MENGAPA ‘SIA-SIA’?

Bahan Bacaan: Pengkhotbah 4:17-5:6
oleh. Elifas Tomix Maspaitella


Sudah tentu semua orang membaca teks Pengkhotbah dan menyimpulkan bahwa ‘segala sesuatu adalah sia-sia’, atau ‘ibarat menjaring angin’, atau ibarat ‘hidup di bawah bayang-bayang maut’. Artinya yang ada hanyalah kekelaman atau kelam-kabut, kekosongan, dan kegelapan. Ringkasnya, seperti halnya ungkapan pengkhotbah: SIA-SIA.

Akibatnya, kita mendapat gambaran bahwa kitab Pengkhotbah diwarnai oleh suasana pesmistis. Sepertinya tidak perlu lagi melakukan apa pun di hidup ini, karena toh sia-sia saja. Atau tidak perlu mencita-citakan sesuatu yang lebih tinggi, karena toh semuanya sia-sia.

Kesan umum itu tidak bisa disalahkan, apalagi jika disertai dengan cara membaca teks Pengkhotbah secara harfiah atau leter-leg.

Padahal jika dibaca secara hati-hati, dan terutama pada pasal 4:11-5:6, kita akan mendapati alasan mengapa penulis kitab ini menegaskan secara berulang ‘kesia-siaan’ itu.

Sebagai bagian dari Sastra Hikmat, teks Pengkhotbah, seperti halnya juga Amsal, Ayub, Ruth, Kidung Agung, dan juga Mazmur menekankan mengenai hal TAKUT TUHAN sebagai kunci dari semua pengetahuan dan perilaku hikmat (bnd. Amsal 1:7).

Memang, tema TAKUT TUHAN merupakan tema pokok dalam teologi Perjanjian Lama. Kalangan guru-guru hikmat menggunakan tema ini sebagai ajaran pokok atau kunci dari semua didikan hikmat kepada umat.

Bagaimana akan halnya dalam Pengkhotbah? Ada tiga bentuk perwujudan TAKUT TUHAN yang mau ditekankan Pengkhotbah, atau tulisan-tulisan Hikmat lainnya, yaitu:

Pertama, Mencintai Hukum. Taurat selalu menjadi pangkalan seluruh perilaku dan tata kehidupan umat. Lazimnya sebagai hukum, Taurat itu berfungsi menertibkan hidup manusia, baik dalam relasi dengan Tuhan maupun relasi dengan sesama; termasuk yang tersangkut dengan hal-hal moral, susila dan kesopanan.

Idealnya dalam teologi Perjanjian Lama, mencintai Taurat berarti menjalankan tuntutan Taurat sebagaimana tertulis, tanpa mengurangi atau menafsir menurut kepentingan tiap pribadi dan kelompok. Suatu perilaku hukum yang tegak lurus, dalam arti karena tertulis demikian, perlakuannya pun harus sesuai dengan yang tertulis.

Mengapa TAKUT TUHAN? Karena Taurat diyakini bersumber dari TUHAN, dan dialamatkan kepada semua manusia. Dalam rangka itu, mencintai hukum di sini berarti patuh atau taat kepada perintah Tuhan, karena dimensi penting dari Taurat bukanlah rumusan hukum secara material, tetapi PERINTAH TUHAN. Jadi terhadap Taurat biasanya terjadi ketaatan legalistik.
Hal ini menurut Pengkhotbah digambarkan dengan istilah: ‘jagalah langkahmu, kelau engkau ke rumah Allah!’ (4:17). Tindakan itu sama dengan menjaga agar hidup bersesuaian dengan Perintah Tuhan.

Kedua, Mencintai Keadilan. Keadilan merupakan unsur di dalam praktek Taurat. Karena itu Taurat pun mengatur bagaimana perlindungan hak-hak orang lain, sampai pada bagaimana pembagian upah yang wajar, atau pembebasan budak dan hutang.

Dimensi ini menjadi penting karena dalam masyarakat yang semakin kompleks, kaum menengah dan kelas atas atau elite dalam masyarakat dan agama-agama diharapkan menjadi pelaksana berbagai tuntutan keadilan secara merata. Rata-rata pada dua kelas sosial ini adalah imam, pemerintah, wakil pemerintahan, tuan tanah, orang kaya, dll.

Mereka diharapkan bisa menjadi pihak yang memberi jaminan keadilan kepada orang-orang miskin, yatim-piatu, janda, orang asing dalam masyarakat. Tetapi ternyata mereka berfungsi sebaliknya. Tidak ada praktek keadilan dalam perlakuan mereka sehari-hari. Mereka cenderung mengejar keuntungan dan kehormatan diri sendiri dan kelompok, yang karena itu bisa saja mengorbankan orang miskin atau kelas bawah dalam masyarakat.

Beberapa contoh bisa diungkapkan, seperti praktek suap di pengadilan yang jelas-jelas berdampak pada perampasan tanah orang-orang miskin, hutang dengan bunga pinjaman yang tinggi, ditahannya upah pekerja harian sehingga mereka terpaksa berhutang dan pada gilirannya menjadi budak juga, dll.

Ringkasnya tidak ada keadilan dalam seluruh dimensi hidup masyarakat. Ini adalah gambaran dari tidak adanya rasa TAKUT TUHAN.

Pada Pengkhotbah 5:1, perilaku seperti itu dilukiskan dalam kalimat-kalimat: ‘janganlah terburu-buru dengan mulutmu, janganlah hatimu lekas-lekas mengeluarkan perkataan di hadapan Allah, ….biarlah perkataanmu sedikit”.

Atau dalam ay.2, perihal mimpi yang disebabkan oleh banyak kesibukan, dan percakapan bodoh yang disebabkan oleh banyak perkataan. Yang berarti terlalu banyak janji yang muluk-muluk dan rencana yang tidak jelas wujud pelaksanaannya. Apa yang kini lazim disebut wacana atau lip service.

Atau tuntutan untuk membayar nazar kepada Tuhan dalam ay.3 dan 4, yang bermuara pada kejujuran dan kesungguhan dalam bernazar. Artinya tidak boleh berbohong termasuk kepada Tuhan. Demikianlah seterusnya sampai dengan ayat 6. Suatu lukisan mengenai pentingnya perhitungan yang matang dan perencanaan yang tepat, daripada janji-janji yang tidak bisa ditepati karena disertai kebohongan dan kemunafikan.

Hal-hal itu telah mengaburkan arti keadilan dalam hidup dengan sesama dan dengan Tuhan. Ini yang menjadi alasan mengapa Pengkhotbah mengatakan segala sesuatu sia-sia saja. Yaitu sebab ia tidak mendapati lagi orang-orang yang konsisten dengan sikap dan perilakunya. Untuk itu, ibarat kata menjaring angin, semuanya sia-sia.

Ketiga, Mencintai Didikan. Dalam mewujudkan hal TAKUT TUHAN, umat dituntut untuk mencintai didikan. Didikan ini berasal dari kalangan guru hikmat, atau orang-orang yang dikuduskan Tuhan. Mereka mengajar dengan hikmat yang bersumber dari Tuhan, dan ajaran mereka juga bersumber dari Tuhan. Karena itu ajaran hikmat adalah Firman Tuhan.

Hal mencintai didikan bertujuan agar umat menjadi taat dan setia pada apa yang difirmankan atau dikehendaki Tuhan untuk diwujudkan dalam hidupnya.

Dalam kisah-kisah PL, ajaran hikmat selalu membawa kita untuk mempertimbangkan apa yang harus kita lakukan dan apa yang harus kita hindari. Karena itu, lukisan tentang perilaku orang baik, atau orang berhikmat, atau orang pandai, atau orang percaya yang mendatangkan berkat Tuhan kepadanya menjadi dimensi pertama dari ajaran hikmat. Sejalan dengan itu, lukisan mengenai perilaku orang fasik, orang bodoh, atau orang jahat yang mendatangkan kecelakaan, kebinasaan atau kutukan, menjadi dimensi kedua dari ajaran hikmat itu pula.

Dari kedua bentuk lukisan itu, apa yang mesti dilakukan seorang manusia? Di sini kita harus memilih dan menentukan sikap kita sendiri.

Nah, pada ketiga aspek tadi, Pengkhotbah bermaksud memperlihatkan bahwa segala sesuatu sia-sia karena orang tidak lagi konsisten dengan apa yang harus dilakukannya, sebagai bentuk TAKUT TUHAN.

Karena itu, teks Pengkhotbah perlu dibaca dalam semangat pemulihan perilaku dan konsistensi sikap hidup. Pada pasal 7:8, disebutkan: “akhir suatu hal lebih baik daripada awalnya”.

Maksudnya, bukan titik berangkat yang perlu, tetapi proses menuju hasil akhir yang penting.
Di dalam proses itu memerlukan konsistensi sikap dan perilaku sebagai tanda TAKUT TUHAN. Jika kondisi itu terwujud secara baik, tidak ada yang sia-sia di bawah kolong langit.

Karena itu, teks Pengkhotbah ini mengajarkan kita bukan sekedar mengenai untuk apa kita ada, tujuan kita hidup. Ini bukan sekedar tentang cara beradanya seseorang, sekelompok orang, atau suatu bangsa, suatu agama, melainkan tujuan dari adanya seseorang, tujuan adanya suatu masyarakat, tujuan adanya suatu negeri, tujuan adanya suatu agama, dan tujuan adanya suatu bangsa.

Tujuannya itu yang perlu kita wujudkan melalui tiga sikap TAKUT TUHAN tadi. Amin




Disampaikan sebagai Pelengkap Materi Diskusi dalam Ibadah Wadah Pelayanan Laki-laki Sektor Kalvari - Jemaat GPM Rumahtiga, Maret 2009

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara