Oleh.
Elifas Tomix Maspaitella
STRUKTUR
BAHASA MASYARAKAT
Antropologi
struktural, seperti diusung Levi Strauss, dalam dimensi tertentu telah
mengantar kajian khusus strukturalisme yang selanjutnya merambah strukturalisme
linguistik. Kecurigaan awal dari studi linguistik itu sendiri bahwa, sebenarnya
strukturalisme itu menstudikan struktur sosial yang bisa diinterpretasi sebagai
struktur bahasa. Lingkaran bahasa (linguistick
turn, Lash) telah menjadi domain yang menggelisahkan banyak orang, termasuk
Ferdinand Saussure (1857-1913) untuk menelaah lebih mendalam langue dan parole (wicara aktual). Sampai pada titik itu, strukturalisme
bahasa sudah semakin berkembang, sebab tidak lagi semata dimengerti sebagai
bagian dari struktur sosial.
Bahasa
telah menyertakan di dalamnya kompleksitas tanda, termasuk elemen-elemen bunyi
(phonic). Kembali ke Saussure, malah
cara mengekspresikan suatu kata dalam bentuk parole menjadi perlu guna memahami struktur nilai yang terkandung
di dalam cara membahasa seseorang atau suatu komunitas. Dalam hal itu, Saussure
melihat bahwa ada hubungan antara signifer
(petanda) dan signified (penanda).
Sampai
di situ, menurut Saussure yang paling penting menurutnya adalah hubungan
perbedaan dan oposisi biner. Artinya suatu kata diproduksi bukan karena makna
esensial dari kata itu sendiri melainkan ada hubungan kata itu dengan kata lain
yang menunjuk pada perbedaan esensial di antaranya.
Sebagai
contoh menurut Saussure, kata hot (panas)
bukan berasal dari sifat intrnisik dunia ‘yang nyata’ ~bahwa udara panas di
waktu tertentu atau air panas karena proses tertentu, melainkan kata itu
berasal dari hubungan dengan kata cold (dingin)
sebagai oposisi binernya. Jadi manusia memproduksi suatu istilah untuk
membentuk pula dunia sosialnya.
Adalah
Roland Barthes kemudian melihat bahwa ruang-ruang yang terbatas dari realitas
teori linguistik mendorong kita harus masuk ke apa yang disebutnya semiotik.
Sebenarnya Barthes telah mengembangkan ide Saussure dalam ruang kehidupan
sosial yang faktual. Bahwa bahasa tidak sekedar sebuah struktur bunyi dan tanda
fonemik, melainkan lebih luas dari itu. Menurutnya:
Semiologi bertujuan untuk
memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya; image, gestur, suara
musik, objek, dan segala yang terkait dengan semuanya, yang membentuk isi
ritual, hiburan konvensi atau publik, jadi ini merupakan, jika tidak bahasa-bahasa sekurang-kurangnya sistem
signifikansi (Barthes, 1964/1967:9).
Pendapat
ini dikemukakan sebagai pintu masuk ke bahasan tentang Mena-Muria sebagai
semantik budaya yang ternyata lahir dari realitas keseharian masyarakat di
Maluku, mengenai bagaimana mereka membuat tanda untuk menandai lingkungan dan
posisi teritori dalam dunia sosialnya.
Sistem
tanda ini sangat terkait dengan aspek-aspek sosio-ekonomi, karena wilayah yang
ditunjukkan dalam istilah Mena-Muria itu adalah teritori yang mengandung di
dalamnya potensi sosial dan potensi ekonomi. Jika pun istilah itu menjadi semacam
ideologi, maka hal itu adalah sebuah pemikiran filsafat alam (kosmologi) yang
membimbing masyarakat untuk yakin bahwa wilayah yang ditunjuk oleh istilah itu
sakral dan tidak boleh diganggu. Pengrusakan lingkungan pada dua wilayah itu
adalah ‘dosa’ yang diikuti oleh hukuman Tuhan (Lahatala).
GUNUNG DUNIA
Saya
memiliki keterbatasan tersendiri untuk memahami struktur bahasa Lio Upaa (Koa)
pada masyarakat adat Maraina-Manusela di Pulau Seram. Waktu berada di sana
sangat singkat (21 – 26 November 2015) tentu tidak cukup untuk memahami semesta
bahasa tanah yang tua itu. Murkele adalah pusat pancaran kehidupan semua
masyarakat Maluku, maka sudah tentu bahasa Lio Upaa adalah bahasa ibu yang
kemudian melahirkan sistem bahasa lain seperti Wemale, Alune, Nuaulu.
Dalam
keyakinan masyarakat Maraina-Manusela (Sopa Maraina), Murkele adalah gunung
dunia. Artinya gunung itu merupakan pusat pancaran kehidupan. Segala kehidupan
semesta ini dimulai dari situ. Di situ pula segala bangsa berasal dan sub-sub
suku bangsa berkembara ke seluruh penjuru dunia. Murkele adalah ‘gunung yang
tidak terbatas’, artinya ‘segala sesuatu ada dan berasal dari situ’.
