Friday, November 20, 2020

POHON ARA KEHIDUPAN

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

 

 

 

PENGANTAR

 




Desa Patti merupakan salah satu dari tiga desa tertua di Pulau Moa, selain Moain dan Klis. Informasi itu saya peroleh dari Bapak Wirtha, seorang tua di Patti (20/11-2020) dalam kunjungan bersama Pendeta M. Timisela (Ketua Klasis Pp. Letti Moa Lakor), Pdt. Richard Maail (Ketua MJ GPM Tiakur), Pdt. Ino Salakay (Ketua MJ GPM Poliu) dan Pdt. Herman Saptenno (Ketua MJ GPM Lolotuara), ke Patti untuk mengunjungi jemaat di sana dan rekan Pendeta Viane Selanno (Ketua MJ GPM Patti) yang hari itu sedang melakukan Kunjungan Pastoralia akhir tahun bersama semua anggota Majelis Jemaat Patti.

Banyak orang ke Patti itu karena ada bangunan Benteng (Namanya sudah tidak diketahui secara umum oleh masyarakat di sana) dan sebuah gereja tua yang dibangun sejak tahun 5 Juni 1741, dan terdapat logo VOC di tulisan tembok bagian atas pintu masuk Gedung gereja itu. Peminat sejarah dan antropolog serta arkeolog, jika ke sana, sudah pasti akan berlama-lama melihat Gedung tersebut, ketebalan dindingnya, arsitekturnya, dan tentu juga kuburan para penginjil yang ada di hamparan halaman gereja itu. Dari komposisi kedudukan benteng dan pintu masuk gereja, mudah ditebak bahwa jalur masuk Patti dari pantai adalah pesisir pantai di Benteng tersebut. Karena itu, pintu bangunan gereja menghadap ke bentang. Ini sekaligus membuktikan bahwa benteng dan gereja adalah dua simbol yang berkait erat dalam sejarah koloni dan sejarah kekristenan. Di sisi lain, keberadaan gereja pun menjelaskan bahwa urusan kerohanian menjadi hal penting bagi pemerintah VOC khususnya kepada tentara yang ada di benteng. Tetapi pada saat yang sama, keberadaan gereja dan benteng di Patti juga bisa menjadi titik awal penelitian sejarah kekristenan di Pulau Moa atau MBD secara umumnya, sebab minat pekabaran injil kepada penduduk setempat berasal dari para penginjil utusan badan zending dan guru-guru Jemaat yang ditugaskan ke kawasan tersebut.

Saya masih membutuhkan banyak waktu dan membaca lebih banyak catatan etnografi tentang MBD. Tetapi saya pun harus merekam dalam jejak dokumen narasi kebudayaan dan sejarah masyarakat, sesuai informasi ~sebagai data terbatas, tentang kecurigaan-kecurigaan akademik/ilmiah mengenai baik sejarah, kultur, tetapi juga konsep kepercayaan yang bersumber dari sejarah dan budaya masyarakat setempat. Dengan tidak menafikkan metode ilmiah, saya pun harus menyebut bahwa tulisan ini merupakan cara mendorong riset yang lebih mendalam ke sumber-sumber informasi ini.

 

POHON ARA PUSAT DESA PATTI 

 

Batu dan pohon merupakan dua unsur penting dalam kosmologi masyarakat adat di Maluku. Pada masyarakat adat, batu menjadi unsur penting dan sakral. Batu di pusat desa/negeri, seperti halnya batu pamali sekaligus menjadi tanda bahwa di situlah akhir dari sejarah migrasi leluhur atau masa akhir corak nomanden, dan masa awal bermukim menetap di dalam satu kawasan yang disebut negeri/desa. Karena itu batu-batu sakral itu menjadi pusat pelaksanaan ritus baik secara komunal maupun per-masing-masing soa, klen atau suku (misalnya batu teung di Maluku Tengah).



Negeri-negeri tua di Maluku Barat Daya menyimpan unsur-unsur itu sebagai unsur yang sakral, dan menariknya di semua lokasi pusat desa, di mana terletak batu berukuran besar, ada pula pohon ara, sebagai simbol kehidupan dan penyatuan semua masyarakat. Di desa Patti, Pulau Moa, malah ditemukan 3 (tiga) buah batu dan pohon ara, sebagai tanda adanya pusat-pusat kehidupan tua dan 3 (tiga) desa yang kini telah menjadi satu. Lokasi ketiga pohon ara dan batu itu adalah di Rokseli, Patti dan Girwelsa (Informan. Tete Mias Wirtha).

Pohon Ara di Nuwewang (Foto: Cost Aswaly)

Karena di situ sering dilakukan upacara atau ritus adat ~sebagai warisan agama asli, maka tentu batu-batu itu merupakan mesbah/menhir, sebagai peninggalan masa megalitikum yang masih ada secara fisik, selain lutur, di MBD.  Pohon ara ini adalah salah satu tanaman endemic MBD yang tentu sudah hidup ribuan tahun. Tete Mias malah menyebut pohon ara di Patti telah berusia kurang lebih 500-an tahun. Angka itu menerangkan pula bahwa sudah lebih dari 500-an tahun orang Patti ada, dan mengalami perubahan corak bermukim dari nomaden ke teritorial. Sepanjang tahun-tahun itu juga orang-orang di Patti berkembang dan bersentuhan dengan banyak peradaban, termasuk peradaban Eropa. Buktinya adalah Patti sebagai salah satu Kota penting bagi Belanda atau Pemerintah VOC yang saya yakin dalam usaha konsolidasi kekuatan militer Belanda ke kawasan Pasifik.


Salah satu ritus adat yang berlangsung di pusat desa, adalah Pelantikan Kepala Desa Nuwewang, Pulau Letti, di mana kepala desa duduk di depan mesbah (panaur) yang berada tepat di bawah pohon ara. Sebab itu batu dan pohon ara merupakan pusat ritus dan sekaligus pusat legitimasi sosial-adatis kepada pemimpin lokal setempat. Dengan kata lain, tempat itu menjadi sakral bagi berlangsungnya seluruh tatanan kehidupan dan pemerintahan adat setempat.
Kepala Desa Nuwewang di depan panaur (mesbah) yang ada di bawah Pohon Ara saat pelantikannya (Foto: Cost Aswaly

Mengapa pohon ara? Saya hanya membaca dalam Alkitab tentang Amos sebagai petani kebun ara yang setiap waktu memungut buah ara (ibr. shiqmah, eng. fig, sycamore) untuk dimakan atau selebihnya dijual. Mungkin ia juga bekerja pada majikannya sebagai petani pemilik kebun ara. Karena itu dia menyaksikan praktek-praktek ketidakadilan di pasar berkenan dengan manipulasi harga barang (baca. Amos 7:14). Saya juga membaca dalam Perjanjian Baru, kisah Zakheus yang karena fisiknya yang pendek, harus memanjat sebatang pohon ara (yun. sukomorea) untuk melihat Yesus (baca. Lukas 19:1-8). Dari dua cerita itu, saya menyimpulkan secara terbatas bahwa pohon ara itu berbuah dan pohonnya besar. Pohon ara di Timur Tengah mungkin seperti itu, sebab saya belum pernah melihatnya secara langsung. Tetapi dengan melihat pohon ara di MBD, pada beberapa desa yang pernah saya kunjungi dalam tugas selaku Pendeta GPM, setidaknya situasi sosial dalam dua cerita Alkitab itu sudah bisa saya peroleh dari gambaran pohon ara di MBD ini. Apakah pohon ara MBD ini endemik dan berbeda dari di Timur Tengah? Bisa saja kedua spesies ini masih satu family. Namun kembali ke makna filosofinya bagi orang MBD, saya menyimpulkan dari cerita beberapa pemuka masyarakat Patti, antara lain:

Pertama, mudah tumbuh dengan menyebar benih dari bijinya. Pada tanah-tanah keras dan kering di MBD, tumbuh dan bertahan hidup ratusan tahun. Kemampuan pohon ini beradaptasi dengan tanah dan lingkungan setempat adalah lukisan kemampuan masyarakat memelihara kehidupannya dari masa ke masa sampai saat ini. Artinya, secara sosiologis, pohon ara menjadi gambaran paradigma kehidupan orang MBD bahwa di mana mereka ada atau tanah yang mereka tempati dapat menjamin kehidupan. Efek etiknya ialah mereka terkenal ulet atau tekun mengolah lahan pada tanah-tanah kebun yang berbatu, dan berdinamika di dalam iklim yang tidak menentu dan terus berubah dari waktu ke waktu. 


Kedua, rimbun dan hijau, sehingga memberikan keteduhan bagi semua orang serta tanda bahwa di situ ada kehidupan. Pada beberapa desa, menurut informasi, di saat panas terik, masyarakat berteduh dan anak-anak bisa bermain sepuas hati di bawah rindangannya. Artinya, rindangan pohon ara menjadi lingkungan sosial yang menghimpun masyarakat. 

Ketiga, setiap tahun berbuah bisa dua kali. Mungkin itu suatu yang normal dalam siklus produksi pohon ara. Namun bagi masyarakat hal itu menjadi tanda bahwa di tanah ketika tanaman tumbuh, pasti menghasilkan buah atau benih untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan tidak putus di setiap waktu atau musim.

Keempat, semakin besar, cabang dan rantingnya semakin banyak, dan akarnya tumbuh di batang pohon dan menjuntai masuk lagi ke dalam tanah.  Di Patti, akar yang menjuntai dan masuk ke dalam tanah malah dilindungi, artinya dipagari sampai benar-benar terbenam lagi ke dalam tanah. Jadi akar-akar itu mendapati kekuatan untuk hidup terlebih dahulu dari pohon induknya dan ketika masuk ke dalam tanah, maka akar-akar itu menjadi media mentransfer segala zat dari dalam tanah untuk kembang pohon induk itu pula. Jika ini dijadikan akar kosmo-teologi, maka saya bisa memberi makna sebagai berikut:

§  Wawasan kehidupan (concept of life) orang MBD secara umum adalah perjuangan. Kerja itu berarti berjuang, dan yang diperjuangkan dalam kerja adalah kehidupan. Walau mereka hidup di tanah-tanah kering, bekerja merupakan usaha melibatkan diri ke dalam proses kehidupan, atau dalam proses penciptaan Tuhan atas alam dan manusia. Bekerja menjadi bentuk ekspresi religius masyarakat, sehingga tidak bisa ditolak, melainkan dilakukan dengan sepenuh hati. Secara etik bekerja adalah cara menyatukan diri ke dalam alam, bukan tanda menyerah atau kalah.

§  Pola relasi sosial orang MBD adalah mengutuhkan atau membangun temali kehidupan yang kokoh. Cabang dan ranting yang semakin banyak selain memberi kerindangan, juga memberi pesan bahwa ikatan kehidupan masyarakat itu kuat dan tidak mudah putus. Ranting-ranting yang kering bukan pertanda tidak berguna, melainkan berhentinya kehidupan seseorang dari pokok yang utama itu. Masa hidupnya sampai di situ, maka ketika ia jatuh, patah, tetap terhitung sebagai satuan dari pokok pohon ara itu. Maka cabang dan ranting yang masih hidup, tetap berproduksi dan memberi kerindangan kepada makhluk lain dan tempat di mana semua masyarakat mendapatkan keteduhan di bawahnya. Jadi relasi sosial di MBD itu dibina dalam ikatan komunalitas dengan merujuk langsung ke pusat atau ke pokok pancaran keturunan mereka.

§  Kepemimpinan. Semakin pokok itu menjadi besar dan memberi kerindangan, tetapi juga harus kuat menopang berdirinya negeri. Itulah pohon ara di pusat negeri itu ditanam untuk melindungi batu pusat negeri/desa sebagai simbol sakral masyarakat setempat. Seorang pemimpin harus bisa melidungi harta tua negeri dan menjaga kesakralan negeri atau tanah sebab di situlah semua anak cucu dan segala jenis kekayaan alam lain hidup dan terus berkembang. Pemimpin yang lahir dari kandungan tanah MBD adalah sosok pelindung yang besar dan kuat. Ia besar karena harus menaungi semua orang, dan kuat karena harus mempertahankan kesakralan tanah dan lingkungannya. Dalam arti seperti itu pemimpin yang lahir dari kandungan kebudayaan mendapati kharisma spiritual dan kultural sekaligus. Hal ini tampak pada diri para tua adat di masing-masing desa di MBD.

§  Produksi-reproduksi tiada henti. Pohon ara berbuah dua kali dalam setahun, dan buahnya menjadi rebutan anak-anak dan berbagai jenis burung atau satwa lainnya. Produksi dan reproduksi menjadi dua hal penting dalam eksistensi kemahklukan. Sebab itu di MBD, tidak ada produksi tanpa reproduksi dan tujuan reproduksi adalah keberlanjutan kehidupan. Saya tidak melihat hal ini dalam arti keluarga-keluarga di MBD memiliki jumlah anggota yang banyak, tetapi dalam pengertian yang lebih fungsional bahwa apa yang kita hasilkan adalah cara kita mengelolah lingkungan di mana kita hidup, dan hasil kerja atau olahan tangan kita itu adalah untuk kehidupan generasi di masa depan.

§  Pewarisan nilai kehidupan. Ini saya simpulkan dari akar-akar ara yang menjuntai sampai masuk ke dalam tanah, karena akar-akar itu semula hidup dari induknya tetapi kemudian berfungsi memberi makan induknya agar induk itu terus hidup (everlasting life). Jadi ada semacam pengharapan ke masa depan, bahwa kita tidak hanya hidup untuk hari ini tetapi untuk menghidupkan. Bersamaan dengan pewarisan nilai kehidupan itu, sekaligus pewarisan keteladanan diri. Artinya seperti halnya induk itu hidup dari akar-akar yang berfungsi dan tidak kelihatan di permukaan tanah, maka akar-akar yang menjuntai dan masuk lagi ke dalam tanah adalah gambaran nyata dari keteladanan itu sendiri. Jadi ada aspek tanggungjawab yang harus diperankan secara nyata. Dengan demikian hidup kita menjadi berfaedah bagi kehidupan orang dan makhluk lainnya.

 

(Tiakur, Pastori Ketua Klasis GPM Pp. Letti Moa Lakor, 21 November 2020)

 

LUTUR - ARSITEKTUR TRADISI DI MALUKU BARAT DAYA

 Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

 

 

BUKTI ZAMAN MEGALITIKUM




Tahap-tahap perkembangan peradaban dunia selalu ditemukan dalam masyarakat manusia di mana pun. Temuan-temuan itu menunjuk pada sejarah awal mula adanya manusia di suatu wilayah (baca. pulau), sekaligus jejak awal peradaban Pendidikan masyarakat setempat. Hasil karya masyarakat atau suatu etnis di dalam tahapan pertumbuhan peradaban itu menggambarkan derajat pengetahuan mereka sekaligus cara mereka mempertahankan hidup (living mechanism) atau kemampuan untuk bertahan hidup (survive). Pada sisi lainnya, bukti-bukti peradaban juga memperlihatkan mekanisme pengorganisasian diri dan kelompok di dalam lingkungannya. Dalam arti itu, lutur (=bangunan batu) yang ditemukan di Maluku Barat Daya (MBD) merupakan salah satu mekanisme yang oleh tradisi berfungsi juga untuk melindungi hak satu klen atau keluarga atau pribadi, tetapi juga kemampuan manusia di MBD menyeimbangkan relasi dengan alam dan dengan makhluk lain dalam hal ini ternak.

Lutur dapat dikatakan sebagai sisa peninggalan zaman megalitikum (bhs. Yunani: megas = besar; lithos = batu) suatu zaman yang dalam sejarah antropologi berlangsung kira-kira 8700 – 2000 SM. Megalit atau bangunn batu selalu menunjuk pada suatu benda atau perkakas dari batu yang digunakan sebagai peralatan hidup, seperti kapak sebagai peralatan hidup sesehari/rumahtangga, mata tombak untuk berburu, sebagai perkakas untuk bekerja, sampai pada bangunan batu berbagai bentuk. Apakah perkakas-perkakas itu masih ada saat ini? Butuh pencarian di setiap desa. Tetapi jika memperhatikan cara masyarakat MBD membelah batu karang untuk menyusun lutur, dapat disimpulkan bahwa keterampilan membuat perkakas batu itu merupakan warisan keterampilan yang masih ada sampai saat ini.

Beberapa bangunan di zaman ini juga menunjuk pada perkembangan kepercayaan masyarakat, seperti Menhir, tugu batu dan punden Berundak-undak, bangunan dari susunan baru, yang menjadi simbol kehadiran roh adikodrati dan sering menjadi pusat upacara agama tradisi. Di Maluku, batu pamali, batu pusat negeri (seperti di pusat desa Patti, Pulau Moa),bisa mewakili realitas tersebut sekaligus menunjukkan bahwa citra keagamaan masyarakat telah berkembang lama, sejak masyarakat itu ada. Artinya keagamaan masyarakat tidak bisa diklaim sebagai yang baru bertumbuh pada saat masuknya agama-agama Abrahaimik. Dalam kesadaran teologi dan kontekstualisasi, seharusnya religiositas keagamaan kit dibangun dari adaptasi konkrit antara dua kutub religiositas itu: religiositas dari akar-akar kultur/kemasyarakatan setempat dan religiositas Abrahaimik. Namun biarlah itu dijelaskan dalam tulisan yang lain.

Lutur sebagai salah satu bentuk peninggalan zaman megalitikum di MBD masih dipelihara dalam arti dibangun sampai saat ini. Kesannya sebagai pagar pelindung krasan (=kebun) milik seorang anggota masyarakat, atau batas permukiman suatu desa (bukan batas tanah), ada pula sebagai pagar rumah dengan susunan yang lebih artistik, namun sebenarnya pembangunannya di zaman ini menegaskan bahwa Lutur adalah arsitektur tradisi yang dilestarikan masyarakat di MBD karena fungsinya justru semakin efektif. Keberadaan lutur di zaman ini memperlihatkan bahwa orang MBD adalah kelompok petani yang terus bertahan hidup dan menyeimbangkan diri serta kerjanya di tengah alam yang keras (umumnya tanah kering dan berbatu karang), serta peternak yang ulet ~yang menggembalakan ternak (kerbau, kambing, sapi, babi) juga di alam yang terbatas pakannya, tetapi tidak boleh sampai merusak tanaman dalam krasan milik warga. Ini yang memperlihatkan bahwa fungsi lutur semakin efektif dalam memelihara eksistensi atau keberadaan masyarakat MBD di dalam alamnya itu.

 

 

ARSITEKTUR TRADISI DAN SISTEM PENGETAHUAN MASYARAKAT ASLI (INDIGENOUS KNOWLEDGE)




MBD dapat disebut sebagai Negeri 1000 Lutur. Penyebutan itu tentu tidak menunjuk pada jumlah sebenarnya Lutur yang ada di pulau-pulau pada kawasan ini, sebab realitas menunjukkan jumlahnya lebih dari angka 1000. Di pulau-pulau pada kawasan MBD, Moa, Letti, Lakor, Babar, Damer, Kisar, Wetar, Romang, Luang, Sermata, dll anda akan berjumpa dengan bangunan lutur. Ada yang membatasi bagian luar permukiman, ada yang menunjuk pada batas areal krasan, atau pagar tanaman untuk menghindari kerusakan oleh ternak.

