‘Jang Bilang Beta Kafir, Beta Agama Noaulu’



Kajian dari Perspektif Sosiologi Agama
Terhadap Azis M. Tunny, Beta Agama Noaulu,
Cetakan I, Desember 2013, Yogyakarta:
Smart Writing
Oleh. Elifas Tomix ‘Maloi’ Maspaitella


SATU: Pengantar
Azis M. Tunny, dalam ‘Beta Agama Noaulu’, telah memosisikan dirinya bukan sekedar seorang jurnalis dan pencinta alam, melainkan pewarta etnografi. Ia tidak hanya mekayakan sumber-sumber etnografi mengenai masyarakat Maluku. Ia menggugat bentuk-bentuk studi sosial, agama, budaya, yang selama ini terpasung dalam legalisasi bentuk agama dan tatanan liturgisnya [liturgical order].
Saya kagum dengan karyanya ini. Kekaguman itu terjadi sebab, seorang yang awam teologi telah menyajikan sebuah fakta sosial dan keagamaan asli yang sui generis, yakni masyarakat Noaulu dengan ‘apa ada dirinya’. Memang saya pernah membaca beberapa referensi yang secara khusus mengkaji masyarakat Noaulu dari perspektif sosio-budaya, dan teologi/agama. Namun, Agil [demikian Azis disapa], mengintroduksi sebuah realitas dan terminologi yang patut didukung dalam kerangka studi sosial dan agama. Agama Noaulu, sebagai citra baku yang tidak boleh dilepaskan dari totalitas pribadi Noaulu. Sebeb melepasnya sama dengan melepas karanunu, simbol kenauluan yang sakral.
Sebagai seorang yang pernah tinggal bersama dengan orang Noaulu di Simalouw dan diberi nama ‘Maloi’ – saya pun terpukul. Saya selama ini berusaha menjadikan dan meresapi kerangka agama dan ajaran hikmat Noaulu sebagai bagian dasar dari religiositas kontekstual diri. Saya baru pernah menulis sebuah artikel kecil berjudul ‘Karanunu’ untuk kebutuhan publikasi blog pribadi. Sebab itu, membaca bukunya, fantasi saya seakan ia sedang berdiri memegang rotan [Noaulu=meute] memukul saya agar segera bangun dari tidur [Noaulu=neke].
Bagi saya, membahas buku ini terdapat satu kesulitan dan satu kemudahan. Saya mulai dari kemudahannya. Bahwa, dengan referensi yang ‘terbatas’, saya mau menempatkan diri sebagai ‘Maloi’ –anak angkat alm. Ama Marpati Sounawe, yang selama kurang lebih satu tahun hidup bersama orang Nuaulu di Simalouw – KM 9 dan 10 Masohi. Dan belajar bahasa serta dijelaskan beberapa aspek pokok dari keagamaan Nuaulu. Jadi saya memahami sedikit struktur emic mereka. Kesulitannya ialah, komunitas Nuaulu yang saya hadapi adalah komunitas yang memiliki persepsi tertentu terhadap kekristenan, yang ‘telah menanggalkan karanunu sebagian mereka’. Bersamaan dengan itu, saya pahami bahwa orang Kristen dan Islam dapat saja menilai orang Nuaulu dari sudut pandang Kristen dan Islam, dan karena itu menganggap ‘aneh’ komunitas agama Nuaulu. Atau melihat mereka sebagai bagian dari ‘sasaran misiologis’, maka tidak jarang pun memandangnya dari perspektif kecurigaan misiologis. Ini yang mau diluruskan pula; sebab banyak kekayaan adat yang ‘dihancurkan’ oleh penetrasi gerakan penginjilan.



DUA: Soal Pokok Agama-agama
Jika kita membaca tulisan Agil ini, lalu meletakan debat pokok kita pada ‘apakah ada agama Noaulu?’ atau ‘apakah Noaulu adalah suatu agama?’, atau ‘apakah orang Noaulu memiliki agama yang khusus?’ –sehingga wilayah teori menjadi lebih dominan dari konsekuensi sosial suatu agama, maka kita akan menganggap bahwa relasi antarindividu, keluarga, legitimasi negara dan kontrol antarindividu dan populasi adalah hal yang tidak penting.
Ini sebenarnya adalah teriakan Manioka Matoke, Patisuren Matoke, Teteng Sounawe, Tapone Sounawe, Namanei Leipary, dan Paulina Matoke, 6 (enam) siswa kelas V SD Inpres KM 12, Kecamatan Amahai yang tidak mendapat pelajaran agama di jam pelajaran agama; dan juga teriakan Tuale Matoke, putra Noaulu yang menjadi PNS di Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah, dengan mencantumkan Hindu sebagai agamanya dalam KTP.
Sama halnya ketika diskusi tentang Agama Noaulu dikembangkan dengan berpegang pada bentuk-bentuk agama Barat sebagai fokus empiris, maka sudah tentu cara meagama orang Noaulu akan dianggap sebagai semacam dasi [pelengkap pakaian pria], dan agama wahyu adalah setelan jas, mulai dari jas, kemeja, singlet, celana panjang, celana dalam, kaos kaki dan sepatu ujung lancip. Padahal meagama orang Noaulu itu suatu empiri yang kontekstual dan berkembang sejak zaman lampau sampai saat ini. Sebuah konteks meagama tua yang sebenarnya menjadi basis dari religiositas Maluku yang terbuka, egaliter, pada citra ‘hidop orang basudara’.
Sejauh agama itu ada dan dipraktekkan, maka tidak ada satu agama yang disebut sempalan pada agama tertentu lainnya. Walau Yahudi-Kristen-Islam memiliki kesamaan-kesamaan tertentu, namun Islam tidak bisa disebut sebagai sempalan Kristenitas, dan Kristenitas pun tidak bisa disebut sempalan Yahudi. Setiap agama itu lahir dari konteks sosial dan budaya khusus. Ada sisi partikular dari kemenjadian sebuah agama. Dan ketika agama itu dianut, maka sisi partikular itu ternyata ada oleh paham filsafati dan teologi agama yang khas dan unik.
Oleh sisi partikular itu, maka agama apa pun itu bukan suatu fakta terberi [given]. Agama-agama itu lahir dari pergulatan manusia dalam lingkungan dan budayanya. Agama-agama itu lahir pada saat manusia berusaha untuk memahami kekuatan adikodrati yang diyakini mengendalikan diri dan lingkungannya. Dalam istilah yang umum, kekuatan adikodrati itu adalah Yang Maha Kuasa.
Mengakui adanya kekuatan adikodrati itu maka dapat dikatakan bahwa manusia yang beragama itu pertama-tama berusaha memahami misteri-misteri di dalam dirinya. Misteri dalam diri manusia itu sesungguhnya tidak terkait dengan masa depannya [future, eskhatologis]. Misteri manusia yang dipahami dan dicari pada tahap kepercayaan elementer adalah dirinya sendiri. ‘Mengapa saya berkaki, bertangan, bermata, bertelinga dua? Mengapa ada dua lubang pada hidung saya? Mengapa kepala saya tumbuh rambut? Ada apa di dalam perut saya, sehingga jika makan banyak sampai rasa sesak dan kalau dipaksakan terus maka makanan itu keluar lagi melalui mulut [=muntah]?”.
Tentu misteri-misteri itu ada yang bisa dijawab, tetapi banyak darinya yang tidak bisa dijawab.  Artinya, menjawab satu misteri diri membuat manusia berhadapan dengan misteri berikutnya. Misteri berikut itu ialah ketika ia sadar akan ada makhluk atau orang lain. Mengapa saya berkaki dua sama dengan ayam, bebek, dan burung? Saat itu manusia mulai melakukan pembedaan. Siapa saya dan siapa/apa sebenarnya ayam, bebek dan burung? Mengapa saya berkaki dua dan sama besar, tetapi si Anu memiliki dua kaki namun saTunnya kecil? Mengapa kulit saya hitam dan si Ana putih? Dan seterusnya. Mengapa kami berkelompok, dan memiliki nama yang berbeda?
Manusia kedapatan tak sanggup menjawab seluruh misteri itu. Yang dapat dijawab oleh manusia hanyalah ‘tidak tahu’. Ketidaktahuan itu yang membimbing manusia untuk kemudian mengakui adanya suatu kekuatan di luar dirinya. Kekuatan yang transenden dan subyek tak bernama, dan juga yang tidak bisa dibatasi dengan nama tertentu. Itulah yang disebut Yang Maha Kuasa [supreme being].
Karena manusia tidak bisa menjawab seluruh misteri itu, maka sudah tentu tidak ada satu jawaban untuk semilyun misteri manusia. Manusia itu ada di berbagai tempat di atas bumi, dalam dunia ini. Mereka lahir dalam lingkungan dan budaya yang berbeda-beda. Karena itu, mereka memiliki budaya yang sudah tentu berbeda-beda pula. Artinya di situ kita patut mengakui bahwa, Yang Maha Kuasa, subyek tanpa nama itu, tidak bisa diklaim sebagai yang ada hanya dalam satu budaya atau pada satu bangsa. Klaim itu justru membuat Yang Maha Kuasa yang Mahasegalanya itu [omnipotent] semakin tidak berdaya [impotent].
Benar! Yang Maha Kuasa itu tunggal, tetapi disebut menurut bahasa masing-masing manusia yang berbeda-beda. Nama diri dari Yang Maha Kuasa itu ditentukan secara baku oleh tiap masyarakat menurut bahasanya. Memberi nama kepada Yang Maha Kuasa sama sekali tidak berarti untuk mereduksi [mengurangi] kemahakuasaannya, dan menangkapnya ke dalam ide yang terbatas. Penyebutan nama bagi Yang Maha Kuasa, seturut bahasa masing-masing itu bertujuan untuk membangun komunikasi khusus dengannya. Sebab Yang Maha Kuasa bebas berkarya di mana saja, dan dalam budaya semua kaum manusia.
Menyebut Yang Maha Kuasa hanya menurut satu bahasa atau satu budaya, berarti menjebak Yang Maha Kuasa untuk menerima budaya dominan. Pada saat itu, Yang Maha Kuasa dijadikan sebagai obyek politik atas nama misi –yang sebenarnya ekspansif.
Saya tidak mau membahas lebih jauh hal ini. Sebab membahasnya sama dengan menuntaskan percakapan sejarah agama yang sebenarnya tidak akan pernah tuntas. Saya mau masuk saja pada aspek khusus, yang menolong saya untuk menjawab defenisi Agil dalam Beta Agama Noaulu.
Aspek khusus itu ialah bahwa, meagama di Maluku tidak bisa dipisahkan dari dua garis sejarah yang penting.
Pertama, garis sejarah suku-suku di Nusantara, dan termasuk di dalamnya suku dan sub suku di Maluku. Bahwa dari sejarah itu, semua suku dan sub suku di Maluku terlahir dengan telah memiliki citra dasar agamanya [elementary form of religion]. Agama yang dalam sosiologi agama didefenisikan sebagai the origin religion atau tribe religion. Frank Cooley [1962] menyebutnya sebagai ‘adat/agama adat’, dan Bartels mendefenisikan salah saTunnya sebagai ‘agama Nunusaku’ [1977, 1978, 2011]. Noaulu termasuk dalam garis sejarah ini. Dengan demikian, Agama Noaulu adalah salah satu dari yang disebut Cooley sebagai ‘agama adat’. Saya tidak mau mengelompokkannya ke dalam ‘agama Nunusaku’ seperti defenisi Bartels, sebab defenisi Bartels itu meliputi pula citra agama dasar orang Wemale, Alune juga. Baik Bartels maupun Cooley, sesungguhnya hendak juga menegaskan bahwa materialisasi agama asli di Maluku itu adalah pela, gandong. Sebab yang menjadi inti dari wujud material agama asli di Maluku adalah hidop orang basudara, dengan mengaku berasal dari satu moyang yang sama. Pengakuan agama paling tinggi dari itu ialah Satu TUHAN, yaitu Upu Lanite.
Kedua, garis sejarah Agama Wahyu [Islam dan Kristen]. Kedua agama ini masuk dalam waktu yang berbeda, dan berinteraksi dengan model yang berbeda pula. Islam sebagai agama wahyu yang terlebih dahulu datang ke Maluku, tidak membawa unsur budaya dominan yang ekspansif. Sebenarnya kekristenan pun demikian –ini dibuktikan dari sikap para Frater atau Rohaniwan Katolik yang sangat elegan, seperti Franciscus Xaverius, atau juga pada Pendeta Protestan di masa berikutnya seperti Joseph Kam, Heurnius dan lainnya. Namun karena perjalanan misi Katolik dan Protestan itu berlangsung serentak dengan Portugis dan Belanda, maka tampillah wajah ekspansif itu. Kolonialisme dan misi agama telah menjadi ‘dua sisi dalam sekeping mata uang’.
Karena budaya dominan itu, maka agama-agama wahyu ini mau membangun label tunggal atas agama manusia ke mana ia datang. Itulah yang membuat citra agama asli tereduksi.



TIGA: Agama Noaulu dalam Fakta Beragama di Indonesia
1. Akibat Perbedaan Pandangan Dunia
Menyambung bahasan di atas, saya akan menyoroti sebab-musabab Agama Noaulu tereduksi dalam masyarakat di Maluku dan Indonesia.
Leonard Andaya [1987:123] menegaskan bahwa, dominasi kekristenan di Maluku itu terjadi oleh karena orang-orang Eropa [Belanda] didorong oleh pandangan dualisme dari filsafat Yunani. Mereka memandang dunia mereka sebagai dunia yang humanis, dan dunia-dunia di Timur, termasuk Maluku, sebagai suatu lingkungan barbaris. Juga bahwa mereka adalah orang-orang yang diselamatkan, dan orang-orang di Timur adalah kelompok yang mendapat kutukan. Sedangkan orang-orang di Maluku terbentuk dalam pandangan kebudayaan leluhurnya, sehingga seluruh struktur sosial dan kepercayaan dibangun di atas fondasi itu.
Jadi sebenarnya bersamaan dengan kolonisasi itu terjadi perang tanding dua pandangan dunia. Pandangan dunia Barat, Kekristenan dan Maluku, Agama Asli, sebagai representasi Timur.
Jika kita menelisiknya lebih dalam maka ekspansi agama wahyu di Maluku itu terjadi karena mereka mengakui entitas agama asli yang selama abad-abad sebelum Masehi sampai Masehi telah menyatukan seluruh masyarakat Maluku. Saya mengatakan demikian sebab persekutuan Patasiwa, Patalima, persekutuan pela dan gandong, ain ni ain, kaka wai, serta pranata seperti soa, rumahtau, matarumah, negeri/aman/hena/ohoi, dan simbol-simbol pemersatu seperti baileu, numa onate, telah menjadi mekanisme ‘persaudaraan’ yang lahir mungkin di masa sebelum Islam dan Kristen lahir di ‘tanah asal mereka’.
Islam dan Kristen yang masuk ke Maluku tentu menemui adanya komunitas di pesisir dan pedalaman yang mempraktekkan suatu gaya agama/meagama yang berbeda dari mereka. Memang, meagama orang Islam dan Kristen pada masa itu jauh lebih ‘modern’ dari meagama suku-suku di Maluku. Salah satu yang membuat meagama Islam dan Kristen lebih modern dari agama asli suku-suku di Maluku pada masa awal perjumpaan mereka itu ialah, Islam dan Kristen didorong oleh semangat syiar/dakwah/misi  yang dipahami sebagai ‘perintah suci’ dari TUHAN. Sedangkan orang-orang di Maluku waktu itu hidup dengan menyesuaikan dinamika diri dan kelompoknya dengan paham kosmologisnya. Ini yang dipandang salah, oleh sebab Islam dan Kristen telah terbentuk oleh paham tentang ‘dosa’. Bahwa ‘yang di luar pengakuan iman agama adalah dosa’.
Sebab itu, agama-agama wahyu melakukan semacam gerakan proselitisme [petobatan] orang-orang Maluku dengan jalan ‘mengganti’ agamanya menjadi Islam atau Kristen. Dalam petobatan itu, praktek penjatidirian dilakukan kembali. Islam dengan cara sunat, Kristen dengan cara baptisan. Ritus sunat dan baptis ini bertujuan untuk menghisabkan seseorang ke dalam komunitas agama. Penghisaban itu membuat orang itu harus ‘taat’ kepada segala ketentuan agama.
Orang Noaulu sudah menjalani ritus penghisaban itu sejak lahir. Malah seorang ibu yang mau melahirkan, menjalani masa persalinan itu di dalam posune [rumah pamali untuk ritus yang terkait keadaan kesuburan manusia; menstruasi dan melahirkan].[1] Pada saat anak itu lahir, dilakukan ritus kelahiran yang bertujuan menghisabkan anak itu ke dalam komunitas Noaulu. Penghisaban itu ditandai dengan penamaan yang adalah tugas Ayau [raja adat]. Jadi setiap anak Noaulu dihisabkan ke dalam masyarakat langsung oleh Ayau.
Anak-anak laki-laki dan perempuan yang tiba pada masa akhil balig pun ditempa dalam ritus penghisaban ke dalam komunitas melalui pinamou [untuk perempuan yang mengalami haid pertama. Ritus ini pula dijalani setiap kali mengalami masa menstruasi/haid]; sedangkan matahene/pataheri untuk laki-laki.
Saat menjalani ritus pinamou perempuan Noaulu tidak sekedar dikucilkan, ia dilatih berbagai keterampilan seperti memasak, menganyam tagalaya, atiting, dan perkakas rumah tangga lainnya, sebagai tanda kesiapannya untuk berumah tangga. Dalam masa matahene/pataheri, anak-anak laki-laki dilatih berbagai kecakapan seperti membuat panah, berburu, bercocok tanam, dan latih ketangkasan untuk berperang. Tujuannya selain untuk berumah tangga, tetapi juga untuk melindungi klan/suku. Ini adalah tanda kedewasaan.
Dalam konteks perjumpaan dengan Islam dan Kristen, ritus-ritus agama asli ini dibabat habis, dan diganti dengan ritus agama Islam dan Kristen.[2]
Selain ‘penggantian’ ritus, yang paling radikal adalah ‘penggantian nama’. Nama yang terberi oleh orang tua dengan kosa kata bahasa tanah dicap sebagai simbol kekafiran. Sebab itu nama diri diganti dengan nama-nama menurut kosa kata bahasa Arab, Ibrani, Yunani, Inggris, Portugis [Biblical and European name].
Dua contoh itu sengaja dipaparkan untuk mengatakan bahwa sebelum Indonesia lahir sebagai sebuah negara, budaya dominan atas nama agama telah menjadi salah satu struktur dalam memahami konteks beragama di Indonesia.
Agil dalam bukunya ini, mengatakan bahwa Agama dan orang Noaulu telah diperlakukan secara tidak manusiawi dalam jagad yang menjadikan Hak Asazi Manusia sebagai ‘Kitab Suci Kedua’ [second holy script].
Jika ditelusur dari sejarah meindonesia, maka apa yang dialami Noaulu – dalam  hal keagamaannya tidak diakui, dan untuk kepentingan administratif dan nilai pelajaran, harus disesuaikan dengan yang resmi berlaku di Indonesia – merupakan suatu bentuk pengingkaran sejarah meindonesia itu.
Apalagi sejarah meindonesia itu membimbing kita untuk melahirkan bangsa ini dengan menamainya sebagai Negara Pancasila. Menurut John Titaley [2013], negara Pancasila adalah negara ketika agama-agama dan aliran kepercayaan serta berbagai pandangan hidup diijinkan…untuk mempunyai hubungan dengan kehidupan politik. Indonesia adalah contoh ketika model ini diaplikasikan. Titaley mengajukan argumen yang penting, bahwa negara ini dilahirkan [1945] sebagai sebuah negara yang mengakui eksistensi semua agama dan budaya yang berbeda.
Dengan demikian apa yang dialami Manioka Matoke, dkk serta Tuale Matoke, merupakan pengingkaran tujuan dan cita-cita meindonesia. Mereka tidak mendapati haknya dalam waktu yang sama panjang dengan sejarah Republik ini. Artinya, UUD 1945 dan Pancasila telah tidak murni dan konsekuen diterapkan sejak Republik ini lahir. Jadi selama kita merayakan Indonesia Merdeka, selama itu pula orang Indonesia yang bernama Noaulu merayakan ketidakmerdekaan mereka. Dalam kasus itu mereka bukan lagi minoritas dalam kategori ‘masyarakat kelas dua’, tetapi mereka tidak dianggap sebagai bagian dari ‘bangsa’ dan ‘warga negara’. Dan ini berlangsung secara sadar dan tersistem sejak 17 Agustus 1945 sampai hari ini.

2. Stigma/Labelisasi Kafir
Praktek agama masyarakat Maluku dianggap kafir. Pada sisi inilah kita perlu mengajukan beberapa argumen.

a. Agama dan Penjatidirian
Argumen pertama adalah tentang konsep penjatidirian. Bukan untuk membela Noaulu, sebab mereka tidak minta dibela. Eksistensi mereka yang terpelihara sampai saat ini menunjukkan bahwa dengan cara dan regulasi apa pun, kenoauluan itu adalah sebuah fakta diri yang baku dan tidak tergantikan. Dengan mempertahankan karanunu, menunjukkan bahwa mereka tidak pernah akan habis dalam ekspresi penjatidirian.
Masyarakat dan agama yang menyebut dirinya modern, akan mengalami pengikisan penjatidirian. Noaulu dengan karanunu menegaskan bahwa penjatidiriannya adalah bagian dari keyakinan iman dasarnya. Sama dengan memelihara ritus pinamou, di tengah perkembangan berbagai peralatan kesehatan untuk perempuan seperti softex, laurier wings, dan juga aneka obat untuk mengatasi nyeri haid, adalah lukisan paling tegas tentang usaha menjaga penjatidirian perempuan Noaulu. Jadi meagama Noaulu dibangun dari konsep penjatidirian yang tidak akan pernah dilepas/dibuang.
Umat beragama saat ini sangat gampang melepaskan dimensi penjatidiriannya. Mereka mengenakan aneka simbol untuk menyebut dirinya meagama, namun simbol-simbol itu hanyalah wujud kreasi budaya material, dan bukan dibangun dari penjatidirian yang kokoh.
Dimensi penjatidiran Noaulu lahir dari keyakinan dasar agamanya, yaitu pamali [hukum tabu dalam agama wahyu]. Semua hal yang terikat dengan penjatidirian Noaulu dikitari oleh sejumlah hukum tabu/pamali. Laki-laki dewasa yang sudah matahene/pataheri, dan mengenakan karanunu tidak diperkenankan untuk melepaskan karanunu, kecuali saat mandi. Jika mereka tidur, lebih baik dengan karanunu; ‘nanti akang talapas sandiri, itu seng apapa’ [jika terlepas saat tidur itu tidak mengapa]. Agil menceritakan hal itu pula, bahkan sampai pada turnemen sepakbola. Namun jika Agil menyebut bahwa orang Masohi sudah memandangnya sebagai yang lazim, justru menurut saya, orang Masohi telah tanpa sadar mengakui eksistensi penjatidirian Noaulu yang lahir dari keyakinan agamanya [hukum pamali]. Berarti orang Masohi yang Islam dan Kristen sudah mengakui adanya eksistensi agama Noaulu.

b. Trilogi Agama: TUHAN – Kitab Suci – Nabi?
Jika kita menggunakan agama Wahyu sebagai kerangka empiris dalam menguji agama Noaulu, dan menjadikan defenisi agama menurut tipologi agama Wahyu, maka kita akan masuk dalam debat agama sebagai sebuah debat intelektual. Padahal agama menekankan pada praksis [religiositas]. Dan spiritualitas sebagai bagian dari penghayatan agama apa pun jauh lebih luas dari sebatas keyakinan scriptural –keyakinan sesuai apa yang tertulis dalam Kitab Suci.
Orang Maluku ketika mengakui persaudaraan yang lahir di antara mereka dengan menyebut persaudaraan itu adalah pela dan gandong, berarti ia mewujudkan religiositas yang jauh melampaui horizon keyakinan scriptural.
Argumen itu disebut untuk menegaskan bahwa, menamai TUHAN dalam terminologi Allah SWT sebagai satu-saTunnya penyebutan TUHAN, dan/atau Tritunggal [Bapa, Anak dan Roh Kudus], sehingga jika ada sebutan lain yang berbeda, dianggap sebagai bukan agama, adalah bentuk menafikan kekayaan hikmat TUHAN dalam ragam budaya dan bahasa masyarakat.

b1. Mengenai TUHAN
Sebelum Indonesia jadi, semua suku bangsa di Nusantara ini memiliki citra agamanya, dan mereka menyebut Yang Maha Kuasa menurut istilah dan bahasa mereka. Dalam hal ini termasuk Islam dan Kristen, dengan sebutan khusus tentang Yang Maha Kuasa. Ketika Indonesia jadi, maka semua suku bangsa itu mengaku dalam UUD 1945 bahwa kemerdekaan itu adalah ‘atas berkat rahmat TUHAN Yang Maha Kuasa’. Menurut Titaley [2013] itu adalah bentuk pengakuan dan refleksi imaniah orang Indonesia. Sehingga menurutnya, dalam refleksi imaniah itu, Yang Maha Kuasa dipahami sebagai TUHAN saja.
Lebih lanjut disebutnya:
“Refleksi itu tidak persoalkan makna kata TUHAN bagi masing-masing pemeluk agama itu. Akan tetapi bersama-sama dengan bahasa nasional mereka yaitu bahasa Indonesia, mereka mengakui bahwa ada suatu kekuatan yang melampaui keberadaan mereka [transendental] dan bersama-sama mereka menyapa Dia sebagai TUHAN Yang Maha Kuasa, itulah yang telah memungkinkan mereka memproklamasikan kemerdekaan mereka. Kata TUHAN adalah kata yang merupakan nama bangsa Indonesia untuk Yang Ilahi itu.” [2013:32-3].

Jadi sebagai orang Indonesia, baiklah kita mengakui Yang Maha Kuasa itu sebagai TUHAN Yang Maha Esa. Dalam nama TUHAN itu semua suku bangsa dan agama di Indonesia memiliki hakekat yang sama satu sama lain. Pengakuan akan TUHAN yang Maha Esa dalam Keagamaan yang Pancasila digambar Titaley dalam matriks berikut [2013:190]:
YANG MUTLAK
TUHAN YANG MAHA KUASA
[yang Ketuhananya Maha Esa]
Allah
 SWT
Tri-
tunggal
Puang Matua
Sang Hyang Widi Wasa
Thian
Upu Ama
Islam
Kristen
Aluk Ta’Dolo
Hindu
Kong-hucu
Noaulu
Rakyat Indonesia
etnis
bangsa
empirik
abstrak
 
















