Tuesday, June 18, 2024

Kerinduan Kepada Allah

Mazmur 42:1-12

Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella

 

 

DAHAGA INI TIDAK BISA DIHAPUS OLEH AIR DI KOLAM KECIL, MELAINKAN PADA SUNGAI YANG MENGALIR TAK PERNAH KERING

 

Ini bukan sekedar rindu seperti orang kasmaran akan kekasihnya. Kerinduan ini sungguh sangat besar dan tidak bisa ditahan lagi. Seperti rusa yang dahaga dan ingin segera minum dari air di sungai. Rusa itu berlari mencari sungai, bukan sekedar telaga. Artinya diperlukan air dalam jumlah yang tidak terbatas, supaya bisa diminum sepuasnya tidak takut kalau-kalau air itu habis. Ingin berlama-lama di tepian sungai itu, minum airnya tanpa henti, berapa pun banyaknya rusa yang berada di situ dan meminum dari sumber yang sama, tak pernah akan habis. 

 

Kerinduan itu diumpamakan seperti kerinduan kita kepada Tuhan. Rasa rindu untuk berada dalam rangkulan kasihNya, kasih yang luas dan mengalir seperti sungai yang tak pernah kering. Rasa rindu itu membuat kita hanya mencariNya, apa pun tantangan di tengah jalan, kita tetap mencari-Nya, dan memuaskan diri dalam luapan kasihNya yang bening, murni, sejuk, dan mengalir tanpa pernah berhenti.

 

Kasih Allah itu laksana sungai yang mengalir, dan ke sanalah kita datang dan terpuaskan. Mereka yang datang, berapa pun banyaknya, boleh minum sampai puas, dan dipuaskan untuk seterusnya. Walau jumlahnya terus bertambah, kasih itu tidak akan mengering, karena sumbernya adalah Sang Mahapencipta.

 

MENGAPA AKU HAUS?

 

Aku haus, karena susah aku, dan orang meledekku sambil bertanya “di manakah Allahmu?” Mereka menganggap aku percaya kepada kuasa kesia-siaan, mereka menyangka aku percaya pada tuhan yang tega membiarkan aku mati seperti orang kena tulah. Karena itu, setiap hari aku menangis, sehingga air mataku mengental seakan menjadi makananku. Aku ingin ada yang membelaku di depan mereka yang setiap saat berbondong-bondong ke rumah Tuhan, padahal hatinya mencibir orang-orang susah seperti aku. Aku ingin mereka sadar bahwa aku tidak percaya pada kesia-siaan melainkan kepada Dia yang bernyawa, dan yang memerintahkan segalanya ada dan diam pada tempatnya. Aku ingin bertanya kepada mereka: “apa tujuanmu ke rumah Tuhan, bila engkau selalu memandang rendah pada kami yang sudah dan dina?” Bukankah kita sama-sama menderita haus akan kasih Tuhan? Mengapa kalian tidak mencari kasih itu melainkan menghadang jalanku ke tempat di mana semua orang dapat terpuaskan oleh kasih yang tulus itu? Itulah mengapa aku haus. Itulah mengapa aku rindu kepada Dia yang adalah Allahku.

 

 

MENGAPA ENGKAU TERTEKAN HAI JIWAKU, DAN MENGAPA ENGKAU GELISAH DI DALAM DIRIKU?

 

Bila aku berpuisi, kini dengarlah kuplet yang ku awali dan kututup dengan tanya yang sama: “mengapa engkau tertekan hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku?”

 

Dengarlah.

Aku tidak berharap pada siapa pun. Tidak juga kepadamu wahai orang-orang sombong. Aku tahu, jika aku meminta darimu, bila pun kau memberi, kelak aku akan ditagih. Tetapi aku tahu, tak satu pun pintaku kan ku peroleh, karena kau lebih suka mendandani dirimu dengan segala pernik yang mewah supaya jika engkau di jalan semua mata tertuju kepadamu dan memujimu karena kemewahan itu. 

Ketahuilah, kau bukanlah penolongku. Sebab penolongku tidak akan memincing mata terhadapku, melainkan dia akan mencariku di sela-sela kerumunan orang-orang sombong. Dan Ia akan tersenyum tatkala menatapku yang sedang kebingungan mencari cela untuk mendekat kepadaNya dari antara kerumunan orang-orang sombong itu.

 

Dengarlah.

Jiwaku melonjak hendak keluar dari dalam diriku, sebab aku ingat pada air sungai Yordan yang sejuk. Pada alirannya yang deras. Pada butirnya yang terhempas menghantam dinding batu marmer dan menyiram wajahku. Sambil ingat akan sungai yang sejuk itu, aku pun teringat pada puncak Hermon yang subur dan menumbuhkan buah-buah segar yang memikat mata dan nafsuku. Aku ingat pada kicau burung dan kejar-kejaran rusa yang turun laksana mempelai perempuan yang siap dinikahi.

Ketahuilah, jiwaku melonjak dan hendak keluar dari dalam diriku, sebab rinduku pada air sungai dan hijaunya gunung, bukit dan lembah subur yang dibuat oleh tangan Allahku, penolongku. 

 

Dengarlah.

Gemuruh air terjun yang menghujam bebatuan di bawah, menggetarkan bumi seperti gelombang besar yang memukul tubir karang dan menggoncangkan pantai. Bunyinya berpadu seperti iringan musik saat aku menyanyi di dalam rumah Tuhan dalam iringan kantoria besar dalam kebaktian kudus. 

Aku seperti dikelilingi harmoni alam yang gempita, dan aku merasa tidak ada artinya kerumunanmu yang mencari Allahku dalam kepalsuanmu. Itulah sebabnya aku haus, dan aku rindu untuk segera berhimpun bersama semua penyanyi dan pemazmur. 

Ketahuilah, bila aku berada dalam kumpulan para penyanyi, rasa cemasku akan kerumunanmu sirna sebab aku ritme lagu mereka diwarnai kejujuran dan ketulusan. Aku tidak takut lagi, walau harus berjuang maju dari cela kerumunan orang-orang sombong. Aku akan mendapatkan sumber air yang tidak pernah kering untuk melepaskan dahagaku.

 

Dengarlah.

Jiwaku tertekan dan hendak melonjak keluar dari dalam diriku, sebab sangkaku aku dilupakan oleh Allahku, penolongku. Sangkaku Ia membirkan aku dihimpit orang-orang sombong itu, dan membiarkan lawanku mencela aku sehingga aku hampir mati karena kecewa dan putus asa. Mereka terus bertanya “di manakah Allahmu?”

Ketahuilah, seribu kali engkau bertanya di manakah Allahku, aku akan terus berusaha keluar dari cela tubuh-tubuh orang-orang sombong dan tampil paling depan untuk menjumpai Allahku, karena telah kulihat wajahNya. Aku akan berlari menjumpaiNya.

Ketahuilah, jika Ia adalah sungai tempat rusa melepaskan dahaga, maka aku akan berenang dan hanyut dalam alirannya. Aku akan tenggelam dan minum sampai kenyang. Supaya air mataku tidak menggumpal untuk kumakan, melainkan perutku akan diisi air yang segar, sejuk, bening, seperti kasih Allahku, penolongku.

 

Dengarlah.

Karena rindu itu, aku tidak akan bersandar pada siapa pun, tidak akan bersandar pada orang-orang sombong.

Ketahuilah, aku akan bersandar hanya kepada Allahku, penolongku.

 

 

23.36 WIT

Tulukabessy-Ambon, 7 Agustus 2021

 

 

 

 

 

 

 

אָ֭הַבְתִּי DAN הִטָּ֣ה


MEMAHAMI MAKNA KATA ‘AHAV DAN NATAH

(MAZMUR 116:1-2)

 

 

Saya hanya hendak berbagi (sharing) tentang dua kata dalam bahasa Ibrani yang sedikit menggelitik karena sering dipahami sama dengan kata-kata lain dalam Bahasa Ibrani yang maknanya sepadan, padahal ternyata cukup berbeda. Kedua kata itu adalah ‘āhabtî (אָ֭הַבְתִּי)  dari kata ‘ahav (אָהַב) dan hiṭ·ṭāh  (הִטָּ֣ה) dari kata natah (נָטָה).

 

Saya menggunakan teks Mazmur 116:1 dan 2 sebagai tempat kutipan kedua kata itu. Sebab itu perlu dijelaskan binyan dari kedua kata tersebut berikut ini:

 

1

Kata ’ā·haḇ·tî (אָ֭הַבְתִּי) adalah kata kerja (verb) bentuk V-Qal-P-1cs atau kata kerja Qal Perfect akhiran orang pertama common tunggal, yang berarti “aku telah mengasihi”. Teksnya: אָ֭הַבְתִּי כִּֽי־יִשְׁמַ֥ע ׀ יְהוָ֑ה אֶת־קֹ֝ולִ֗י תַּחֲנוּנָֽי׃ - ’ā·haḇ·tî kî-yisma’ Yahweh ‘et-qōwlî tahãnunāy – aku telah sungguh-sungguh mengasihi TUHAN, sebab Ia telah sungguh-sungguh mendengar suara dan permohonanku. 

 

Kata dalam binyan v-qal (kata kerja bentuk qal) menerangkan sesuatu yang telah dilakukan secara penuh/bulat dalam arti sungguh-sungguh. Artinya subyek telah melakukan aktivitas yang diterangkan oleh kata kerja itu sesuai dengan kaidah dari kata kerja itu sendiri, tidak ada kekurangan pada kerja/aktivitas yang dilakukan subyek. Ia melakukan dengan sangat sungguh-sungguh.

 

Kembali ke kata ’ā·haḇ·tî (אָ֭הַבְתִּי) atau dari kata dasarnya ‘ahav (אָהַב). Mari kita lihat kata אָהַב. Kata itu terdiri dari dua kata yakni אָב (artinya Bapa) dan ה, sebagai singkatan dari nama  Yahweh יְהוָ֑ה. Jadi kata ‘ahav  itu mengandung arti “Bapa, yaitu Tuhan yang mengasihi”. Jadi kata ‘āhabtî (אָ֭הַבְתִּי) itu mengandung arti “aku telah (melibatkan Tuhan yang) mengasihi”. Di dalam mengasihi, TUHAN ada di perbuatan kita itu. 

 

Kata ini dalam Mazmur 116:1 setara dengan kata ḥō·ḇêḇ חֹבֵ֣ב (V-Qal-Participle Masculine Singular) dalam Ulangan 33:3. Dalam Ulangan subyeknya adalah TUHAN, namun secara leksikal memiliki kandungan makna yang sama, yang menerangkan bahwa kasih itu telah dikerjakan dengan sangat sungguh-sungguh. 

 

Teks Mazmur 116:1 dan Ul. 33:3 itu menjelaskan pada jenis kasih yang hanya tertuju kepada TUHAN dan lahir dari relung hati paling dalam, sebagai gambaran dari adanya hubungan yang sangat akrab/intim, karena satu menjadi bagian utuh dari lainnya: TUHAN menjadi bagian utuh dari manusia dan sebaliknya. Sehingga kasih dalam arti itu cenderung bermakna “telah memberi segala sesuatu dari diri sendiri kepada”. Kata “telah” menerangkan pada sesuatu yang sudah dikerjakan dengan sangat baik/sempurna, dan tidak ada yang tersisa pada diri sendiri. Jadi kalau TUHAN ‘ahav  artinya tidak ada lagi sesuatu pada diriNya, semua sudah diberi. Sebaliknya juga demikian jika manusia ‘ahav. 

 

Kata ‘ahav itu memiliki jenis lain, dan mempunyai makna yang berbeda, seperti tampak dalam Yeremia 4:30. Di sini digunakan kata ‘ō·ḡə·ḇîm עֹגְבִ֖ים dari kata dasar yang sama yaitu ‘agab עֲגַב. Kata ini bermakna kasih yang ditunjukkan para pecinta. Jenis kasih ini bisa saja berubah ke hal yang kasar dan tidak sepadan dengan kasih/mengasihi. Kasih ini dibentuk oleh emosionalitas yang tinggi, dan kadang berujung kekerasan. Jadi di sini subyek dapat melakukan hal yang vatalistik dan kadang atas nama cinta/kasih, sesuatu yang merugikan.

 

Kembali ke teks Mazmur 116:1, kata  ’ā·haḇ·tî (אָ֭הַבְתִּי) itu menjelaskan pada adanya hubungan yang sangat mendalam antara pemazmur dengan TUHAN, sehingga ayat 1 itu merupakan satu pernyataan tegas dan sangat jujur dari pemazmur bahwa ia telah dengan sangat sungguh-sungguh mengasihi TUHAN. Karena itu tindakannya mengasihi TUHAN dilakukan dengan melibatkan TUHAN secara sungguh-sungguh pula. Pernyataan itu adalah sesuatu yang tidak bisa diubah oleh keadaan apapun, bahwa ia tetap telah dengan sangat sungguh-sungguh mengasihi TUHAN.

 

2

Kata hiṭ·ṭāh  (הִטָּ֣ה) dari kata natah (נָטָה) adalah kata kerja hiphil perfect akhiran orang pertama maskulin tunggal. Teksnya כִּֽי־הִטָּ֣ה אָזְנֹ֣ו לִ֑י וּבְיָמַ֥י אֶקְרָֽא׃ - kî hiṭ·ṭāh ’ā·zə·nōw lî ū·ḇə·yā·may ’eq·rā, yang berarti sebab Ia telah menyendengkan/memiringkan kepala dan menaruh telinga kepadaku, maka selama aku hidup aku hanya akan dengan sungguh-sungguh berseru kepada-Nya.

 

Sesungguhnya dasar dari peristiwa di ayat 2 ini adalah ayat 1 di atas. Tindakan sendeng atau memiringkan atau mencondongkan telinga itu adalah salah satu jenis aktivitas yang dilakukan sebagai bentuk memberi perhatian sungguh-sungguh. Binyan hiphil dari kata hiṭ·ṭāh menerangkan bahwa subyek melakukan satu tindakan, dalam arti tidak pasif. Tindakan itu bertujuan untuk lebih mendekatkan diri. Jadi jika arti umum adalah “mendengar” maka dengan binyan hiphil itu berarti subyek hendak mendengar tetapi sambil sendeng atau memiringkan kepala dan mendekatkan telinga ke mulut orang yang hendak berbicara.

 

Hal seperti itu bisa dilakukan jika kedua orang yang berbicara memiliki relasi yang akrab. Sebab berbicara dalam konteks itu lebih condong pada tindakan berbisik/membisik. Bahkan kata hiṭ·ṭāh sering dilukiskan sebagai tindakan seorang bapa/ayah yang memangku anaknya dan mendengar bisikannya. Relasi akrab itu dilukiskan seperti itu, karena itu sang anak merasa apapun ia akan tetap berbisik kepada bapa/ayahnya. Ia menaruh percaya penuh kepada bapanya seperti bapanya menaruh kasih (ahav )yang lebih kepadanya.

 

Semoga bermanfaat.

 

Minggu, 23 April 2023

Pastori Sinode GPM, Jl. Tulukabessy, Mardika-Ambon

© Elifas Tomix Maspaitella

 

 

 

 

 

 

 

 

TALITA KUM

(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella  PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS  Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...