Sekilas informasi yang diperoleh, cara membuatnya dimulai dari aktifitas mengumpulkan batu karang, memotong atau membelah batu karang yang berukuran besar, mengangkut ke lokasi pembangunan lutur, dan menyusun membentuk pagar yang tingginya rata-rata di atas 1m. Dalam pembuatan lutur terbangun solidaritas sosial karena dikerjakan bersama oleh masyarakat (bergiat; =masohi, badati di Maluku Tengah). Lutur pembatas areal permukiman bukan menunjuk pada batas tanah desa itu melainkan wilayah permukimannya. Artinya batas ini bisa diperluas jika ada yang membangun rumah di luar batas itu. Hal ini misalnya saya lihat (2017) di Moain, salah satu desa tertua di pulau Moa (selain Patti dan Klis). Lutur pembatas areal krasan dibuat untuk melindungi tanaman dari ternak, sebab pada pulau tertentu, sulit mendapat tanah yang luas untuk berkebun, sebab itu ukuran lutur ini bervariasi tergantung pada luas sempitnya tanah krasantersebut. Jadi areal krasan itu sangat tergantung pada ketersediaan tanah yang efektif dalam satu kawasan, sehingga ukuran setiap krasan itu bervariasi, demikian pun luasan luturnya.

Lutur pembatas permukiman dan krasan itu menyerupai pagar/tembok dan dibangun bundar atau empat persegi, tetapi umumnya juga sulit ditentukan model/bentuknya karena harus mengikuti bidang permukiman atau krasan itu. Arsitektur tradisi ini tampak mudah dalam pembuatannya, namun menurut masyarakat di MBD, teknik penyusunan batu-batu tersebut tidak dikuasai oleh semua orang secara general, sebab ada orang tertentu yang dinilai ahli untuk menyusunnya. Sebab itu dalam teknis pengerjaannya kelompok orang yang bekerja bersama itu sudah dibagi mulai dari yang bertugas mengumpulkan batu, memotong/membelah batu, mengangkut ke tempat dibangunnya lutur dan kelompok berikut adalah yang bertugas menyusunnya menjadi bangunan lutur. Selain memperlihatkan pola pembagian kerja dalam tradisi masyarakat, tetapi juga pengakuan pada profesionalitas. 

Pada sisi itu, lutur adalah salah satu bentuk pengetahuan masyarakat asli (indigenous knowledge) yang perlu diakui serta dikelompokkan sebagai kekayaan pengetahuan (knowledge heritage) tradisional dan masih berkembang sampai saat ini. Dalam arti tersebut, lutur dapat didaftarkan sebagai model bangunan tradisi di MBD, suatu arsitektur tradisi yang dimiliki oleh masyarakat MBD. Perkembangan teknologi pertanian apa pun yang berkembang di kemudian waktu, lutur merupakan bagian dari proses rekayasa teknologi di MBD, terutama rekayasa lahan perkebunan. Karena lutur sudah ada sejak lama, dari zaman megalitikum, maka keberadaannya saat ini menerangkan bahwa lutur adalah benda cagar budaya sebagai hasil karya masyarakat MBD. Benda cagar budaya ini memiliki sifat khusus, karena masih terus dibangun, jadi cagar dalam arti ini ialah suatu cara merawat pengetahuan tradisi yang telah ada sejak dahulu sampai sekarang. Model pembangunan lutur merupakan warisan pengetahuan dan keterampilan yang masih eksis dipraktekkan sampai saat ini.

Sebagai jenis arsitektur tradisi, keterampilan masyarakat MBD membangun lutur sampai saat ini menjadi bukti bahwa lutur sudah menjadi bagian dari ciri khas atau citra kehidupan masyarakat MBD di semua pulau. Lagi-lagi itu merupakan bukti betapa masyarakat MBD mampu mengembangkan cara-cara kebudayaan yang memiliki nilai dan fungsi yang efektif sampai saat ini. 

Bangunan tradisi ini sejak dibangun memiliki fungsi untuk melindungi hak dan memelihara kehidupan makhluk lain atau menjaga keseimbangan ekosistem. Dalam masyarakat adat di Maluku atau di mana pun, pemisahan antara lingkungan pemukiman dan areal kerja sudah ditentukan sejak transisi dari zaman nomaden ke bermukim menetap. Karena itu lutur sebagai pembatas pemukiman merupakan wujud transisi tersebut, karena lokasi pemukiman itu dinilai baik, aman, tersedia sumber pangan yang cukup/memadai untuk kelangsungan hidup keluarga, klen dan masyarakat.

Pada lokasi bermukim menetap itu, masyarakat adat membuat pemisahan juga antara tempat yang bersih dan yang kotor. Karena itu pada beberapa desa, ada tempat untuk membuang sampah (=semun/semung) dan umumnya di luar lokasi bermukim. Masyarakat yang suka berburu malah diwajibkan mengerjakan hasil berburunya di luar pemukiman atau di pantai dan hilir sungai (=kaki aer). Alasannya karena darah dari hewan yang telah mati (termasuk hasil berburu) taboo untuk masyarakat. Tetapi tujuan lain supaya bagian tubuh hewan yang tidak bisa dikonsumsikan tidak mencemari lingkungan bermukim. Ada satu hal yang unik dari masyarakat MBD yang adalah juga kelompok peternak tradisional, yaitu lutur batas pemukiman itu dibangun dengan tujuan agar ternak peliharaan tidak membaur dengan masyarakat di dalam areal pemukiman. Ini tampak di semua desa di MBD, dan yang saya lihat sebagai keunikan yaitu di Ahanari (Pulau Babar), di mana lutur dibangun memanjang di belakang desa itu dri gunung ke pantai, dan di dalam lutur itu ada semua ternak peliharaan semua keluarga. Pemandangan serupa ada pula di Hertuti (Pulau Dai), sehingga tidak ada ternak yang dijumpai dalam pemukiman. 

Demikian pun lutur di areal krasan, menjadi pelindung terhadap semua tanaman sehingga tidak dirusakkan oleh ternak (kerbau, sapi, babi, kambing). Jadi kelangsungan ekosistem terpelihara, tetapi relasi antar-makhluk pun dibingkai dengan cara teknologi tradisi yang unik. 