Jadi dari skema itu, Agama Noaulu, dengan konsep TUHAN yang disebut Upuku Anahatana, lazim juga disebut Upu Ama, merupakan bagian dari agama yang lahir dari dalam konteks kebudayaan tertentu. Setiap budaya memiliki konsep agama dan penyebutan TUHAN masing-masing. Sehingga ketika menjadi Islam, maka TUHANnya disebut Allah, SWT; Kristen dengan paham Tritunggal, Aluk Ta’Dolo dengan paham Puang Matua, Hindu dengan paham Sang Hyang Widi Sasa, Konghucu dengan paham Thian, Noaulu dengan paham Upuku Anahatana tau Upu Ama.
Jadi sebenarnya, Yang Maha Kuasa, atau kuasa adikodrati itu adalah Yang Satu. Namun kuasa itu disebut dan dinamai mengurut kebiasaan dan bahasa setiap masyarakat/suku, menurut bahasa yang mereka gunakan secara umum. Jadi dengan menamainya Allah SWT, sama sekali tidak menghilangkan universalitasnya. Namun orang Islam menyebutnya secara partikular dalam sebutan Allah SWT. Demikian pun orang Noaulu menyebutnya Upuku Anahatana, tanpa menghilangkan universalitas TUHAN yang tidak terbatas itu.
Kemahakuasaan TUHAN dalam agama-agama mana pun dibangun justru dari mitos. Dalam agama-agama wahyu, mitos itu disebut sebagai Cerita Suci [holiness story/the holy telling]. Sama sekali bukan berarti agama suku dengan mitologinya adalah ‘cerita cemar’. Sejauh agama wahyu memahami TUHAN yang mewahyukan diri dan ajaranNya kepada manusia, melalui nabi sekali pun, maka orang Noaulu juga memiliki warisan seperti itu. Sehingga mengapa matoke, sebagai imam adat, berfungsi mengantarai masyarakat dengan Upuku Anahatana atau Upu Ama. Ia bahkan bertindak memohon pengampunan dosa bagi setiap individu yang melanggar aturan hidup yang berlaku.
Sebuah mitos dalam agama Noaulu dituturkan berikut ini:
Ketika datang Upu Ama, buana ini penuh dengan air. Suatu ketika Upu Ama dapat menginjak daerah yang kering, dan dikenal sebagai Pohon Batu. Karena gelap, dengan menggunakan kapaknya, ia memukul pohon batu itu maka keluarlah matahari, dan suara ayam berkokok.
Tempat itu berada di Pulau Seram. Suatu ketika, ia mengelilinginya, dan hanya menemukan jejak kaki babi. Menurut cerita orang Nuaulu, Upu Ama beristrikan dua perempuan kakak-adik, yang satu bernama Pina Niti, dan lainnya bernama Pina Ia. Tetapi di antara keduanya, ia lebih mencintai Pina Ia, karena sifatnya yang baik, rendah hati, ramah, suka membantu, dan rajin bekerja.
Upu Ama membangun sebuah rumah yang besar di puncak gunung. Di kaki gunung ini mengalir sebuah sungai yang disebut “Nua”. Suatu ketika, Upu Ama hendak turun ke daerah pantai (di sekitar Makariki). Ia berpesan kepada kedua istrinya, kalau ada hujan, jangan pergi ke sungai.
Ketika Upu Ama tiba di daerah pantai, tiba-tiba turun hujan lebat. Aliran sungai Nua sangat besar (banjir). Teringatlah ia kepada kedua istrinya. Tetapi ia tidak begitu gusar, sebab telah dipesankannya agar mereka jangan keluar dari rumah.
Tak disangka, ketika ia kembali ke rumah, ia mendapati Pina Niti, istrinya sedang sedih dan takut. Ketika ditanya alasan kesedihannya, Pina Niti menjawab, “Pina Ia tadi pergi ke sungai dan sampai hujan reda, ia tidak kunjung pulang”. Upu Ama geram. Ia segera menyusuri sepanjang sungai Nua sampai ke hulu. Tidak ditemukannya jasad Pina Ia, istrinya.
Karena kecewa, dalam perjalanan kembali ke rumahnya, ia menceburkan diri ke dalam air. Tubuhnya serta-merta berubah menjadi sebongkah batu besar, menyerupai seorang yang sedang menangis sambil berlutut mencium tanah. Di tempat ini, Matoke (imam adat) Nuaulu selalu datang melakukan ritus dalam rangka persiapan dan/atau selesainya penyelenggaraan upacara adat tertentu. Gunung tempat tinggal Upu Ama dengan kedua istrinya itu dinamai Pina Ia/Binaya. (Seperti dituturkan Marpati Sounawe, Simalouw, 1997)



Sebenarnya ada mitos penciptaan yang menjadi bagian dari cerita ini, namun rekaman saya tentang itu sedikit terputus. Tetapi mitos ini menjelaskan bahwa, ketuhanan Upu Ama atau Upuku Anahatana itu lahir pula dari sebuah cerita suci dalam agama Noaulu.
Cerita-cerita ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa kuasa absolut dalam masyarakatr Noaulu itu kemudian dikenakan kepada Upuku Anahatana atau Upu Ama. Dalam numa onate di Simalouw 2 [KM 12], ada semacam tempat khusus bagian loteng numa onate yang diyakini sebagai tempat Upuku Anahatana, serta ruang tempat penyimpanan mancadu batu [kapak batu], milik Upu Ama pada saat datang ke dunia, dan membela batu di daerah Pohon Batu.
Artinya masyarakat mematerialisasi kehadiran TUHAN melalui simbol dan juga di dalam seluruh ritus melalui sapaan dalam doa-doa adat mereka. Agil telah memberi contoh [hlm.81-86] tentang formulasi doa-doa itu, dan sejauh pengalaman saya bersama basudara Noaulu, mereka berdoa dengan pertama-tama menyebut Upuku Anahatana. Jadi pengagungan kepada TUHAN itu dimanifestasikan menurut nama dan cara yang mereka anut.
Agama Noaulu adalah agama monotheis. Jika anda mengatakan mereka animisme, faktanya tidak ada satu pohon pun yang dikeramatkan orang Noaulu. Mereka mengaku bahwa nama Noaulu adalah terjemahan dari nama kali Noa; namun cerita Upu Ama dalam mitos tadi yang membidani nama itu. Jadi mereka oleh nama itu menyembah Upuku Anahatana, bukan ‘kali Noa’.
Mereka tidak menyembah batu, sekalipun mancadu batu adalah perkakas yang dipakai oleh Upuku Anahatana saat datang ke dunia. Oleh mitos tadi, mereka menyembah Upuku Anahatana yang datang ke dalam dunia dan berinteraksi dengan manusia. Ia hidup dalam masyarakat secara langsung –melalui cerita suci mereka. Dan cerita seperti itu pula ada dalam Alkitab, terutama pada saat TUHAN menciptakan alam semesta ini [baca. Alkitab pada Kitab Kejadian 1].
Agama Noaulu itu monotheisme praktis. Mereka hanya percaya kepada Upuku Anahatana. Dia Mahasegalanya. Sejak lahir sampai mati, manusia Noaulu dikitari oleh kuasa dan keperkasaan Upuku Anahatana.

