KEBODOHAN TEOLOGI:

Teror Bom dan Kekerasan Atas Nama Agama sebagai Teks Buram
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

AJARAN DAMAI
Semua orang di dunia ini akan berkata yang sama: ‘Agama sesekalipun tidak mengajarkan mengenai kekerasan atau teror terhadap kemanusiaan’. Tetapi kita hidup di dalam realitas yang antagois –bahwa atas nama agama, kekerasan dan teror terhadap kemanusiaan dimutlakkan oleh sekelompok orang.

Sesederhana apa pun agama, termasuk agama suku-suku di pedalaman Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, ajaran mengenai kebaikan menjadi jantung hidup masyarakat. Dalam setiap agama, seperti disimpulkan Hans Küng dalam magna opusnya, The Global Ethics, tidak dibenarkan membunuh, mencuri, saling menyakiti, berbohong, dan lain sebagainya. Agama membangun sebuah norma dasar, atau the good and virtue, menurut bahasa Aristoteles yang menjadi common ground morality dan common goods atau common virtue. Yesus lalu meringkas norma yang panjang lebar itu dalam: ‘mengasihi Tuhan dan sesama seperti mengasihi diri sendiri’.

Lalu semua agama menunjukkan jalan untuk melakukan kebaikan yaitu dengan cara beribadah kepada TUHAN dan melayani sesama saudara. Kiblat doa dan ibadah pada semua agama adalah berdamai dengan TUHAN dengan terlebih dahulu berdamai dengan sesama. Hadits Nabi Muhammad SAW pun mengajarkan demikian.

AMBIVALENSI DAN ANTAGONISME BUDAYA AGAMA
Mengapa muncul teror atas nama agama atau kekerasan untuk memperkuat hegemoni agama? Singkat saja jawabannya. Kebodohan teologis. Pembodohan teologis. Teks suci yang hidup di dalam konteksnya mengalami bias saat direproduksi dalam konteks pembaca yang baru. Bias ini menunjukkan bahwa teks telah dikorupsi dan dimanipulasi sebegitu rupa untuk menjadikan agama sebagai benteng moral dan garansi masuk surga atau sumber pahala di akhirat.

Teks kitab suci memang lahir dalam suatu masyarakat yang ambivalen dan wabah antagonisme budaya di Timur Tengah sebagai ‘tanah tumpah darah’ sekian banyak teks dan kitab suci. Ambivalensi dalam teks dibentuk oleh ‘perang urat syaraf’ di kalangan kaum Semitis tentang ide-ide pokok dalam agama yaitu TUHAN, Tanah Suci atau Tanah Perjanjian, Umat Pilihan TUHAN, Anak Dewa/Anak TUHAN, dan Surga/Akhirat. Siapa yang berhasil dalam propaganda teks menjadi bangsa dengan ‘pride religius’ yang tinggi. Jika demikian, bangsa itu pun akan unggul secara politis, sebab propaganda teks selalu berhasil mematahkan hegemoni lawan atau membangun hegemoni bangsa yang mempropagandakan teks itu.

Yahudi terbukti sebagai bangsa yang sangat berhasil melakukan propaganda itu, dan sampai saat ini hasil propagandanya itu ‘diyakini’ sebagai teks suci sebagian besar umat beragama di dunia, baik Islam, dan tentunya Kristen. Malah ‘konsumen’ propaganda Yahudi itu jauh lebih banyak dari propagandisnya sendiri. Luar biasanya lagi, sebagian besar warga dunia dibuat mengaku ‘tanpa syarat’ Yahudi sebagai Bangsa Pilihan TUHAN.

Antagonisme? Iya, sebab dalam pengakuan akan keterpilihan Yahudi, sebagian besar warga dunia, terutama yang beragama kristen, melihat perang saudara di Timur Tengah bukan sebagai konflik politik, melainkan konflik agama –dan dengan pongahnya sering orang berkata: ‘siapa mau lawan umat pilihan ALLAH? Sebuah buku propaganda yang ditulis Avner Sahertian, seseorang yang menggelari dirinya sendiri sebagai Rabi, yang berjudul: ‘Anak Kunci Israel yang Terhilang di Indonesia’ malah terkesan merayu orang Ambon –yang menurutnya adalah Suku Gad, untuk kembali pulang ke Yerusalem, ke tanah yang sempit dan berdarah-darah itu. Antagonisme. Benar. Sebab dalam seluruh realitas kemanusiaan dan teologi yang terpenjara seperti itu, fantasi tentang ‘holy land’ dan identifikasi diri dengan Israel menjamur di seluruh antero dunia.
Beta kira hal serupa pun menggejala di kalangan umat Muslim. Karena dari pengalaman kita selama ini, identifikasi diri dengan orang Israel dan Arab menjadi semacam ‘virus’ –sehingga label Arab atau Israel dijadikan sebagai ‘identitas arbiter’ di kalangan Muslim maupun Kristen di seluruh dunia. Malah label Eropa selalu pula disertakan dalam antagonisme budaya agama di Indonesia.

KEBODOHAN TEOLOGI
Aksi teror bom, kekerasan antar-agama, konflik agama, dan lainnya selalu dilihat dari sudut pandang politik, sosial, ekonomi. Sebab itu aktor intelektual selalu dialamatkan kepada elite birokrasi, politik, pengusaha, dan bahkan oknum militer (TNI/Polri). Pada kasus tertentu, analis-analis intelejen dan pakar gerakan teroris membuat peta jaringan internasional dari satu gerakan yang muncul di Indonesia –bahkan sampai pada aliran dana internasional yang masuk dari satu tangan ke tangan berikutnya.

Fokusnya selalu di situ, sehingga usaha menuntaskannya ialah dengan parade pasukan militer (TNI/Polri), sweeping, PAM Swakarsa, berburu kelompok dan gembong teroris, pengedaran foto dan sketsa wajah pelaku teror dengan iming-iming sejumlah uang sebagai imbalan bagi yang melapor. Lihat pula bagaimana prestasi Polri menggrebek dan menembak mati gembong teroris atau menyekat perkelahian antar-komunitas. Walau sebenarnya ada pula kealpaan dan kesengajaan untuk membiarkan konflik dan kekerasan antar-komunitas terjadi. Alih-alih pengamanan, mereka selalu berdalih dengan ‘datang terlambat’ atau rakyat terlambat melapor. Maka alih-alih pengamanan, konflik sudah meletus, bom sudah meledak dan memakan korban, barulah dipasang Police Line. Apa yang mau dibatasi? Tidak ada! Sebab sudah jatuh korban. Yah seperti kalimat sakti Martin Heidegger: ‘a boundary is not that which something stops but, as the Greeks recognized, the boundary is that from which something begins its presencing’. Boundary itu pula yang berhasil dilewati pelaku bom bunuh diri dalam Masjid Mapolsek di Cirebon.

Satu aspek yang perlu dituntut pertanggungjawabannya adalah ‘pendidikan teologi’. Sebab perlakuan teror dan kekerasan atas nama agama memberi bukti bahwa telah terjadi kebodohan teologis di kalangan umat. Umat dengan gampangnya dirasuki pikiran-pikiran teologis yang bias. Dari Kitab Suci yang sama bertumbuh beribu hasil tafsir dan menghasilkan jutaan madzhab tafsir. Mereka sesungguhnya berhak atas ajaran yang orisinil dari agama. Tetapi proses bimbingan terhadap mereka telah bias, karena pembimbingnya yang bias.

Mengapa begitu? Banyak pembimbing agama, alim-ulama, merasa menjadi wakil TUHAN satu-satunya di dunia. Mereka merasa memahami dengan tepat isi kepala TUHAN, dan ironinya isi kepala TUHAN yang mereka yakini itu adalah beragam tindakan kekerasan dan teror dan semuanya diberi fondasi: ‘atas nama agama’, atau ‘perang untuk TUHAN’. Tangisan beberapa anak-anak yang bertanya: ‘TUHAN, apakah agamamu?’ adalah protes kebodohan teologis yang sedang terjadi.

Proses pembodohan teologis itu dilakukan oleh mereka yang belajar teologi secara serius maupun ‘kursus kilat’ baik melalui pendidikan 6 bulan atau belajar dari guru-guru rohani saat minum kopi, makan siang bareng –dalam rangka mengirit biaya, atau cara lain melalui internet dan buku-buku yang menyesatkan. Mereka ada yang melakukannya melalui ceramah, khotbah, dakwah, atau juga bimbingan spiritual secara khusus. Ironinya mereka semua mengklaim seakan-akan TUHAN membenarkan tindakan kekerasan dan pembunuhan, dan orang yang melakukannya untuk TUHAN diselamatkan. Ironinya pula, ada orang yang mau melakukan tindakan keji seperti itu.

