Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
PENGANTAR
Desa Patti merupakan salah satu dari tiga desa tertua di Pulau Moa, selain Moain dan Klis. Informasi itu saya peroleh dari Bapak Wirtha, seorang tua di Patti (20/11-2020) dalam kunjungan bersama Pendeta M. Timisela (Ketua Klasis Pp. Letti Moa Lakor), Pdt. Richard Maail (Ketua MJ GPM Tiakur), Pdt. Ino Salakay (Ketua MJ GPM Poliu) dan Pdt. Herman Saptenno (Ketua MJ GPM Lolotuara), ke Patti untuk mengunjungi jemaat di sana dan rekan Pendeta Viane Selanno (Ketua MJ GPM Patti) yang hari itu sedang melakukan Kunjungan Pastoralia akhir tahun bersama semua anggota Majelis Jemaat Patti.
Banyak orang ke Patti itu karena ada bangunan Benteng (Namanya sudah tidak diketahui secara umum oleh masyarakat di sana) dan sebuah gereja tua yang dibangun sejak tahun 5 Juni 1741, dan terdapat logo VOC di tulisan tembok bagian atas pintu masuk Gedung gereja itu. Peminat sejarah dan antropolog serta arkeolog, jika ke sana, sudah pasti akan berlama-lama melihat Gedung tersebut, ketebalan dindingnya, arsitekturnya, dan tentu juga kuburan para penginjil yang ada di hamparan halaman gereja itu. Dari komposisi kedudukan benteng dan pintu masuk gereja, mudah ditebak bahwa jalur masuk Patti dari pantai adalah pesisir pantai di Benteng tersebut. Karena itu, pintu bangunan gereja menghadap ke bentang. Ini sekaligus membuktikan bahwa benteng dan gereja adalah dua simbol yang berkait erat dalam sejarah koloni dan sejarah kekristenan. Di sisi lain, keberadaan gereja pun menjelaskan bahwa urusan kerohanian menjadi hal penting bagi pemerintah VOC khususnya kepada tentara yang ada di benteng. Tetapi pada saat yang sama, keberadaan gereja dan benteng di Patti juga bisa menjadi titik awal penelitian sejarah kekristenan di Pulau Moa atau MBD secara umumnya, sebab minat pekabaran injil kepada penduduk setempat berasal dari para penginjil utusan badan zending dan guru-guru Jemaat yang ditugaskan ke kawasan tersebut.
Saya masih membutuhkan banyak waktu dan membaca lebih banyak catatan etnografi tentang MBD. Tetapi saya pun harus merekam dalam jejak dokumen narasi kebudayaan dan sejarah masyarakat, sesuai informasi ~sebagai data terbatas, tentang kecurigaan-kecurigaan akademik/ilmiah mengenai baik sejarah, kultur, tetapi juga konsep kepercayaan yang bersumber dari sejarah dan budaya masyarakat setempat. Dengan tidak menafikkan metode ilmiah, saya pun harus menyebut bahwa tulisan ini merupakan cara mendorong riset yang lebih mendalam ke sumber-sumber informasi ini.
POHON ARA PUSAT DESA PATTI
Batu dan pohon merupakan dua unsur penting dalam kosmologi masyarakat adat di Maluku. Pada masyarakat adat, batu menjadi unsur penting dan sakral. Batu di pusat desa/negeri, seperti halnya batu pamali sekaligus menjadi tanda bahwa di situlah akhir dari sejarah migrasi leluhur atau masa akhir corak nomanden, dan masa awal bermukim menetap di dalam satu kawasan yang disebut negeri/desa. Karena itu batu-batu sakral itu menjadi pusat pelaksanaan ritus baik secara komunal maupun per-masing-masing soa, klen atau suku (misalnya batu teung di Maluku Tengah).
Negeri-negeri tua di Maluku Barat Daya menyimpan unsur-unsur itu sebagai unsur yang sakral, dan menariknya di semua lokasi pusat desa, di mana terletak batu berukuran besar, ada pula pohon ara, sebagai simbol kehidupan dan penyatuan semua masyarakat. Di desa Patti, Pulau Moa, malah ditemukan 3 (tiga) buah batu dan pohon ara, sebagai tanda adanya pusat-pusat kehidupan tua dan 3 (tiga) desa yang kini telah menjadi satu. Lokasi ketiga pohon ara dan batu itu adalah di Rokseli, Patti dan Girwelsa (Informan. Tete Mias Wirtha).
Pohon Ara di Nuwewang (Foto: Cost Aswaly)
Karena di situ sering dilakukan upacara atau ritus adat ~sebagai warisan agama asli, maka tentu batu-batu itu merupakan mesbah/menhir, sebagai peninggalan masa megalitikum yang masih ada secara fisik, selain lutur, di MBD. Pohon ara ini adalah salah satu tanaman endemic MBD yang tentu sudah hidup ribuan tahun. Tete Mias malah menyebut pohon ara di Patti telah berusia kurang lebih 500-an tahun. Angka itu menerangkan pula bahwa sudah lebih dari 500-an tahun orang Patti ada, dan mengalami perubahan corak bermukim dari nomaden ke teritorial. Sepanjang tahun-tahun itu juga orang-orang di Patti berkembang dan bersentuhan dengan banyak peradaban, termasuk peradaban Eropa. Buktinya adalah Patti sebagai salah satu Kota penting bagi Belanda atau Pemerintah VOC yang saya yakin dalam usaha konsolidasi kekuatan militer Belanda ke kawasan Pasifik.
Kepala Desa Nuwewang di depan panaur (mesbah) yang ada di bawah Pohon Ara saat pelantikannya (Foto: Cost Aswaly |
Mengapa pohon ara? Saya hanya membaca dalam Alkitab tentang Amos sebagai petani kebun ara yang setiap waktu memungut buah ara (ibr. shiqmah, eng. fig, sycamore) untuk dimakan atau selebihnya dijual. Mungkin ia juga bekerja pada majikannya sebagai petani pemilik kebun ara. Karena itu dia menyaksikan praktek-praktek ketidakadilan di pasar berkenan dengan manipulasi harga barang (baca. Amos 7:14). Saya juga membaca dalam Perjanjian Baru, kisah Zakheus yang karena fisiknya yang pendek, harus memanjat sebatang pohon ara (yun. sukomorea) untuk melihat Yesus (baca. Lukas 19:1-8). Dari dua cerita itu, saya menyimpulkan secara terbatas bahwa pohon ara itu berbuah dan pohonnya besar. Pohon ara di Timur Tengah mungkin seperti itu, sebab saya belum pernah melihatnya secara langsung. Tetapi dengan melihat pohon ara di MBD, pada beberapa desa yang pernah saya kunjungi dalam tugas selaku Pendeta GPM, setidaknya situasi sosial dalam dua cerita Alkitab itu sudah bisa saya peroleh dari gambaran pohon ara di MBD ini. Apakah pohon ara MBD ini endemik dan berbeda dari di Timur Tengah? Bisa saja kedua spesies ini masih satu family. Namun kembali ke makna filosofinya bagi orang MBD, saya menyimpulkan dari cerita beberapa pemuka masyarakat Patti, antara lain:
Pertama, mudah tumbuh dengan menyebar benih dari bijinya. Pada tanah-tanah keras dan kering di MBD, tumbuh dan bertahan hidup ratusan tahun. Kemampuan pohon ini beradaptasi dengan tanah dan lingkungan setempat adalah lukisan kemampuan masyarakat memelihara kehidupannya dari masa ke masa sampai saat ini. Artinya, secara sosiologis, pohon ara menjadi gambaran paradigma kehidupan orang MBD bahwa di mana mereka ada atau tanah yang mereka tempati dapat menjamin kehidupan. Efek etiknya ialah mereka terkenal ulet atau tekun mengolah lahan pada tanah-tanah kebun yang berbatu, dan berdinamika di dalam iklim yang tidak menentu dan terus berubah dari waktu ke waktu.
Ketiga, setiap tahun berbuah bisa dua kali. Mungkin itu suatu yang normal dalam siklus produksi pohon ara. Namun bagi masyarakat hal itu menjadi tanda bahwa di tanah ketika tanaman tumbuh, pasti menghasilkan buah atau benih untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan tidak putus di setiap waktu atau musim.
Keempat, semakin besar, cabang dan rantingnya semakin banyak, dan akarnya tumbuh di batang pohon dan menjuntai masuk lagi ke dalam tanah. Di Patti, akar yang menjuntai dan masuk ke dalam tanah malah dilindungi, artinya dipagari sampai benar-benar terbenam lagi ke dalam tanah. Jadi akar-akar itu mendapati kekuatan untuk hidup terlebih dahulu dari pohon induknya dan ketika masuk ke dalam tanah, maka akar-akar itu menjadi media mentransfer segala zat dari dalam tanah untuk kembang pohon induk itu pula. Jika ini dijadikan akar kosmo-teologi, maka saya bisa memberi makna sebagai berikut:
§ Wawasan kehidupan (concept of life) orang MBD secara umum adalah perjuangan. Kerja itu berarti berjuang, dan yang diperjuangkan dalam kerja adalah kehidupan. Walau mereka hidup di tanah-tanah kering, bekerja merupakan usaha melibatkan diri ke dalam proses kehidupan, atau dalam proses penciptaan Tuhan atas alam dan manusia. Bekerja menjadi bentuk ekspresi religius masyarakat, sehingga tidak bisa ditolak, melainkan dilakukan dengan sepenuh hati. Secara etik bekerja adalah cara menyatukan diri ke dalam alam, bukan tanda menyerah atau kalah.
§ Pola relasi sosial orang MBD adalah mengutuhkan atau membangun temali kehidupan yang kokoh. Cabang dan ranting yang semakin banyak selain memberi kerindangan, juga memberi pesan bahwa ikatan kehidupan masyarakat itu kuat dan tidak mudah putus. Ranting-ranting yang kering bukan pertanda tidak berguna, melainkan berhentinya kehidupan seseorang dari pokok yang utama itu. Masa hidupnya sampai di situ, maka ketika ia jatuh, patah, tetap terhitung sebagai satuan dari pokok pohon ara itu. Maka cabang dan ranting yang masih hidup, tetap berproduksi dan memberi kerindangan kepada makhluk lain dan tempat di mana semua masyarakat mendapatkan keteduhan di bawahnya. Jadi relasi sosial di MBD itu dibina dalam ikatan komunalitas dengan merujuk langsung ke pusat atau ke pokok pancaran keturunan mereka.
§ Kepemimpinan. Semakin pokok itu menjadi besar dan memberi kerindangan, tetapi juga harus kuat menopang berdirinya negeri. Itulah pohon ara di pusat negeri itu ditanam untuk melindungi batu pusat negeri/desa sebagai simbol sakral masyarakat setempat. Seorang pemimpin harus bisa melidungi harta tua negeri dan menjaga kesakralan negeri atau tanah sebab di situlah semua anak cucu dan segala jenis kekayaan alam lain hidup dan terus berkembang. Pemimpin yang lahir dari kandungan tanah MBD adalah sosok pelindung yang besar dan kuat. Ia besar karena harus menaungi semua orang, dan kuat karena harus mempertahankan kesakralan tanah dan lingkungannya. Dalam arti seperti itu pemimpin yang lahir dari kandungan kebudayaan mendapati kharisma spiritual dan kultural sekaligus. Hal ini tampak pada diri para tua adat di masing-masing desa di MBD.
§ Produksi-reproduksi tiada henti. Pohon ara berbuah dua kali dalam setahun, dan buahnya menjadi rebutan anak-anak dan berbagai jenis burung atau satwa lainnya. Produksi dan reproduksi menjadi dua hal penting dalam eksistensi kemahklukan. Sebab itu di MBD, tidak ada produksi tanpa reproduksi dan tujuan reproduksi adalah keberlanjutan kehidupan. Saya tidak melihat hal ini dalam arti keluarga-keluarga di MBD memiliki jumlah anggota yang banyak, tetapi dalam pengertian yang lebih fungsional bahwa apa yang kita hasilkan adalah cara kita mengelolah lingkungan di mana kita hidup, dan hasil kerja atau olahan tangan kita itu adalah untuk kehidupan generasi di masa depan.
§ Pewarisan nilai kehidupan. Ini saya simpulkan dari akar-akar ara yang menjuntai sampai masuk ke dalam tanah, karena akar-akar itu semula hidup dari induknya tetapi kemudian berfungsi memberi makan induknya agar induk itu terus hidup (everlasting life). Jadi ada semacam pengharapan ke masa depan, bahwa kita tidak hanya hidup untuk hari ini tetapi untuk menghidupkan. Bersamaan dengan pewarisan nilai kehidupan itu, sekaligus pewarisan keteladanan diri. Artinya seperti halnya induk itu hidup dari akar-akar yang berfungsi dan tidak kelihatan di permukaan tanah, maka akar-akar yang menjuntai dan masuk lagi ke dalam tanah adalah gambaran nyata dari keteladanan itu sendiri. Jadi ada aspek tanggungjawab yang harus diperankan secara nyata. Dengan demikian hidup kita menjadi berfaedah bagi kehidupan orang dan makhluk lainnya.
(Tiakur, Pastori Ketua Klasis GPM Pp. Letti Moa Lakor, 21 November 2020)