Itulah dua alasan yang menurut saya membuat sampai saat ini, pengetahuan tradisi membangun lutur masih dikuasai oleh semua lapisan masyarakat di MBD, dan arsitektur tradisi ini masih dijumpai juga di sana. Dalam kaitan dengan kondisi alam di MBD, saya peraya bahwa, penerapan teknologi pertanian/perkebunan dan peternakan di MBD akan terus berkembang dengan tidak perlu menghancurkan sistem pengetahuan dan keterampilan membangun lutur, melainkan adaptasi teknologi dengan menjaga warisan asli pengetahuan masyarakat setempat. MBD perlu rekayasa teknologi perkebunan/pertanian dan peternakan dengan mendorong industry olahan hasil kebun, budidaya ternak dan pengolahan hasilnya sebab kelangsungan ekosistem di sana harus terus terpelihara. (Pastori Ketua Klasis GPM Letti Moa Lakkor, Tiakur, 21 November 2020).


(Keterangan gambar:  Gambar 1 : Lutur di Desa Patti, Pulau Moa; Gambar 2: Lutur di desa Klis, Pulau Moa. Doc. Pribadi. 20 November 2020)

 

Saturday, June 13, 2020

DENGARLAH TANGISAN IBU BUMI

(Refleksi Terhadap Yeremia 14:1-9)


I

Bumi adalah ibu
Tanah adalah rahim dari mana kita berasal 
ke situ pula kelak kita kembali
setiap hari ibu merintih
sebab sembari ia merenggang nafas melahirkan anak-anak 
ia pun meratapi mereka yang jatuh, rebah, membujur setanah
sambil menahan malu diperkosa anaknya sendiri yang bebal
yang merusak perutnya
merobek-robek rahim yang melahirkannya:
“Ibu kita menangis”

II
Ibu kita berkabung
Pagarnya diterobos mesin yang mengaum melebihi singa muda
Segala rumput dan bunga di halaman dibabat dan dilahap api
Pintu rumahnya hancur berkeping
Kamarnya, tempat yang paling sakral, disusupi anaknya dan merampok harta di koper tua tempat ia menyimpan kain sarung bekas darah bayi-bayi yang dilahirkannya
Ujung kakinya berdarah digilas sepatu baja anaknya
Bajunya, jubahnya disingkapkan, dirobek
Ia ditelanjangi
Ibu kita duduk memeluk kaki telanjangnya yang ditekuk
Ibu kita sedih
Ibu kita meratapi dirinya
Ibu kita menangis

III
Ibu kita bersedih
Ia tak kuasa melakukan apa pun karena menahan malu
Bayi-bayi yang terus lahir menjerit minta setetes air
Ia tak kuasa mengambilnya sebab segala air kering
Segala telaga hilang
Embun pun tiada karena tiada dedaun di taman yang tak lagi hijau
Air di sumurnya kering
Jika pun ada telah berminyak dan mengandung gas beracun
Bayi-bayi yang baru lahir menangis kelaparan
Mereka harus disuapi
Tapi tiada lagi umbi dan buah
Rahimnya kering
Ibu kita sedih
Ia membiarkan dirinya lapar, asal berusaha menyuapi bayi-bayinya yang baru lahir dari air susunya yang hampir kering pada buah dadanya yang semakin layu
Ibu kita menangis

IV
Suatu hari:
ibu bercanda dengan segala ternak
menyanyi bersama segala burung dan unggas
menari bersama semua rumput dan pohon
datanglah singa, harimau, serigala, beruang, heina, buaya, ular berbisa, lebah, elang
dan sang singa berbisik kepadanya: 
“Ibu, cukuplah candamu. Senyapkan suara merdumu. Hentikanlah tarianmu yang selalu memanggil bulan dan matahari untuk turut bersuka. Kini, lagumu tidak lagi dapat merayu langit mencumbuimu. Kita malu terhadap matahari yang setiap hari melihat segala yang palsu. Jika malam bulan dan gemintang berkumpul, tidak ada lagi pesta di bumi, sebab kami semua bersembunyi. Bukan karena takut. Kami malu, ibu”

Lagi sang ibu berkata: 
“aku hanya mengajakmu bergirang, sebab aku tidak tahu siapa yang datang besok untuk merampas lagi makananmu; siapa yang akan mencemari sumur dan sungai; siapa yang akan merobek lagi sisa bajuku, dan jangan-jangan ada lagi yang memperkosa tubuh tuaku ini. Tapi aku tidak mau kalian kembali ke tempat dari mana kalian datang dan berasal. Dalam tangis dan dukaku, aku mau kalian tetap hidup”

V
Ibu kita sedih
Ia menangis:
“Ya Penguasa Jagad Raya, Engkau pernah menemukan aku dan menjadikan aku bagian milikmu. 
Telah kau jadikan aku istri kesayanganmu
Kau penuhkan rahimku dengan anak-anakmu
Dan aku tak berhenti bersalin, melahirkan, menyusui dan memberi mereka makan
Tubuhku terus tua tetapi buah dadaku tetap sanggup menyusui anak yang lahir hingga hari ini
Apakah kau biarkan aku yang tua ini melahirkan tanpa kau pedulikan
Sanggupkah engkau melihat anakmu sendiri saling membinasakan
Sanggupkah engkau melihat mereka merebahkan aku, ibunya, dan merobek baju-bajuku
Tidakkah kau dengar tangis anak-anakmu yang susah
Air tiada
Umbi tak tumbuh
Udara beracun
Aku menghukum diriku dalam amarah dan sayang
Marah atas ulah mereka
Tetapi aku tak mampu menutupi sayangku
Kini, mereka sedang susah
Aku pun


Ya Penguasa Jagad Raya, 
Kini aku terpapar wabah
Insan mulia yang kau beri padaku terpapar pandemik 
cukuplah air mataku menangisi mereka yang kembali ke rahimku
lihatlah, Ya Penguasa Jagad Raya
pada butir-butir air mataku aku menulis nama mereka yang kulahirkan
telah aku tampung di ujung kainku
aku sedih
aku menangis
tetapi terimalah tangisku, sang ibu lemah ini, sebagai doaku:
“Ampunilah aku
Kasihanilah anak-anakku
Pulihkanlah mereka
Dan aku pun pulih”
Aku bersedih
Di sedihku itu aku berdoa
Aku ibu
Aku bumi

(eltom, 14 Juni 2020)



   


Sunday, April 19, 2020

MENYANYIKAN LAGU TANAH

Obituary Kepada Pendeta Christian I. Tamaela, Ph.D
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


INTERULDE

Hari ini (19 April 2020), jam 11.50, seorang komposer yang namanya kesohor di dunia, Christian I. Tamaela, tutup usia. Berita duka itu datang dari Prof. Agus Batlajery, sebagaimana tertulis dalam pesan WA di banyak WAG yang saya ikuti. 

Saya membuka laman facebook dan membaca beberapa status yang baru diupdate, antara lain milik Steve Gaspersz dan JusNick Anamofa. Saya tidak sanggup menulis yang lebih di situ, kecuali penggalan pengalaman pada laman JusNick Anamofa, sebab saya pernah ada dalam pengalaman yang tulisnya sebagai rekaman peristiwa bersama Pak Chris ~demikian saya menyapanya sejak masih kuliah. Setelah HP dikembalikan anak saya, lalu saya membaca informasi duka dari Pendeta Jacky Manuputty di WAG Pimpinan PGI diikuti rentetan ucapan belasungkawa dari banyak pimpinan sinode anggota PGI. Pengalaman Pak Chris di banyak event gereja nasional, regional dan internasional dilukiskan mereka, termasuk Ibu Ery Lebang-Hutabarat, yang pernah menjabat di Sebagai Sekretaris Umum CCA dan Ketua Umum PGI. Saat kami berkuliah pun, bila beliau hendak berangkat ke event WCC, kepada kami disampaikan hal itu, dan tugasnya adalah melayani liturgi di event gerejawi itu. Sebagai mahasiswanya, tentu kami memiliki sedikit saja pengalaman dengannya, sisanya ada pada mahasiswa lain dari satu ke angkatan lainnya. Sebagai Pendeta GPM pun demikian. Malah beberapa hal tentang beliau saya dapati saat menjadi Pendeta di Rumahtiga, karena Pak Chris menjalani kevakiariatannya di Jemaat GPM Rumahtiga.


TAMAELA: DALAM REKAMAN DE QUADRES, “THE CAMBRIDGE COMPANION TO CHORAL MUSIC”

Sebenarnya saya tidak bisa menulis apa pun dalam status fb; sebab rasa dukacita sebagai gereja adalah sesuatu yang mendalam sepeninggalnya. Lalu saya mengutak-atik saya layar laptop dan mencoba googlingdengan menulis Namanya: Christian I. Tamaela. Salah satu yang saya rujuk ialah pada website https://www.musicroom.com/product/hl08764517/christian-izaak-tamaela-toki-gong-sambil-menari-haleluya-arr-christian-izaak-tamaela-satb.aspx. Di situ ada Bukunya, TokiGong Sambil Menari, Haleluya, yang dieditori oleh Andre de Quadros. Nama de Quadros ini kemudian mengantar saya menemukan sebuah buku yang berjudul “The Cambridge Companion to Choral Music”, yang dieditori pula olehnya dan diterbitkan oleh Cambridge University, Press, 2012. 

Dengan bantuan internet pula, saya akhirnya menemukan edisi digital lengkap buku itu lengkap. Dari situ saya mencari di index ternyata ada nama Christian Isaac Tamaela pada halaman 164. Halaman itu adalah bagian dari artikel Andre de Quadres yang berjudul “New voices in ancient lands: choral music in South and Southeast Asia”. Di situ, de Quadras menyebut secara eksplsit bahwa ada peningkatan yang luar biasa antara (penggunaan) bahasa lokal, liturgi dan musik di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Malah menurutnya gereja-gereja Protestan seperti tidak lagi mempunyai beban terhadap bahasa dan kebudayaan di dalam liturgi, melainkan hal itu berlansung dengan juga ditopang oleh proses penerjemahan Alkitab. De Quadras mencontohkan bahwa setelah Perang Dunia II, proses ini berlangsung secara mantap di Philipina. Francisco Feliciano dan Jonathan Velasco, sebagai pimpinan Asian Institute of Liturgical Music (AILM) di Manila, telah melatih banyak komposer Paduan Suara Gereja di Asia Tenggara.

Di sini memori saya terbawa ke tahun 1995, ketika dua orang pimpinan AILM itu datang ke Kampus UKIM dan GPM, sebagai bagian dari tour liturgi dan musik dari AILM, dan UKIM serta GPM dipilih sebab Pak Chris adalah salah seorang alumninya. Mereka berdua melatih banyak sekali pemimpin Paduan Suara dan Paduan Musik Suling Bambu dan Terompet di Aula UKIM dan di beberapa Gereja di Klasis Kota Ambon dan Klasis Pulau Ambon (saat itu, sebelum pemekaran Klasis ini). Bersama dengan mereka saat itu adalah 19 orang mahasiswa AILM yang sekaligus menjadi Paduan Suara AILM. Mereka mengadakan konser di Baileu Oikumene, dan lagu-lagu yang dinyanyikan pun adalah juga hasil ciptaan Pak Chris, termasuk “Toki Gong” yang sudah menginternasional itu.

Kembali ke tulisan de Quadras. Ia menyebut secara eksplisit nama Christian Isaac Tamaela, sebagai salah satu komposer di Indonesia yang konsisten untuk tidak meneruskan gaya bermusik Barat dalam musik gerejawi. Dengan mencontohkan lagu-lagu spiritualis Africa-America, Tamaela, juga nama-nama lain seperti Budi Santoso Yohanes, E.L. Pohan, Bonar Gultom-Gorga, Pontas Purba, dan Ivan Yohan, telah memberi suatu warna musik gerejawi yang berbeda atau punya ciri khusus.

De Quadres memang tidak menulis khusus tentang Tamaela, tetapi karya-karyanya telah menjadi referensi dari adanya suatu karakter musik gerejawi di Asia Tenggara yang tidak sekedar meneruskan warisan kidung gerejawi tua, melainkan berani menggali warisan-warisan etik dan menuangkan loyalitas keagamaan masyarakat di Indonesia (Maluku) ke dalam baris-baris nada dan syair musik dan nyanyian gerejawi. Beberapa lagunya yang memiliki kelas internasional, seperti Toki Gong dan beberapa lagunya dalam buku Nyanyian Dewan Gereja Asia, The Sound of Bambbo, adalah lukisan spiritualitas orang Maluku yang meramu di dalamnya untaian jiwa seni dan lukisan kebesaran Tuhan.

Nama Christian I. Tamaela menunjuk pada sosok seniman yang berkarakter. Ia tidak hanya menghasilkan musik, tetapi beragam hasil kebudayaan material yang terus tersimpan di banyak memori dan jiwa anak-anak Maluku. Ia tidak hanya bermain musik tetapi mampu menjadikan ibadah sebagai Teater Gerejawi yang hidup di hadapan Tuhan. Gereja telah menjadi panggung teater dalam karya-karya Tamaela.


TAMAELA DAN NYANYIAN JEMAAT GPM

Telah lama sekali Gereja Protestan Maluku ingin memiliki kekayaan-kekayaan rohani di bidang musik gerejawi. Buku-buku Nyayian Gereja yang selama ini digunakan dalam ibadah-ibadah GPM, yang memuat lagu-lagu rohani gereja-gereja Reformed di seluruh dunia antara lain Tahlil, Dua Sahabat Lama, Nyanyian Rohani. GPM pun pernah menggunakan Buku Nyanyian Oktolseja. Namun sudah jarang dilagukan dan bukunya pun sudah jarang ditemui. Mungkin masih tersisa beberapa saja di Pulau Lease dan Ambon (Gunung). Selain itu, beberapa kidung pujian lain seperti Kidung Jemaat dan Pelengkap Kidung Jemaat digunakan secara bergiliran dalam ibadah setiap minggu.

Pada Sidang Sinode GPM tahun 2005, lahirlah sebuah Rekomendasi untuk segera membentuk Tim Penuyusun Nyanyian Jemaat GPM, suatu buku nyanyian yang baru. Tim ini bekerja sangat luar biasa dalam dinamika yang turun-naik. Beberapa kali Tim direshufle, dan pada beberapa Sidang MPL Sinode GPM, hasil kerja Tim ini menjadi sorotan seluruh gereja ini melalui Klasis-klasis. Adalah Monica Pariela-Parera (almh) dan Esaf Malioy yang akhirnya menjadi Ketua dan Sekretaris Tim, yang telah melaksanakan beberapa seri pelatihan penyusunan lagu Nyanyian Jemaat GPM. Pada seri-seri Pelatihan itu, Pak Chris tidak pernah absen sebagai fasilitator. Dan ia telah memompa semangat para kompser di seluruh GPM untuk menciptakan lagu gerejawi yang adalah milik GPM.

Pak Chris menjadi jiwa di dalam seluruh kerja itu, bahkan juga jiwa di dalam Sayembara Hymne dan Mars GPM yang khusus diadakan berbarengan dengan proses penyusunan Nyanyian Jemaat GPM itu. Akhirnya, tahun 2012, buku Nyanyian Jemaat GPM berhasil diterbitkan dan digunakan dalam ibadah jemaat GPM sampai saat ini. Pada penjelasan Buku Biru dengan simbol cover Simbol Salib ini dijelaskan:  “Sebuah Salib yang tertancap tegak, kuat, hidup dan indah pada badan sebuah not balok berwarna putih, melambangkan semua nyanyian dalam buku ini merupakan bagian integral dari pelayanan liturgis dan ibadah gerejawi. Sebuah kulit bia yang terletak menyatu dengan badan not balok dan salib tersebut, melambangkan buku Nyanyian Jemaat ini mengandung sejumlah nyanyian yang bernuansa budaya seni musik daerah Maluku”. (GPM, 2012). Simbol itu adalah karya Pak Chris, dan saya percaya penjelasan simbol tersebut juga disusun olehnya. Di situlah kita bisa memahami keberakaran Pak Chris di dalam kebudayaan dan bagaimana kebudayaan itu membangun karakter seni dan musiknya.

Dalam Nyanyian Jemaat GPM, terdapat 42 lagu hasil karya Christian Izaac Tamaela, antara lain:
No. Urut
Nomor Lagu
Judul
1.
1
Akang Manis Lawang
2.
10
Haleluya, Hale, Haleluya
3.
11
Haleluya, Puji Tuhan
4.
12
Indah Namamu, Bapa
5.
15
Mae O, Basudara E
6.
19
Mae Pese Eko
7.
25
Mari Puji Tuhan Yesus
8.
27
O Upu Yesus, Huau Raem
9.
29
Pujian dan Penyembahan
10.
55
Tuhan Kasihani (Kyrie Eleison)
11.
63
Gloria Bagi Bapa, Putra dan Roh Kudus
12.
65
Bapa, Siapkanlah Hatiku
13.
77
Ya Roh Kudus Tuntun Kami
14.
92
Kemuliaan Bagi Allah
15.
95
Bintang di Timur
16.
98
Lilin Kecil
17.
99
Lonceng Natal
18.
103
S’lamat Natal Lai
19.
106
Ya Tuhanku (Nyanyian Pujian Simeon)
20.
110
Bapa Kami Yang Di Sorga
21.
117
Anak Domba Allah
22.
129
Kubur Yesus Telah Terbuka
23.
131
Sinar Paskah Sudah Terbit
24.
139
O Datang, Datang
25.
142
Ya Roh Kudus, Baruilah dan Persatukan Kami
26.
153
Aku Percaya Kepada Allah
27.
160
Tuhan, Gunung Batuku
28.
164
Ada Lagi Ungkapan Syukur (Lirik Fransina F. Anakota-Tamaela)
29.
166
Ayo Bawa Persembahanmu
30.
189
Nikmatnya Perjamuan Kudus Ini
31.
192
Tuhan, Berkatilah Nikah Kami
32.
194
Berjumpa Lagi
33.
219
Bapa, Utuslah Kami
34.
235
Tuhan Berkati Basudara
35.
242
Dengarkanlah Suara Tuhan
36.
266
Kasih Tuhan
37.
274
Berjalan Bersama Yesus
38.
275
Carilah Tuhan
39.
305
Memberlakukan Perdamaian Allah
40.
330
Ubu, Mrenar Mam Tsembayang (Tuhan Dengar Doa Kami)
41.
338
O, Kalwedo, Haleluya
42.
342
Helo
    

Ia telah mendedikasikan diri dan membuat jiwanya memasuki ruang perenungan dan spiritualitas jemaat dan GPM.


TAMAELA, “ELO”

Saya mau mengakiri obituary ini dengan menganalisis, dari segi semantik, syair lagunya dalam Nyanyian Jemaat GPM, dan saya memilih Nomor 15. Mae O, Basudara E. Saya harus terlebih dahulu meminta maaf, karena tidak fasih membunyikan notasi dan bermain alat musik. Mungkin saya pun bukan penikmat musik, tetapi saya suka menyanyikan lagu-lagunya, seperti Pela, Mae Ka Lao, Siwalima Arika, dan lainnya. Saya tidak akan membahas notasinya, walau dari Kuliah Musik Gereja saya masih ingat ia berkata: “Nada Do (1) itu Domini, nada agung, nada yang menunjuk pada Tuhan”. Itulah alasan saya memilih lagu ini namun akan mendekatinya dengan meminjam teori analisis semantik yang lebih fokus pada produksi bahasa/membahasa masyarakat.

 










Lagu ini diawali dengan nada do (tinggi) dan syair yang dibunyikan pada nada itu ialah Mapenggalan kata mae, istilah dalam bahasa tanah dari Maluku Tengah yang berarti “mari”. Frasa mae o itu sendiri mendapat tiga nada dalam empat ketukan; artinya pada satu helaan nafas, seruan itu dibunyikan, yang berarti memanggil atau mengajak orang-orang untuk datang. Sesuai ingatan saya pada kuliahnya itu, pada nada do (tinggi) itu, maka sapaan mae o itu adalah suatu bentuk sapaan yang luhur, sebuah ajakan yang bertujuan untuk suatu akta kehidupan umat. 

Syairnya begini:
Mae o basudara e, Elo, elo
Mae o basudara e, Elo, elo
Katong rame-rame somba Yesus e, Upu Lanite
Katong rame-rame somba Yesus e, Upu Lanite
Mae o basudara e, Elo, Elo, Elo, Elo, Elo, Elo

Dalam keterangannya, lagu ini adalah lagu dalam bahasa Melayu Ambon dan bahasa tanah dari Maluku Tengah, sebuah lagu berdasarkan lagu Tradisional Maluku Tengah. Elo,atau helo (Helo adalah lagunya yang lain pada NJ GPM Nomor 342) sendiri berarti Amin/benar. Dalam komposisi NJ GPM, lagu ini berada dalam rumpun Menghadap Allah, Puji-pujian dan Pembukaan Ibadah. Dengan demikian lagu ini adalah ajakan kepada umat untuk beribadah. Mae o basudara e, marilah saudara-saudara. Kata sandang “e”, dalam bahasa Melayu Ambon menggambarkan pensifatan yang lebih pada suatu subyek/obyek. Dalam cara memanggil, ungkapan mae e, ataumari (jua) e menghendaki orang yang dipanggil tidak boleh berdiam diri tetapi segera datang. Ini bukan hanya sebuah lukisan harapan dari subyek yang memanggil tetapi ada proses peleburan diri subyek ke dalam diri orang yang dipanggilnya itu. Dengan demikian si subyek tidak lagi tunggal melainkan jamak (katong). 

Bila ditempatkan dalam tata liturgi, sapaan mae o adalah sapaan Pelayan Ibadah kepada umat. Ia mengajak umat untuk datang menyembah Tuhan, dan di hadapan Tuhan ia tidak lagi sendiri melainkan ia telah menyatu dengan jemaatnya. Mereka kini telah menjadi subyek yang jamak yaitu jemaat yang berhimpun dan beribadah kepada Tuhan. Tamaela menggunakan sapaan itu sekaligus sebagai representasi dirinya sebagai Pendeta yang tidak pernah berdiri sebagai subyek tunggal di hadapan Tuhan melainkan bersama dengan jemaat menjadi subyek yang jamak. Kependetaannya telah menjadi dasar dari untaian melodi dan syair lagu ini. Kerinduannya pada ibadah telah menjadi jiwa yang menghidupkan lagu ini. Karena itu ibadah umat/jemaat atau ibadah gereja adalah bagian dari kehidupannya yang telah membuatnya menyusun notasi dan syair ini.

Tamaela adalah komposer yang menyanyikan lagu tanah atau lagu dalam bahasa tanah di hadapan orang banyak dan di hadapan Tuhan. Upu Lanite adalah ungkapan tentang Tuhan dalam bahasa tanah di Maluku Tengah (kelompok Wemale dan Alune). Tamaela adalah Putra Nusa Ina yang menjadikan bahasa sebagai gambaran total jiwa dan hidupnya. Upu Lanite adalah subyek adikodrati yang disembah, dan di sini Tamaela membawa diksi teologi kontekstual ke dalam nyanyian Jemaat dan refleksi teologi jemaat GPM. Pada lagu lainnya misalnya NJ GPM No. 19, 27, 330,  ia masih bermain di ranah bahasa Maluku Tengah. Namun pada NJ GPM No. 338, Tamaela berdiri di dalam kehidupan orang-orang Maluku Barat Daya, dalam lagu “O Kalwedo, Haleluya”.

Katong rame-rame somba Yesus e, Upu Lanite adalah syair yang menjelaskan pada pemosisian Yesus sebagai Tuhan. Di sini Tamaela mencoba menggali sumber-sumber dogma tradisional Maluku dan menempatkan bahasannya pada konsep ketuhanan (theoporic element) dengan menyebut Yesus sebagai Tuhan (Upu Lanite). Ketuhanan Yesus menjadi penting dalam liturgi gereja terutama dalam ibadah umat yang bersifat Kristosentris. Di situlah ajakan agar umat beramai-ramai menyembah Yesus, Tuhan, dibangun dari konsep ibadah yang kristosentrik itu. Dalam tulisannya di Buku “Menelusuri Identitas Kemalukuan” (LKDM, 2017:645) pada artikelnya “Falsafah Siwalima dalam Simbol-simbol Tradisional Maluku”, relasi dengan Upu Lanite itu disebutnya sebagai relasi ketergantungan. Di situlah saya kira, syair NJ GPM 15 ini menggambarkan pertalian yang kuat antara umat dengan Upu Lanite itu. Hal tersebut dikukuhkan dengan syair Elo yang berarti amin.

CODA
Saya menutup obituary ini dengan kalimat yang ditulis Pak Chris (2017:641) “semua bentuk, arti, makna, fungsi, dan waktu penggunaan dari simbol-simbol tradisional lokal yang telah dirancangbangun (constructing local symbols) oleh para leluhur akan terus tersimbolisasi dalam kehidupan kita, bila kita semua terus peduli akan hal itu….Itu pertanda bahwa peradaban hidup orang Maluku sudah berada pada level kreatifitas dan inovasi kkultur yang cukup tinggi di masa lampau, walaupun belum sebanding dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang kita alami dewasa ini”.

Pak Chris, kami tidak kehilangan dirimu, sebab jiwamu lestari di puji-pujian kami, dan kami merayakan sukmamu di denyut nadi Identitas Kemalukan kami.

Elo Kokuanya


Referensi Bacaan:

de Quadres, Andre, “New voices in ancient lands: choral music in South and Southeast Asia” dalam The Cambridge Companion to Choral Music, eds. Andre de Quadras, New York: Cambridge University, Press, 2012:161 

Gereja Protestan Maluku, Nyanyian Jemaat, Ambon: GPM, 2012

Tamaela, Christian I. “Falsafah Siwalima dalam Simbol-simbol Tradisional Maluku”, Dalam Menelusuri Identitas Kemalukuan, Editor: Tim LKDM, Rosa Delima, Ambon: LKDM, 2017:645





TALITA KUM

(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella  PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS  Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...