Friday, January 30, 2009

Ayat-ayat Politik

(Kuasa Gambar dan Slogan dalam Pemilu 2009. Potret di Kota Ambon)
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


Politik di Ambang Budaya Populer
Kita tidak bisa menggeserkan terpaan budaya populer dalam iklim demokrasi. Setiap bangsa dan masyarakat, dalam zaman manapun masuk dalam jaring budaya populer (popular culture net). Demokrasi itu sendiri memerlukan sarana budaya populer, dan yang paling utama adalah media, sebagai chanel propaganda.


Baliho di Jalan Raya di Kota AmbonAda fenomena yang menarik dalam politik Indonesia, pasca penerapan sistem Pemilihan Umum langsung, dalam arti rakyat bertindak sendiri dan langsung memilih siapa yang menjadi wakilnya. Dengan kata lain, rakyat ‘memilih orang’ di dalam partai politik peserta pemilu.


Tampilan pada calon anggota legislatif (caleg) dalam budaya populer menjadi trend pasar politik. Bahkan dapat dikatakan media budaya populer menjadi komoditi yang diminati setiap caleg.
Saya masih ingat, sebelum terjadi sistem pemilihan umum seperti sekarang, dahulu jika ada moment hari-hari raya besar agama, ucapan selamat pada spanduk-spanduk yang dibentangkan di tepi jalan raya berbunyi begini: “Pimpinan dan Anggota DPRD mengucapkan bla-bla-bla-bla”. Tanpa foto para anggota DPRD itu. Demikian juga ucapan yang sama di media elektronik, seperti TV. Bahasa yang mereka gunakan pun bergendre ‘jamak’, atau dalam terminologi politik ‘mewakili institusi’.


Lain lagi kini. Seiring dengan perubahan sistem pemilu, maka media-media budaya populer menjadi sarana paling efektif untuk ‘memperkenalkan diri’ setiap caleg. Spanduk, baligo, stiker, dan apa pun bentuknya, akan memamerkan foto-foto para caleg dengan beragam ekspresi: dari wajah serius, sendu, senyum merekah, dengan berbagai gesture, seperti: menunjuk 1 jari, tangan terbuka laksana ‘dewa’ menyambut penyembahnya, dll.


Kepentingan mereka sederhana: ‘kenali wajahku, tahu namaku (hafal – bahkan jangan sampai salah satu huruf sekalipun), tahu nomor urutku, tahu partaiku, lalu pilihlah aku’.
Untuk membawa rakyat ke perihal ‘pilihlah aku’, mereka sengaja membangun kontrak melalui berbagai slogan yang diusung. Semuanya bertemakan: ‘bersama-sama pasti bisa”, atau “demi perubahan”. Bentuk-bentuk kontrak ini dahulu dinilai sebagai sebuah ‘lip service’, tetapi sekarang ‘iklan obat generik’.


Dalam seri tulisan ini, saya akan mencoba membaca geliat budaya populer dalam moment politik, yakni Pemilu Tahun 2009, khusus di Kota Ambon (dan sekitarnya). Saya akan menggunakan juga metode Critical Discourse Analysis (CDA – Analisis Wacana Kritis), untuk secara sengaja membaca pesan dan makna tertentu dari gambar (foto) dan bahasa yang muncul pada media-media budaya populer yang bertebaran dan berserakan di jalan-jalan di Kota Ambon (dan sekitarnya).

Badendang

Oleh. Elifas Tomx Maspaitella

Kalau telah menjadi suatu kelaziman umum yang ada di setiap negeri di Maluku, badendang patut disebut sebagai sebuah tradisi yang dipraktekkan secara turun-temurun dalam masyarakat. Beta berpendapat mungkin kita perlu mencari suatu core sosial dari mana dan bagaimana sampai tradisi ini berkembang di setiap negeri.

Penelusuran ke arah itu mungkin bisa ditempuh dari beberapa item, seperti nyanyian pada saat badendang, dengan kebiasaan berbalas pantun. Lagu-lagu irama tifa, dll, yang menceritakan berbagai hal, terutama pemaknaan mengenai persaudaraan.

