BERKHOTBAH KEPADA MASYARAKAT "SENSORIUM"


Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

I

Bila anda sakit, obat, makan yang cukup dan istirahat yang dibutuhkan. Bila dirawat di Rumah Sakit, jangan heran karena pada kamar-kamar perawatan, ada TV flat yang siap meninabobokan anda, tetapi juga menghibur dan membuat anda tidak kehilangan informasi. Para "pembezuk" akan datang dengan membawa roti, buah-buahan, gula, susu, walau sebenarnya itu dipantangkan kepada anda. Mereka tidak membawa buku, majalah, koran, karena katanya anda perlu beristirahat. Di situlah untungnya kalau anda sakit dan dirawat di rumah saja, bahkan tidak ada "pembezuk".

II
Kesempatan menjadi sakit nyaris seminggu ini membuat saya menyaksikan pengumuman hasil Pilpres (21/5) dan semua tragedinya di rumah, dan tanpa membaca koran. Sampai akhirnya saya melihat ke rak buku dan menemukan buku yang dibeli 3 tahun lalu, Jeffrey D. Arthurs, Preaching with Variety.

Jelajah ke dalamnya, untuk seorang pendeta, membuat anda mendapati bukan hanya trik atau metode berkhotbah, melainkan kedalaman konteks jemaat atau pendengar yang "memaksa" anda untuk menyampaikan pesan tekstual ke dalam masyarakat yang "sensorium", yaitu masyarakat yang telah menggunakan berbagai indra secara kompleks untuk memahami dunia ini.

Ini bukan sekedar tentang penggunaan perangkat media, termasuk medsos. Ini realitas yang jauh daripada apa yang kasat mata itu. Sebab ini tentang ziarah masyarakat dari lambang-lambang alphabetis ke gambar dan video. Ini tentang kecepatan memahami gaya berkhotbah yang seperti iklan, dengan yang mempertahankan tradisi kuno kaum puritan.

III
Martyn Lloyd-Jones menulis, "Kita tidak akan sukses menghadapi peperangan modern ibi dengan mengulangi khotbah kaum puritan kata perkata, atau mengadopsi klasifikasi dah subdivisi yang mereka lakukan, serta gaya mereka dalam berkhotbah...kita harus belajat untuk mempertahankan prinsip-prinsip kuno namun kita harus menerapkannya, dan memakainya, dalam gaya yang sesuai dengan zaman. Pada saat kita menjadi budak dari sistem apapun...kita telah dikalahkan, karena kita semua sudah kehilangan prinsip adaptabilitas".

IV
Semisal kita mengkhotbahkan Kitab Mazmur, dan genrenya puisi. Itu adalah pengungkapan perasaan pribadi sastrawan/pemazmur. Wesley Johannes, dalam tesisnya (2019), mengutarakan ada poetic sphere. Saya hanya meminjam istilahnya sebab saya belum membaca tesisnya yang baru dipertahankannya dalam ujian di Magister Sosiologi Agama UKSW (27 Mei 2019).

Maksud saya ialah, dengan menerima Kitab Mazmur serta membacanya, berarti poetic sphere itu adalah semua Jemaat dalam seluruh situasi kebathinan diri dan kontak sosialnya. John Ciardi, dalam bukunya How Does a Poem Means?, mengatakan "yang ingin dicapai oleh puisi bukanlah percakapan tentang pengalaman, melainkan untuk mewujudkannya.

Sampai pada aspek itu, maka mengkotbahkan puisi dalam Mazmur, kita harus melibatkan pengalaman membaca dan mendengar, sambil mengelaborasi emosi untuk menghasilkan pesan-pesan yang artikulatif melalui diksi yang tepat, kata yang pendek-pendek, dan mimik yang mampu menarik emosi Jemaat ke dalam struktur kata dan gaya berkhotbah, walau anda bukan pembaca puisi yang handal.

Sebab jemaat yang sensorium itu telah terbiasa dengan media massa yang menyajikan bukan hanya berita tetapi juga gambar. Mereka terbiasa mendengar radio yang berisi lagu berbagai gendre. Mereka terbiasa dan bebas berselancar dengan medsos. Kanak-kanak sensorium telah terbiasa dengan game online dan bukan sekedar play-station yang kaset dan sticknya bisa macet.

Bawalah mereka ke dalam emosimu, dan buatlah mereka kagum dengan isi pesan khotbah anda. Bila demikian, mereka akan pergi karena seluruh indra mereka telah dirasuki pesan-pesan firman yang dahsyat.

Wailela, 28 Mei 2019

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara