Wednesday, April 3, 2019

TEOLOGI ADVOKASI DALAM PRAKSIS BER-GPM


Oleh, Elifas Tomix Maspaitella


PENGANTAR
Pola Induk Pelayanan dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan (PIP-RIPP) GPM tidak sekedar sebagai dokumen perencanaan pelayanan gereja semata, melainkan dokumen misiologis dan/atau teologi praksis GPM.
Disebut demikian sebab PIP-RIPP memuat strategi dan cara GPM menjawab isu-isu aktual dalam konteksnya. Gereja yang merespons amanat panggilannya dari TUHAN adalah gereja yang bermisi. Dalam eklesiologi GPM, sebagaimana termaktub dalam Tata Gereja (Bab IV, Pasal 8 ayat 2), GPM telah mendefenisi bentuk panggilan pelayanannya itu secara praksis/nyata. Itu artinya kesadaran misiologis menjadi perspektif dasar dari bagaimana gereja itu hidup dan peka terhadap konteks kehadirannya.
Mengenai advokasi, dalam PIP-RIPP GPM 2016-2020, hal ini mendapat aksentuasi yang utama dan menjadi kegiatan utama dari banyak program pelayanan. Beberapa isu dalam PIP-RIPP yang membuat advokasi itu menjadi penting antara lain:
-          Pengelolaan lingkungan hidup dan penanggulangan bencana alam
-          Penanganan kemiskinan dan penguatan ketahanan ekonomi umat
-          Perkembangan HIV dan masalah kesehatan lainnya
-          Peningkatan peran politik GPM

Jika dicermati secara mendalam, setidaknya keempat isu itu memberi penegasan pada bagaimana GPM melakukan tindakan advokasi yang komprehensif. GPM telah mendefenisikan tugas advokasi sebagai sebuah tugas teologis yang bukan untuk manusia saja melainkan hak hidup seluruh makhluk.
Menjadikan hak hidup semua makhluk sebagai fokus advokasi GPM tentu berangkat dari pergumulan GPM untuk masa yang panjang dan sungguh-sungguh. Saya mencatat bahwa bahasan teologis tentang dignitas semua makhluk ciptaan TUHAN mulai digumuli GPM secara khusus pada tahun 2005.
Tema gumulan GPM 2010-2015, “TUHAN itu baik kepada semua ciptaan” menegaskan bahwa kebaikan TUHAN itu berdimensi keadilan kepada semua makhluk. Serentak dengan itu, mandat kebudayaan yang diberi kepada manusia (Kej. 2:18) tidak serta-merta menempatkan manusia sebagai makhluk yang [harus bertindak] dominan terhadap makhluk lain. Relasi kemakhlukan dalam bingkai keadilan antar-ciptaan menjadi parameter yang penting dalam membentuk keseimbangan hubungan antar-makhluk ciptaan TUHAN. Kebaikan TUHAN sebagai Pencipta itu tidak semata-mata tertuju kepada manusia, melainkan kepada semua makhluk.
Kemudian Tema gumulan tahun 2016-2020 : “Allah Kehidupan Tuntunlah Kami Membela dan Merawat Kehidupan” memperlihatkan aspek afirmatif pada satu sisi dan aspek misiologis pada sisi sebelahnya.
Aspek afirmatifnya ialah pengakuan GPM tentang Allah Kehidupan. Ini satu defenisi yang padu bahwa kehidupan adalah bagian dari citra diri Allah. Dengan kata lain, secara teknikus kehidupan itu ditempatkan sebagai hakekat yang melekat pada diri Allah. Jadi sebuatan Allah Kehidupan tidak bisa dipisahkan atau kemudian disebut Allah Sumber Kehidupan; sebaliknya Allah Kehidupan menegaskan bahwa Ia adalah Allah yang hidup dan karena Ia hidup maka segala yang diciptakan-Nya pun hidup. Jika Allah itu Allah Kematian, maka Ia tidak menciptakan apa-apa, satu makhluk pun tidak. Sebaliknya karena Ia adalah Allah Kehidupan maka di dalam kematian segala makhluk ada kehidupan baru. Jadi istilah Allah Kehidupan sekaligus mengandung dimensi sotereologi dari GPM.
Sedangkan aspek misiologis dari tema itu ialah tugas advokasi sebagai tugas teologis GPM yakni untuk membela dan merawat kehidupan. Tanggungjawab ini adalah tugas memberi jaminan dan membagi potensi kehidupan. Terkandung di situ keberpihakan GPM pada eksistensi segala makhluk ciptaan TUHAN. Suatu cara berteologi yang membuat GPM tidak sekedar berteologi di dalam alam melainkan bersama-sama dengan alam dan segala isinya.
Aspek bersama-sama itu menjadi cerminan bahwa advokasi gereja adalah advokasi yang berdimensi keadilan untuk memulihkan dignitas segala makhluk yang sedang dilanda krisis. Dalam Pedoman Advokasi GPM, masalah eksploitasi lingkungan, pengabaian hak sipil dan hak dasar manusia, ketidakadilan gender, ketidakseimbangan ekonomi dan rusaknya relasi antarwarga memperlihatkan bahwa semua makhluk mengalami ketidakadilan yang terjadi secara sistemik.
Dengan tegas disebutkan dalam Pedoman Advokasi itu bahwa kerusakan lingkungan pada sisi tertentu tidak mengancam lingkungan itu sendiri melainkan turut menjadi ancaman bagi manusia atau masyarakat secara keseluruhan.
Kesadaran ini mendorong GPM untuk melakukan langkah dan tindakan advokasi yang pada akhirnya menempatkan GPM di dalam pergulatan hidup seluruh makhluk ciptaan TUHAN. Jadi GPM atau gereja-gereja selalu dapat dan harus hadir di dalam berbagai masalah yang melilit hak hidup manusia dan segala makhluk.

KONSEP ADVOKASI GPM
Saya mengutip Pedoman Advokasi GPM (2016) untuk menjelaskan apa yang telah menjadi strategi dasar advokasi GPM. Dalam pedoman advokasi GPM ada dua tipologi advokasi Gereja, yaitu :
a.       Advokasi Individu / Kasus, yaitu upaya yang dilakukan untuk membantu Individu atau seseorang agar mampu menjangkau sumber atau pelayanan sosial yang telah menjadi haknya. Alasannya : terjadi diskriminasi atau ketidakadilan yang dilakukan oleh lembaga, dunia bisnis, kelompok professional terhadap individu.

b.      Advokasi Kelompok / Kelas, yaitu upaya atas nama kelas/kelompok untuk menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat dalam menjangkau sumber atau memperoleh kesempatan dan peluang. Fokus pada advokasi kelompok/kelas adalah mempengaruhi atau melakukan perubahan-perubahan Hukum dan kebijakan publik pada tingkat lokal dan nasional. Advokasi Kelompok/Kelas umumnya dilakukan melalui koalisi/berjejaring dengan kelompok dan organisasi lain yang memiliki agenda yang sejalan.

Dari dua tipologi itu, maka jelas sasaran advokasi GPM dilakukan terhadap individu, Keluarga, Kelompok dan Masyarakat yang tertindas, diperlakukan tidak adil, berasal dari kalangan bawah, minoritas, disabilitas, korban kebijakan, terkena dampak (kerusakan lingkungan, perampasan hak ulayat), korban kekerasan, dll.
Sasaran itu memperlihatkan bahwa advokasi gereja menjangkau pribadi, pribadi dalam keluarga, pribadi/kelompok dalam hubungan dengan pusat kekuasaan, pribadi/kelompok dengan korporasi, pribadi/kelompok.
Jadi advokasi gereja mesti memetakan (mapping) semua bentuk relasi antar-manusia, antar-individu, dan antar-makhluk dengan melihat peran aktor dan proses pengambilan keputusan (policy making)
Karena itu, terdapat tiga strategi advokasi yang harus dijalankan GPM pada semua jenjang gerejawi dan melalui semua jejaring kerjasamanya, yaitu:
1.     Advokasi Awal
-          Memperkuat Kognisi,
Suatu upaya meningkatkan pengetahuan masyarakat berkaitan dengan masalah yang dihadapi, memperkuat pengetahuan masyarakat tentang hak-haknya, pengetahuan tentang hukum peraturan, penguatan masyarakat berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman yang akan dihadapi, membangun kesadaran masyarakat terhadap masalah sosial dan ketidakadilan ekologis yang dialami.
-          Memperkuat Afeksi,
Suatu upaya yang teroganisir untuk Penguatan Sistem Nilai yang ada dalam masyarakat, Penguatan skill dasar ; kapasitas pengorganisasian, kemampuan merekam kronologi suatu masalah/peristiwa/kejadian), penguatan stakeholder.
-          Memperkuat Psikomotor,
Suatu upaya yang teroganisir untuk memperkuat kemampuan berjejaringan, kemampuan membangun basis, kemampuan bernegosiasi, Lobby, kemampuan menghubungkan setiap level sasaran advokasi, serta kemampuan dalam proses litigasi dan legislasi. 
  