Mengapa tradisi ini lazim muncul pada saat ‘pesta tahun baru’, atau tepatnya sebagai suatu bentuk ekspresi masyarakat telah berada di tahun yang baru? Masyarakat di Eropa dan Amerika, biasa menyambutnya dengan mengadakan pesta atau perayaan besar (karnaval), yang berpuncak dengan pesta kembang api. Mungkinkah masyarakat kita juga demikian? Menanti saat pergantian tahun, lalu meluapkan kegembiraannya dengan ‘badendang’.

Beta masih ingat pula, dahulu di Rutong, badendang ini diadakan sebagai luapan sukacita dan persaudaraan ketika saudara ‘gandong’ dari Rumahkay, yang datang mengadakan “Panas Gandong” akan kembali ke negeri mereka, atau sebaliknya. Seluruh masyarakat badendang sampai pagi, dan langsung mengantar saudara gandongnya ‘naik motor’ untuk berlayar kembali ke negerinya.

Pada tahun 2003, beta mengantar mahasiswa Fakultas Teologi UKIM melakukan Studi Kejemaatan di Nusalaut. Sebagai tanda keakraban dengan mahasiswa, orang Ameth badendang sejak subuh-subuh, dan menjemput mahasiswa di rumah ‘mama dan papa piara’, untuk selanjutnya keliling negeri, sampai saat ‘naik motor’ untuk kembali ke Ambon.

Di Uweth, Kecamatan Taniwel, Kab. Seram Bagian Barat, tradisi ini juga dilaksanakan pada 1 Januari 2009. Bapak Ibe Mawene, salah seorang tua, menturkan begini: “akang barang ini (badendang) su lama. Dari dolo-dolo lai akang su ada. Katong iko saja” (badendang ini sudah ada sejak dahulu, dan kami yang sekarang hanya meneruskannya).

Biasanya di Uweth, badendang itu berlangsung selama 5 hari, sejak 1 Januari. Pada Ibadah Tahun Baru, 1 Januari 2009, Raja Negeri Uweth, Bapak Demianus Lumamena, setelah ibadah, masih dalam ruang gereja meminta masyarakat: “tradisi ini bisa katong biking skarang. Seng ada yang larang. Cuma beta minta, akang sampe tanggal 2 saja, kar’na tanggal 4 ada Perjamuan Kudus. Tanggal 3 itu ibu Pendeta deng majelis, deng katong samua musti persiapan diri par perjamuan” (= tradisi ini (badendang) bisa dilaksanakan sekarang. Tidak ada yang melarangnya. Hanya saya minta, cukup sampai tanggal 2, karena pada tanggal 4 nanti akan ada Ibadah Perjamuan Kudus. Pada tanggal 3, Majelis Jemaat dan kita semua harus melakukan persiapan diri untuk Perjamuan).

Kelompok Badendang

Di Uweth, menurut kebiasaannya, badendang ini dilakukan oleh setiap kelompok menurut kategori gerejawi, a.l: kelompok anak-anak SM-TPI (Sekolah Minggu dan Tunas Pekabaran Injil), kelompok Angkatan Muda, Kelompok Laki-laki, dan Kelompok Perempuan. Yang mengkoordinirnya pun adalah Pengasuh, Pengurus AMGPM dan Wadah Laki-laki dan Perempuan. Sebenarnya memang perubahan ini baru terjadi di waktu kemudian; sebab dahulu tradisi ini diadakan hanya oleh orang dewasa dan secara umum.
Aturannya, setiap kelompok harus badendang di setiap rumah jemaat (kecuali rumah janda, dan keluarga yang oleh masyarakat dikategorikan ‘tidak mampu’). Setiap keluarga, pada setiap rumah wajib menyambut setiap kelompok badendang, dan cukup memberi sebuah kue, atau sepiring waji, dan sebotol minuman (Orange, Fanta, dan sejenis – untuk anak SM-TPI; dan sebotol sopi kepada kelompok pemuda, laki-laki dan perempuan).

Biasanya mereka tidak bisa badendang di setiap rumah pada tanggal 1 itu. Karena itu dilanjutkan untuk rumah-rumah yang belum dikunjungi pada tanggal 2. Pada malam tanggal 1, dilaksanakan Pesta Negeri (untuk umum).

Nah, ini juga ada suatu ‘aturan’ yang katanya sudah turun-temurun. Setiap orang dewasa diwajibkan menghadiri pesta. Jika ada yang tidak mau menghadiri pesta, wajib matawana (begadang) semalam suntuk sampai pesta selesai. Jika ada yang tidak matawana, berarti keluarganya dikenakan denda. Keesokan harinya (tanggal 2), para pemuda akan badendang ke rumah keluarga-keluarga yang tidak matawana itu untuk menagih denda. Denda ini bisa diberikan dalam bentuk uang (sukarela), atau juga kue. Setelah menagih denda, para pemuda ini biasanya melanjutkan badendang di rumah-rumah yang belum dikunjungi sehari sebelumnya, dan malamnya diadakan pesta khusus untuk pemuda.

Beberapa syair dalam badendang:
-Mau masuk Rumah yang dituju:
Mama bilang, mama bilang singgah dolo
Singgah di rumah e taong baru lele oooo

-Di depan pintu rumah yang dituju:
Bapa laeng-laeng tidak ku suka
Bapa ….(nama kepala keluarga) au suka neka

-Setelah diberi kue dan minuman:
Bae…bae….ada bae….bae
Tagal Bapa/ibu punya bae kami junjung di kepala

Kemudian diselingi nyanyian lain, dan berbalas pantun.

Dunia Bermain Anak di Maluku : (1)

Pata-pata (Letup-letup)
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

Sebenarnya beta bermaksud melihat aspek teologi dari dunia bermain anak. Memang ini memerlukan suatu pendalaman khusus, meliputi berbagai aspek, terutama prakarsa dan partisipasi anak di dalam dunianya sebagai bagian dari cara anak berteologi dengan diri dan di dalam dunianya.

Pata-pata:
Edi Lumamuly, beta pung anak sarane (anak saksi baptisan) di jemaat Uweth (Klasis GPM Taniwel, Kec. Taniwel, Kab. Seram Bagian Barat – Maluku), pada tanggal 10 Juli 2008, bermain pata-pata bersama teman-temannya.
Melihatnya, beta mengingat masa kecil di Rutong. Kami bermain pata-pata pada saat musim bunga jambu, dan bunga kayu putih. Kalau tidak ada kedua musim itu, berarti juga bukan musim main pata-pata. Ternyata, Edi dan teman-temannya bermain pata-pata tanpa menghitung musim tersebut, sebab ‘peluru’-nya dipakai dari daging buah kelapa (isi kalapa/kalapa sisi).

Pata-pata itu semacam ‘senjata’ yang dibuat dari sebatang bambu yang khusus untuk itu. Dibuat semacam tangkai, dengan ‘pendorong’ dari bambu yang diraut, gunanya untuk mendorong ‘peluru’ keluar dari pata-pata dan menghasilkan bunyi/letupan.

Mereka bermain sambil ‘baku tembak’ satu terhadap lain. Ibarat seorang tentara yang sedang berperang, mereka mengisi pata-pata dengan ‘peluru’-nya, lalu lari ‘menyerang’ rekannya, sambil bersembunyi di balik pohon, atau langsung berhadap-hadapan (‘baku tada’) lalu menembak satu terhadap lain.

Kadang terdengar mereka saling mengejek, jika kedapatan temannya dinilai ‘panaku’ (penakut), dan selalu bersembunyi, dan tidak berani ‘baku tada’. Ada kalanya juga, jika kehabisan ‘peluru’, mereka meminta pasokan dari persediaan teman, yang dala permainan itu menjadi lawannya.
Mentalitas ‘militerisme’ yang tanpa sadar terbentuk oleh jenis permainan mereka. Suatu lingkungan bermain, yang ternyata dibalur oleh kesadaran kanak-kanak, tentang ‘kegembiraan’.
Mereka mencari dunia bermainnya, dan menemukan alat bermain yang tepat. Jenis permainan itu adalah materialisme dunia riil di luarnya (dunia militer) yang diterjemahkan ke dalam dunia mereka sendiri; menurut gaya dan pola kanak-kanak.
Tampak mereka menikmati dunianya itu. Hal itu dapat saja membentuk suatu struktur perilaku tertentu di antara mereka.
Aktifitas permainan itu memberi kesan tersendiri. Setelah permainan itu, mereka memperbaiki secara bersama pata-pata yang rusak. Pola harmoni masa kanak-kanak setelah bermain pata-pata.(*)





TALITA KUM

(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella  PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS  Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...