Materi Khotbah
Bahan Khotbah : Mazmur 72:1-11
Saudara-saudaraku,
Tulisan dalam Mazmur 72:1-11(20), merupakan suatu hymne kepada keadilan dari yang keluar dari tangan raja/penguasa. Ini adalah nyanyian pengagungan kepada raja yang berlaku adil, serta disertai dengan beberapa anjuran hikmat tentang tatanan keadilan (social justice/order) yang ideal.
Jika kita menempatkan tulisan ini pada masanya, maka mazmur ini dimaksudkan untuk mengajak para pemimpin Israel untuk menegakan keadilan, dengan meminjam tradisi Salomo, atau pengalaman di masa Salomo. Ada pola yang baik di masa lampau yang diharapkan menjadi pedoman atau contoh mengenai bagaimana seorang pemimpin harus membangun tatanan keadilan tadi.
Memang teologi keadilan sosial (social justice) mendapat ruang yang khusus dalam sastra hikmat, terutama karya-karya dalam masa hancurnya monarkhi, pembuangan dan pascapembuangan Babel. Demikian pun sebenarnya dalam karya sastra deuteronomi (KSD). Pentingnya keadilan sosial dalam tulisan hikmat atau himpunan tulisan-tulisan (ketuvim) karena keadilan sosial itu diharapkan menjadi semacam kanon (atau norma) yang keluar dari lembaga kepemimpinan, atau dari tangan dan mulut raja.
Ini sangat terkait dengan fungsi negara dan penguasa yang diharapkan menjadi bentuk ideal dari pemerintahan Tuhan di dunia. Tema ini menarik sebab dalam zaman monarkhi, raja atau kaisar dipahami sebagai wakil Tuhan di dunia. Bangsa-bangsa lain kemudian malah mengembangkan kultus raja (royal cult) dan memposisikan raja/kaisar laksana Tuhan itu sendiri.
Dalam Mazmur 72:1-11(20), harapan itu menjadi semacam puisi pujian kepada raja. Frasa pembuka hymne ini berbunyi : “Ya Allah, berikanlah hukumMu kepada raja, dan keadilanMu kepada putera raja” (ay.1).
Frasa ini merupakan suatu bentuk permohonan yang menempatkan Daud dan Salomo sebagai tipe ideal dari raja yang dikehendaki Tuhan. Sesungguhnya ini adalah pengaruh dari karya kaum Yahwist yang mencoba untuk membangun hegemoni dinasti Daud sebagai suatu cara memulihkan lagi Yahwisme dan Kerajaan Israel Raya. Tujuannya sangat politis, yakni agar umat percaya bahwa raja adalah manifestasi Tuhan yang bertindak di dalam hidup masyarakat. Dengan demikian, raja menjadi simbol dari kekuasaan Tuhan di Israel.
Ungkapan ‘berikanlah hukumMu kepada raja, dan keadilanMu kepada putera raja’ merupakan bentuk paralelisme langsung, di mana raja dialamatkan dengan hukum secara ideal, dan putera raja dialamatkan dengan keadilan sebagai instrumen dari hukum itu. Tujuan pemazmur adalah untuk menegaskan bahwa hukum yang bersumber dari raja tetap menjadi bagian dari praktek yang sama yang dilakukan oleh puteranya.
Jika itu ditempatkan dalam hierarkhi dinasti Daud, maka bisa dimengerti bahwa jika Daud melakukan keadilan, oleh hukum yang bersumber dari Tuhan, maka Salomo pun demikian. Karena itu, ungkapan ‘hukumMu’ dan ‘keadilanMu’ adalah cara pemazmur memberi sumber legitimasi pada hukum dan keadilan yang dipraktekkan dua raja itu.
Saudara-saudaraku,
Memang begitulah pola legalisasi kekuasaan di zaman Israel Alkitab. Legalisasi diberikan kepada Tuhan, dan karena itu, setiap raja yang bertindak sesuai hukum Tuhan adalah raja yang baik. Kita akan mendapatkan kesan itu melekat pada Daud dan Salomo dalam seluruh tulisan Mazmur sampai pada 1 dan 2 Tawarikh.
Kembali kepada teks kita, terbesit dalam hymne ini suatu harapan akan terbitnya tatanan keadilan sosial baru di dalam negara. Praktek pemberlakuan hukum dan keadilan dari raja harus mewarnai seluruh proses penegakan hukum dan keadilan di masyarakat. Hukum menjadi standard dan norma dari seluruh proses penegakan keadilan. Terutama karena itu, bisa membela hak orang-orang kecil dan tertindas.
Ini adalah jiwa sosial hukum dalam teks bacaan kita ini. Ayat 2 menegaskan maksud dari ayat 1 tadi. Artinya, rakyat mengharapkan keadilan yang datang dari tangan raja, melalui akta penegakan hukum kepada orang-orang yang tertindas.
Proses pengadilan yang dilakukan langsung oleh raja diharapkan mampu mengangkat kembali harkat umat yang tertindas. Negara memang diharapkan menjadi pilar penyanggah keadilan yang merata bagi semua umat.
