Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella
Siapakah yang membawa injil ke pelosok-pelosok dan pedalaman di pulau-pulau kita di Nusantara ini? Orang-orang putih. Orang Belanda. Orang-orang dari jauh. Istilah “orang-orang putih atau orang Belanda” menunjuk pada memori masyarakat mengenai para pekabar injil (zendeling) dari Eropa (umumnya Belanda, Jerman (dan Inggris)). Sedangkan istilah “orang-orang dari jauh” cenderung menunjuk pada para pekabar injil lokal yang berasal dari pulau-pulau lain di Nusantara, yang di dalam masa pekabaran injil, ditugaskan misalnya melalui Gereja Protestan di Hindia Belanda ke pulau-pulau di Nusantara.
Penyebutan itu sekaligus menerangkan bahwa narasi sejarah yang penting itu tidak tertulis dan dibaca secara umum dari generasi ke generasi. Tuturan lisan tersebut membuat nama-nama para pekabar injil itu dilupakan dan bila tidak tertulis, sudah tentu akan hilang. Namun itu masih bisa ditelusuri dari arsip-arsip sejarah, terutama laporan para zendeling dan guru-guru injil yang juga banyak tersimpan di Arsip Nasional Belanda atau Arsip Nasional Republik Indonesia; atau juga arsip-arsip yang masih tersimpan di jemaat-jemaat atau kantor-kantor Klasis/Sinode masing-masing.
Namun catatan sejarah kekristenan tidak harus dipatokkan pada para pekabar injil itu. Sebab ketika di suatu tempat terdapat dan masih terawat komunitas Kristen atau bahkan sudah menjadi suatu gereja yang mandiri, itu membuktikan bahwa respons masyarakat setempatlah yang membuat kekristenan itu kuat mengakar dan terus hidup sampai saat ini. Para responder lokal itu terkadang tidak tercatat juga dalam narasi sejarah. Misalnya, mereka yang dibaptis paling banyak disebutkan jumlahnya dan nama orang yang dibaptis itu terlupakan. Kecuali pada jemaat-jemaat di zaman Gereja Protestan di Hindia Belanda yang sudah memiliki manajemen kearsipan yang baik, sehingga nama orang yang dibaptis tercatat dalam Register Baptisan. Adanya orang lokal itu akan membuat narasi kekristenan menolong pemaknaan injil secara baru, yaitu injil yang bukan hanya diberitakan kepada melainkan injil yang telah menjadi milik atau bagian eksistensi orang setempat.
SAKSI-SAKSI INJIL DI TANALINGU
Turu Maukuanda (64 th), lelaki tua berusia 64 tahun ini mengaku lahir pada tahun 1955. Saat ini ia adalah Pentua yang melayani di Jemaat GKS Tanalingu sejak tahun 1984. Lelaki sederhana ini mengenakan kemeja putih dalam balutan baju khas Sumba yang diakuinya sebagai pakaian yang sehari-hari dikenakan, termasuk dalam menjalankan tugas pelayanan gereja, semisal Ibadah-ibadah Rumah Tangga.
Darinya diketahui bahwa kekristenan di Sumba itu dibawa oleh orang-orang Belanda. Dan kekristenan sudah ada di kampung-kampung sekitar, berkembang di antara kepercayaan lokal Marapu sebagai suatu warisan agama dari masyarakat Sumba yang masih eksis sampai saat ini. Pada tahun 1984, ia terdorong sendiri untuk berjalan kaki ke Laburung atau Kabalu, kurang lebih 5 km dari Tanalingu semata-mata untuk mendengar firman.
“(ber)Jalan kaki cari TUHAN”, itulah pengakuannya ketika ditanyakan mengapa ia rela berjalan sendiri untuk mendengar firman. Menurut Papa Tunu, firman TUHAN itu harus sampai juga pada kita, jangan pada mereka yang di kampung-kampung sebelah saja. Menurutnya saat itu yang membawa injil adalah Pendeta dari Sabu. Setiap hari ia akan berjalan kaki untuk mendengar firman. Hingga suatu waktu di tahun 1984 ia berhasil mengajak kurang lebih 138 orang dari Tanalingu untuk mengikutinya dan mereka selanjutnya dibaptis. Tanggal 28 Desember 1984 merupakan waktu yang indah itu. 130 orang Tanalingu itu dibaptis secara massal.
Bersama dengannya, bapak Wunu Mbilijora (83 tahun) juga turut dibaptis. Sebagai seorang tamatan Sekolah Rakyat, papa Wunu mengaku bahwa bisa menerima injil karena injil membuat TUHAN menyediakan segala sesuatu kepada kita. Ia mengaku bahwa anak-anaknya kemudian bisa bersekolah tinggi itu semua karena TUHAN sudah menyediakannya saat kita bisa menerima injil.
Mereka adalah saksi-saksi hidup dari respons orang Tanalingu yang menerima injil Kristus dan melalui respons mereka, Jemaat GKS Tanalingu lahir dan berkembang sampai saat ini. Begitulah cara kerja TUHAN dalam gerejaNya. Ia bekerja dengan dan melalui orang-orang setempat, sebab Ia berpihak pada kehidupan. Motivasi Tunu “berjalan kaki cari TUHAN” merupakan bentuk spiritualitas kemuridan sama dengan orang-orang banyak yang mengikuti Yesus ke mana saja Ia pergi. Tujuan mereka sederhana, yaitu untuk mendengar pengajaran dan melihat perbuatan-perbuatan ajaib yang dikerjakanNya.
Spiritualitas kemuridan seperti itu memberi isyarat bahwa ada kepercayaan pada orang-orang setempat tentang kabar injil yang sampai ke telinga mereka; entah pernah atau belum pernah berjumpa dengan Yesus. Pada saat mereka mengalami perjumpaan dengan Yesus, mereka tidak secara otomatis pergi mengikuti Yesus dan meninggalkan kampung halamannya. Banyak di antara mereka yang kembali ke kampung halaman dan membagi cerita tentang perjumpaan tersebut. Bahkan mereka juga yang melakukan klarifikasi atau semacam apologi kepada orang banyak jika ada “kabar bohong” tentang apa yang dikatakan dan dilakukan Yesus.
Dengan kembali ke kampung halaman itulah mereka selanjutnya yang berperan untuk menghidupkan narasi tentang Yesus kepada para pendengar baru. Rasa percaya yang sudah tumbuh pada diri mereka ditularkan kepada para pendengar baru yang adalah saudara-saudara mereka sendiri. Dari situlah maka injil semakin tersiar luas.
Spiritualitas itu yang ada pada diri Turu Maukuanda, sehingga ia patut disebut sebagai pembawa kabar baik setelah “jalan kaki cari TUHAN”. (Waingapu, 11 November 2019).
(Ketgam: Gbr. 1 - Papa Turu Maukuanda; Gbr. 2 - Papa Wunu Mbilijora)
[1]Data dalam tulisan ini diperoleh dari wawancara singkat dengan Papa Turu Maukunanda dan Papa Wunu Mbilijora, warga Jemaat GKS Tanalingu, Minggu, 10 November 2019. Kebetulan Peserta Sidang Raya ke-17 PGI dari Sinode GPM diberi kesempatan beribadah dan melayani ibadah di Jemaat GKS Tanalingu. Ibadah tersebut dilayani Pdt. Ny. L. Bakarbessy-R, Ketua Klasis GPM Tanimbar Selatan.