2.     Advokasi Lanjutan
-          Membentuk dan memperluas Jaringan gerakan sipil
-          Mengimpresi/mempengaruhi perhatian jaringan

3.     Advokasi Akhir
-          Strategi Kooperatif dengan Pemerintah dan Pihak lain sebagai Mitra secara Kristis
-          Strategi Kolaborasi / kerjasama
-          Analisis dan pengawasan Kebijakan

Untuk melakukan advokasi yang efektif, maka gereja (GPM) dituntut bisa memainkan fungsi antara lain:
  1. Fungsi fasilitator (memfasilitasi Individu, kelompok, masyarakat dengan sejumlah kelengkapan maupun kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak mereka)
  2. Fungsi mediator (menjembatani individu, kelompok, masyarakat dengan pihak-pihak terkait dalam kepentingan hak-hak masyarakat adat)
  3. Fungsi transformator (fungsi edukasi, menjaga perimbangan informasi, media edukasi)


Pada gilirannya tahapan advokasi GPM itu harus bisa melahirkan perubahan kebijakan supaya ada keadilan. Pentingnya keadilan sebab advokasi gereja harus bisa memulihkan hak dan harkat diri manusia dan segala makhluk. Jadi dengan melakukan tindakan advokasi, maka GPM tidak melakukan untuk orang dan makhluk yang lain saja, tetapi terutama GPM melakukan bagi dirinya sebagai gereja yang hidup.



