(Refleksi Terhadap Yeremia 14:1-9)
I
Bumi adalah ibu
Tanah adalah rahim dari mana kita berasal
ke situ pula kelak kita kembali
setiap hari ibu merintih
sebab sembari ia merenggang nafas melahirkan anak-anak
ia pun meratapi mereka yang jatuh, rebah, membujur setanah
sambil menahan malu diperkosa anaknya sendiri yang bebal
yang merusak perutnya
merobek-robek rahim yang melahirkannya:
“Ibu kita menangis”
II
Ibu kita berkabung
Pagarnya diterobos mesin yang mengaum melebihi singa muda
Segala rumput dan bunga di halaman dibabat dan dilahap api
Pintu rumahnya hancur berkeping
Kamarnya, tempat yang paling sakral, disusupi anaknya dan merampok harta di koper tua tempat ia menyimpan kain sarung bekas darah bayi-bayi yang dilahirkannya
Ujung kakinya berdarah digilas sepatu baja anaknya
Bajunya, jubahnya disingkapkan, dirobek
Ia ditelanjangi
Ibu kita duduk memeluk kaki telanjangnya yang ditekuk
Ibu kita sedih
Ibu kita meratapi dirinya
Ibu kita menangis
III
Ibu kita bersedih
Ia tak kuasa melakukan apa pun karena menahan malu
Bayi-bayi yang terus lahir menjerit minta setetes air
Ia tak kuasa mengambilnya sebab segala air kering
Segala telaga hilang
Embun pun tiada karena tiada dedaun di taman yang tak lagi hijau
Air di sumurnya kering
Jika pun ada telah berminyak dan mengandung gas beracun
Bayi-bayi yang baru lahir menangis kelaparan
Mereka harus disuapi
Tapi tiada lagi umbi dan buah
Rahimnya kering
Ibu kita sedih
Ia membiarkan dirinya lapar, asal berusaha menyuapi bayi-bayinya yang baru lahir dari air susunya yang hampir kering pada buah dadanya yang semakin layu
Ibu kita menangis
IV
Suatu hari:
ibu bercanda dengan segala ternak
menyanyi bersama segala burung dan unggas
menari bersama semua rumput dan pohon
datanglah singa, harimau, serigala, beruang, heina, buaya, ular berbisa, lebah, elang
dan sang singa berbisik kepadanya:
“Ibu, cukuplah candamu. Senyapkan suara merdumu. Hentikanlah tarianmu yang selalu memanggil bulan dan matahari untuk turut bersuka. Kini, lagumu tidak lagi dapat merayu langit mencumbuimu. Kita malu terhadap matahari yang setiap hari melihat segala yang palsu. Jika malam bulan dan gemintang berkumpul, tidak ada lagi pesta di bumi, sebab kami semua bersembunyi. Bukan karena takut. Kami malu, ibu”
Lagi sang ibu berkata:
“aku hanya mengajakmu bergirang, sebab aku tidak tahu siapa yang datang besok untuk merampas lagi makananmu; siapa yang akan mencemari sumur dan sungai; siapa yang akan merobek lagi sisa bajuku, dan jangan-jangan ada lagi yang memperkosa tubuh tuaku ini. Tapi aku tidak mau kalian kembali ke tempat dari mana kalian datang dan berasal. Dalam tangis dan dukaku, aku mau kalian tetap hidup”
V
Ibu kita sedih
Ia menangis:
“Ya Penguasa Jagad Raya, Engkau pernah menemukan aku dan menjadikan aku bagian milikmu.
Telah kau jadikan aku istri kesayanganmu
Kau penuhkan rahimku dengan anak-anakmu
Dan aku tak berhenti bersalin, melahirkan, menyusui dan memberi mereka makan
Tubuhku terus tua tetapi buah dadaku tetap sanggup menyusui anak yang lahir hingga hari ini
Apakah kau biarkan aku yang tua ini melahirkan tanpa kau pedulikan
Sanggupkah engkau melihat anakmu sendiri saling membinasakan
Sanggupkah engkau melihat mereka merebahkan aku, ibunya, dan merobek baju-bajuku
Tidakkah kau dengar tangis anak-anakmu yang susah
Air tiada
Umbi tak tumbuh
Udara beracun
Aku menghukum diriku dalam amarah dan sayang
Marah atas ulah mereka
Tetapi aku tak mampu menutupi sayangku
Kini, mereka sedang susah
Aku pun
Ya Penguasa Jagad Raya,
Kini aku terpapar wabah
Insan mulia yang kau beri padaku terpapar pandemik
cukuplah air mataku menangisi mereka yang kembali ke rahimku
lihatlah, Ya Penguasa Jagad Raya
pada butir-butir air mataku aku menulis nama mereka yang kulahirkan
telah aku tampung di ujung kainku
aku sedih
aku menangis
tetapi terimalah tangisku, sang ibu lemah ini, sebagai doaku:
“Ampunilah aku
Kasihanilah anak-anakku
Pulihkanlah mereka
Dan aku pun pulih”
Aku bersedih
Di sedihku itu aku berdoa
Aku ibu
Aku bumi
(eltom, 14 Juni 2020)