ELMESEH

Ide Lokal orang Ameth – Nusalaut Tentang TUHAN
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


John Hicks, dalam salah satu bukunya menyebut bahwa Tuhan memiliki banyak sekali nama budaya (cultural name). Maksud Hicks bahwa tiap agama dan tiap masyarakat menyebut Tuhan menurut bahasa dan istilah mereka, malah mendefenisikan Tuhan menurut hal-hal yang berhasil mereka tangkap atau pengalaman mereka.

Lebih dalam mengenai itu, Hicks mengatakan tentang Tuhan itu ada dua realitas, yakni realitas ‘nomenon’ dan ‘fenomenon’. Realitas ‘nomenon’ itu merupakan defenisi atau pengenalan tentang Tuhan yang mengandung dimensi kekekalan, atau penyebutan/ pengistilahan yang menunjuk pada sifat Tuhan yang Absolut, seperti Sang Kebenaran, Jalan Yang Benar, Air Hidup, Roti Hidup, Gembala, dan lainnya.

Sedangkan realitas fenomenon ialah realitas penamaan yang tetap menurut bahasa atau budaya masyarakat. Nama-nama Tuhan seperti Shang Hyang Widi Wasa, Allah SWT, Thian, Tri Tunggal. Karena itu nama-nama budaya misalnya di Maluku: Upu Lanite, Upu Tepele, Upu Ume, Upukuanahatana, Upu Ama (Maluku Tengah), Upler, Duad Ler Vuan, Ubu Ratu (Maluku Tenggara), Oplastalah (Buru), dan lainnya adalah juga realitas fenomenon dari Tuhan tadi.

Realitas fenomenon tentu tidak sebatas pada cara masyarakat memberi nama mengenai Tuhan. Lebih jauh dari itu pada realitas ini masyarakat membangun suatu komunikasi dengan Tuhan atau menggunakan Tuhan sesuai dengan nama-nama itu sebagai media komunikasi dengan Tuhan yang absolut tadi. Maka baik nomenon maupun fenomenon, Tuhan itu adalah satu dan absolut.

Elmeseh: Fenomena Tuhan, Fenomena Bahasa

Orang Ameth, Nusalaut, sebagai pemangku istilah Elmeseh menggunakan nama Tuhan ini secara tipikal. Nama ini menjadi semacam tabu jika digunakan dalam komunikasi ritual atau ibadah gereja. Dalam doa dan khotbah, tabu jika nama ini digunakan. Sedangkan dalam komunikasi sesehari nama ini paling sering digunakan. Malah hampir semua orang Ameth menggunakannya dalam komunikasi satu sama lainnya. Bisa dikata, setiap mengawali pembicaraan apa pun selalu didahului dengan sebutan Elmeseh.

Dari sejarah kebahasaan, kita bisa mengatakan bahwa nama Elmeseh merupakan gaya serapan baru di Ameth dari istilah Almasih dalam bahasa Arab. Beta sendiri tidak bisa memastikan apakah cara penulisan yang benar mengenai istilah itu ialah Elmeseh atau El-Meseh. Karena bagaimana pun cara penulisannya, artinya tetap menunjuk pada cara khas orang Ameth menamakan Tuhan.
Dari segi tata bahasa baik ditulis Elmeseh, maupun El-Meseh atau El Meseh, semuanya menunjuk pada bentuk infinitif atau bentuk dasar, artinya menunjuk pada subyek khusus yang digelari. Sebab dalam bahasa Semit, termasuk bahasa Arab, istilah El- atau Al- itu adalah atributif untuk menunjukkan genus atau bahwa kata yang mengikutinya adalah subyek tertentu. Karena itu tidak berdiri sendiri melainkan diikuti oleh genus kata tertentu yang dilekatkan pada suatu subyek tertentu pula.

Misalnya Al-Masih tidak berdiri sendiri melainkan mengikuti subyek tertentu yakni Isa Al-Masih atau Isa Al Masih. Dalam bahasa Arab, Almasih berarti ‘Yang dibangkitkan kembali’, dan selalu digunakan di belakang nama Isa = Isa Almasih, artinya Nabi Isa Yang dibangkitkan kembali. Sama dengan nama teman beta, Sumanto Al-Qurtuby atau Sumanto Al Qurtuby. Sedangkan istilah El juga menunjuk pada atributif Tuhan dari bahasa Aram, yang dipakai dalam teks-teks Perjanjian Lama, seperti El-Elyon, El-Roy, El-Shaday, yang bentuk jamaknya tampak pada istilah Elohim (Tuhan).

Beta merasa bahwa Elmeseh adalah suatu bentuk infinitif yang mungkin berarti sama. Artinya orang Ameth menyerap bahasa Arab melalui istilah itu. Peristiwa penyerapan bahasa Arab oleh orang Ameth itu dapat dibenarkan karena sejarah kontak orang Nusalaut dengan Islam Arab pun berlangsung cukup intens. Malah bukti-bukti kontak dengan Islam Arab di Nusalaut pun masih bisa didapati sampai saat ini. Termasuk karena itu relasi mereka dengan orang Ambalau. Malah bahasa Arab pun pernah digunakan secara meluas di Lease melalui beberapa teks Alkitab yang diterjemahkan dalam bahasa Arab.