b.2. Mengenai Kitab Suci
Menolak Noaulu sebagai agama dengan alasan tidak ada Kitab Suci, sama artinya dengan menyangkali kemenjadian agama-agama wahyu. Di masa awal kemenjadiannya, agama Yahudi atau Yahwisme, adalah sebuah kelompok kepercayaan yang tidak memiliki kitab suci. Mereka berkembang pada masa awal dengan serangkaian tradisi lisan [oral tradition] yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Baru pada tahun 1200 BCE, tradisi menulis dimulai dalam konteks agama itu. Dalam kurun waktu 1200 -100 BCE [12 abad], mereka membaca tulisan-tulisan lepas yang belum terbentuk dalam satu Kitab Suci [Kanonik] seperti yang ada saat ini. Nanti tahun 90-99 CE barulah naskah itu terhimpun dalam satu kitab kanonik yang disebut Kitab Suci Ibrani [Hebrew Bible]. Kitab suci ini yang lalu diambil alih pula oleh Katolik dan Protestan sebagai bagian dari Kitab Suci mereka dengan menambah dokumen tulisan baru yaitu Perjanjian Baru. Jadi perkembangan kitab suci dalam tiga agama besar di dunia itu dihasilkan kurang lebih 12 abad.
Saya tidak menyinggung bagaimana Al-Qur’an menjadi sebuah Kitab. Namun saya yakin, seruan ikraf kepada Nabi Besar Muhammad SAW, adalah sebuah introduksi bahwa, ajaran-ajaran yang dipandang suci dalam Islam pun lahir dan menjadi sebuah buku dalam waktu yang tidak singkat. Intinya, semua agama berkembang dari masyarakat di zaman arkhaik sampai modern dan postmodernisme. Jadi mereka melintasi waktu di mana berkembang tradisi lisan, baru tulisan, kemudian audio dan audiovisual.
Agama Noaulu memang tidak memiliki Kitab Suci sebagai satu rumpun kitab kanonik. Mereka hidup dengan memedomani ajaran-ajaran kehidupan yang bersumber dari sima-sima yaitu konsep pokok ajaran. Sima-sima itu dibentuk oleh paham kosmologi mereka.
Ajaran-ajaran itu dipatuhi sampai saat ini. Saya tidak tahu apakah telah terjadi pergeseran ataukah belum. Namun sejauh yang saya tahu, oleh karena cinta kepada perempuan, yang diresapi dari cerita mitos Upu Ama, maka laki-laki Noaulu hanya menikahi satu orang istri [monogami]. Mereka tidak pernah berselingkuh. Begitu yang dikatakan Ama Marpati, Ama Noaulu saya. Sehingga selingkuh tidak dikenal dalam kamus kehidupan Noaulu.
Bukan hanya itu, pemuda Noaulu tidak ada yang kaweng di luar nikah, atau menikah karena hamil [MBA]. Sebab, setiap selesai pinamou dan matahene/pataheri, sebagai tanda akhil balig, jika seorang laki-laki yang kembali dari pateheri merasa tertarik/jatu cinta kepada seorang perempuan yang sudah selesai pinamou, maka segera diurus perkawinan adatnya.
Itu cerita dan pengalaman yang saya dapati dalam hidup bersama dengan Noaulu di Simalouw. Jika ditanya kepada mereka, mengapa demikian? Jawabannya singkat dan tegas: ‘Upu Ama su bilang bagitu”.
Jadi tanpa kitab suci, mereka telah melakukan ajaran-ajaran Upu Ama yang tidak tertulis itu secara tegas.

b.3. Mengenai Nabi
Saya tidak mau memperpanjang debat ini sebagai salah satu asumsi bahwa Noaulu bukanlah agama melainkan semacam praktek budaya. Sebab kepada siapakah manusia harus percaya? TUHAN ataukah Nabi? Di sisi ini pun kita harus jujur mengakui dan menerima ajaran pokok agama-agama yang ada. Ajaran mengenai Nabi memang menjadi salah satu ajaran pokok agama. Namun apakah untuk menjadi agama, harus ada Nabi? Biarlah urusan Nabi ini tetap menjadi bagian dari pemahaman agama-agama wahyu.
Noaulu memang tidak memiliki Nabi. Tetapi Noaulu tidak pernah membuat tafsir praksis atau alegoris terhadap ajaran Upu Ama/Upuku Anahatana. Mereka menjalankan saja hukum pamali sebab bagi mereka itu dikehendaki Upuku Anahatana.
Agama Noaulu tidak mengembangkan tafsir dan hermeneutika yang berbelat-belit. Namun dalam perkembangan dewasa ini, ada bagian tertentu yang telah ditransformasi, seperti potong kapala sebagai simbol kedewasaan atau syarat membangun numa onate.
Namun bentuk transformasinya menjadi menarik. Seorang anak yang menjalani matahene/pataheri tidak lagi harus membawa kepala manusia sebagai tanda keperkasaannya. Namun diganti dengan kusu, tetapi kusu yang dimaksud adalah kusu yang masih hidup yang ditangkap dengan tangan sendiri. Dalam arti ia harus ‘iko kusu’ jadi melompat dari satu dahan ke dahan lain untuk menangkap kusu hidup-hidup. Ada aspek perjuangan di situ.

b.4. Ajaran Masa Depan [Eskatologis]
Agama Noaulu mengakui hidup di alam lain [atau hidup kekal]. Dan ini dikaitkan dengan dosa dan perbuatan baik. Jadi sama dengan semua agama di dunia. Sederhana saja menurut mereka, yaitu seorang diketahui berdosa, jika pada waktu ia meninggal, jasadnya di Nimoa No Niane [baca. Penjelasan Agil tentang hal ini dalam halaman 87-92] akan berbau busuk. Sebaliknya jika jasadnya tidak berbau, maka ‘itu orang bae’ [itu orang baik-baik/saleh]. Tidak hanya itu, mereka yang berdosa itu yang arwahnya menjelma menjadi Nite, yang jahat dan suka mengganggu manusia yang hidup. Sedangkan yang tidak berdosa menjadi Nitu, yaitu arwah leluhur yang menjadi pelindung dan penjaga anak cucu. Artinya, Noaulu yakin bahwa setelah mati ada alam baru sebagai tempat hidup manusia.



EMPAT: Penutup
Demikian beberapa hal yang dapat saya ajukan di sini. Saya tidak mengulang paparan Agil, dan juga tidak menyoal apa yang dikonstatasinya dalam buku bagus ini. Saya hanya membantu memahamkan Noaulu sebagai sebuah agama, walau saya sadari ini masih harus didiskusikan lebih lanjut.
Tetapi kita pun tidak bisa membenarkan mereka didiskriminasi hanya karena Noaulu tidak termasuk dalam 6 [enam] agama yang resmi diakui negara. Argumentasi kita jelas, apakah hanya karena orang Cina, etnis Tionghoa menguasai ekonomi nasional, maka Negara yang semula mengakui ada 5 (lima) agama dan aliran kepercayaan yang resmi di Indonesia, bisa menambah Konghucu menjadi agama ke-6 yang resmi?
Lalu hanya karena tidak memiliki Kitab Suci dan Nama-nama Nabi, lalu aliran kepercayaan terus didiskriminasi? Lalu apakah mereka orang Indonesia? Atau jangan-jangan memang di Indonesia ini ada bagian yang bukan Indonesia? Lalu apakah agama itu turut membuat kita bingung dalam soal-soal administrasi dalam hak warga negara?

Ami asau o ama,
Ami asau o ina,
Mae anariosa anamane osa





Sumber Bacaan:
Cooley, Frank L., 1962, Altar and Throne, 1968, Leiden, KITLV; Edisi Indonesia, Mimbar dan Takhta, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1981
Bartels, Dieter, 1977, Guarding the Invisible Mountain: Intervillage Alliances, Religious Syncretism and Ethnic Identity among Ambonese Christians and Moslems in the Moluccas, Ph.D. Dissertation. Ithacha: Cornell University
-------------., 1994, In de schaduw van de berg Nunusaku: Een cultuur-historiche verhandeling over de bevolking van de Midden-Moluken, Utrecht: LSEM
-------------.,2011, “Kebangkitan Adat dan Lembaga Kolonial dalam Penyelesaian Kerusuhan antara Kelompok Muslim dan Kelompok Kristen di Ambon”, dalam Kegalauan Identitas Agama, Etnisitas dan Kewarganegaraan Pada Masa Pasca-Orde Baru, Eds. Martin Ramstedt dan Fadjar Ibnu Thufail, Jakarta: Grasindo
Bowie, Fiona., 2000, The Anthropoloy of Religion, Blackwell Publisher, Oxford, UK,
Gottwald, Norman K., 1987, The Hebrew Bible: A Socio-Literaty Introduction, Philadelphia: Fortress Press
Titaley, John A., 2013, Religiositas di Alinea Tiga; Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-agama, Salatiga: Satya Wacana Press
Tunny, M. Aziz ., 2013, Beta Agama Noaulu, Yogyakarta: Smart Writings, Cetakan I, Desember
Turner, Bryan S., 2012, Relasi Agama dan Teori Sosial Kontemporer (terj. Inyiak Ridwan Muzir), Yogyakarta: IRCiSoD


[1] Masa kelahiran dan haid pertama dijalankan dalam posune sebab orang Noaulu memandang darah dari proses persalinan dan haid itu sebagai tabu [sama dengan Hukum-hukum kesucian dalam tradisi Yahudi]. Sebab itu orang yang sedang dalam ‘masa tabu’ [nidah] tidak boleh ‘campur’ dengan orang lainnya. Dalam alam budayanya, jika ‘campur’ maka bisa saja sial pada saat berburu atau berperang [rekaman cerita Ama Marpati Sounawe, 1997, Simalouw].
[2] Padahal di Buru, misalnya, ada ritus tohowae, yaitu ritus sunat yang diwajibkan oleh budaya Buru, jauh sebelum masuknya Islam ke sana. Malah sampai saat ini, orang Buru yang beragama Kristen pun menjalani tohowae sebagai penegasan jati diri Burunya. Tanpa itu, mereka akan disebut an-fehu [anak kecil tak berpengalaman, atau tak tahu apa-apa, inja tai ayang seng pica, ana tai ayang balender dua hari – jadi mereka tidak punya keutamaan sebagai orang Buru]

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Tahap Perkembangan Kepercayaan