Lihat saja konflik Ambon. Betapa ayat-ayat suci ‘dijual’ setiap hari untuk menarik simpati dan membangun rasa superior satu kelompok atas lainnya. Tidak hanya itu, TUHAN pun ‘dipromosi’ habis-habisan sebagai kekasih salah satu kelompok yang sedang memendam rasa dendam terhadap kelompok lain. Akhirnya kekerasan terhadap kelompok lain dipahami sebagai cara membalas dendam TUHAN.

Lihat pula betapa dari seluruh rangkaian kasus teror dan kekerasan atas nama agama di Indonesia. Gambar yang tampil di saluran-saluran TV menunjukkan semua oknum teroris dan pelaku kekerasan secara pribadi maupun massif menjadikan nama TUHAN sebagai ‘yel-yel’ pembangkit semangat. Malah ‘yel-yel’-nya lebih bergemuruh dibandingkan suporter sepak bola, ketika jarak mereka sudah dekat dengan ‘orang yang dibenci TUHAN’ dan lebih hebat lagi ketika berhasil mengusir, menyerang, membakar ‘orang/kelompok yang dibenci TUHAN’. Ini bentuk pembodohan teologi dengan mengeksploitasi ayat dan nama TUHAN secara extraodinari.

Mereka yang melakukan gerakan pembodohan teologi dan mereka yang menjadi korban pembodohan itu malah merasa keagamaannya jauh lebih benar bukan saja dari kelompok beragama lain, tetapi dari saudara-saudaranya yang seagama. Lihatlah judul buku ‘Bom Buku’ yang dikirim kepada Ulil Abdallah –pentolan JIL yang kini juga menjadi aktifis Freedom Institut dan petinggi Partai Demokrat. Tidak hanya itu, orang-orang lain pun dinilai memiliki paham beragama yang salah –padahal menurut teman saya, Sumanto Al Qurtuby, apa yang dipelajari atau praktek beragama seperti membaca sunnah Nabi dan lainnya oleh banyak sekali kaum radikal itu, merupakan pelajaran beragama yang sudah diperolehnya sejak masih kanak-kanak, dan ketika ‘dibesarkan’ di pesantren. Artinya dia sudah lulus dari pelajaran-pelajaran itu, dan telah menjadi Islam atas pelajaran-pelajaran itu. Kini dia menjadi Islam sambil belajar juga dari kekayaan pengetahuan yang lain (seperti Antropologi yang sedang digelutinya di Boston University) atau juga dari kekayaan iman yang lain (seperti terekam dalam bukunya yang baru terbit tahun 2011 ini, Among the Believers).

Lepas dari kenyataan itu, negara turut melakukan proses-proses pembodohan teologis ketika instrumen negara seperti Kementrian dan Kepolisian tanpa sadar membiarkan gerakan-gerakan radikal terus menjadi ‘penentu’ kebijakan publik. Bisa dibayangkan bagaimana mungkin ada satu kelompok menyatakan kepada negara mereka berhak melakukan razia dan menghancurkan kelompok atau aliran tertentu. Mereka mempertontonkan kekerasan di hadapan aparatur negara, dan tidak ada tindakan apa pun dari negara terhadap mereka. Malah kelompoknya menjadi sangat ditakuti oleh negara.

Ini sama sekali tidak tersangkut dengan intrik politik, melainkan bias tafsir teks suci pada hampir semua agama di Indonesia atau dunia. Teror yang terus melanda, bayangan konflik antar-agama yang terus ditakuti, semakin hari semakin menjadi momok jika proses-proses pembodohan dan kebodohan teologis ini tidak disadari. Indonesia akan menjadi negeri yang dihuni oleh orang-orang bodoh secara teologis dan banyak alim-ulama akan beralih, tidak lagi menjadi teolog atau belajar teologi melainkan belajar ‘Teobulogi’ (Teologi Kibulin).(*)

Comments

USP HURWASAL said…
kita tidak bisa menyalakan masyrakat terkait dengan ijonisasi, melaikan jujur harus di katakan program pemberdayaan umat oleh gereja ada hanya pada tatran konsep
USP HURWASAL said…
Adah butuh untuk dana rangsangan untuk usaha kunjugi kami di USP HURWASAL

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Tahap Perkembangan Kepercayaan