ABSTRACT
Pesan teks kitab suci bisa dipahami melalui suatu usaha menggali maknanya berdasarkan pada konteks penulisan dan situasi masyarakat dari mana teks itu ditulis atau dalam budaya mana cerita teks itu lahir. Itu merupakan tugas tafsiran atau eksegese yang harus dikerjakan serius, sungguh-sungguh dengan meneliti sejarah sosial dan dinamika sosial masyarakat dalam teks tersebut. Yesaya 44:9-20 merupakan teks yang ditulis dalam konteks masyarakat Israel Alkitab yang pemaknaannya harus ditelusuri dari situ. Ada respons pembaca (reader response) termasuk di era transformasi digital dan post-truth dan terjangkit virus viralisme, namun itu pun tidak harus dilepaskan dari konteks penulisan aslinya. Tulisan ini berusaha menafsir teks tersebut dengan membahas makna teologis roh (Ibr. ruakh) sesuai dengan budaya, bahasa dan ide keagamaan Yahudi dalam konteks Deutero Yesaya (Yesaya II).
Kata Kunci: roh, roh Allah, roh jahat, imajinasi modern
Alkitab harus dipahami dari dirinya sendiri
Alkitab menyediakan jawaban yang memadai pada dirinya
I. PENGANTAR
Apologia (yun. ἀπολογία) sebagai cara gereja membela ajaran-ajarannya sudah terjadi sejak awal-awal kekristenan, dan itu mesti dimengerti sebagai suatu fungsi berteologi gereja di tengah berkembangnya berbagai aliran pemikiran filsafat dan studi-studi keagamaan yang berjenis-jenis bentuk dan metodenya. Apologia itu muncul karena ada semacam kategoria (yun. κατηγορία) atau penuntutan terhadap suatu kelompok pada pokok ajaran tertentu dan dibalas oleh kelompok itu dengan apologia (=membela iman). Tujuan apologia ialah membentangkan suatu penjelasan teologi yang argumentatif, dalam arti memenuhi ketentuan rasional dengan klarifikasi-klarifikasi etik berdasar pada kemurnian ajaran dan tradisi. Banyak kali, karena didasarkan pada subyektifitas, kategoria sering didasarkan pada kecurigaan (=suspicious) yang cenderung menuduh (prejudice) ajaran dan tradisi kelompok yang diserang.
R.W. Wenley (2002:6) menjadikan Socrates (470-399 BCE) dan Yesus (4 BCE-AD 33) sebagai dua tokoh apologetika yang pernah ada dalam sejarah dunia. Socrates menunjukkan model apologia filsafat, dan Yesus apologia agama, terhadap para penentangnya. Socrates berhadapan dengan para Dikasteri (Dicastery) yaitu Dewan Kepausan untuk mengurus masalah orang-orang awam sedangkan Yesus berhadapan dengan para Sanhedrin (Imam Kepala). Dalam menghadapi para penentangnya, Socrates menggunakan gaya parabolik, sedangkan Yesus memilih untuk diam - membiarkan para penentangnya menyampaikan tuduhan-tuduhan mereka. Wenley membentangkan suatu kisah kecil, yang menjelaskan posisi Socrates dan Yesus di hadapan para penentangnya itu.
“Kristus dikabarkan secara terbuka mewartakan bahwa Ia datang untuk membawa perpecahan. Sedangkan Socrates dituduh para hakim karena membawa pesan yang telah memisahkan anak-anak dari orangtua mereka.” [Versi tuduhan kepada Yesus dapat dilihat dalam versi Injil Matius 10:34 “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya”].
Mereka berdua dituduh sudah membawa suatu tatanan baru dengan pengajaran-pengajaran tertentu. Penilaian ini yang dimaksudkan dengan suatu kategoria, yang sudah mengabaikan dasar argumentasi atau konteks pesan yang disampaikan mereka. Karena itu, Wenley (2002) menulis tentang apologia Socrates dan Yesus seperti berikut:
[Hakim Dikasteri]: “Socrates, hari ini kami membiarkanmu pergi, tetapi suatu kali nanti, anda berhenti melakukan semua ini dan juga dari filsafat”.
[Socrates]: “Orang-orang Athena, saya menghormati dan menghargai serta mengasihi anda; tetapi saya tetap taat kepada Tuhan daripada terhadapmu; dan selama aku hidup dan memiliki kekuatan, aku tidak akan berhenti dari filsafat, dan [tetap] menasehati siapa pun yang kutemui dengan caraku [pendekatan/metode] dan mengemukakan kebenaran. Wahai temanku, kamu adalah warga Athena, sebuah kota yang besar dan terkenal dengan kebijaksanaan dan kekuatan pemikiran; apakah kamu tidak malu karena terlalu peduli untuk menghasilkan uang, reputasi dan kehormatan? Apakah anda tidak menyediakan pikiran, kepedulian dan kebijaksanaan dan kebenaran untuk menyempurnakan jiwamu? Dan untuk orang-orang Athena, bebaskan aku atau jangan bebaskan aku. Tetapi percayalah bahwa saya tidak akan pernah mengubah hidupku, bahkan jika aku harus mati berkali-kali.”
[Yesus]: “Tiap hari Aku mengajar di Bait Allah di mana ada semua orang Yahudi dan aku telah mengatakan semuanya tentang Kerajaan-Ku dengan tidak ada yang dirahasiakan. Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika kerajaan-Ku dari dunia ini, maka hamba-hamba-Ku berperan agar aku tidak diserahkan kepada orang Yahudi.”
[Pilatus]: Apakah kamu seorang raja?
[Yesus]: Engkau berkata bahwa Aku adalah seorang Raja. Untuk tujuan itulah Aku lahir, dan untuk tujuan itu pula Aku datang ke dunia, agar Aku memberikan kesaksian tentang kebenaran. [Versi injil untuk dialog ini dapat dibaca dalam Yohanes 18:28-37]
Catatan itu berguna untuk menegaskan bahwa dalam sejarah dunia, satu bentuk pemikiran dan ajaran tidak bisa mengelak dari adanya corak pemikiran dan ajaran yang berbeda, bahkan bertentangan. Faksi-faksi pemikiran filsafat dan ajaran agama berkembang mengikuti trend perkembangan pemikiran filsafat dan agama juga. Bahkan dalam sejarah gereja di abad pertengahan, ilmu pengetahuan pernah dicap sesat oleh gereja, sehingga banyak ilmuwan dan kaum cerdik pandai dikucilkan dan pemikiran mereka tidak dibiarkan berkembang. Tradisi injil juga mengalami hal yang sama, sehingga ada banyak tulisan yang ditulis di zaman yang sama dengan tulisan Injil, namun karena memuat isi dan tujuan yang berbeda dari tulisan injil maka dikategorikan sebagai apokrifa. Perbedaan jumlah Kitab antara Alkitab yang digunakan Katolik (Deuterokanonika) dengan Protestan juga menjadi salah satu bukti dari adanya posisi sikap dan pendirian yang berbeda di antara dua kelompok Kristen itu terhadap Kitab Sucinya sendiri. Artinya, kekristenan sepanjang masa tidak anti pada munculnya pendapat yang berbeda atau serangan terhadap ajaran di dalam Kitab Suci dan tradisinya. Kekristenan malah bertumbuh di dalam dinamika itu. Karena itu apologia gereja menjadi salah satu mekanisme untuk menjelaskan kemurnian ajaran sesuai dengan dasar tradisinya.
Dalam kekristenan, apologia berkembang sejak abad-abad awal kekristenan hingga saat ini. Rasul Paulus atau yang dikenal sebagai Paulus dari Tarsus (3-67 M) merupakan salah seorang tokoh apologet Kristen tua/perdana yang membentangkan argumentasi rasional berdasar kepada Taurat, teks kenabian dalam Perjanjian Lama, narasi sejarah Yesus, pengalaman iman pribadinya, dan bukti-bukti arkeologis atau situs-situs Yahudi untuk mempertahankan ajaran Kristen yang ditentang oleh para pemula Yahudi, orang-orang Romawi berbudaya helenistik. Selain itu ia juga menulis surat-surat yang berisi kesaksian iman atau semacam penjelasan tentang apa yang ia alami sebagai dasar-dasar iman dan pengetahuan yang membuat dia berbalik dari seorang penghambat ajaran Yesus menjadi penganut ajaran Yesus yang setia. Tulisan-tulisannya yang menjadi sebagian besar kitab Perjanjian Baru yang kita gunakan sekarang ini.
Salah satu serangan balik (=apologia) Paulus, tertulis dalam Roma 9:19-20:
“Sekarang kamu akan berkata kepadaku: “Jika demikian, apa lagi yang masih disalahkan-Nya? Sebab siapa yang menentang kehendak-Nya? Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: “Mengapakah engkau membentuk aku demikian?”
Menariknya ialah serangan balik Paulus itu dilakukan dengan mengutip teks Kitab Yesaya (Yes.29:16, 45:9).
Pengaruh tulisan kitab Yesaya dalam Perjanjian Baru cukup kental. Edward J. Young (1964:206) menyusun daftar kutipan Perjanjian Baru terhadap kitab Yesaya, yang menunjukkan bahwa teologi Kitab Yesaya masih menjadi inspirasi sosio-religius dan sosio-politik kepada bangsa Israel karena setelah kejatuhan Yerusalem, sampai di zaman Yesus dan para rasul-Nya, Israel tetap berada di bawah pengaruh bangsa-bangsa sekitarnya. Sebagai referensi tambahan, berikut ini adalah daftar kutipan kitab Yesaya dalam Perjanjian Baru:
Beberapa bapak gereja seperti Yustinus Martir (103-165), Irenius (120-140), Tertulianus (155-230), dapat juga digolongkan sebagai tokoh-tokoh apologetika Kristen yang menulis khotbah-khotbah apologetik karena ada sesuatu yang harus dijelaskan, dipertahankan, atau dibela dari kesimpangsiuran tafsir dan tuduhan para penyerang. Buku-buku katekismus, termasuk Katekismus Luther, maupun Ajaran Gereja, jika tidak termasuk dalam apologia, tetapi berfungsi sebagai jawaban-jawaban teologis atas pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang iman dan praksis bergereja itu sendiri. Intinya, agama-agama yang berteologi akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak berujung, sehingga memberi tanggapan atau jawaban, adalah salah satu tugas teologi dari agama-agama sebagai proses reproduksi tekstual secara historik dan biblikal serta reproduksi kontekstual atas tradisi agama dan berbagai bentuk simbol agama itu sendiri.
Di era transformasi digital seperti saat ini, agama-agama menghadapi juga imajinasi-imajinasi modern yang telah terjangkit virus viralisme. Imajinasi modern itu berkembang juga dalam diskursus lintas-agama, dan jujur saja bahwa sering dipakai sebagai belati untuk menusuk jantung suatu kelompok agama, dan dengan fenomena viralisme, tusukan itu dilakukan bertubi-tubi tanpa ampun, bahkan jika sudah tertangani, notifikasi media sosial akan memberi pengingatan kembali dan belati itu dipakai lagi untuk merobek luka lama. Bila dikaitkan dengan kutipan suatu teks Kitab Suci, maka imajinasi modern itu jelas berbeda dari memori kolektif, sebab diproduksi dari subyektifitas person tertentu yang gagal memahami makna dasar teks di dalam konteks penulisan dan masyarakat aslinya. Jika digunakan untuk menusuk jantung suatu kelompok agama, sudah bisa dibayangkan bahwa imajinasi modern itu dapat menghasilkan pembelahan sosial. Apalagi jika imajinasi modern itu diproduksi berdasarkan pada ajaran agama sesuai teks-teks kitab suci dengan menjadikan hidup di akhirat sebagai tujuan utama (initial aim). Itu bisa membuat orang mengabaikan kehidupan sosial yang relasional kepada kehidupan akhirat yang sangat personalistik.
Tulisan ini bermaksud untuk mengkritisi imajinasi-imajinasi modern terhadap teks-teks kitab suci atau tradisi agama, agar kita tidak meninggalkan realitas sosial, ekonomi, budaya, politik dan agama yang membidani teks-teks kitab suci dan tradisi itu sendiri. Karena bagaimana pun, pemaknaan jujur atas teks kitab suci, misalnya Alkitab, dan tradisi agama harus dimulai dari konteks penulisan dan konteks sosial masyarakat Alkitab. Walau begitu, imajinasi modern sebagai bagian dari respons pembaca harus diperhatikan bukan untuk meruntuhkan bangunan makna dasar teks. Apalagi jika respons pembaca itu meluas pada komunitas lintas-iman, maka sudah tentu agama-agama atau para teolog dan tokoh agama akan sibuk menyusun apologia yang bersifat pembelaan (defense), pembuktian kesahihan tradisi dan ajaran (proof), atau juga serangan balik (offense). Sedikit saja apologia itu yang sifatnya menarasikan penjelasan (clarification) yang bersifat persuasif jika imajinasi modern tadi sudah menyentuh hal paling prinsip (akidah) dari agama tertentu. Fenomena ini yang harus diantisipasi karena untuk kepentingan tertentu, orang sudah tidak segan-segan lagi mencela agama tertentu pada jantung keagamaannya, termasuk terhadap simbol-simbol agama yang paling utama.
Tulisan ini bertujuan menafsir teks Yesaya 44:9-20. Mengapa? Harus diakui bahwa tuduhan Daniel Mananta (DMN) dan Ustadz Abdul Somad (UAS) tentang adanya unclean spirit (roh jahat) pada patung-patung yang digunakan dalam lingkungan kekristenan (Katolik dan Protestan) menjadi salah satu trend topic atau berita viral di media sosial dan telah mendapat beragam tanggapan dari awam maupun teolog. Karena DMN menyebut Yesaya 44:[9]13-21 sebagai rujukan biblisnya, maka perlu dijelaskan sisi tafsirnya agar dapat dipahami secara baik. Namun demikian, pendapat DMN dan UAS saya posisikan sebagai imajinasi-imajinasi modern yang tidak harus dipahami dari perspektif mereka mengingat hal tersebut bersumber dari tafsir kecurigaan (hermeneutic suspicion) yang sudah tentu tidak jujur terhadap teks tersebut. Selain itu, masih ada dalam benak kita bahwa UAS, dalam ceramahnya di suatu waktu, pernah menghina simbol utama Kristen yaitu Salib Kristus dengan menyebut “ada jin kafir di dalamnya”, malah meledek posisi kepala Yesus di kayu salib antara ke kiri atau ke kanan. DMN yang paling sering mengundang pesohor untuk membahas hal-hal keagamaan di podcastnya pun harus dijadikan salah satu latarbelakang untuk memahami tujuannya dengan pernyataan itu. Namun demikian, DMN dan UAS, bukanlah alasan mendasar bagi kita memahami secara baik teks Yesaya 44:9-20 atau teks-teks lain dalam Alkitab. Karena itu titik tolak dalam penulisan ini diposisikan pada teks tersebut, supaya kita bisa membaca kembali konteks kitab itu dan tradisi-tradisi PL yang kaya akan kandungan dan pembelajaran spiritualitas. Karena itu batin dan pikiran kita pun sebaiknya ditenggelamkan ke dalam teks Yesaya dengan maksud supaya latar belakang sejarah dan maksud teks itu ditulis bisa dijelaskan secara bertanggung jawab.
II. DEUTERO YESAYA, KITAB ORANG-ORANG TERJAJAH
Kitab Yesaya sering juga disebut “tiga buku satu pesan”. Komposisi akhirnya (Berges, 1998) terdiri dari Proto Yesaya (1-39), Deutero Yesaya (40-55) dan Trito Yesaya (56-66). Penafsiran atas tiga buku itu mengandung tantangan yang kompleks, sebab dinamika sosial dalam kitab ini membawa kita pada realitas kekuasaan Asyur, Babilonia dan Persia yang silih berganti menguasai Israel yang juga sudah terbelah menjadi Utara (Yerusalem) dan Selatan (Samaria). Suku-suku yang semula sudah disatukan di zaman Daud (Unity Kingdom of Israel), telah terpisah kembali dan menduduki wilayah masing-masing secara desentral (Gottwald).
Berges (1998:4) menulis bahwa dalam kitab Sirakh, mengenai tugas Yesaya telah dikatakan:
“Sebab Hizkia melakukan apa yang diperkenankan oleh Tuhan, dan berpegang pada kelakuan Daud moyangnya, sebagaimana yang diperintahkan Yesaya kepadanya, seorang nabi agung yang dapat dipercayai penglihatan-penglihatannya. Di masanya mundurlah matahari, dan kehidupan raja diperpanjangnya. Dengan rohnya yang mulia Yesaya melihat kesudahan waktu, dan orang-orang yang berdukacita di Sion dihibur olehnya. Ditunjukkannya apa yang akan terjadi hingga akhir masa, dan apa yang tersembunyi sebelum terlaksana” (Sir. 48:22-25).
Pada Kitab Yesaya sendiri, tentang tugasnya tertulis:
“Sampai kota-kota telah lengang sunyi sepi, tidak ada lagi yang mendiami, dan di rumah-rumah tidak ada lagi manusia dan tanah menjadi sunyi dan sepi, TUHAN akan menyingkirkan manusia jauh-jauh, sehingga hampir seluruh negeri menjadi kosong. Dan jika di situ masih tinggal sepersepuluh dari mereka, mereka harus sekali lagi ditimpa kebinasaan, namun keadaannya seperti pohon beringin dan pohon jawi-jawi yang tunggulnya tinggal berdiri pada waktu ditebang. Dan dari tunggul itulah akan keluar tunas yang kudus” (Yesaya 6:11-13).
Teks-teks dalam Kitab Yesaya ditulis ketika Israel Raya yang dibentuk Daud telah terpecah menjadi Israel Utara (Yerusalem) dan Selatan (Samaria). Yerusalem sebagai pusat kehidupan Israel raya itu kini menjadi fantasi tentang pemerintahan Allah yang adil. Desentralisasi Selatan terhadap Utara adalah suatu fakta retaknya relasi persaudaraan suku-suku Israel yang tidak bisa dipungkiri. Dalam konteks ini, Yahwisme sebagai ideologi dan agama nasional masuk ke dalam ujian baru dengan pemusatan ibadah kembali di tempat-tempat ibadah suku-suku yang dahulu pernah hidup, sebelum disatukan di Bait Allah Yerusalem. Karena itu Yahweh sebagai Tuhan nasional Israel pun berada dalam kondisi yang katastropal karena simbol-simbol utama Yahwisme seperti Yerusalem, Bait Allah, Tabut Perjanjian, sudah tidak lagi menjadi kekuatan pemersatu.
Menariknya ialah Israel selalu meyakini, jika mereka menderita secara politik, seperti dibawa ke dalam pembuangan, bukan karena bangsa lain lebih kuat dan mereka lemah, tetapi karena mereka telah berdosa kepada Tuhan (Yahweh). Ini menjadi bukti bahwa pemulihan Israel itu selalu diawali dengan pemulihan spiritualitas sebab mereka percaya bahwa Tuhan akan berbalik kepada mereka jika mereka bertobat. Pertobatan itu yang menjadi alasan penataan sistem pemerintahan atau bernegara yang baru.
“Dengarlah hai langit, dan perhatikanlah hai bumi, sebab TUHAN berfirman: “Aku membesarkan anak-anak dan mengasuhnya, tetapi mereka memberontak terhadap Aku. Lembu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi umat-Ku tidak memahaminya” (Yesaya 1:2-3).
Dalam konteks sosial seperti itu, Yesaya sebagai seorang nabi (abad VIII BCE) tampil atau mendapat panggilan khusus dari TUHAN. Nabi-nabi abad VIII, seperti Yesaya, Amos, Yeremia, merupakan kumpulan nabi yang bergelut dengan isu-isu keadilan sosial, atau melancarkan kritik sosial sebagai bagian dari restorasi Israel. Dosa tidak lagi dilihat sebagai pelanggaran vertikal antara manusia dengan TUHAN, melainkan bentuk ketidakadilan dalam relasi horisontal dengan sesama. Praktek suap, perampasan hak, pemiskinan rakyat dengan merampas tanah, harga barang yang tinggi di pasar, bunga pinjaman yang tinggi, merupakan tanda krisis dan bukti bergesernya pemahaman serta aplikasi taurat.
Deutero Yesaya sendiri adalah teks yang ditulis di masa pembuangan di Babel, karena itu Babilonia mesti dipahami sebagai lokasi sosial teks itu. Dan masyarakat Israel yang ada di Babilonia merupakan alamat dari tulisan tersebut. Itulah sebabnya aspek-aspek kehidupan sosial, ekonomi, agama, politik dari masyarakat di Babilonia menjadi titik berangkat peredaksian teks-teks itu, dan Yerusalem dijadikan sebagai suatu lokasi imaginatif, bahwa mereka harus kembali pulang ke sana. Karena itu restorasi Israel di dalam pembuangan dipahami sebagai tahapan pemurnian diri dan religiusitas untuk nanti kembali ke Yerusalem. Pada aspek itu juga, semua ide dan gagasan agama tentang Yahwisme ditanamkan dengan menjadikan Yerusalem sebagai lokasi imaginatif bahwa mereka dahulu ada di sana, kini mereka dalam pembuangan, tetapi mereka harus segera kembali juga ke sana.
Terlepas dari semua debat mengenai kepengarangan kitab ini, peredaksian Deutero Yesaya sendiri memperlihatkan ada titik sambung dengan Proto-Yesaya. Namun, kisah orang-orang Israel dalam penjajahan Babel tidak digambarkan secara gamblang oleh penulis Deutero Yesaya. Ia melompat pada semacam nubuatan guna membangkitkan semangat orang-orang dalam penjajahan. Di sinilah letak perbedaannya dengan Yeremia dan Yehezkiel. Catatan akhir Proto Yesaya dalam 39:1-8 adalah catatan sejarah yang mengawali jatuhnya Israel ke dalam pembuangan Babel. Hizkia telah menunjukkan seluk-beluk istananya kepada orang-orang Babel yang menurut Yesaya merupakan kesalahan terparah Hizkia sebagai raja. Pada 39:5-8:
“Lalu Yesaya berkata kepada Hizkia: “Dengarkanlah firman TUHAN semesta alam! Sesungguhnya, suatu masa akan datang bahwa segala yang ada dalam istanamu dan yang disimpan oleh nenek moyangmu sampai hari ini akan diangkut ke Babel. Tidak ada barang yang akan ditinggalkan, demikianlah firman TUHAN. Dan dari keturunanmu yang akan kauperoleh, akan diambil orang untuk menjadi sida-sida di istana raja Babel.” Hizkia menjawab kepada Yesaya: “Sungguh baik firman TUHAN yang engkau ucapkan itu!” Tetapi pikirnya: “Asal ada damai dan keamanan seumur hidupku!”
Apa yang terlintas dalam benak Hizkia itu yang dalam teologi Yesaya dipahami sebagai pangkal dosanya, sebab ia terlampau mengandalkan bangsa asing atau manusia, bukan sebaliknya mengandalkan TUHAN. Makanya dalam pendahuluan Deutero Yesaya, penulisnya langsung menggunakan kata: “umat-Ku” (Ibr. ’ammi, עַמִּ֑י akar kata “am” עַם) sekaligus menjadi tanda dimulainya pembaruan janji Allah dengan umat-Nya itu, sebagai tema utama dari Deutero Yesaya. Sepanjang Yesaya 40-48), menurut Berges (1998), TUHAN dilukiskan sebagai Allah Israel dan Israel dilukiskan sebagai umat yang kudus. Pada beberapa bagian (41:8) Israel pun disebut sebagai hamba TUHAN (Ibd. יִשְׂרָאֵ֣ל עַבְדִּ֔י). Penyebutan-penyebutan itu merupakan penegasan pembaruan janji membuat ikatan mereka dengan TUHAN itu terjalin kuat, dan bahwa TUHAN memiliki rencana besar atas hidup Israel sebagai umat dan hamba-Nya itu.
Dalam tema pembaruan janji itu, teologi “shema” (Ibr. שְׁמַ֖ע) - “dengarkanlah Israel” digunakan di setiap rumusan hukum yang ditegaskan kembali secara baru. Pembaruan hukum itu bertujuan untuk memurnikan kembali kepercayaan Israel kepada TUHAN. Artinya, selama dalam pembuangan, mereka bergaul dengan banyak bangsa dan juga dengan rupa-rupa agama. Ini bukan pengalaman pertama, sebab di Mesir pun mereka mengalami hal serupa. Ide TUHAN bangsa Mesir, Mesopotamia, Moab, Babel, telah membentuk sinkretisme baru dalam praktek agama orang Israel. Di masa Hizkia sampai pembuangan ke Babel, bangsa-bangsa seperti Babel, Asyur (745-727 BCE), Persia (559-529 BCE), menguasai Israel secara politik, dan praktek agama mereka turut berdampak kepada masyarakat Israel ~seperti pernah terjadi di masa penindasan Mesir dan sepanjang eksodus dari sana.
Dalam 40:9c-10a, ditegaskan: “Lihat, itu Allahmu!” Lihat, itu Tuhan ALLAH,” (ibr. הִנֵּ֖ה אֱלֹהֵיכֶֽם׃ הִנֵּ֨ה אֲדֹנָ֤י יְהוִה֙). Ini adalah suatu pernyataan teologis yang penting, yang mengingatkan Israel mengenai siapa itu TUHANnya, bahwa ia tidak lain dari TUHAN yang pernah memperkenalkan diri kepada Musa dalam Keluaran 3:14 dengan menyebut diri-Nya: “AKU ADALAH AKU” (ibr. ehyeh ashyer ehyeh - אֶֽהְיֶ֖ה אֲשֶׁ֣ר אֶֽהְיֶ֑ה).
Ungkapan “lihatlah, itu Allahmu! Itu Tuhan ALLAH, menegaskan kembali pada keberadaan Allah yang bebas berada di mana saja dan dalam keadaan apa saja. Allah sebagai yang omni-presence - bahwa hanya Ia yang berada bersama dengan atau di tengah-tengah umat-Nya dan bukan allah yang lain (bd. Young, 1964:207). Hubungan Yesaya dengan tradisi kitab Keluaran (tradisi Yahwsit/sumber J) itu sekaligus menjelaskan bahwa kehadiran TUHAN itu selalu menandai dimulainya suatu ikatan janji, atau penyataan kemahakuasaan Allah, sebagaimana dilukiskan dalam Kejadian 1 - mengenai kuasa TUHAN sebagai Pencipta. Pada point itu, Deutero Yesaya meneruskan teologi Yahwisme mengenai TUHAN Yang Mahakuasa di atas tuhan atau ide-ide ketuhanan yang ada pada bangsa-bangsa sekitar Israel, dan Ia, TUHAN, telah menetapkan Israel sebagai umat-Nya sejak semula. Pasal 41:9 menjelaskan hal itu dengan menyebut nama Yakub dan Abraham sebagai bapa leluhur yang berperan langsung dalam sejarah pemilihan Israel sebagai suatu bangsa. Ini penting untuk mengajak Israel agar tidak terlibat dalam persepakatan dengan manusia atau bangsa lain melainkan mengajak bangsa itu kembali percaya kepada TUHAN (Young, 1964:211). Itulah sebabnya mengapa sepanjang pasal 40-66, berulang kali Israel disebut sebagai “umat-Ku” atau “hamba-Ku”.
Jadi dalam Deutero Yesaya, konsep Israel sebagai umat dan hamba TUHAN, bertujuan untuk membangkitkan kembali kesadaran mereka mengenai hakekat mereka sebagai suatu bangsa yang percaya kepada TUHAN (Yahweh) dan bukan kepada allah bangsa-bangsa asing. Kedua, untuk mengingatkan mereka bahwa TUHAN sudah melakukan pembaruan janji dengan mereka sebagai jaminan hidup baru di Yerusalem atau Sion, yaitu tempat yang dalam Deutero Yesaya menjadi vital dalam ekspektasi untuk kembali ke sana, sebagai tujuan dari pembaruan hukum dan janji.
III. TAFSIR YESAYA 44:9-21
Dari segi peredaksian, Yesaya 44:9-20 merupakan catatan penjelasan atas syair 44:1-8, sehingga harus dimengerti sesuai dengan tujuan syair 44:1-8 itu. Penjelasan itu (44:12-15) tidak berdiri lepas dari syair tersebut. Karena teologi dalam syair itu yang menjadi pemikiran dasar dari penjelasan itu. Young (1964:221) menyebut syair itu mengandung berkat dan penghiburan kepada bangsa yang ada dalam pembuangan, sesuai dengan tujuan Deutero Yesaya sebagaimana dijelaskan di atas. Penjelasan tersebut juga dibuat oleh Yeremia (10:1-6).
Penting disimak 44:6 & 8c:
“Akulah yang terdahulu dan Akulah yang terkemudian; tidak ada Allah selain dari pada-Ku (ibr. אֲנִ֤י רִאשׁוֹן֙ וַאֲנִ֣י אַחֲר֔וֹן וּמִבַּלְעָדַ֖י אֵ֥ין אֱלֹהִֽים׃ - ‘ani risown wa’ani aharown umibbal’aday en ‘elohim)
Adakah Allah selain dari pada-Ku. Tidak ada Gunung Batu yang lain, tidak ada Kukenal!” (ibr. הֲיֵ֤שׁ אֱל֙וֹהַּ֙ מִבַּלְעָדַ֔י וְאֵ֥ין צ֖וּר בַּל יָדָֽעְתִּי׃ - ha’yes elowah mibbal’aday sur bal-yada’ati)
Rumusan itu lagi-lagi menunjuk adanya pengaruh tradisi sumber J yang cukup kuat, terutama perjumpaan TUHAN dengan Musa dalam Keluaran 3:14 itu. Karena itu, hakekat Israel sebagai hamba TUHAN dan penyebutan leluhur Israel (Yakub) seperti tampak dalam 44:1 tetap dipakai sebagai pembuka dari suatu proses pembaruan janji sebagaimana tujuan Deutero Yesaya itu sendiri. Pemahaman mengenai TUHAN menjadi penting sebagai pembedaan antara Yahweh dengan tuhan orang Babilonia atau Persia (Young, 1964). Karena itu pembebasan mereka dari Babel, yang dikerjakan oleh Koresh, raja Persia, harus dipahami sebagai wujud karya TUHAN (God’s work), sebagai awal dari pemulihan kembali Yerusalem, dan Israel adalah saksinya. Hal itu penting juga untuk memahami tindakan Nehemiah membangun kembali tembok Yerusalem, ketika ia menyatakan bahwa: “Allah semesta langit, Dialah yang membuat kami berhasil” (Neh. 2:20). Deutero Yesaya melawan kepercayaan kepada allah kesia-siaan. Karena itu Yahweh digambarkannya sebagai TUHAN yang telah bertindak di dalam sejarah bangsa-bangsa mulai dari penciptaan (40:12; 42:5).
Israel, pada konteks Yesaya 40-48, berada dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkan, namun Deutero Yesaya mengemas sebuah janji pembebasan, bahwa TUHAN akan segera memerdekakan mereka, dan membawa mereka kembali ke Yerusalem. Ide ini, kembali ke Yerusalem, menjadi semacam titik berangkat eskhatologi Yesaya karena pemusatan pada Sion merupakan tema teologi yang penting.
Pembebasan atau kemerdekaan itu diilustrasikan sebagai “berkat dari atas” yang dicurahkan TUHAN kepada umat-Nya (bd. istilah “Aku akan mencurahkan air ke atas tanah yang haus” - 44:3a; “Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas keturunanmu, dan berkat-Ku ke atas anak cucumu” - 44:3b). Artinya, karya atau perbuatan TUHAN secara langsung yang akan membebaskan mereka dari penindasan Babel, Asyur dan Persia. Menurut saya, pada konteks Deutero Yesaya, maka pasal 44:3 ini harus menjadi dasar untuk memahami hakekat roh di dalam bagian Yesaya ini, bukan ide-ide lain, apalagi ide keagamaan lain - yang jelas-jelas dalam Deutero Yesaya ditantang atau dilawan karena itu bukan unsur penting dalam teologi Yesaya mengenai TUHAN.
A. MENGENAI ROH
“Kepada-Nya diberikan kitab nabi Yesaya dan setelah dibuka-Nya, Ia menemukan nas, di mana ada tertulis:
“Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” (TB - LAI, Luk.4:17-19)
Itu adalah cerita Lukas mengenai Yesus dalam PB, saat Ia masuk ke synagoge di Nazareth dan diminta membacakan nas Yesaya itu (61:1,2). Dalam cerita PB itulah, atas bacaan nas itu dan karena Yesus menunjuk arti nas itu secara langsung kepada diri-Nya (Luk.4:21), orang-orang Nazareth mengusir-Nya keluar dari kota-Nya itu. Apa alasannya? Saya yakin sebab mereka masih berpegang pada pengharapan mesianik dalam arti politis sebagai tokoh pembebas. Itu berarti sampai di zaman Yesus, orang-orang Israel masih hidup di bawah penjajahan bangsa asing. Yesus dalam teks Lukas itu dipahami sebagai “anak Yusuf” (Luk.4:22). Itu adalah cara mereka memandang kepada Yesus dari asal-muasal-Nya, dari titik tolak umum, bukan dari titik tolak yang baru, yaitu Yesus dalam kepenuhan Roh Kudus (Luk.4:1, 14).
Kembali ke teks Yesaya 44:9-20. Bertumpu pada 44:3 dirasa perlu menjelaskan terlebih dahulu esensi dari roh (ibr. רוּחִי֙, rūhî ~ dari kata רוּחַ, ruakh). Kata ini yang juga digunakan dalam Kejadian 1:1 dan Yesaya 61:1 ~sebagai bahan-bahan parallel sekaligus yang menjadi teks-teks paling dasar untuk menjelaskan hakekat roh itu. Kata itu merupakan kata benda feminin yang bisa diartikan sebagai “nafas, angin, roh. Kadang kata itu diartikan sebagai kata kerja sehingga bisa dipahami sebagai tindakan mengeluarkan nafas dari hidung, sehingga kata tersebut sering dipahami sebagai “pusat hidup” (B. Reicke, 1946; E.G. Selwyn, 1946:314-362; W.J. Dalton, 1965 - dalam YKBK/OMF, 1995:316).
Dalam tradisi Deutero dan Trito Yesaya, kata ruakh bertumpu pada gagasan teologi sumber J dalam Kejadian 1:1, yaitu sebagai manifestasi dari TUHAN sebagai kuasa yang sempurna. Dalam arti itu, “roh yang dari atas” (44:3) adalah esensi yang sama dengan “roh Allah [yang] melayang-layang di atas permukaan air” (Kej.1:1). Roh itu adalah roh kehidupan yang keluar dari sumber kehidupan, yaitu Allah itu sendiri. Dalam arti itu, kalimat “Berfirmanlah Allah” dalam kisah penciptaan (Kej.1:2, 9, 11, 14, 20, 24, 26, 29) menjelaskan roh sebagai manifestasi diri Allah Pencipta. Firman itu keluar dari Allah dan roh yang menjadi pengantarnya. Roh membuat karya atau tindakan TUHAN itu mewujud dan dapat dilihat secara konkrit. Itulah yang disebut Wonsuk Ma (1999:16) bahwa roh itu membuat kehendak TUHAN tercapai secara pasti di dunia/bumi.
Memang dalam PL, gagasan tentang roh Allah sangat berkaitan dengan aspek-aspek antrophormofic lain seperti “tangan Allah” (ibr. אֶצְבַּ֥ע אֱלֹהִ֖ים, ‘esba elohim - Kel.8:19; 1 Sam.4:8; 5:11; 2 Taw.30:12; Ezr.8:22; Ayb.12:9; 27:11; Yes.62:3), karena menegaskan tentang tindakan atau karya TUHAN yang dirasakan atau terwujud dalam berbagai macam bentuk sesuai dengan pengalaman masing-masing (Wonsuk Ma, 1999:26). Jadi roh bukanlah suatu unsur lain di luar Allah, melainkan manifestasi dari keinginan, kehendak dan tindakan Allah, seperti juga ungkapan “tangan Allah”. Dengannya manusia bisa melihat pekerjaan Allah secara pasti/nyata dan dari situ pula manusia percaya pada hakekat Allah itu sendiri. Istilah roh Allah atau tangan Allah itu lagi-lagi menerangkan pada hubungan yang kuat antara Deutero Yesaya dengan tradisi sumber J,E dan P - khusus yang terkait dengan pengenalan diri Allah kepada manusia. Selain Keluaran 3:14 melalui nama AKU ADALAH AKU, namun juga tanda semak yang menyala namun tidak terbakar (Kel. 3:3), atau tongkat Musa yang berubah menjadi ular (Kel. 4:3).
Ada satu catatan menarik dalam 1 Samuel 16:14-23. Pada ayat 14 disebutkan: “Roh TUHAN telah mundur dari pada Saul, dan sekarang ia diganggu oleh roh jahat yang dari pada TUHAN” (bd. 1 Sam.18:10). Apakah roh jahat juga bersumber dari TUHAN? Ayat ini harus dipahami dari pernyataan di dalam 1 Samuel 16:1: “Berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: “Berapa lama lagi engkau berdukacita karena Saul? Bukankah ia telah Kutolak sebagai raja atas Israel?” Karena itu, karena itu sifat jahat (ibr.רָעָ֖ה - rā’āh) pada roh itu menjadi simbolisasi dari penolakan atas Saul sebagai raja oleh TUHAN. Itulah sebabnya, hamba-hamba Saul menganjurkan agar ia menjalani therapy musik, dengan mencari seorang yang pandai memainkan kecapi (Hildebrandt, 2016:186-188). Ditemukanlah orang itu adalah anak Isai yang bernama Daud. Mengenai Daud, disebutkan di sini, “ia adalah seorang anak laki-laki Isai, orang Betlehem itu, yang pandai main kecapi. Ia seorang pahlawan yang gagah perkasa (ibr. וְגִבּ֨וֹר חַ֜יִל - wagibbbōwr)), seorang prajurit (ibr.וְאִ֧ישׁ מִלְחָמָ֛ה - wa’is wilhāmāh), yang pandai bicara (ibr.וּנְב֥וֹן דָּבָ֖ר - ūnabown dābār), elok perawakannya (ibr. תֹּ֑אַר - tō’ar), dan TUHAN menyertai dia (ibr.וַיהוָ֖ה עִמּֽוֹ׃)” (1 - wayahweh ‘immōw) (1 Sam.16:18).
Kapasitas diri Daud seperti tampak pada 1 Sam.16:18 tadi adalah perbandingan langsung mengenai seseorang raja tua, Saul, yang telah ditolak TUHAN (1 Sam.16:1) dan seorang raja muda, Daud, yang diurapi TUHAN (1 Sam.16:12-13). Karena itu, “roh jahat dari TUHAN” dalam teks ini tidak berarti bahwa pada TUHAN ada roh yang baik dan roh yang jahat. Roh yang pada TUHAN itu adalah roh kehidupan. Roh jahat yang bermakna penolakan itu juga bisa dilihat dalam Bilangan 18:10 - ketika disebut di sana mengenai “roh cemburu” pada seorang suami terhadap istrinya yang berzinah - sekaligus sebagai simbolisasi dari penolakan TUHAN terhadap Israel yang tidak setia.
Kapasitas Daud itu menerangkan bahwa jika pada seseorang ada roh kehidupan yang dari TUHAN, ia akan tetap dalam kesadarannya yang sempurna, dan bukan seumpama orang yang kerasukan dan tidak menguasai dirinya sendiri. Kisah Yesus dalam rumah ibadat seperti diceritakan dalam Markus 1:21-28 menjadi contoh tentang seseorang yang dirasuki roh jahat (Yun. πνεύματι ἀκαθάρτῳ - pneumati akathartō). Kata pneumati akathartō itu sendiri adalah kata benda Dativ Neuter Singular (pneumati) dan kata sifat Dativ Neuter Singular (akathartō). kasus Dativ itu sendiri bermakna bahwa, orang yang kerasukan itu dihinggapi oleh suatu roh dari luar dirinya. Asal muasal roh itu sendiri tidak diketahui karena roh itu adalah suatu obyek yang tidak kelihatan atau obyek tidak langsung, dan bekerja tanpa tujuan yang jelas. Dampaknya kelihatan pada keadaan diri orang-orang yang kerasukan. Mereka suka menjerit-jerit, berbicara tidak karuan, berteriak-teriak karena kesurupan, tubuhnya tergoncang sampai bergulingan di tanah. Tidak seperti itu roh dari TUHAN. Dalam teks PB bisa dibandingkan dengan kisah Pentakosta (KPR 2:1-4, 14).
Jadi roh jahat memiliki hubungan langsung dengan setan, suatu antithesis dari Roh Kudus atau Roh Allah. Sifat dan wujudnya bertolak belakang dengan sifat dan wujud Roh Allah, seperti juga setan yang berbeda dalam segala aspeknya dari pada TUHAN. Secara harfiah bisa dipahami bahwa roh jahat itu membuahkan tindakan seperti korupsi, kedengkian, keboborokan, dendam, sebaliknya roh TUHAN itu membimbing orang hidup dalam kekudusan Allah, kebaikan, kebenaran, terang dan kasih/cinta.
B. ROH DALAM KITAB YESAYA
“Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai, dan taruk yang akan tumbuh dari pangkalnya akan berbuah. Roh TUHAN akan ada padanya, roh hikmat dan keperkasaan, roh pengenalan dan takut akan TUHAN, ya kesenangannya ialah takut akan TUHAN. Ia tidak akan menghakimi dengan sekilas pandang saja atau menjatuhkan keputusan menurut kata orang. Tetapi ia akan menghakimi orang-orang lemah dengan keadilan, dan akan menjatuhkan keputusan terhadap orang-orang yang tertindas di negeri dengan kejujuran; ia akan menghajar bumi dengan perkataannya seperti dengan tongkat, dan dengan nafas mulutnya ia akan membunuh orang fasik. Ia tidak akan menyimpang dari kebenaran dan kesetiaan, seperti ikat pinggang tetap terikat pada pinggang.” (TB - LAI, Yes.11:1-5).
Defenisi tentang roh TUHAN dalam masa sebelum pembuangan lebih diarahkan pada hikmat yang menguasai dan menuntun raja. Esensinya adalah kepemimpinan TUHAN sebagai suatu gambaran ideal dari hidup yang baik. Maka takut TUHAN menjadi kunci dari kuasa roh TUHAN yang bekerja secara permanen dalam diri seseorang raja. Roh TUHAN dalam teks ini berhubungan dengan pilihan TUHAN terhadap seorang pemimpin yang kharismatik (Wonsuk Ma, 1999:37). Karena itu, Roh TUHAN di sini berwujud pada hikmat sebagai kapasitas diri yang melekat langsung pada orang pilihan itu. Malah di sini sebenarnya ada harapan tentang seorang raja masa depan, yaitu raja yang akan bertindak adil kepada semua orang terutama mereka yang tertindas. Di sini tampak jelas semangat keadilan sosial pada nabi-nabi abad VIII BCE. Wonsuk Ma (1999) menerangkan lebih lanjut bahwa, hikmat keadilan pada raja dalam teks itu adalah karunia yang bersifat permanen sebagai buah dari kerja Roh TUHAN, berbeda dari hal-hal yang sifatnya temporal dan tidak bisa dikategorikan sebagai karunia. Raja yang diidealkan dalam teks ini sesungguhnya menunjuk pada Daud, sebagai raja yang pernah mempersatukan Israel Raya. Sehingga Roh TUHAN yang dimaksudkan di dalam teks Yesaya 11:2 dengan seluruh sifatnya itu merujuk pada 1 Samuel 16:13 tentang pengurapan Daud oleh Samuel. Dengan demikian, sebenarnya Daud diberi karunia untuk menjadi raja yang baik dan bijaksana, karena ia takut TUHAN (ibr.יָרֵא אֱלהִים ~ yare’ elohim), karena TUHAN-lah yang memerintah atas seluruh Israel [dan dunia ini]. Setiap raja atau pemimpin yang bijaksana adalah orang yang mendapat karunia dari roh TUHAN sebagai karunia yang permanen, sehingga raja itu melakukan segala sesuatu yang sesuai dengan kehendak TUHAN. Esensi roh dalam Yesaya 28:5-6, yaitu seorang raja yang dikuasai roh TUHAN, memerintah dan melindungi rakyat serta bangsanya.
Bagi Yesaya, keadilan sosial, yang harus diwujudkan melalui kepemimpinan seorang raja adalah tanda dari hikmat. Tanpa itu, ia akan memerintah seperti seorang yang tidak takut TUHAN, dan akan membawa petaka kepada umat dan bangsa itu. Dalam konteks Yesaya, gagasan tentang pembebasan atau keselamatan digaungkan sejak Proto-Yesaya, oleh karena ada tekanan politik dari luar serta ketegangan secara internal (bd. Yes.22:1-4; 29:1-4) - (lht. Gottwald, 1985:380), dan umat diharapkan untuk percaya hanya kepada serta mengandalkan TUHAN.
Pada masa pembuangan, roh TUHAN dipahami sebagai kuasa TUHAN yang bekerja menata segala ketertiban hidup dalam masyarakat. Ada harapan eskhatologik atau parousia di sini, yakni terwujudnya suatu masa di mana manusia hidup aman, damai, tenteram di dalam bangsa yang tertib atas kepemimpinan TUHAN. Yesaya 40:12-14, merupakan penegasan awal mengenai esensi kuasa roh TUHAN itu:
“Siapa yang menakar air laut dengan lekuk tangannya dan mengukur langit dengan jengkal, menyukat debu tanah dengan takaran, menimbang gunung-gunung dengan dacing, atau bukit-bukit dengan neraca? Siapa yang dapat mengatur Roh TUHAN atau memberi petunjuk kepada-Nya sebagai penasihat? Kepada siapa TUHAN meminta nasehat untuk mendapat pengertian, dan siapa yang mengajar TUHAN untuk menjalankan keadilan, atau siapa mengajar Dia pengetahuan dan memberi Dia petunjuk supaya Ia bertindak dengan pengertian?”
Ayat ini adalah gambaran spiritualitas Israel. Iman mereka lemah, tetapi penolakan terhadap TUHAN sangat besar. Namun begitu harapan akan datangnya mesias sangat menggebu-gebu. Kalimat-kalimat pertanyaan dalam 40:12-14 sekaligus menerangkan tentang kemahakuasaan TUHAN sebagai TUHAN yang adil. Hal menakar air laut, mengukur langit, menyukat debu, menimbang gunung atau bukit tidak semata-mata mengarah pada kuasa penciptaan, tetapi lebih pada keadilan Allah. Bahwa Ia sudah membuat semuanya adil (seimbang) dan menempatkan semuanya pada tempatnya masing-masing, dan Ia mengendalikan semuanya sesuai tata tertib ciptaan itu (order of creation). Tata tertib ciptaan adalah suatu gambaran keteraturan dan roh TUHAN yang membentuk keteraturan itu. Itu dilakukan TUHAN sesuai dengan insight atau imajinasi-Nya. Jadi tidak ada satu pun kuasa yang mengatur cara kerja TUHAN.
Yesaya 40:18-20, menjadi dasar untuk memahami kuasa dan cara-cara kerja TUHAN sebagai sesuatu yang tidak bisa diintervensi oleh siapa pun.
“Jadi dengan siapa hendak kamu samakan Allah, dan apa yang dapat kamu anggap serupa dengan Dia? Patungkah? Tukang besi menuangnya, dan pandai emas melapisinya dengan emas, membuat rantai-rantai perak untuknya. Orang yang mendirikan arca, memilih kayu yang tidak lekas busuk, mencari tukang yang ahli untuk menegakkan patung yang tidak lekas goyah”.
Pada ayat-ayat ini, Deutero Yesaya secara tegas menerangkan pada Pencipta dengan ciptaan dan ciptaan dengan hasil kerja/kreasi. Patung adalah perbandingan langsung dengan TUHAN. Tradisi Musa atau tradisi keluaran merupakan satu tradisi tua yang berpengaruh dalam Deutero Yesaya. Sebab itu ayat ini memiliki hubungan dengan Keluaran 20:4 “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi”.
Penting dipahami kata “membuat” (ibr. עָשָׂה - asah) dalam Keluaran 20:4 dengan kata “membentuk” (ibr. יָצַר - yatsar) dalam Kejadian 2:7. Kata asah atau “membuat” menerangkan pada tindakan seseorang membuat suatu obyek sebagai jenis pekerjaannya. Ia membuat dari bahan yang memang sudah dikhususkan untuk itu, dan mengerjakannya sesuai keterampilannya/keahliannya. Hasil kerja itu tidak sekali jadi dan tidak langsung sempurna. Sampai obyek itu menjadi suatu hasil karya yang baik, butuh proses yang panjang dan memperbaiki kesalahan atau kekurangan berulang-ulang, baru orang itu disebut ahli. Sedangkan kata yatsar atau “membentuk” menerangkan pada suatu usaha menjadikan suatu obyek sesuai dengan mode yang sudah ada, sehingga yang dibentuk itu menjadi seperti gambaran ideal dari mode itu. Ini yang dimaksudkan bahwa manusia itu serupa dan segambar dengan Allah (imago Dei). Karena itu manusia adalah ciptaan Allah yang sudah sempurna, melebihi apa pun yang dibuat oleh manusia itu sendiri.
Jadi Yesaya 40:18-20 itu malah hendak menegaskan bahwa manusia itu jauh lebih sempurna dibandingkan dari hasil karyanya sendiri. Siapa pun yang ahli dalam bidangnya, apa yang dbuatnya itu tidak lebih sempurna dari dirinya sendiri. Untuk itu mengapa kita harus membandingkan TUHAN dengan sesuatu yang kita buat sendiri. Itulah yang menjadi dasar teologis Deutero Yesaya tentang TUHAN atau Allah yang melebihi apa pun buatan manusia (bd. Yes. 40:25 “Dengan siapa hendak kamu samakan Aku, seakan-akan Aku seperti dia? firman Yang Mahakudus.”)
Roh TUHAN dalam Deutero Yesaya adalah roh yang bekerja dengan cara yang ajaib sebagai bukti bahwa kuasa roh itu tidak terbatas dan tidak bisa dibandingkan dengan keterampilan manusia. Jadi pesannya jelas bahwa tidak ada yang bisa mengukur, menimbang, menampung kuasa roh TUHAN, sebaliknya Ia sendiri yang melakukan semuanya menurut kuasa-Nya (bd. Yes.34:16-17).
Di situlah keadilan Allah kepada semua ciptaan-Nya menjadi kriterium teologis untuk membangun gerakan pemulihan spiritual Israel, bahwa TUHAN adalah TUHAN sejak semulanya sampai selamanya (bd. Yes.43:10-13, 15; 44:6-8). Ia memerintah dengan adil sejak semulanya dan sampai selamanya, sebab seperti Ia pernah membawa Israel keluar dari Mesir (Yes. 43:17), maka kini Ia akan melakukan hal yang sama (Yes. 43:19) yakni membawa Israel dari Babel kembali ke Yerusalem dengan jalan menghapus dosa mereka (Yes.43:25-28). Restorasi spiritual itu terjadi karena roh TUHAN dalam Deutero Yesaya ini dipahami pula sebagai roh yang menanamkan pengertian atau hikmat sehingga umat kembali hidup dalam takut TUHAN. Pada sisi itu, roh TUHAN dalam Deutero Yesaya bekerja membarui ciptaan-Nya sendiri (re-creation), sehingga mereka kedapatan hidup taat, takut TUHAN, tidak menggantungkan hidup pada kuasa lain di luar kuasa TUHAN.
Bila pemulangan ke Yerusalem dipahami sebagai bentuk dari kerja roh TUHAN di dalam diri raja Koresh, sebagai “hamba TUHAN”, maka patut dipahami tentang dimensi universalitas dari kerja roh TUHAN itu. Roh TUHAN bekerja pada diri hamba-Nya, termasuk Koresh, karena dia dan bangsanya (Persia) adalah ciptaan TUHAN (Yes. 42:1). Mengenai Koresh, ditegaskan bahwa “Aku telah menaruh Roh-Ku ke atasnya”. Kata “menaruh” (ibr. נָתַן - nathan) cenderung bermakna sebagai sesuatu karunia yang diberi (ascribed). Selanjutnya dalam Yesaya 45:1 (bd. 45:13) ditegaskan bahwa dia adalah orang yang sudah diurapi oleh Allah. Jadi bila disebut TUHAN yang menaruhnya, berarti TUHAN yang memberinya sebagai milik yang melekat langsung pada orang tersebut. Karunia itu tidak bisa dibantah, tidak mungkin gagal. Kepada siapa roh itu ditaruh maka ia akan bertindak sesuai perintah roh TUHAN, dan perilakunya benar-benar di bawah pengaruh roh TUHAN itu. Bagian ini penting untuk memahami bahwa roh TUHAN itu melekat pada manusia yang hidup, bukan pada suatu obyek lain di luar manusia. Bahkan jika pun seseorang bisa menaruh rohnya pada apa yang dibuatnya, roh itu tidak bisa mengendalikan manusia.
Pada Trito Yesaya, Israel disadarkan bahwa dosa adalah perbuatan yang merusak relasi mereka dengan TUHAN, sehingga mereka juga sudah bertindak sewenang-wenang kepada sesamanya (Yes.59:13). Karena itu TUHAN datang sebagai hakim yang mengadili Israel sesuai dengan keadilan-Nya. Yesaya 60:15-22 merupakan suatu nubuat tentang kedatangan TUHAN untuk mendirikan kembali tatanan keadilan di tengah hidup Israel. Peran roh TUHAN di sini terlukis dalam 61:1-3:
“Roh Tuhan ALLAH ada padaku, oleh karena TUHAN telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara, untuk memberitakan tahun rahmat TUHAN dan hari pembalasan Allah kita, untuk menghibur semua orang berkabung, untuk mengaruniakan kepada mereka perhiasan kepala ganti abu, minyak untuk pesta ganti kain kabung, nyanyian puji-pujian ganti semangat yang pudar, supaya orang menyebutkan mereka “pohon terbantin kebenaran”, “tanaman TUHAN” untuk memperlihatkan keagungan-Nya”.
Penegasan tentang roh TUHAN di sini adalah apa yang ada pada diri Yesaya sebagai nabi. Pengurapannya itu mengingatkan kita pada Yesaya 6:6. Dalam 61:1 ini ditegaskan bahwa roh TUHAN itu ada padanya (ibr. עָלָ֑י - ā·lāy). Kata ā·lāy menerangkan roh itu telah turun dari atas, yaitu dari TUHAN dan diberikan atau ditaruh ke dalam diri Yesaya. Memang sedikit berbeda dengan apa yang terjadi pada Koresh atau juga kepada Yesus dalam cerita Perjanjian Baru (Mat.3:16, dan yang paralel dalam Luk.3:21-22; Mrk.1:9-11; Yoh.1:32-34) atau kepada 12 murid Yesus (KPR 2:3). Kepada Yesaya, roh itu menyentuh bibirnya dengan media bara yang disepit dari atas mezbah. Intinya sama, yaitu roh itu berasal dari atas, dari TUHAN, dan diberikan atau ditaruh ke dalam diri seorang yang disebut “hamba TUHAN”. Tujuan dari semua itu ialah untuk membangun tatanan keadilan yang baru sebagai bukti bahwa TUHAN sendirilah yang bekerja untuk semuanya itu. Di sini Yesaya menegaskan tentang pemerintahan Allah yang adil di atas bumi dan segala yang dijadikannya. Gambaran dalam Yesaya 60:20: “Bagimu akan ada matahari yang tidak pernah terbenam dan bulan yang tidak surut, sebab TUHAN akan menjadi penerang abadi bagimu, dan hari-hari perkabunganmu akan berakhir” - menerangkan mengenai pemerintahan Allah di atas semuanya, dan berakhirnya masa kesusahan/perbudakan. Itulah keadilan yang adil.
C. KEBODOHAN PEMUJAAN PATUNG - YESAYA 44:9-20
Semoga penjelasan-penjelasan yang sudah diuraikan, terutama tentang esensi roh TUHAN dalam Kitab Yesaya dan hakekat patung sebagai hasil kerja atau karya manusia, sudah dapat dipahami, karena itulah yang mendasari pengajaran Yesaya dalam 44:9-20. Saya hendak mengulangi lagi bahwa dalam perspektif Yesaya, manusia itu jauh lebih penting dan sempurna di atas apa pun hasil karya atau kreasi tangannya.
Jatuhnya spiritualitas bangsa Israel dikarenakan: (a) mereka sudah tercerabut dari akar-akar Yahwisme yaitu kota Yerusalem atau Sion; (b) mereka kini berada di Babel atau di luar Yerusalem; (c) Bait Allah sebagai tempat kudus atau rumah kediaman TUHAN, sudah dihancurkan; (d) tabut perjanjian sebagai simbol kehadiran TUHAN dalam seluruh sejarah umat tidak ada lagi bersama dengan mereka di pembuangan. Dalam konteks itu, sebagian besar dari umat telah terpengaruh ritus agama bangsa lain dan menjauhi ritus-ritus Yahwisme.
Harusnya 44:9-13 ini dipandang sebagai pidato Yesaya untuk mempermalukan orang-orang Israel, yang karena kebodohannya, mengabaikan TUHAN, sebagai Allah yang telah memilih mereka sejak semula (bd. Yes.43:10-13). Ini adalah kritik atas jatuhnya spiritualitas umat di dalam masa pembuangan bahwa mereka mengikuti ritus keagamaan bangsa-bangsa lain seperti Babel, Asyur dan Persia. Bangsa-bangsa itu memvisualkan TUHAN dalam hasil karya berupa patung kayu atau arca dari besi, dan menyimpannya di dalam kuil-kuil penyembahan mereka.
Bukan hanya Yesaya yang mengkritik fenomena itu, Yeremia juga melakukan hal yang sama. Kritikan tajam Yeremia itu terbaca dalam Yeremia 10:1-16. Bahkan Yeremia menjelaskan tentang hakekat berhala itu sebagai buatan manusia dan kuasanya disamakan dengan orang-orangan di kebun mentimun yang tidak bisa berbicara (Yer.10:5). Suatu perbandingan yang menerangkan tentang perbedaan secara hakiki antara berhala dengan TUHAN, tetapi juga kesia-siaan rasa takut kepada berhala dibandingkan takut TUHAN. Berhala itu tidak bisa berbuat apa-apa, sebab tidak ada roh di dalamnya. Itulah sebabnya menurut Yeremia, berhala itu tidak bisa berbuat jahat atau pun berbuat baik (Yer. 10:5c, 8).
Jika diperiksa dalam Yesaya 44:9-20 pun tidak ada di sana suatu penegasan bahwa ada roh di dalam patung atau berhala, entahkah itu roh baik atau jahat (clean and unclean spirit). Malah Yesaya merendahkan patung itu dengan menyebutnya sebagai hasil karya para tukang dari bahan buangan. Jika pun disediakan bahan yang khusus, entah besi atau kayu, bahan itu pun bisa digunakan untuk keperluan lain, seperti membakar daging atau roti (Yes.44:19). Jadi penegasan Yesaya adalah tentang kesia-siaan jika manusia menyembah patung buatan tangannya sendiri.
“Penyembah-penyembah patung itu tidaklah melihat dan tidaklah mengetahui apa-apa; oleh karena itu mereka akan mendapat malu. Siapakah yang membentuk Allah dan menuang patung yang tidak memberi faedah?” (Yes.44:9b-10). Menariknya di sini ialah Yesaya menggunakan kata Ibrani יָצַר - yatsar, “membentuk”, sama dengan kata yang dipakai dalam Kejadian 2:7, ketika TUHAN membentuk manusia. Penggunaan kata ini dalam teks Yesaya lagi-lagi untuk menunjukkan tentang kesia-siaan, bahwa sekalipun mereka “membentuk” patung, tetapi mereka tidak bisa menaruh roh (ibr. נָתַן - nathan) ke atas atau ke dalamnya, dan sekalipun kita bisa menaruh roh ke atasnya, patung itu tidak bisa berbuat apa-apa (bd. Yer.10:5).
Yesaya menutup pidato ini dengan suatu ungkapan sarkastik kepada para pemuja patung, yakni: “Orang yang sibuk dengan abu belaka, disesatkan oleh hatinya yang tertipu; ia tidak dapat menyelamatkan jiwanya atau mengatakan: “Bukankah dusta yang menjadi peganganku?” (Yes. 44:20). Ini sekaligus bimbingan kepada pengharapan eskhatologis dalam Deutero Yesaya yaitu bahwa “tidak pernah Aku berkata dengan sembunyi atau di tempat bumi yang gelap. Tidak pernah Aku menyuruh keturunan Yakub untuk mencari Aku dengan sia-sia. Aku, TUHAN, selalu berkata benar, selalu memberitakan apa yang lurus” (Yes.45:19).
Bagaimana dengan simbol liturgi, secara material, yang dibuat oleh gereja dan dijadikan sebagai simbol utama dalam peribadahan gereja? Itu hanyalah simbol yang dalam agama apa pun turut dibuat untuk membantu mengikatkan umat ke dalam satu ikatan (=persekutuan). Ketika melihat salib, orang Kristen (Katolik dan Protestan) terhisab ke dalam tubuh Kristus yang mati demi menyelamatkan manusia dari dosa. Tubuh Kristus itu pun disimbolkan dalam roti/hosti dan anggur, sebagai maedah perjamuan/eukaristi, yang dilayankan untuk menghisabkan semua orang kristen dalam persekutuan dengan TUHAN dan dengan sesama. Jika dalam katedral ada banyak patung, termasuk patung Bunda Maria, itu mampu menghisabkan orang Katolik ke dalam imannya kepada TUHAN dan penghormatannya kepada Bunda Suci Maria, sebagai perempuan berhati kudus, berhati putih. Orang Israel, membuat tabut perjanjian bukan untuk disembah. Melainkan melaluinya mereka percaya pada kehadiran TUHAN (God presentia) di antara mereka. Agama-agama lain pun membuat simbol tertentu dan beribadah juga di situ. Tentu karena itu diyakini memiliki kekuatan untuk menyatukan. Dalam sosiologi, sudah sejak lama, Durkehim, menyebut itu semua sebagai fenomena agama asli yakni totem-totem yang dapat menyatukan suatu suku bahkan bangsa.
Simbol itu menjadi media yang turut membangun perilaku agama. Dalam kemanfaatannya, simbol itu digunakan dalam aktivitas peribadahan, bukan sebagai obyek penyembahan, apalagi dalam kekristenan, sebab orang kristen menyembah TUHAN sebagai subyek yang berpribadi di dalam Yesus. Orang kristen bahkan percaya bahwa roh TUHAN itu telah turun ke atas mereka, dan hidup di dalam diri atau tubuh mereka. Bahkan ada praktek pengusiran roh jahat dalam diri seseorang, termasuk orang kristen. Pengusiran itu pun dilakukan dengan menggunakan kuasa TUHAN yang ada pada diri orang kristen itu.
Ambon, 13 - 24 Desember 2022
REFERENSI PENUNJANG
Berges, Ulrich F., 1998, The Book of Isaiah: Its Composition and Final Form, translated by. Millard C. Lind, Freiburg: Herder (1998), Sheffield Phoenix Press, 2012
Gottwald, Norman K., 1985, The Hebrew Bible-A Socio-Literary Introduction, Philadelphia: Fortress Press
Hildebrandt, Samuel, 2016, The Servants of Saul: “Minor” Character and Royal Commentary in 1 Samuel 9-31, Journal for Study of the Old Testament, Vol. 40:2 (2015)
Ma, Wonsuk, 1999, Until the Spirit Come: The Spirit of God in the Book of Isaiah, England: Sheffield Academic Press LTD
Wenley, Robert Mark, 2022, Socrates and Christ: A Study in the Philosophy of Religion, First published in 1889 by William Blackwood and Sons, London, The present layout and index first published by Cambridge Scholars Press
Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1995, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z, Jakarta: Cempaka Putih
Young, Edward J., 1964, An Introduction to the Old Testament, Grand Rapid Michigan: William B. Eerdmans Publishing Co.