Raja diberi peran dan fungsi yang positif, agar keadilan sosial itu bisa memulihkan hak-hak sipil umat/warga. Memberi peran kepada raja sama artinya mengharapkan intervensi kekuasaan ke dalam upaya pemulihan hak sipil dan penegakan keadilan sosial.
Kita akan bertanya, mengapa pemazmur memberi peran itu kepada raja? Karena raja dan negara benar-benar diberi kekuasaan dan mandat untuk menegakan hukum dan keadilan itu. Ini adalah fungsi yang telah menjadi bagian dari hakekat raja/negara terhadap warga/umatnya.
Saudara-saudaraku,
Lalu seberapa urgennya praktek hukum dan keadilan itu harus dipraktekkan raja/negara? Pemazmur menunjuk urgensi itu pada ayat 3-11. Ada beberapa faktor dar urgensi itu yang perlu kita petakan secara lebih cermat, agar kita bisa memahami posisi pemerintah atau negara dalam kaitan dengan pemberlakuan hukum dan keadilan ini.
Ayat 3-4 adalah gambaran figuratif bahwa praktek hukum dan keadilan yang keluar dari tangan raja akan membawa ketenteraman dan keadilan di seluruh penjuru bumi. Simbol gunung dan bukit-bukit dalam ayat 3 dilabeli sifat atributif yakni ‘sejahtera’ dan ‘kebenaran’. Artinya seluruh muka bumi akan dipenuhi dengan kesejahteraan dan keadilan, atas praktek hukum yang lurus dari tangan raja. Ini adalah gambaran bahwa tatanan keadilan sosial tadi akan terbangun kembali, dan tidak ada sejengkal wilayah pun yang tidak tersentuh oleh keadilan sosial itu.
Karena itu ayat 4 menegaskan bahwa manusia yang ada di seluruh wilayah bumi, terutama mereka yang tertindas akan bisa menikmat keadilan dan kebenaran, sebagai buah dari praktek hukum dari tangan raja. Ini adalah hal-hal yang mendasar, dan terkait dengan hak-hak dasar hidup manusia/masyarakat.
Semua orang bisa menikmati hak dasar hidup mereka, asalkan raja dan negara benar-benar menjadi sumber penegakan hukum dan keadilan itu. Dalam ayat 5, implikasi dari tindakan penegakan hukum yang dilakukan raja adalah sanksi kepada para pemeras. Ini adalah hal yang perlu demi tegaknya tatanan keadilan. Para pemeras dalam ayat ini adalah mereka yang menjadi biang dari semua penderitaan masyarakat. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa mereka berasal dari kalangan istana, orang-orang kaya, dan juga para tuan tanah. Mereka adalah kelompok pada strata sosial yang mapan.
Ini suatu kecenderungan obyektifasi terhadap orang-orang miskin. Sebab sebutan ‘kaum pemeras’ berarti bahwa mereka telah menjadikan orang-orang miskin sebagai budak yang tidak diupahi secara wajar. Malah orang miskin itu terus ditindas dan dililit dengan utang yang semakin bertambah. Tidak ada ruang untuk orang miskin menebus dirinya, sebab semakin mereka berusaha, mereka semakin ditekan dengan berbagai bentuk ketentuan yang tidak adil/berat sebelah. Karena itu, harapan hanya ada pada raja/negara. Artinya, perlu intervensi negara untuk membangun tatanan hukum yang adil agar tidak terjadi proyek ekspoloitasi, obyektifasi dan ketidakadilan sosial lainnya.
Saudara-saudaraku,
Selebihnya ayat 5-11 adalah semacam doa untuk raja yang mempraktekkan hukum dan keadilan itu. Berbagai macam ‘berkat’ dalam bentuk umur panjang, kehormatan, kekuasaan yang luas, kejayaan, akan menjadi milik raja yang adil.
Tetapi ayat 7 malah menunjuk bahwa keadilan akan menjadi ciri yang tipikal dari negara yang dipimpin raja yang adil itu selama-lamanya. Ini adalah kondisi ideal yang diharapkan terwujud di Israel, atau dalam kehidupan bangsa-bangsa di dunia.
Ayat 5-11 ini ditulis dengan menggunakan tipe hukum bersyarat (conditional law) sebagai salah satu bentuk penulisan hukum dalam Perjanjian Lama. Artinya, jika raja melakukan apa yang ada pada ayat 1-4, maka raja dan negara itu akan mengalami hal-hal seperti dalam ayat 5-11 itu. Jadi kondisi dalam ayat 5-11 adalah implikasi langsung dari tindakan raja sesuai dengan ayat 1-3 tadi.
Pola penulisan hukum seperti ini dimaksudkan untuk mengajak umat melakukan tindakan-tindakan positif dalam hidup mereka. Sebab Tuhan menjadi sumber berkat yang akan memberikan yang baik kepada mereka yang melakukan keadilan, dan akan menghukum mereka yang melakukan pelanggaran. Model hukum retributif seperti itu cukup dominan dalam materi hukum PL, termasuk dalam Mazmur ini.
Saudara-saudaraku,
Sebenarnya praktek hukum dan keadilan dari negara dan para pemimpin adalah dambaan kita. Dalam masyarakat monarkhi, sumber legitimasinya ada pada Tuhan, karena itu, setiap hukum yang diterapkan dinilai bersumber atau berasal atau diturunkan oleh Tuhan melalui para raja, imam, nabi dan hakim-hakim.
Sebaliknya kita berada dalam suatu negara demokrasi. Kita tidak perlu mempertentangkan tinggi rendahnya sumber hukum dalam negara monarkhi dengan demokrasi seperti Indonesia. Sebab dalam negara demokrasi, Indonesia memahami bahwa setiap produk hukum kita bersumber lurus dari Pancasila dan UUD 1945. Itu sama sekali tidak berarti bahwa hukum dalam negara demokrasi jauh lebih rendah dari hukum dalam negara monarkhi.
Baik dalam negara monarkhi maupun demokrasi, hal yang paling penting terkait dengan hukum adalah budaya penegakan hukum. Ini yang menjadi masalah klasik setiap bangsa pada setiap zaman, termasuk Israel dalam masa monarkhi mereka.
Budaya penegakan hukum di Indonesia akhir-akhir ini diuji dengan berbagai praktek ketidakadilan yang semakin membuat kita kehilangan arah untuk membangun demokrasi Pancasila itu. Tidak jelas bagaimana cara yang paling baik untuk menegakan hukum di negara kita.
Kasus suap dan kolusi telah menjadi bentuk pengingkaran dan reduksi terhadap fungsi hukum untuk membangun tatanan keadilan sosial. Faktor pengaruh berikutnya adalah intervensi politik dan kekuasaan dalam budaya penegakan hukum di Indonesia juga menjadi sumber macetnya aparatur negara dalam mewujudkan supremasi hukum.
Bahkan terkesan, tidak ada lagi harapan akan keadilan dan penegakan hukum dari negara. Kita bisa melihat bagaimana polisi disuap, jaksa disuap, hakim disuap, bahkan para saksi pun turut disuap. Tujuannya adalah agar suatu bentuk kesalahan dianggap benar, hanya karena suap itu.
Belum lagi daya terjang hukum yang sangat cepat kepada para pelaku pencurian dan perjudian di pasar-pasar, ketimbang kepada para koruptor di kantor-kantor pemerintahan. Hukum begitu proaktif terhadap perkelahian antar-tetangga, tetapi sangat kompromi dengan aktor intelektual di balik kerusuhan sosial yang melanda setiap bagian wilayah Indonesia.
Belum lagi hukum yang ditafsir seenak maunya para penegak hukum, membuat budaya hukum kita menjadi sedemikian rapuhnya. Dalam semuanya itu, negara pun terkadang cukup kompromi dengan berbagai kasus pelanggaran hukum yang melibatkan orang-orang penting dan berkuasa lainnya.
Padahal kita berharap agar negara menjadi sumber yang darinya datang hukum dan keadilan. Di sinilah kita perlu memberi perhatian mengenai bagaimana supaya elemen-elemen negara itu berfungsi memberi rasa adil kepada semua rakyat.
Saudara-saudaraku,
Sebagai masyarakat Indonesia kita mesti mengakui bahwa Pancasila sebagai sumber hukum di negara kita adalah berkat TUHAN dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Tidak mungkin di Indonesia kita membangun hukum atas dasar ajaran suatu agama. Karena itu Pancasila adalah sumber hukum yang merupakan bukti bahwa Tuhan memberkati Indonesia dengan hukum positifnya.
Ini perlu menjadi semacam pengakuan iman kita sebagai bangsa. Demikian pun pengakuan iman para pemimpin, bahwa mereka ditetapkan melalui suatu proses demokrasi agar hukum yang bersumber dari Pancasila itu benar-benar difungsikan untuk membangun keadilan sosial di Indonesia. Tidak ada tawaran lain selain menjaga agar anugerah Tuhan itu tetap dijadikan norma dasar dari setiap pemberlakuan hukum di negara kita.
Di atas semuanya, masyarakat pun diharapkan bisa menjadi warga yang sadar hukum, agar kita tidak saling menciderai, tidak mengeksploitasi orang lain, tidak merampas hak orang lain, tidak melakukan tindak kriminal secara individual atau berkelompok terhadap orang atau kelompok lain, tetapi membangun hidup yang setara di hadapan hukum dan di hadapan Tuhan, di dalam bangsa yang beradab dan merdeka ini. Amin
Wednesday, July 2, 2008
Batu Hidup
Materi Khotbah
Bahan Bacaan : 1 Petrus 2:1-10
Saudara-saudaraku,
Teks 1 Petrus 2:1-10 tidak bisa kita pahami terlepas dari konteks pembangunan gereja di zaman para rasul. Suatu zaman di mana gereja ditempa untuk semakin mengakarkan eksistensinya di dalam masyarakat. Dalam hal itu, masalah jati diri atau identitas adalah aspek penting bagi gereja. Gereja memang perlu membangun penjatidirian yang baru atau solid di dalam konteks masyarakat yang majemuk kala itu.