Namun orang Ameth menggunakan Elmeseh itu tanpa disertakan pada subyek Yesus atau Isa. Mereka telah menggunakannya secara tunggal. Tetapi menurut mereka, penyebutan itu sesungguhnya berarti Yesus itu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Elmeseh bagi mereka adalah istilah lokal tentang Yesus. Atau kembali pada teori Hicks, Elmeseh merupakan realitas fenomenon mengenai Tuhan dalam cara membahasa orang Ameth.

Apakah istilah ini penting? Franz Boas, dalam sebuah tulisannya pada buku ‘Language in Culture and Society’ (Dell Hymes, 1964:173) menjelaskan bahwa istilah-istilah yang dipakai oleh suatu masyarakat dapat menunjuk pada adanya ‘mythical beings’ dan ‘kepercayaan lokal’. Atau kembali kepada teori Hicks, maka istilah-istilah itu tentu menunjuk kepada Tuhan sebagai subyek absolut. Namun Tuhan dalam arti ini lahir dari pengalaman masyarakat, yakni orang Ameth.
Ada pengalaman unik yang mereka alami dari waktu ke waktu sehingga melahirkan konsepsi yang khas tentang Tuhan. Pendapat ini cukup beralasan sebab hanya orang Ameth yang memproduksi istilah Elmeseh dan menggunakannya dalam keseharian mereka. Penamaan itu tidak dijumpai pada enam negeri atau jemaat lainnya di Nusalaut yakni Akoon, Abubu, Titawai, Leinitu, Sila, dan Nalahia. Ini pula yang membuat istilah Elmeseh ini memiliki makna yang khas dibandingkan Tete Manis yang justru digunakan secara umum pada semua komunitas di Maluku.

Elmeseh: Rekonsepsi Tuhan dalam Sejarah Gereja di Ameth

Penjelasan tentang topik ini mestinya mengacu dari detail sejarah gereja di Ameth. Beta tidak memiliki detail sejarah itu. Karena itu gambaran ‘apa adanya’ pada topik ini merupakan semacam refleksi ‘di kuli aer’ (baca. refleksi umum) yang masih harus didalami lagi.

Apa yang mau beta sampaikan dalam bagian ini ialah bahwa orang Ameth memproduksi nama Tuhan dalam kerangka pemahaman mereka. Cara reproduksi seperti itu memang bisa menjadi semacam critical point of view ketika penamaan itu dibiarkan mengambang sehingga menjadi tabu yang dilegalkan. Ini sama dengan sebutan ‘TUANGALLAH’ yang lalu sudah menjadi semacam tabu. Padahal jika didalami dari segi kekhasan bahasa, justru Elmeseh dan Tuangallah tadi merupakan rekonsepsi nama Tuhan itu sendiri. Hanya kita sering tidak mengklarifikasi hal-hal serupa itu secara teologis. Akibatnya, seperti Tuangalah, dipahami sebagai konotasi kasar dari nama Tuhan yang lalu dipahami sebagai tabu.

Pada tempat lain, ada pula penyebutan seperti: ‘Tuangallah Tuangisa’ oleh orang-orang Tuhaha, Pulau Saparua. Jika dilihat sebagai gaya serapan bahasa Indonesia maka sesungguhnya penamaan itu berarti ‘Tuhan Allah, Tuhan Isa atau Tuhan Allah, Tuhan Yesus’. Sebuah penamaan umum dalam tata bahasa Indonesia tentang Tuhan dan Tuhan Yesus. Hanya orang Tuhaha menggunakannya secara bersama-sama, dengan tipikal mereka yang mengakui Yesus sebagai Tuhan itu sendiri.
Sebutan ‘Allah Bapa’ oleh orang-orang Oma (Pulau Haruku) pun adalah pengambilalihan secara langsung istilah dalam bahasa Indonesia. Namun karena digunakan dalam percakapan sesehari, seperti halnya Elmeseh tadi, maka sebutan itu dipandang pula sebagai tabu, sama dengan Tuangallah yang digunakan secara umum.

Kembali kepada Elmeseh. Jika penamaan itu diambil dari artinya dalam bahasa Arab, yakni ‘Yang Bangkit Kembali’, maka tentu harus dicari alasan-alasan sejarah dari penggunaan istilah itu. Apakah ini terkait dengan pemaknaan Yesus dalam sejarah gereja di Ameth atau Nusalaut, atau ada peristiwa sejarah tertentu yang membidaninya. Artinya kita tidak bisa melepaskan fenomena-fenomena itu begitu saja melainkan harus ada fungsi kritis teologis dalam rangka melihat reproduksi teks-teks tentang Tuhan oleh masyarakat kita di Maluku. Sebab Elmeseh tentu menjadi sebuah cara pandang yang tipikal Ameth tentang Tuhan. Jika digunakan dalam ruang-ruang ritus dan khotbah gereja, makna dasar dari Elmeseh itu akan menunjuk pada sebuah pemahaman baru yang bermakna teologis bagi jemaat. (1/8-2011)

Comments

"aminata" said…
Tabea... Upu Maspaitella

Numpang comment...

Apakah Tuhan itu harus diberi nama? Menurut beta, memberi nama pada Tuhan sama dengan menangkap Tuhan dalam "kata" yang sebenarnya terbatas.

Ketika Tuhan diberi nama maka seakan-akan bahwa nama Tuhan itu menunjuk pada "Tuhan" yang

Apakah Tuhan itu sama dengan Nabi? karena penjelasan di atas, bung menggunakan kata "Tuhan" dan "Nabi" secara interchangeble.

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara