(Kuasa Gambar dan Slogan dalam Pemilu 2009. Potret di Kota Ambon)
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Politik di Ambang Budaya Populer
Kita tidak bisa menggeserkan terpaan budaya populer dalam iklim demokrasi. Setiap bangsa dan masyarakat, dalam zaman manapun masuk dalam jaring budaya populer (popular culture net). Demokrasi itu sendiri memerlukan sarana budaya populer, dan yang paling utama adalah media, sebagai chanel propaganda.
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Politik di Ambang Budaya Populer
Kita tidak bisa menggeserkan terpaan budaya populer dalam iklim demokrasi. Setiap bangsa dan masyarakat, dalam zaman manapun masuk dalam jaring budaya populer (popular culture net). Demokrasi itu sendiri memerlukan sarana budaya populer, dan yang paling utama adalah media, sebagai chanel propaganda.
Baliho di Jalan Raya di Kota AmbonAda fenomena yang menarik dalam politik Indonesia, pasca penerapan sistem Pemilihan Umum langsung, dalam arti rakyat bertindak sendiri dan langsung memilih siapa yang menjadi wakilnya. Dengan kata lain, rakyat ‘memilih orang’ di dalam partai politik peserta pemilu.
Tampilan pada calon anggota legislatif (caleg) dalam budaya populer menjadi trend pasar politik. Bahkan dapat dikatakan media budaya populer menjadi komoditi yang diminati setiap caleg.
Saya masih ingat, sebelum terjadi sistem pemilihan umum seperti sekarang, dahulu jika ada moment hari-hari raya besar agama, ucapan selamat pada spanduk-spanduk yang dibentangkan di tepi jalan raya berbunyi begini: “Pimpinan dan Anggota DPRD mengucapkan bla-bla-bla-bla”. Tanpa foto para anggota DPRD itu. Demikian juga ucapan yang sama di media elektronik, seperti TV. Bahasa yang mereka gunakan pun bergendre ‘jamak’, atau dalam terminologi politik ‘mewakili institusi’.
Lain lagi kini. Seiring dengan perubahan sistem pemilu, maka media-media budaya populer menjadi sarana paling efektif untuk ‘memperkenalkan diri’ setiap caleg. Spanduk, baligo, stiker, dan apa pun bentuknya, akan memamerkan foto-foto para caleg dengan beragam ekspresi: dari wajah serius, sendu, senyum merekah, dengan berbagai gesture, seperti: menunjuk 1 jari, tangan terbuka laksana ‘dewa’ menyambut penyembahnya, dll.
Kepentingan mereka sederhana: ‘kenali wajahku, tahu namaku (hafal – bahkan jangan sampai salah satu huruf sekalipun), tahu nomor urutku, tahu partaiku, lalu pilihlah aku’.
Untuk membawa rakyat ke perihal ‘pilihlah aku’, mereka sengaja membangun kontrak melalui berbagai slogan yang diusung. Semuanya bertemakan: ‘bersama-sama pasti bisa”, atau “demi perubahan”. Bentuk-bentuk kontrak ini dahulu dinilai sebagai sebuah ‘lip service’, tetapi sekarang ‘iklan obat generik’.
Dalam seri tulisan ini, saya akan mencoba membaca geliat budaya populer dalam moment politik, yakni Pemilu Tahun 2009, khusus di Kota Ambon (dan sekitarnya). Saya akan menggunakan juga metode Critical Discourse Analysis (CDA – Analisis Wacana Kritis), untuk secara sengaja membaca pesan dan makna tertentu dari gambar (foto) dan bahasa yang muncul pada media-media budaya populer yang bertebaran dan berserakan di jalan-jalan di Kota Ambon (dan sekitarnya).