ADVOKASI SEBAGAI TEOLOGI PRAKSIS
Titik tolak advokasi dalam konteks mana pun adalah (1) isu-isu problematis yang terjadi pada manusia (individu dan kelompok) dan juga makhluk lainnya ~dalam perspektif yang khusus terhadap lingkungan hidup.
Isu-isu problematis itu adalah segala sesuatu yang terjadi pada manusia dan lingkungan sehingga tindakan advokasi merupakan cara gereja berada atau berpihak atas masalah ketidakadilan dalam arti umum terhadap sasaran advokasi itu sendiri. Cara gereja berpihak adalah panggilan berteologinya.
Dengan bertitik tolak pada isu-isu problematis itu maka gereja dituntut memiliki kepekaan yang tinggi; tidak cukup mendengar, tetapi harus bertindak. Tindakan advokasi gereja merupakan wujud gereja masuk ke dalam masalah itu ~dengan empathy, untuk memahami semua persoalan yang riel terjadi dan menentukan apa yang hendak dilakukan. Dalam kaitan itu maka analisis sosial merupakan tools yang bisa digunakan gereja untuk bisa memahami isu-isu tersebut. Analisis sosial itu dikerjakan dalam kesadaran teologis bahwa dengannya gereja turut melakukan tindakan berteologi kontekstual.
Analisis sosial membantu gereja mengurai masalah, memetakkan jaringan dan tindakan aktor, memahami tantangan dalam pemecahan nantinya, serta menetapkan fokus problem atau isu utama yang harus menjadi prioritas dalam advokasi.
Pengenalan atas isu-isu problematis itu dilanjutkan dengan (2) aksi dan refleksi. Dalam tahapan ini artinya gereja tidak harus berhenti pada pengenalan isu tetapi gereja harus terdorong untuk melakukan tindakan aksi dan refleksi. Aksi di sini berupa menetapkan cara dan langkah penanggulangan isu-isu problematis, termasuk memetakan jaringan yang bisa dilibatkan untuk menanggulanginya. Di sini gereja harus melakukan konsolidasi diri dan organisasinya untuk terlibat aktif dalam tindakan advokasi.
Cara-cara yang akan ditempuh harus dipahami sebagai cara gerejawi atau sebuah tindakan teologis yang turut didorong oleh konsep bergereja atau berteologi yang kuat. Proses (3) refleksi teologis-biblis dimaksudkan untuk memberi pendasaran pada aksi gereja sehingga tidak terkesan bahwa aksi itu adalah sebuah tindakan yang tanpa nilai. Nilai menjadi hal yang penting dari aksi gereja. Nilai-nilai yang menjadi dasar dalam aksi gereja itu dibentuk dari posisi kritis profetik gereja terhadap tugas dan tanggungjawab kesaksian dan panggilannya di tengah dunia.
Aksi yang tanpa nilai adalah suatu tindakan yang sia-sia dan bisa saja dilakukan karena ada kepentingan terselubung (the hidden agenda) di mana sasaran advokasi tidak dilihat sebagai subyek atau partisipan melainkan dijadikan obyek yang juga seringkali diobyektifasi. Orang akan mencari keuntungan tersendiri dan tidak melakukan tindak advokasi secara tuntas. Dalam banyak kasus, aksi tanpa nilai itu membuat sasaran advokasi hanya menjadi ‘data’ laporan, bukan subyek yang harus mendapat pertolongan atau pendampingan. Jika pun ada tindak pertolongan atau pendampingan, itu dilakukan secara temporal dan tidak sampai menghasilkan transformasi pada pribadi atau komunitas yang didampingi. Karena itu refleksi teologis biblis diperlukan.
Berangkat dari nilai-nilai dasar tersebut maka gereja menentukan (4) Aksi Sosial berupa advokasi secara langsung. Ada tiga langkah advokasi dalam pedoman advokasi GPM. Ketiga langkah itu dilakukan denngan bertitik tolak dari nilai-nilai etis injili yang kuat. Jadi adokasi itu panggilan pokok gereja sebagai wujud gereja melakukan amanat panggilan dari TUHAN (bnd. Luk. 4:18-19).
Langkah advokasi yang dikerjakan harus dilanjutkan dengan (5) aksi dan refleksi baru. Gereja melakukan tindakan advokasi dalam spirit pelayanan Yesus yang berempaty dengan mereka yang lemah dan diperlakukan tidak adil. Gereja harus mengembangkan cara kritis kenabian seperti ditunjukkan Yesus yaitu untuk tetap mempertahankan kebenaran walau untuk itu Ia harus menderita. Namun Ia tetap tidak kedapatan bersalah.
Ia tidak melawan pemerintah dengan cara yang ovensif melainkan melakukan kritik atas pelanggaran hukum dan kekuasaan yang digunakan sewenang-wenang oleh pemerintah. Ketika alim-ulama kedapatan melakukan hal yang salah pun Ia melancarkan kritik yang bertujuan untuk memurnikan kehidupan agama (spiritualitas) dan agar hukum agama diterapkan secara baik, yakni untuk melindungi kehidupan (bnd. Mat. 12:9-14; Mrk. 3:1-6; Luk. 6:6-11).
Ini akan mempertajam cara kerja atau cara berteologi gereja sehingga gereja akan sanggup membawa pemulihan atau transformasi dalam hidup manusia dan ciptaan TUHAN lainnya. Transformasi tersebut menjadi kondisi baru yang membuat manusia dan ciptaan TUHAN lainnya dapat hidup kembali dalam realitasnya.
Dalam keadaan itu gereja akan kembali siap untuk menghadapi masalah lain yang baru muncul atau yang belum tertangani secara tuntas. Alir aksi dan refleksi di atas akan terus dijalankan secara berulang namun dengan cara dan kemampuan yang tentu sudah berbeda pada gereja dan jejaringnya.
Demikian beberapa hal untuk menjadi bahan diskusi bersama.


Wailela, 22 Agustus 2018

TALITA KUM

(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella  PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS  Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...