Ada beberapa terminologi yang dikemukakan penulis 1 Petrus sebagai acuan teologis untuk memahami identitas, posisi dan peran gereja. Tetapi terlebih dahulu perlu dimengerti bahwa pada zaman itu, gereja atau apa yang dikenal dengan sebutan ekklesia, bukanlah suatu lebaga agama yang otonom, seperti dewasa ini, melainkan suatu organisasi sosial (social movement) yang mencoba tampil dengan warnanya yang khas.
Bagi para rasul beberapa kekhasan ekklesia yang perlu ditonjolkan. Pertama, pelayanan sosial, dalam wujud eukharisti dan diakonia. Eukharisti dalam zaman gereja perdana adalah suatu akta pelayanan sosial dalam hal memberi makan kepada orang-orang miskin. Akta ini yang kemudian ditransfer menjadi suatu akta sakramen, dengan simbol pengurbanan Yesus. Sedangkan pelayanan diakonia juga ditujukan kepada orang-orang miskin, sebagai suatu bentuk sikap kritik ekklesia kepada berbagai persoalan kesenjangan sosial yang terjadi karena diskriminasi kelas menengah ke atas terhadap kelas menengah ke bawah.
Kedua, kekudusan. Ini sebenarnya mengarah pada konteks keterpilihan (election) kelompok ekklesia di antara kelompok lainnya di dalam masyarakat. Bagi penulis Petrus, keterpilihan ekklesia itu didasarkan pada pengurbanan dan penebusan yang dikerjakan Yesus. Penulis Petrus perlu memberi penegasan ini agar kelompok ekklesia memahami bahwa mereka bukanlah orang-orang yang tersingkir dalam masyarakat. Walau mereka dimarginalkan, mereka dipandang penting oleh Tuhan.
Carapandang itu sebenarnya bertujuan untuk membangun suatu identitas baru dari kelompok sosial yang bernama ekklesia tadi. Karena itu penulis surat ini menggunakan beberapa terminologi yang penting, antara lain: batu hidup/batu penjuru, bangsa yang kudus, imamat kudus/imamat rajani, umat kepunyaan Allah.
Saudara-saudaraku,
Terminologi ‘batu hidup’ atau ‘batu penjuru’ merupakan terminologi yang menunjuk bahwa kelompok ekklesia itu adalah kaum marginal, tetapi yang telah ditransformasi. Peristiwa transformasi itu terjadi melalui akta penebusan oleh Yesus (bnd. 1 Pet.1:18). Karena itu frasa: ‘dan datanglah kepadanya, batu yang hidup itu, yang memang dibuang oleh manusia, tetapi yang dipilih dan dihormat di hadirat Allah. Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan rumah rohani…” (ay.4-5b), menggambarkan bahwa memang kelompok ekklesia itu adalah kaum marginal yang dimarginalisasi dalam masyarakat.
Sebenarnya gambaran itu muncul secara kuat di dalam teks 1 Petrus, sehingga penulisnya perlu memberi semacam penghiburan kepada mereka bahwa mereka harus tahan menderita. Untuk membuat umat bertahan dalam penderitaan itu, penulis surat ini mengambil gambaran ideal dari Yesus yang tahan menderita demi menebus manusia. Ini suatu pola identifikasi diri atau labelisasi yang dalam banyak hal telah menjadi bagian dari harapan parousia dalam kekristenan di zaman para rasul, termasuk juga yang digunakan oleh Paulus.
Kembali kepada simbolisasi ‘batu hidup’ tadi, penulis surat ini sebenarnya hendak membangun identitas yang baru di kalangan kaum ekklesia tadi. Faktor identitas ini penting bagi kaum ekklesia di dalam tekanan sosial yang begitu hebat dan diskriminatif. Setidaknya, simbol ‘batu hidup’ itu bisa membuat mereka memahami bahwa mereka memiliki sesuatu yang khas, berbeda dari orang lain, termasuk dari kelompok sosial lain yang cenderung korup dan menindas. Faktor ini bisa memberi kepada mereka suatu keyakinan bahwa mereka adalah ‘bangsa yang dipilih Tuhan’ (bnd.ay.10).
Rasa memiliki suatu identitas baru itu yang akan membuat kelompok ekklesia bisa mengembangkan sifat dan karakter mereka yang khas, termasuk dalam hal melayani. Hanya 1 Petrus 2:1-10 memberi tekanan yang kuat pada dimensi pelayanan spiritual, melalui simbol ‘rumah rohani’. Jadi identitas yang dimaksud tadi cenderung dibangun secara eksklusif agar kaum ekklesia itu merasa bahwa walau dimarginalisasi dalam konteks sosial, mereka tetap berharga bagi Tuhan (bnd. ay.4d).
Ada kelemahan dari penekanan seperti itu yakni, identitas ekklesia menjadi suatu bentuk spiritualisasi dari kenyataan diskriminasi sosial yang mereka alami. Sehingga kritik terhadap diskriminasi kurang terlalu ditekankan penulis surat ini. Padahal kaum ekklesia menderita berbagai bentuk ketidakadilan sosial, yang justru membuat mereka tidak berdaya mengaktualisasikan diri dan juga agama mereka.
