sesama seperti diri sendiri secara bersama-sama/serentak; tidak terpisah-pisah: hari ini mengasihi Tuhan dulu, nanti besok baru sesama, lusa baru diri sendiri. Oh bukang bagitu! Maar skaligus! Akang pung sadap di situ.

JANGAN MERANCANG KECELAKAAN

Bahan Bacaan : Mazmur 52:3-9 (Tematis)


Petuah orang tua-tua: ‘hidop nih musti biking bae saja, jang cari lawan’! Petuah-petuah ini adalah bentuk-bentuk ajaran hikmat yang setara dengan Mazmur. Artinya betapa perbuatan baik itu adalah sesuatu yang paling ideal dan perlu dalam hubungan dengan sesama. Perbuatan baik itu menunjukkan kualitas hidup kita (orang percaya).

Kalau ada yang beda antara kita (orang benar) dengan orang-orang lain (orang fasik), perbedaan itu adalah pada gaya hidup (life style), dan carapandang mengenai perlunya melakukan kebaikan.
Karena itu, merancang kecelakaan kepada sesama, dalam setiap bentuknya, menunjukkan rendahnya kualitas hidup kita sebagai orang percaya. Sebab merancang kecelakaan sesama hanya dilakukan oleh orang-orang jahat, yaitu mereka yang sudah tidak mau hidup diatur oleh berbagai aturan moral, hukum dan agama. Orang-orang yang tidak tertib hidupnya.

Setiap hari, kita bisa berpeluang merancang kecelakaan, baik dengan pikiran kita, tutur kata dan lidah kita, dengan tangan (sambil memegang senjata atau juga pena), di dalam rumah, kantor, sekolah, kampus.

Karena itu yang penting dimaknai adalah jika hidup kita hanya untuk merancang kecelakaan terhadap sesama, Tuhan tidak akan berkehendak dengan semuanya itu, malah Ia akan merobohkan kita untuk selamanya (Mzm.52:7). Orang yang suka merancang kecelakaan itu tidak percaya kepada Tuhan, dan tidak menjadikan Tuhan tempat perlindungannya. Maka, berlindunglah pada Tuhan agar kita tetap melakukan perbuatan-perbuatan yang baik.(*)

TALITA KUM

(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella  PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS  Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...