TAFSIR MAZMUR 80
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
(Ketua MPH Sinode GPM)
Abstract:
Kekuasaan yang memulihkan lahir dari spiritualitas kebangsaan yang orisinil. Setiap bangsa, di peradaban mana pun memiliki spiritualitas kebangsaan yang lahir dari janji luhur saat bangsa itu dibentuk. Janji luhur itu adalah wujud dari karya dan peran Roh Kudus yang memberi hikmat kepada pendiri bangsa dengan satu tujuan yakni membangun bangsa yang sanggup mengutuhkan rakyatnya yang majemuk dan memperjuangkan kesejahteraan, keadilan, kebenaran, keutuhan kepada rakyatnya yang majemuk itu secara setara. Itu berarti praktek kekuasaan yang memulihkan merupakan wujud dari kekuasaan TUHAN di dalam bangsa.
Keyword: Kekuasaan, Pemulihan
Ya TUHAN, Allah semesta alam,
pulihkanlah kami
buatlah wajah-Mu bersinar,
maka kami selamat.
(Mzm. 80:4,8,20)
I. PENGANTAR
Konteks sosial Israel Alkitab di zaman penulisan teks-teks Mazmur ditandai oleh ketegangan sosial (social tension)yang tinggi atas Israel sebagai suatu suku bangsa dan atas pribadi-pribadi umat yang frustrasi; lebih tepatnya bangsa itu dan segenap umatnya hidup dalam kondisi katastrophal karena semua segmen hidup, termasuk ritual keagamaan, mengalami degradasi yang tajam akibat perilaku korup yang melanda semua orang dan seluruh sistem sosial. Ada dua sendi kehidupan yang menekan yaitu sosioekonomi dan militer sebagai dampak dari penindasan dan monopoli pangan untuk menjamin kebutuhan istana. Ada pemandangan yang ambivalen yakni di dalam istana, kaisar dan pejabat-pejabatnya memboros pangan dan makan kenyang, sementara masyarakat terbenam dalam kemiskinan dan sulit mendapatkan bahan pangan. Israel sebagai bangsa pernah mengalami nasib lebih mengerikan dari itu sewaktu dalam pembuangan di Mesir dan Babel. Mereka diperbudak dan makan dari persediaan keluarga sendiri. Selain distrukturkan sebagai budak (slave), mereka pun menyandang status orang miskin (the poor). Mereka mengalami beban ganda (double burden) secara sosioekonomi, dan tidak berhak menentukan kebebasannya. Hak sosiopolitik mereka pun hilang. Dapat dibayangkan bagaimana beratnya beban sosial dan psikologi umat seperti itu.
Ketika bangsa itu menjadi satu bangsa baru, proses pembangunannya pun berlangsung dalam ketegagan sosial yang tinggi dan berbagai macam bencana sosial (J. Day, 1990:12) kerap terjadi di antara suku-suku itu. Situasi katastrophal itu menjadi bidang kehidupan dari penulisan teks-teks Alkitab dengan beragam pendekatan sastra dan sejarah seperti ada dalam Kitab Perjanjian Lama. Bahkan tulisan-tulisan dalam Kitab Mazmur turut dibidani oleh situasi tersebut seperti terungkap dalam hymne, doa, puji-pujian maupun ratapan komunal dan individu.
Pada sisi lain, dari tulisan-tulisan Perjanjian Lama yang lahir dari situasi katastrophal itu kita juga dapat membaca referensi teologi umat tentang TUHAN. Siapa TUHAN dan bagaimana mereka mendefenisikan TUHAN serta memahami TUHAN melalui realitas kuasa atau peran khusus-Nya di berbagai tempat dan dalam beragam situasi. Ada pula unsur ketuhanan (theoporic element) yang disertakan dalam beragam majas seperti terbaca dalam tulisan Kitab mazmur. Semua itu bertujuan untuk membangun kesadaran spiritual yang baru bahkan dari tengah situasi katastrophal. Pendefenisian TUHAN dalam kitab Mazmur itu menjadi sedikit unik karena hal itu terungkap melalui syair-syair liturgis atau rumusan-rumusan doa di dalam kebaktian umat. Artinya ibadah/kebaktian menjadi pangkalan restorasi psikologis dan spiritualitas personal dan komunal ketika umat tidak berdaya menghadapi dan menjelaskan situasi katastrophal itu.
Michael D. Goulder (1996) melihat bukan hanya variasi penggunaan istilah yang menunjuk pada TUHAN tetapi juga kepentingan tertentu dari penggunaan nama TUHAN yang bervariasi itu. Rupanya ada pengaruh kuat dari kaum Elohist ke dalam penulisan kitab Mazmur yang tampak dari variasi penggunaan nama TUHAN tersebut, pada 12 pasal yaitu Mzm. 50, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82 dan 83). Ada nama יהוה (yhvh) yang digunakan secara tunggal seperti juga penyebutan אלהים (elohim), tetapi juga kedua nama itu digunakan secara bersama yakni (yhvh elohim) יהוהאלהים. Selain itu ada pula penggunaan nama אל (el), (adonae) אדיני dan אלהים צבאות (elohim tsaba).
Cuatan doa, pujian, ratapan pemazmur secara pribadi maupun komunal adalah refleksi dari pengharapan dan permohonan di dalam masa penuh krisis itu. Artinya bagi pemazmur kepemimpinan TUHAN (Theopolitics) dipandang sebagai yang ideal atau prototype dari kepemimpinan yang baik (Reventolow, etc, 1994). Dalam tulisan ini, apa yang dimaksudkan dengan theopolitics sebagai pokok refleksi atas tafsir Mazmur 80 dapat diartikan sebagai kepemimpinan (yang) teologis, atau kepemimpinan (yang) diwujudkan melalui kuasa Roh Tuhan. Jadi theopolitics adalah kepemimpinan yang bergantung pada Roh Kudus, atau yang menjadikan model kepemimpinan Yesus sebagai paradigma dalam kepemimpinan publik. Apa yang menjadi norma atau aturan (nomos) dari kepemimpinan ini adalah firman atau ilham TUHAN sebagai suatu imperatif teologis sekaligus suatu tuntunan moral dalam perilaku kepemimpinan publik. Jadi apa pun agamanya, theopolitics dibangun dari dasar-dasar moral agama yang sahih sehingga setiap kepemimpinan itu mencerminkan keberpihakan TUHAN kepada masyarakat atau warga sebagai subyek yang mesti dilayani atau dibela.
Konstruksi Asaf tentang kepemimpinan dan sifat kekuasaan TUHAN itu termaktub jelas dalam prolognya di Mazmur 50:1 dan epilognya pada 83:18(19) (18-HB, 19-TB). Pada Mazmur 50:1 Asaf menyebut TUHAN sebagai el Elohim Yhvh (אל אלהים יהוה = TB. Yang Mahakuasa, TUHAN Allah) sedangkan dalam 83:18(19) TUHAN disebut sebagai Yhvh el-yone.
II. MAZMUR ASAF
Dalam Kitab Mazmur setidaknya terdapat tiga (3) kelompok mazmur yang menerangkan tentang jati diri pemazmur seperti dibaca dalam ungkapan: “dari bani Korah, dari Daud, dari Asaf”. Mazmur-mazmur yang berasal dari Asaf antara lain Mzm. 50, dan sebagian besar Jilid III Kitab Mazmur yaitu Mzm. 73-83. Menurut Goulder (1996:10), Mazmur Asaf itu memiliki hubungan yang erat dengan Pentateukh atau rumpun Kitab Musa terutama Kitab Keluaran. Karena itu refleksi tentang Mesir dan keluaran dari Mesir serta Yerusalem sebagai kota Allah adalah visualisasi dari “tanah perjanjian” bagi Israel dalam Mazmur ini. Kumpulan tulisan berkembang pada abad ke-8 BCE di daerah Efraim dengan pemusatan pada tempat ibadah di Bethel.
Asaf dalam teks ini menunjuk pada nama keluarga di kalangan orang Israel, dan diperkirakan sebagai musisi yang selalu bersama Daud dan melayani di tempat peribadahan. Masih menurut Goulder, jika ditelisik dari pasal 50 dan 73, Asaf adalah seorang di zaman setelah pembuangan dan adalah bagian dari musisi di tempat ibadah bersama dengan kaum Lewi.
Istilah Asaf sendiri pertama kali digunakan Rahel, dalam kisah kelahiran Yusuf pada Kejadian 30:23-24. יוֹסֵ֑ף|אָסָ֣ף Asaf|Yusuf, adalah dua istilah yang paralel, karena itu Asaf adalah penyebutan umum yang berbeda dari Korah dan atau Daud sebagai punggawa dari nyanyian Mazmur. Teori umum menyebut Asaf sebagai pemimpin musisi di istana Daud. Dan jika itu yang digunakan maka Asaf kemudian berkarya di Utara setelah kerajaan itu pecah sampai di zaman Rehabeam. Jadi nyanyian-nyanyiannya adalah nyanyian pengharapan untuk reunifikasi Isarael dengan syarat asal mereka kembali kepada taurat TUHAN, kembali kepada perjanjian TUHAN (covenant of God), sebab tanpa itu mereka laksana umat yang dilupakan.
Mazmur Asaf tidak hanya berisi ratapan langsung tetapi terselip di dalamnya juga kutipan ucapan-ucapan ilahi seperti dalam Mazmur 50:5,7-15, 16-21; 81:7-17 dan 82:2-7, sebagai contoh:
Mazmur 50:5
“Bawalah kemari orang-orang yang Kukasihi,
yang mengikat perjanjian dengan Aku berdasarkan
korban sembelihan!”
Mazmur 50:7(-15)
“Dengarlah, hai umat-Ku, Aku
hendak berfirman
hai Israel, Aku hendak
bersaksi terhadap kamu:
Akulah Allah, Allahmu!
Himpunan Mazmur Asaf ini tersusun dalam beberapa ketegori (genre) antara lain:
- Penghakiman atas Israel (50, 75, 76, 81)
- Penghakiman atas bangsa (75, 76)
- Penghakiman atas ilah-ilah mereka (82)
- Ratapan pribadi (73, 78)
- Ratapan umat/komunal (74, 77, 79, 80, 83)
Di dalam himpunan Mazmurnya itu muncul banyak ucapan-ucapan didaktik, tetapi juga ekspresi keluhan dan ratapan umat yang tertekan (being oppressed) tetapi juga pernyataan penghakiman yang bersumber dari TUHAN. Asaf sendiri memosisikan dirinya sebagai pribadi yang tertekan, tetapi ia harus juga mewakili umat menyampaikan keluhan dan permohonannya. Namun pada saat yang sama pula, ia harus mendeklarasikan ucapan ilahi atas umat itu karena situasi katastrophal itu diperburuk oleh degradasi spiritual. Ia adalah pemazmur yang merepresentasi kegalauan hati umat.
Dari situ kita dapat disimpulkan bahwa himpunan Mazmur Asaf adalah ratapan umat yang hidupnya di tengah situasi kian tidak menentu. Menurut Gottwald (1985:528, dyb) ratapan-ratapan dalam Mazmur Asaf mewakili kondisi umat di tengah situasi penuh wabah, tekanan sosialekonomi, keksiruhan militer, karena itu Asaf merangkainya ke dalam himpunan mazmurnya sebagai orang yang merasa bertanggungjawab atas segala keluhan yang mereka rasakan. Keluhan itu menjadi content dari nyanyian liturgisnya, karena pada abad itu (abad ke-8 B.C.E), aktivitas kultus menjadi tempat mencurahkan kesalehan pribadi dan spiritual dan menunjukkan harapan masa depan bangsa yang tertunda (Gottwald, 1985:533). Ini adalah pengalaman dan refleksi iman yang tidak dapat dipisahkan dari harapan mereka pasca pembuangan Mesir, dan sekaligus alasan mereka terus bertanya tentang kepemimpinan TUHAN seperti diproklamasikan Musa (bd. Keluaran 3:17).
Dalam Mazmur 82 dan 83, Asaf merujuk pada sidang ilahi sebagai suatu model sidang untuk menguji siapa yang paling benar, siapa yang paling setia dan takut TUHAN, dalam arti tidak mungkin orang benar dan takut TUHAN akan terus menderita atau mengalami kesusahan terus-menerus. Ada indikasi kuatnya paham balas jasa seimbang (retribution) seperti tergambar dalam karya sastra lain di zaman yang sama dengan tulisan Mazmur yakni Ayub (Ayub 10:1-22; 40:1-9). Asaf menempatkan kemahakuasaan Allah dalam “pengadilan ilahi” sebab baginya Allah adalah Pencipta bangsa-bangsa dan mengenal semua warga bangsa, baik mereka yang berkuasa maupun kaum marginal yaitu orang lemah, orang miskin, anak yatim (Mzm. 82:2,3).
Pada Mazmur 83, Asaf, dalam ratapannya itu terkesan mengajak TUHAN untuk bertindak segera menghukum para lawan mereka agar mereka tahu tentang TUHAN sebagai Yang Mahatinggi (Yhvh el-yone) (Mzm.83:19). Padahal sejak semula Asaf hendak mendudukkan konsep kepemimpinan TUHAN (theopolitics) yang secara terang-terangan menempatkan TUHAN di atas segala bangsa dan segala illah, sekaligus membandingkan karakteristik kekuasaan TUHAN dibandingkan kekuasaan politik real dan ilah-ilah Kanani/Baalis. Dalam Mazmur ini, Asaf menyebut langsung bangsa-bangsa yang telah berlaku kasar kepada Israel dengan menyatakan bahwa sepantasnya mereka dihukum TUHAN. Bagian Mazmur ini berbeda secara tajam dengan Mazmur 73. Pada Mazmur 73 Asaf melukiskan TUHAN sebagai Raja bijaksana, Raja berhikmat. Ada orang yang berbuat curang terhadapnya tetapi ia tidak secara tegas meminta TUHAN sebagai Raja yang adil untuk menghukum mereka seperti dalam Mazmur 83. Malah pada Mazmur 73, Asaf sebenarnya menguji hatinya sendiri sambil berharap ia tetap kedapatan takut TUHAN dengan berlindung pada-Nya (Mzm. 73:27-28). Nuansanya sama dengan himpunan tulisan-tulisan hikmat seperti dalam Amzal. Mazmur ini penuh dengan ucapan-ucapan didaktis agar umat tidak mencemarkan dirinya dengan perbuatan-perbuatan yang melawan taurat TUHAN.
Kembali ke ide kepemimpinan TUHAN itu, Asaf dalam himpunan Mazmurnya melukiskan dahsyatnya kuasa TUHAN atas umat. Ide pasca-pembuangan (post-exilic) muncul kuat melalui pengalaman jatuh bangun Israel, mulai dari penolakan oleh Allah akibat dosa mereka, sampai dengan pemulihan dan pemeliharaan TUHAN yang berulang kali. Asaf menggunakan teologi keterpilihan Israel sebagai kunci dari tuntutannya (pledoid) supaya TUHAN tetap ingat akan kasih setia-Nya kepada umat. Ikatan perjanjian dengan leluhur Israel (Mzm. 74:2) serta dahsyatnya kuasa TUHAN yang menyelamatkan Israel melintasi padang gurun dan menyeberangi lautan (Mzm. 74:12-17) dijadikannya sebagai syair ratapan agar TUHAN tidak melupakan mereka. Hal itu diurainya secara gamblang dan berseri dalam Mazmur 75-78, dan itulah kunci dari seluruh Mazmur ini. Baris syair ini dapat menjadi salah satu petunjuk (clue) memahami tujuan Mazmur Asaf dari pasal 50, 73-83:
Mazmur 79:
8Janganlah perhitungkan kepada
kami kesalahan nenek moyang kami;
kiranya rahmat-Mu segera
menyongsong kami,
sebab sudah sangat lemah kami.
9Tolonglah kami, ya Allah
penyelamat kami,
demi kemuliaan nama-Mu!
Lepasklanlah kami dan ampunilah
Dosa kami
Oleh karena nama-Mu!
III. KEPEMIMPINAN TUHAN, KEKUASAAN YANG MEMULIHKAN
A. TEKS (TB, 2001, 205)
80 1 Untuk pemimpin biduan. Menurut lagu: Bunga bakung. Kesaksian Asaf. Mazmur
2 Hai gembala Israel, pasanglah
telinga,
Engkau yang menggiring Yusuf
sebagai kawanan domba!
Ya Engkau, yang duduk di atas
para kerub, tampillah bersinar
3 di depan Efraim dan Benyamin
dan Manasye!
Bangkitkanlah keperkasaan-Mu
dan datanglah untuk
menyelamatkan kami.
4 Ya Allah, pulihkanlah kami,
buatlah wajah-Mu bersinar,
maka kami akan selamat
5 TUHAN, Allah semesta alam,
berapa lama lagi murka-Mu
menyala sekalipun umat-Mu
berdoa?
6 Engkau memberi mereka makan
roti cucuran air mata,
Engkau memberi mereka minum
air mata berlimpah-limpah,
7 Engkau membuat kami
menjadi pokok percideraan
tetangga-tetangga kami,
dan musuh-musuh kami
mengolok-olok kami.
8 Ya Allah semesta alam,
pulihkanlah kami,
buatlah wajah-Mu bersinar,
maka kami akan selamat.
9 Telah Kauambil pohon anggur
dari Mesir,
telah Kauhalau bangsa-bangsa,
lalu Kautanam pohon itu.
10 Engkau telah menyediakan
tempat bagi dia,
maka berakarlah ia
dalam-dalam dan memenuhi
negeri;
11 gunung-gunung terlindungi oleh
bayang-bayangnya,
dan pohon-pohon aras Allah
oleh cabang-cabangnya;
12 dijulurkannya ranting-rantingnya
sampai ke laut,
dan pucuk-pucuknya sampai
ke sungai Efrat.
12 Mengapa Engkau melanda
temboknya,
sehingga ia dipetik oleh setiap
orang yang lewat?
14 Babi hutan menggerogotinya
dan binatang-binatang di
padang memakannya.
15 Ya Allah semesta alam,
kembalilah kiranya,
pandanglah dari langit, dan
lihatlah!
Indahkanlah pohon anggur ini,
16 batang yang ditanam oleh ta
-ngan kanan-Mu!
17 Mereka telah membakarnya
dengan api dan menebangnya;
biarlah mereka hilang lenyap
oleh hardik wajah-Mu!
18 Kiranya tangan kanan-Mu melindungi
orang yang di sebelah kanan-Mu,
anak manusia yang telah
Kauteguhkan bagi diri-Mu itu,
19 maka kami tidak akan
menyimpang dari pada-Mu.
Biarkanlah kami hidup, maka
kami akan menyerukan nama-Mu.
20 Ya TUHAN, Allah semesta alam,
pulihkanlah kami,
buatlah wajah-Mu bersinar,
maka kami akan selamat.
TEKS (BHS – Biblia Hebraica Stutgartensia) :
1לַֽמְנַצֵּ֥חַ אֶל־שֽׁוֹשַׁנִּ֑ים עֵד֖וּת לְאָסָ֣ף מִזְמֽוֹר2רֹ֘עֵ֚ה יִשְׂרָאֵ֨ל | הַֽאֲזִ֗ינָה נֹהֵ֣ג כַּצֹּ֣אן יוֹסֵ֑ף יֹשֵׁ֖ב הַכְּרוּבִ֣ים הוֹפִֽיעָה3לִפְנֵ֚י אֶפְרַ֨יִם | וּבִנְיָ֘מִ֚ן וּמְנַשֶּׁ֗ה עֽוֹרְרָ֥ה אֶת־גְּבֽוּרָתֶ֑ךָ וּלְכָ֖ה לִֽישֻׁעָ֣תָה לָּֽנוּ4אֱלֹהִ֥ים הֲשִׁיבֵ֑נוּ וְהָאֵ֥ר פָּ֜נֶ֗יךָ וְנִוָּשֵֽׁעָה5יְהֹוָ֣ה אֱלֹהִ֣ים צְבָא֑וֹת עַד־מָתַ֥י עָ֜שַׁ֗נְתָּ בִּתְפִלַּ֥ת עַמֶּֽךָ6הֶ֣אֱכַלְתָּם לֶ֣חֶם דִּמְעָ֑ה וַ֜תַּשְׁקֵ֗מוֹ בִּדְמָע֥וֹת שָׁלִֽישׁ7תְּשִׂימֵ֣נוּ מָ֖דוֹן לִשְׁכֵנֵ֑ינוּ וְ֜אֹֽיְבֵ֗ינוּ יִלְעֲגוּ־לָֽמוֹ8 אֱלֹהִ֣ים צְבָא֣וֹת הֲשִׁיבֵ֑נוּ וְהָאֵ֥ר פָּ֜נֶ֗יךָ וְנִוָּשֵֽׁעָה9גֶּפֶן מִמִּצְרַ֣יִם תַּסִּ֑יעַ תְּגָרֵ֥שׁ גּ֜וֹיִ֗ם וַתִּטָּעֶֽהָ10פִּנִּ֥יתָ לְפָנֶ֑יהָ וַתַּשְׁרֵ֥שׁ שָֽׁ֜רָשֶׁ֗יהָ וַתְּמַלֵּא־אָֽרֶץ11כָּסּ֣וּ הָרִ֣ים צִלָּ֑הּ וַֽ֜עֲנָפֶ֗יהָ אַרְזֵי־אֵֽל12תְּשַׁלַּ֣ח קְצִירֶ֣הָ עַד־יָ֑ם וְאֶל־נָ֜הָ֗ר יֽוֹנְקוֹתֶֽיהָ13לָמָּה פָּרַ֣צְתָּ גְדֵרֶ֑יהָ וְ֜אָר֗וּהָ כָּל־עֹ֥בְרֵי דָֽרֶךְ14יְכַרְסְמֶ֣נָּה חֲזִ֣יר מִיָּ֑עַר וְזִ֖יז שָׂדַ֣י יִרְעֶֽנָּה15אֱלֹהִ֣ים צְבָאוֹת֘ שׁ֪וּב נָ֥֫א הַבֵּ֣ט מִשָּׁמַ֣יִם וּרְאֵ֑ה וּ֜פְקֹ֗ד גֶּ֣פֶן זֹֽאת16וְכַנָּה אֲשֶׁר־נָֽטְעָ֣ה יְמִינֶ֑ךָ וְעַל־בֵּ֜֗ן אִמַּ֥צְתָּה לָּֽךְ17שְׂרֻפָ֣ה בָאֵ֣שׁ כְּסוּחָ֑ה מִגַּֽעֲרַ֖ת פָּנֶ֣יךָ יֹאבֵֽדוּ18תְּֽהִי־יָֽ֖דְךָ עַל־אִ֣ישׁ יְמִינֶ֑ךָ עַל־בֶּן־אָ֜דָ֗ם אִמַּ֥צְתָּ לָּֽךְ19וְלֹֽא־נָס֥וֹג מִמֶּ֑ךָּ תְּ֜חַיֵּ֗ינוּ וּבְשִׁמְךָ֥ נִקְרָֽא20יְהֹ֘וָ֚ה אֱלֹהִ֣ים צְבָא֣וֹת הֲשִׁיבֵ֑נוּ הָאֵ֥ר פָּ֜נֶ֗יךָ וְנִוָּשֵֽׁעָה
B. KOMPOSISI
Dari segi analisis sastra, Mazmur ini terdiri dari empat (4) kuplet. Mengikuti struktur dalam TB LAI (2001, 2015) di atas, maka keempat bagian itu yakni:
1. Ayat 1-4. Dalam komposisi nyanyian, maka ayat 4 merupakan bagian refrain yang menegaskan bagian ini sebagai interlude atau sapaan, yaitu panggilan kepada Allah.
2. Ayat 5-8, sebagai kelanjutan dari bait 1 di atas, dengan refrain pada ayat 8, di mana kedua bagian refrain ini berisi syair yang sama. Hanya ada penegasan tentang penyebutan nama TUHAN dengan variasi baru di ayat 8. Bagian ini berisi permohonan kepada TUHAN.
3. Ayat 9-15a. Bagian ini berisi gambaran tentang kesetiaan TUHAN kepada Israel di masa lampau. Ini semacam pengulangan narasi sejarah dalam bentuk prosa yang dipadukan pada nyanyian ini. Semacam cerita di tengah nyanyian, dengan bernostalgia pada kisah keluaran dan penjajahan di pembuangan Mesir, serta krisis yang sedang dialami saat ini.
4. Ayat 15b-20, adalah kelanjutan prosa sejarah namun berisi permohonan dan janji kesetiaan baru antara umat dengan TUHAN. Bagian ini ditutup dengan refrain pada ayat 20, yang isinya sama dengan ayat 8.
Pada bagian tafsir nanti akan dibuat tafsiran khusus terhadap bagian refrain tersebut.
C. TAFSIR
Ayat 2-4, sebutan “gembala Israel” menunjuk langsung kepada TUHAN dengan menunjuk pada masa lampau, tentang kasih setia TUHAN kepada Yusuf, Efraim, Benyamin dan Manasye! Menjadi jelas bahwa Asaf menjadikan narasi dalam Pentateukh (Kejadian-Bilangan) sebagai referensi teologi dalam nyanyiannya. Itulah sebabnya nyanyian ini disebut sebagai kesaksian (testimonial) Asaf. Jadi syair-syairnya berasal dari narasi sejarah yang digubah menjadi prosa, seperti tampak pada bagian ketiga dan keempat pada komposisi teks di atas.
Menurut Goulder (1996:23), Asaf lebih fasih dengan mitologi tua daerah Timur Dekat, karena itu tatanan kehidupan bangsa-bangsa dalam suatu organisasi modern lebih menonjol dan menjadi material untuk mengulas tertib kepemimpinan ketimbang tertib penciptaan (order of creation) dengan gambaran kehidupan Adam dan Hawa di taman Eden.
Itulah sebabnya penyebutan Yusuf dalam ayat 2, lebih mengarah pada gambaran Mesir ketimbang taman Eden. Konteks kegagalan pemerintah Israel mengatur logistik dan kegagalan petani di lahan-lahannya akibat kemarau dan wabah penyakit tanaman yang dijadikan acuan tentang suatu model pengelolaan organisasi dan kekuasaan. Karena itu hikmat Yusuf (Kej. 41:1-36, 37-57) menjadi penting bagi Asaf dan itu yang melahirkan syair pada ayat 2, dengan menyapa TUHAN sebagai “gembala Israel” (רֹ֘עֵ֚ה יִשְׂרָאֵ֨ל – ra’ah yizrael).
Menyebut Yusuf dan Benyamin, berarti memori Asaf diisi oleh cerita penolakan kedua anak Yakub ini oleh saudara-saudaranya, tetapi juga keterpilihan mereka oleh TUHAN di tengah skandal keluarga itu. Yusuf yang dijual kepada saudagar Potifar dan mendekam dalam penjara di Mesir adalah contoh klasik dari penderitaan umat. Namun narasi itu juga yang dipakai Asaf untuk melukiskan krisis sosioekonomi dan militer yang menjadi problem Israel saat itu. Yusuf dan Benyamin adalah dua orang yang mendapatkah kasih sayang dari TUHAN di tengah situasi yang tidak adil. Bahkan Yusuf menjadi penentu di dalam situasi katastrophal di Mesir serta melaluinya Israel turut diselamatkan dari krisis ekonomi yang melanda.
Sebaliknya penyebutan Efraim dan Manasye, dua anak Yusuf (Kej. 46:20) menjadi paradigma Asaf untuk fokus pada tema kepemimpinan TUHAN. Berkaca dari tindakan pemberkatan oleh Yakub dengan tangan bersilang, tangan kanan ke atas kepala Efraim dan tangan kiri ke atas kepala Manasye, Asaf membangun sudut pandangnya mengenai kehendak bebas Allah dalam memberi berkat kepada orang yang terpilih oleh-Nya. Oleh sebab itu, empat nama ini menjadi dasar teologis yang mengokohkan kepemimpinan TUHAN.
Itulah sebabnya dalam interlude nyanyian ini, Asaf menyanyikan TUHAN sebagai “gembala Israel”. Asaf menggunakan gelar ini sebagai upayanya menunjuk pada kepemimpinan TUHAN sebagai suatu model kepemimpinan ideal, kepemimpinan kegembalaan yang mempedulikan “domba yang lemah dan tersisihkan” atau yang memulihkan “domba yang terluka”. Bagian Mazmur ini turut menjadi sumber inspirasi besar di masa kenabian terutama oleh Yehezkiel, sebagai seorang nabi yang juga memanfaatkan tulisan-tulisan sastra hikmat ke dalam tulisan kenabiannya (bd. Yehezkiel 34:1-31).
Ayat 5-8; dari segi komposisi nyanyian, Asaf memulai bait ini dengan pengulangan refrain pada ayat 4 (TB) di atas. Namun ia menyebut TUHAN di sini dengan atribut tambahan yakni “TUHAN, semesta alam” (יְהֹוָ֣ה אֱלֹהִ֣ים צְבָא֑וֹת – Yahweh elohim tsebaowt) untuk menegaskan bahwa TUHAN mengenal umat Israel karena mereka telah dipilih Allah sejak semulanya. Namun ayat 5 ini juga menjadi salah satu jawaban dari pertanyaan klasik, mengapa orang Israel menderita atau dibawa ke pembuangan? Alasannya sangat spiritualis yaitu karena mereka telah menolak Allah atau telah berdosa kepada Allah. Dengan demikian, dipakainya tradisi Mesir sebagai bidang kehidupan (sitz im leben) untuk menjelaskan hal tersebut. Karena itu dengan bertanya tentang batas waktu kemarahan TUHAN, Asaf sadar akan penolakan umat terhadap TUHAN itu.
Sebutan itu menjadi pembuka dari keluhan dan permohonannya pada bagian ini. Ayat 6 dan ayat 7 adalah gambaran konteks real yang dialami Israel kala itu. Kondisi itu adalah kondisi Israel Utara dalam masa-masa restorasi kerajaan Utara di masa Yosia (Goulder, 1985:25). Karena itu bagian ini tidak dapat dibaca lepas dari bagian pertama tadi. Artinya, Asaf menjadikan Yusuf dan kemudian Efraim sebagai yang terpandang, bukan Yehudah sebagai bagian dari tradisi di Selatan. Di sisi lain, nama Yusuf lebih familiar dengan tradisi Mesir, ketimbang nama-nama lain. Oleh nama Yusuf itu pula, Benyamin, Efraim dan Manasye akan lebih cocok untuk menjelaskan bahwa kesaksian Asaf ini jelas-jelas bersumber dari tradisi penaklukan oleh bangsa Mesir dan keluaran dari Mesir.
Ratapan pada ayat 6 dan 7 rupanya dibidani oleh tradisi di Masa dan Meriba (Kel. 17:1-7). Ungkapan “makan roti cucuran air mata” dan “minum air mata berlimpah-limpah” merupakan metafora dari peristiwa sejarah di Masa dan Meriba dalam konteks baru kala itu. Karena itu istilah “tetangga-tetangga kami dan musuh-musuh kami” juga berangkat dari kisah perlawanan Israel terhadap Amalekh (Kel. 17:8-16).
Perlukisan kesengsaraan saat itu membuat Asaf bertanya tentang ambang waktu kemarahan TUHAN kepada bangsa yang pernah dipilih-Nya itu. Karena itu, frasa interogatif “sekalipun umat-Mu berdoa?” menerangkan pada tradisi peribadahan orang Utara di Bethel sebagai tempat yang sakral bagi mereka dan itu mengingatkan mereka kembali pada tradisi Yakub.
Pada sisi lainnya, bagian ini mengandung realitas bahwa umat berada dalam situasi katastrophal oleh karena beban krisis ekonomi dan pertahanan negara (militer). Kurva kemiskinan terus naik dan angka orang-orang miskin semakin menimbun. Di sisi lain kerjasama internasional malah membuat mereka kehilangan wibawa politik sebab penetrasi negara asing lebih kuat ke dalam. Pemimpin-pemimpin dalam masyarakat kehilangan wibawa dan kekuatan sebagai akibat dari rapuhnya soliditas kebangsaan dan sentiment suku yang tinggi. Liga-liga suku yang pernah dihimpun Daud tidak berhasil direkonsiliasi sebab politik desentralisasi lebih dominan ketimbang unitarian.
Jadi ayat 6 dan 7 ini sekaligus melukiskan harapan umat untuk dipulihkan dari beban krisis tersebut. Umat tahu bahwa hal itu mungkin terjadi ketika dipraktekkan kepemimpinan TUHAN (theopolitics) yang bersifat kepemimpinan kegembalaan (bd. Mzm. 80:2).
Ayat 9-15a; ini adalah prosa di tengah nyanyian Asaf, sebagai suatu kesaksian iman yang bertumbuh dari sejarah keluaran dari Mesir (post-exilic). Di bagian ini, setingnya tempat berpindah langsung ke Israel Utara, sebagai gambaran ilustratif bahwa TUHAN menanam pokok anggur yang dibawahnya dari Mesir di situ.
Di sini Asaf menggambarkan keberhasilan Israel membangun dirinya sebagai suatu bangsa dan memiliki pengaruh yang besar di masanya, namun cepat sekali jatuh karena serangan bangsa-bangsa sekitar, seumpama orang pencuri yang memetic anggur yang baik itu, dan hama babi hutanyang melenyapkan semua hasil tanaman di padang.
Israel yang telah terpecah itu benar-benar mengalami beban sosial-politik yang berat. Semua proyek pembangunan bangsa itu tidak ada yang berhasil atau mendatangkan kedamaian dan kesejahteraan kepada umat. Apa yang telah diupayakan di masa awal kembali dari Mesir hancur dalam sekejap mata. Bangsa-bangsa yang dahulu bersahabat dengan mereka kembali menekan mereka. Kelemahan sistem militer dan pertahanan negara nyaris tidak bisa diperkuat kembali sebab kepemimpinan tidak menjadi patron yang baik.
Mereka tidak lagi berpegang pada janji Allah (covenant of God) dan itu yang membuat mereka menderita. Itulah mengapa pada ayat 2, Asaf mengidealkan TUHAN sebagai “gembala Israel” sebab yang diperlukannya adalah kepemimpinan Allah seperti yang pernah mereka alami saat keluaran dari Mesir (bd. Kel. 15:22). Karena itu Israel tetap disebut “kawanan domba” (bd. Mzm. 95:7), supaya mereka sadar bahwa jika mereka berbalik dari perjanjian TUHAN, mereka pasti ditolak walaupun mereka datang sambil beribadah kepada-Nya (bd. Mzm. 95:11).
Sadar akan hal itu, Asaf menutup bagian ini dengan memodifikasi refrain ayat 4 dan 8 di ayat 15a,
“Ya Allah, semesta alam,
kembalilah kiranya,
pandanglah dari langit, dan
lihatlah!”
Ada dambaan yang besar tentang kepemimpinan TUHAN itu dan Asaf menyatakan itu sebagai representasi seluruh umat. Prosa testimonial (kesaksian) ini disusunnya dan diakhiri dengan menyanyikan refrain yang telah dimodifikasi itu untuk meneguhkan kembali temanya mengenai kepemimpinan TUHAN.
Ayat 15b-19; pada bagian ini Asaf melanjutkan permohonan disertai dengan janji kesetiaan. Masih melanjutkan prosa testimonialnya, Asaf memohon TUHAN mengindahkan – dalam arti berbalik dan mempedulikan Israel kembali, seperti yang pernah Dia lakukan saat mereka keluar dari Mesir. Karena itu Asaf menggunakan istilah “batang yang ditanam oleh tangan kanan-Mu” (ay.16) yang diulang dengan sedikit gubahan pada ayat 18 – “orang yang di sebelah kanan-Mu”, namun tidak ada hubungannya dengan kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian, melainkan suatu ilustrasi tentang pemulihan yang dilakukan TUHAN kepada Israel dengan jalan memimpin mereka keluar dari Mesir, membimbing mereka melintasi padang gurun dan menuntun mereka membangun suatu bangsa yang besar. Tradisi Musa (Keluaran) dan Daud (penyatuan liga suku-suku Israel) menjadi dua bidang tradisi yang membingkai prosa Asaf ini, lagi-lagi sebagai gambaran bahwa oleh penyertaan TUHAN Israel dapat keluar dari situasi katastrophal atau Israel dipulihkan oleh TUHAN. Selain itu untuk juga menegaskan bahwa mereka yang dipilih untuk menjadi pemimpin di tengah umat itu ditentukan oleh TUHAN. Apa yang dimaksudkan dengan theopolitics dapat diartikan demikian, yakni kepemimpinan di mana pemimpin itu dipilih dan dikehendaki TUHAN serta menjalankan fungsinya sesuai perjanjian TUHAN (covenant of God) dan tidak akan mengingkarinya.
Itulah isi komitmen Asaf, yang dalam bagian akhir Mazmur ini jelas-jelas menunjukkan bahwa nyanyiannya itu adalah suatu nyanyian komunal. Itu tampak dari kata ganti orang ketiga jamak (=kami) pada ayat 19. Sehingga dambaan akan kepemimpinan TUHAN yang memulihkan itu adalah dambaan umat.
Refrain: ada tiga (3) refrain nyanyian Asaf yaitu ayat 4,8 dan 20.
TB:
4 Ya Allah, pulihkanlah kami,
buatlah wajah-Mu bersinar,
maka kami akan selamat
8 Ya Allah semesta alam,
pulihkanlah kami,
buatlah wajah-Mu bersinar,
maka kami akan selamat.
20 Ya TUHAN, Allah semesta alam,
pulihkanlah kami,
buatlah wajah-Mu bersinar,
maka kami akan selamat.
Pada teks BHS tampak modifikasi refrain itu dilakukan Asaf khusus tentang nama TUHAN:
Ay. 4 - אֱלֹהִ֥ים הֲשִׁיבֵ֑נוּ
Ayat 8 - אֱלֹהִ֣ים צְבָא֣וֹת הֲשִׁיבֵ֑נוּ
Ay. 20 - יְהֹ֘וָ֚ה אֱלֹהִ֣ים צְבָא֣וֹת
Sesungguhnya makna penyebutan TUHAN di situ sama. Hanya Asaf menggunakan model peningkatan kasus (heightening development) dengan menambah atributif TUHAN pada ketiga bagian itu. Pada refrain ke-2 di ayat 8, Asaf menambah atribut tsebaowt (צְבָא֣וֹת) dan dengan penambahan itu TUHAN dilukiskan secara kuat dalam dua makna. Pertama sebagai seseorang pemimpin tentara yang karena itu berkuasa mengendalikan perlawanan musuh dari mana pun. Hal ini mengingatkan kita pada tradisi perang Israel melawan Amalek (Keluaran 17:8-16) di mana Musa tetap mengangkat tangan sambil memegang tongkat sebagai simbolisasi penyertaan TUHAN atas Israel yang dipimpin Yosua untuk berperang. Makna kedua adalah TUHAN sebagai pokok sembahan umat, atau yang kepada-Nya umat harus beribadah, sebab Dialah yang menciptakan alam dan bangsa-bangsa. Hal itu diteruskan pada pengulangan di refrain ketiga pada ayat 20, tetapi di sini Asaf menggunakan secara bersama istilah יְהֹ֘וָ֚ה אֱלֹהִ֣ים (Yahweh elohim) untuk menegaskan posisi dan kedudukan TUHAN dalam dua arti tadi. Itulah sebabnya, Mazmur ini adalah nyanyian yang dinyanyikan dalam ibadah setiap kali perayaan paskah oleh masyarakat Israel. Artinya TUHAN telah membimbing mereka sehingga bebas dan hidup.
Di situlah pentingnya refleksi mengenai kekuasaan Allah yang memulihkan. Jadi tujuan dari Mazmur Asaf ini adalah permohonan agar TUHAN memulihkan keadaan Israel di satu sisi, sekaligus sebuah desakan agar kepemimpinan bangsa itu benar-benar dijalankan sebagai kepempimpinan TUHAN yang menggembalakan.
D. IMPLIKASI KONTEKSTUAL
Ketika teks ini dibaca dalam konteks demokrasi Indonesia, model kepemimpinan seperti apakah yang kita harapkan atas bangsa yang majemuk ini? Sudah tentu kepemimpinan yang demokratis, yaitu kepemimpinan yang menjadikan keragaman bangsa sebagai ruang distribusi keadilan dan kesejahteraan secara adil dan merata.
Kepemimpinan itu menjadikan kekuasaan sebagai instrument pensejahteraan. Warga bangsa atau masyarakat menjadi subyek dari distribusi kekuasaan yang adil dan membawa kesejahteraan. Mereka bukanlah obyek yang haknya dapat dimanipulasi melalui cara-cara agitatif dan otoriter. Rakyat sebagai demos yang memerintah dalam arti berhak atas kesejahteraan, keadilan, perdamaian, dan kemajuan berkelanjutan. Kekuasaan itu mesti bertumpu pada tatanan aturan (nomos) yang bersumber dari hikmat tertinggi suatu bangsa. Pencarian pada hikmat tertinggi itu membuat bangsa itu harus dipahami bukan sekedar sebagai suatu fakta politik tetapi juga suatu fakta teologis. Dalam konteks Indonesia, bangsa sebagai fakta teologis adalah bangsa yang menerima bahwa kemerdekaannya adalah berkat TUHAN, sebagaimana termaktub dalam Alinea III UUD 1945 (Titaley, 2013).
Nomos itu adalah juga komitmen menjadi bangsa yang sejahtera dengan mendistribusi keadilan ekonomi kepada orang-orang miskin atau kaum marginal. Sebab sesungguhnya kaum marginal itu yang gigih mempertahankan fondasi bangsa, tanpa sibuk pada debat-debat filsafat yang justru memporak-poranda etika bangsa yang utuh. Debat-debat yang membuat wajah bangsa yang berbhinneka itu semacam boneka yang dipaksakan berganti baju segala rupa macam ketika berpindah dari satu pemilik ke pemilik lainnya.
Kekuasaan yang memulihkan itu tidak menciptakan beban kesusahan rakyat melainkan mengangkat harkat bangsa dari keterpurukan. Kekuasaan yang benar-benar membuat bangga rakyat dalam percaturan internasional atau regional. Kekuasaan yang tidak menjadi boneka asing, melainkan Raja yang melindungi rakyatnya. Kekuasaan yang tidak mudah menyerah kepada kapitalisasi korporasi atas nama kekayaan negara lalu merusakkan bumi sebagai sacramentum TUHAN dan berdampak pada penyingkiran masyarakat adat dari hak ulayatnya.
IV. PENUTUP
Suatu waktu kita akan melihat sendiri bahwa kekuasaan yang memulihkan, kekuasaan kegembalaan, adalah model kekuasaan yang dibangun di atas spiritualitas kebangsaan yang luhur. Suatu bangsa di peradaban mana pun memiliki spiritualitas kebangsaan sebagai nilai orisinil dan struktur terdalam perilaku masyarakat. Indonesia memiliki spiritualitas itu. Sebab itu bangsa ini harus belajar kembali berpegang pada janji luhur saat kita menjadi bangsa. Karena eksperimen berbagai regim yang seakan mau menjauhi dan mengingkari janji luhur itu membuat keadilan, kesejahteraan, kebenaran, kedamaian, menjauh dari rakyat. Jangan sampai karena perilaku kekuasaan yang tidak berpegang pada janji luhur itu membuat TUHAN juga menjauhi Indonesia.
© eltom, 4-6 April 2022
BUKU RUJUKAN
Day, J, 1990, Psalm, Sheffield Academic Press, England
Gottwald, Norman K, 1985, The Hebrew Bible: A Socio Literary Introduction, Philadelphia: Fortess Press
Goulder, Michael D, 1996, The Psalms of Asaph and the Pentateuch, Studies in the Psalter III, Journal for the Study of The Old Testament (JSOT), Suplement Series 233, Sheffield Academic Press, England
Reventlow, G.R, Yair Hoffman and Benjamin Uffenheimer (eds.), 1994, Politics and Theopolitics in the Bible and Postbiblical Literature, JSOT Suplement Series 171, Sheffield Academic Press, England
Titaley, John A, 2013, Religiositas di Alinea Tiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-agama, Salatiga: Satya Wacana University Press