Saudara-saudaraku,
Kemudian simbolisasi ‘imamat kudus/imamat yang rajani’ adalah sifat fungsional dari simbol ‘batu hidup/batu penjuru’ tadi. Konsep ini mengalamatkan bahwa kelompok ekklesia dipilih (to be elected) atau dipanggil (called) oleh Tuhan untuk suatu maksud ‘memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia’ (ay.9).
Hakekat keterpilihan dan keterpanggilan ekklesia adalah ‘to anounce’ (untuk memberitahukan) atau ‘to proclaim’ (untuk memberitakan/memproklamasikan) kabar baik dari Tuhan. Kita tentu akan bertanya perihal ‘perbuatan-perbuatan besar dari Dia’. Dalam perspektif surat Petrus, hal itu adalah tindakan pengurbanan Yesus untuk menebus manusia, sebagai model dari ketaatan kepada Bapa-Nya (bnd. dimensi ketaatan yang dianjurkan dalam 1 Pet.2:11-17).
Inti dari pengurbanan Yesus bagi penulis surat ini sebenarnya adalah pemulihan kondisi hidup manusia, atau transformasi sosial dan spiritual yang dikerjakan Tuhan terhadap manusia. Di situ sebetulnya hakekat tugas pemberitaan dan pelayanan yang hendak ditekankan penulis surat ini. Artinya, pelayanan itu harus mampu membuat restorasi dan rehabilitasi yang mendalam dan menyeluruh terhadap hidup manusia.
Proses pemulihan yang dikerjakan Tuhan, kini menjadi tugas gereja agar terwujud suatu corak hidup yang baru, atau juga masyarakat memiliki suatu identitas yang baru, yang karena itu menunjukkan bahwa mereka dikuduskan Tuhan (bnd. pasal 1).
Ini adalah dua hal yang penting dari surat ini. Dua hal itu pula yang kiranya perlu kita ejawantahkan dalam hidup gereja di tengah masyarakat majemuk dewasa ini.
Saudara-saudaraku,
Apakah perlu kita membangun identitas sebagai gereja di tengah masyarakat majemuk? Perlu. Identitas itu memberi kepada setiap orang arah dan proyeksi kehidupan, dan bahkan membentuk carapandang yang integral tentang diri, tanggungjawab, posisi, peran, fungsi dan terutama rasa memiliki terhadap diri dan sesamanya.
Penting kita merasa bahwa kita adalah gereja, tetapi jauh lebih penting adalah berusaha untuk selalu ‘menjadi gereja’ (being a church). Dalam hal menjadi gereja, kita berada dalam proses yang sama untuk ‘menjadi masyarakat’. Di situlah kita dihadapkan pada sejumlah persoalan sosial dan agama yang memang harus selalu dijawab oleh gereja.
Dalam rangka ‘menjadi gereja’ persoalan diskriminasi sosial merupakan hal-hal yang tidak bisa dihindari tetapi harus disikapi secara profetik. Artinya apa? Gereja harus bisa menjadi kekuatan kontrol sosial yang selalu proaktif melakukan tindak koreksi terhadap berbagai bentuk diskriminasi sosial, baik yang menimpa dirinya maupun orang lain.
Diskriminasi sosial itu tidak perlu dispiritualisasikan, lalu kita mematok bahwa yang didiskriminasi adalah orang-orang kristen saja; sehingga terkesan bahwa gereja hanya harus melakukan koreksi sosial jika orang-orang kristen yang menjadi korban.
Justru dalam proses ‘menjadi gereja’, gereja harus benar-benar merehabilitasi kehidupan sosial masyarakat sebab di situlah terletak kekhasannya sebagai gereja, yakni ‘melayani bukan untuk dirinya, tetapi untuk semua orang’ (serve for all). Di situlah letak kekhasan jatidiri gereja, bahwa ia menjadi sebuah kekuatan pelayanan yang universal.
Karena itu penting kita memahami term ‘batu hidup’ secara kritis dalam kerangka tafsir baru di dalam konteks masyarakat majemuk di Indonesia, misalnya. Bahwa, identitas-identitas agama harus dikeluarkan dari perangkap eksklusifisme, dan kita membangun suatu carapandang bersama yang baru bahwa, tidak sepantasnya kita membiarkan setiap bentuk diskriminasi atas nama agama, etnis atau latar belakang sosial apa pun di negeri kita ini.
Panggilan menjadi ‘batu hidup’ pun tidak mesti dipahami secara spiritual an-sich. Sebab spiritualisasi terkesan mengabaikan realitas penderitaan manusia, dan membangun harapan-harapan (eskhatologi) yang kosong. Kita berada di dunia yang riil, dan penderitaan yang dialami adalah juga suatu masalah sosial yang riil. Kemiskinan itu riil, pengangguran itu riil, pertikaian itu riil, marginalisasi, diskriminasi, ketidakadilan, semuanya riil, dan manusia yang mengalaminya itu pun adalah kelompok yang riil.
Ketika gereja harus berfungsi sebagai ‘batu hidup’ dalam konteks riil, tidak mungkin kita mengalihkan realitas itu ke wilayah abstrak dan transenden lagi. Kita malah harus mencari dan melakukan tindakan sosial yang riil, agar realitas penderitaan manusia tadi bisa kita atasi secara bersama dan kontekstual.
Saudara-saudaraku,
Justru ketika kita melihat semuanya secara riil, maka fungsi kita sebagai imamat kudus/imamat yang rajani juga adalah suatu fungsi yang riil, dan bertujuan untuk membantu merehabilitasi kehidupan manusia yang sudah terpuruk.
Pemulihan kondisi kehidupan itu perlu kita kerjakan sekarang di dunia nyata ini. Imamat kudus/imamat yang rajani itu memberi kepada gereja tugas sosial baru, yaitu untuk menolak setiap praktek diskriminasi sosial, politik, ekonomi dan agama.
Sikap penolakan itu harus lahir dari komitmen gereja untuk selalu memberitakan kabar sukacita, perdamaian, ketenteraman, persekutuan, persaudaraan, saling cinta dan hormat-menghormati. Fungsi-fungsi ini yang menjadi bukti bahwa memang gereja itu penting dan berharga bagi Tuhan, laksana batu penjuru tadi.
Bahwa memang menjadi gereja itu penting di dalam masyarakat dewasa ini, sebab gereja itu masih harus berjuang untuk membangun tata kehidupan dunia dan masyarakat yang jauh lebih manusiawi dan terhormat.
Bahwa menjadi gereja itu adalah bagian dari cara Tuhan mengasihi kita, dan kasihNya itu membuka jalan baru untuk kita semakin bertahan mengerjakan hal-hal baik, meski kita dihadapkan pada berbagai tantangan dan bahkan mungkin penderitaan.
Semoga kita selalu terbuka untuk memahami bahwa, kita penting bagi Tuhan, yaitu karena masih banyak tugas pemulihan sosial yang harus kita kerjakan. Amin
Bahan Bacaan : 1 Petrus 2:1-10
Saudara-saudaraku,
Teks 1 Petrus 2:1-10 tidak bisa kita pahami terlepas dari konteks pembangunan gereja di zaman para rasul. Suatu zaman di mana gereja ditempa untuk semakin mengakarkan eksistensinya di dalam masyarakat. Dalam hal itu, masalah jati diri atau identitas adalah aspek penting bagi gereja. Gereja memang perlu membangun penjatidirian yang baru atau solid di dalam konteks masyarakat yang majemuk kala itu.
Ada beberapa terminologi yang dikemukakan penulis 1 Petrus sebagai acuan teologis untuk memahami identitas, posisi dan peran gereja. Tetapi terlebih dahulu perlu dimengerti bahwa pada zaman itu, gereja atau apa yang dikenal dengan sebutan ekklesia, bukanlah suatu lebaga agama yang otonom, seperti dewasa ini, melainkan suatu organisasi sosial (social movement) yang mencoba tampil dengan warnanya yang khas.
Bagi para rasul beberapa kekhasan ekklesia yang perlu ditonjolkan. Pertama, pelayanan sosial, dalam wujud eukharisti dan diakonia. Eukharisti dalam zaman gereja perdana adalah suatu akta pelayanan sosial dalam hal memberi makan kepada orang-orang miskin. Akta ini yang kemudian ditransfer menjadi suatu akta sakramen, dengan simbol pengurbanan Yesus. Sedangkan pelayanan diakonia juga ditujukan kepada orang-orang miskin, sebagai suatu bentuk sikap kritik ekklesia kepada berbagai persoalan kesenjangan sosial yang terjadi karena diskriminasi kelas menengah ke atas terhadap kelas menengah ke bawah.
Kedua, kekudusan. Ini sebenarnya mengarah pada konteks keterpilihan (election) kelompok ekklesia di antara kelompok lainnya di dalam masyarakat. Bagi penulis Petrus, keterpilihan ekklesia itu didasarkan pada pengurbanan dan penebusan yang dikerjakan Yesus. Penulis Petrus perlu memberi penegasan ini agar kelompok ekklesia memahami bahwa mereka bukanlah orang-orang yang tersingkir dalam masyarakat. Walau mereka dimarginalkan, mereka dipandang penting oleh Tuhan.
Carapandang itu sebenarnya bertujuan untuk membangun suatu identitas baru dari kelompok sosial yang bernama ekklesia tadi. Karena itu penulis surat ini menggunakan beberapa terminologi yang penting, antara lain: batu hidup/batu penjuru, bangsa yang kudus, imamat kudus/imamat rajani, umat kepunyaan Allah.
Saudara-saudaraku,
Terminologi ‘batu hidup’ atau ‘batu penjuru’ merupakan terminologi yang menunjuk bahwa kelompok ekklesia itu adalah kaum marginal, tetapi yang telah ditransformasi. Peristiwa transformasi itu terjadi melalui akta penebusan oleh Yesus (bnd. 1 Pet.1:18). Karena itu frasa: ‘dan datanglah kepadanya, batu yang hidup itu, yang memang dibuang oleh manusia, tetapi yang dipilih dan dihormat di hadirat Allah. Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan rumah rohani…” (ay.4-5b), menggambarkan bahwa memang kelompok ekklesia itu adalah kaum marginal yang dimarginalisasi dalam masyarakat.
Sebenarnya gambaran itu muncul secara kuat di dalam teks 1 Petrus, sehingga penulisnya perlu memberi semacam penghiburan kepada mereka bahwa mereka harus tahan menderita. Untuk membuat umat bertahan dalam penderitaan itu, penulis surat ini mengambil gambaran ideal dari Yesus yang tahan menderita demi menebus manusia. Ini suatu pola identifikasi diri atau labelisasi yang dalam banyak hal telah menjadi bagian dari harapan parousia dalam kekristenan di zaman para rasul, termasuk juga yang digunakan oleh Paulus.
Kembali kepada simbolisasi ‘batu hidup’ tadi, penulis surat ini sebenarnya hendak membangun identitas yang baru di kalangan kaum ekklesia tadi. Faktor identitas ini penting bagi kaum ekklesia di dalam tekanan sosial yang begitu hebat dan diskriminatif. Setidaknya, simbol ‘batu hidup’ itu bisa membuat mereka memahami bahwa mereka memiliki sesuatu yang khas, berbeda dari orang lain, termasuk dari kelompok sosial lain yang cenderung korup dan menindas. Faktor ini bisa memberi kepada mereka suatu keyakinan bahwa mereka adalah ‘bangsa yang dipilih Tuhan’ (bnd.ay.10).
Rasa memiliki suatu identitas baru itu yang akan membuat kelompok ekklesia bisa mengembangkan sifat dan karakter mereka yang khas, termasuk dalam hal melayani. Hanya 1 Petrus 2:1-10 memberi tekanan yang kuat pada dimensi pelayanan spiritual, melalui simbol ‘rumah rohani’. Jadi identitas yang dimaksud tadi cenderung dibangun secara eksklusif agar kaum ekklesia itu merasa bahwa walau dimarginalisasi dalam konteks sosial, mereka tetap berharga bagi Tuhan (bnd. ay.4d).
Ada kelemahan dari penekanan seperti itu yakni, identitas ekklesia menjadi suatu bentuk spiritualisasi dari kenyataan diskriminasi sosial yang mereka alami. Sehingga kritik terhadap diskriminasi kurang terlalu ditekankan penulis surat ini. Padahal kaum ekklesia menderita berbagai bentuk ketidakadilan sosial, yang justru membuat mereka tidak berdaya mengaktualisasikan diri dan juga agama mereka.
Saudara-saudaraku,
Kemudian simbolisasi ‘imamat kudus/imamat yang rajani’ adalah sifat fungsional dari simbol ‘batu hidup/batu penjuru’ tadi. Konsep ini mengalamatkan bahwa kelompok ekklesia dipilih (to be elected) atau dipanggil (called) oleh Tuhan untuk suatu maksud ‘memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia’ (ay.9).
Hakekat keterpilihan dan keterpanggilan ekklesia adalah ‘to anounce’ (untuk memberitahukan) atau ‘to proclaim’ (untuk memberitakan/memproklamasikan) kabar baik dari Tuhan. Kita tentu akan bertanya perihal ‘perbuatan-perbuatan besar dari Dia’. Dalam perspektif surat Petrus, hal itu adalah tindakan pengurbanan Yesus untuk menebus manusia, sebagai model dari ketaatan kepada Bapa-Nya (bnd. dimensi ketaatan yang dianjurkan dalam 1 Pet.2:11-17).
Inti dari pengurbanan Yesus bagi penulis surat ini sebenarnya adalah pemulihan kondisi hidup manusia, atau transformasi sosial dan spiritual yang dikerjakan Tuhan terhadap manusia. Di situ sebetulnya hakekat tugas pemberitaan dan pelayanan yang hendak ditekankan penulis surat ini. Artinya, pelayanan itu harus mampu membuat restorasi dan rehabilitasi yang mendalam dan menyeluruh terhadap hidup manusia.
Proses pemulihan yang dikerjakan Tuhan, kini menjadi tugas gereja agar terwujud suatu corak hidup yang baru, atau juga masyarakat memiliki suatu identitas yang baru, yang karena itu menunjukkan bahwa mereka dikuduskan Tuhan (bnd. pasal 1).
Ini adalah dua hal yang penting dari surat ini. Dua hal itu pula yang kiranya perlu kita ejawantahkan dalam hidup gereja di tengah masyarakat majemuk dewasa ini.
Saudara-saudaraku,
Apakah perlu kita membangun identitas sebagai gereja di tengah masyarakat majemuk? Perlu. Identitas itu memberi kepada setiap orang arah dan proyeksi kehidupan, dan bahkan membentuk carapandang yang integral tentang diri, tanggungjawab, posisi, peran, fungsi dan terutama rasa memiliki terhadap diri dan sesamanya.
Penting kita merasa bahwa kita adalah gereja, tetapi jauh lebih penting adalah berusaha untuk selalu ‘menjadi gereja’ (being a church). Dalam hal menjadi gereja, kita berada dalam proses yang sama untuk ‘menjadi masyarakat’. Di situlah kita dihadapkan pada sejumlah persoalan sosial dan agama yang memang harus selalu dijawab oleh gereja.
Dalam rangka ‘menjadi gereja’ persoalan diskriminasi sosial merupakan hal-hal yang tidak bisa dihindari tetapi harus disikapi secara profetik. Artinya apa? Gereja harus bisa menjadi kekuatan kontrol sosial yang selalu proaktif melakukan tindak koreksi terhadap berbagai bentuk diskriminasi sosial, baik yang menimpa dirinya maupun orang lain.
Diskriminasi sosial itu tidak perlu dispiritualisasikan, lalu kita mematok bahwa yang didiskriminasi adalah orang-orang kristen saja; sehingga terkesan bahwa gereja hanya harus melakukan koreksi sosial jika orang-orang kristen yang menjadi korban.
Justru dalam proses ‘menjadi gereja’, gereja harus benar-benar merehabilitasi kehidupan sosial masyarakat sebab di situlah terletak kekhasannya sebagai gereja, yakni ‘melayani bukan untuk dirinya, tetapi untuk semua orang’ (serve for all). Di situlah letak kekhasan jatidiri gereja, bahwa ia menjadi sebuah kekuatan pelayanan yang universal.
Karena itu penting kita memahami term ‘batu hidup’ secara kritis dalam kerangka tafsir baru di dalam konteks masyarakat majemuk di Indonesia, misalnya. Bahwa, identitas-identitas agama harus dikeluarkan dari perangkap eksklusifisme, dan kita membangun suatu carapandang bersama yang baru bahwa, tidak sepantasnya kita membiarkan setiap bentuk diskriminasi atas nama agama, etnis atau latar belakang sosial apa pun di negeri kita ini.
Panggilan menjadi ‘batu hidup’ pun tidak mesti dipahami secara spiritual an-sich. Sebab spiritualisasi terkesan mengabaikan realitas penderitaan manusia, dan membangun harapan-harapan (eskhatologi) yang kosong. Kita berada di dunia yang riil, dan penderitaan yang dialami adalah juga suatu masalah sosial yang riil. Kemiskinan itu riil, pengangguran itu riil, pertikaian itu riil, marginalisasi, diskriminasi, ketidakadilan, semuanya riil, dan manusia yang mengalaminya itu pun adalah kelompok yang riil.
Ketika gereja harus berfungsi sebagai ‘batu hidup’ dalam konteks riil, tidak mungkin kita mengalihkan realitas itu ke wilayah abstrak dan transenden lagi. Kita malah harus mencari dan melakukan tindakan sosial yang riil, agar realitas penderitaan manusia tadi bisa kita atasi secara bersama dan kontekstual.
Saudara-saudaraku,
Justru ketika kita melihat semuanya secara riil, maka fungsi kita sebagai imamat kudus/imamat yang rajani juga adalah suatu fungsi yang riil, dan bertujuan untuk membantu merehabilitasi kehidupan manusia yang sudah terpuruk.
Pemulihan kondisi kehidupan itu perlu kita kerjakan sekarang di dunia nyata ini. Imamat kudus/imamat yang rajani itu memberi kepada gereja tugas sosial baru, yaitu untuk menolak setiap praktek diskriminasi sosial, politik, ekonomi dan agama.
Sikap penolakan itu harus lahir dari komitmen gereja untuk selalu memberitakan kabar sukacita, perdamaian, ketenteraman, persekutuan, persaudaraan, saling cinta dan hormat-menghormati. Fungsi-fungsi ini yang menjadi bukti bahwa memang gereja itu penting dan berharga bagi Tuhan, laksana batu penjuru tadi.
Bahwa memang menjadi gereja itu penting di dalam masyarakat dewasa ini, sebab gereja itu masih harus berjuang untuk membangun tata kehidupan dunia dan masyarakat yang jauh lebih manusiawi dan terhormat.
Bahwa menjadi gereja itu adalah bagian dari cara Tuhan mengasihi kita, dan kasihNya itu membuka jalan baru untuk kita semakin bertahan mengerjakan hal-hal baik, meski kita dihadapkan pada berbagai tantangan dan bahkan mungkin penderitaan.
Semoga kita selalu terbuka untuk memahami bahwa, kita penting bagi Tuhan, yaitu karena masih banyak tugas pemulihan sosial yang harus kita kerjakan. Amin
Subscribe to:
Posts (Atom)
TALITA KUM
(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella Paduan Terompet Jemaat Rumahtiga di Rohua, Januari 2009 A. Perspektif Ibadah merupakan suatu aktifitas agama ...
-
Materi Khotbah Bahan Khotbah : Mazmur 72:1-11 Saudara-saudaraku, Tulisan dalam Mazmur 72:1-11(20), merupakan suatu hymne kepada keadilan dar...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella [Materi Ibadah Keluarga Perangkat Pelayan Jemaat Rumahtiga, 17 September 2013] Pengantar Tulisan ini...