Murkele
bukanlah gunung dalam arti ideologis tetapi suatu teritori sosial awal dari
masyarakat Maluku. Gunung ini sendiri terdiri dari Murkele Besar dan Murkele
Kecil.
Istilah
Mena-Muria, dalam tuturan orang Maraina-Manusela lahir dari pengenaan teritori
sakral pada gunung Murkele sebagai pusat kehidupan seluruh masyarakat Nusa Ina.
Murkele menjadi sakral bukan karena deretan ritus tetapi pusat dari seluruh
tatanan kehidupan dunia.
Bagi orang Maraina-Murkele (Sopa
Maraina), tatanan dunia dimulai dari Murkele. Tanah dan batu adalah unsur dasar
dari seluruh tatanan dunia. Tanah adalah unsur utama (berwarna putih yang artinya bersih dan hitam yang artinya besar atau
agung) yang melaluinya badan atau
tubuh dibangun/dibentuk. Karena itu tanah adalah material sakral, simbol yang
menandakan atau menunjuk kepada manusia.
Dari
situ terdapat kejelasan tentang makna sakral Nusa Ina – Pulau Ibu. Fisiologis
ibu/mama yang melahirkan anak itu dapat dilihat dari susunan gunung Murkele
Besar dan Murkele Kecil, laksana mama sedang berbaring dalam posisi untuk
melahirkan. Karena itu gugusan kedua gunung ini harus dilihat sampai ke gunung
Hoale, sebagai yang menunjuk pada vagina. Fisiologis ini yang menjadi alasan
mengapa Murkele disebut gunung dunia dan pusat kehidupan.
Batu
(berwarna merah yang artinya sungguh-sungguh, benar) merupakan unsur sakral yang
menunjuk pada darah. Darah dalam arti ini bermakna sebagai sesuatu yang mahal,
berharga, sehingga tidak boleh tertumpah sembarangan atau untuk kesia-siaan.
Dari situ kita bisa memahami mengapa orang Maluku kuat berpegang pada sumpah
atau janji, dan mengapa batu menjadi simbol legalisasi sumpah adat.
Mencampurkan
tanah dan batu dalam satu tindakan sumpah adat (termasuk sasi tanah negeri)
adalah ritus yang mengarahkan seluruh masyarakat adat pada Nusa Ina sebagai
pusat kehidupan yang tidak boleh dibiarkan hancur. Sebab membiarkan hancur
berarti membiarkan mama dijadikan korban oleh orang yang tidak
bertanggungjawab. Mama adalah pusat kehidupan. Mama adalah tanah dan batu.
Bagi
masyarakat adat Sopa Maraina, yang bertugas menjaga mama adalah papa (suami)
dan anak-anak laki-laki (menjaga keamanan diri mama, sehingga lebih condong
para tindakan proteksi atau pembelaan) dan perempuan (menjaga kehormatan mama,
sehingga lebih condong pada perbuatan kesusilaan, etika, moral).
MURKELE, MENA-MURIA
Paham
Murkele sebagai gunung dunia menjadi bidang sosial yang menerangkan makna Mena
Muria. Dalam bahasa Lio Upaa (Koa), istilah Mena Muria menjadi semacam istilah
khusus yang jarang digunakan dalam percakapan sesehari. Nyaris kita tidak
mendengar kosa kata itu muncul dalam langua
maupun parole atau pola
komunikasi dan cara membicara atau bertutur masyarakat.
Namun
jika ditanyakan arti Mena Muria, dengan gestur
yang khas, mereka akan menundukkan kepala, tanpa memandang lawan bicara. Pada
orang tertentu mungkin mereka tidak menjawab pertanyaan itu. Jika kenyataan itu
yang ditemui, hal tersebut tidak berarti ia tidak mengetahui jawabannya. Namun ia
tidak boleh memberi jawaban sebab pertanyaan itu terkait dengan sesuatu yang sakral
bagi masyarakat adat. Ada orang yang memang berhak menjawab hal-hal yang
terbungkus kesakralan itu.
Makna
Mena Muria ternyata dilekatkan langsung pada posisi Murkele dalam perspektif
gunung dunia atau pusat kehidupan itu. Mena Muria sendiri berarti ‘di muka dan
di belakang, (selalu) ada’. Arti ini menunjuk pada potensi kehidupan yang tidak
akan pernah habis di Murkele.
Saat
pertanyaan itu saya ajukan kepada Tete Cada ~seorang tetua adat di sana, ia
menjawab ‘itu katong sudah tuh’ (=itulah kami, bukan yang lain). Mena Muria
adalah lukisan tentang hakekat Murkele sebagai pusat kehidupan sosial dan
ekonomi. Mena Muria adalah manifestasi kelimpahan potensi. Menurut Tete Cada, ‘katong’
adalah dunia. Ia menggunakan istilah ‘dunia’ untuk menegaskan bahwa di Murkele
itulah seluruh tatanan ciptaan ini dimulai.
Kita
bisa memahami bahwa ‘dunia’ dalam arti itu partikular, sebagaimana pengertian ‘dunia’
dalam tradisi Yahudi dan Romawi yang juga sebatas pada imperium Romawi. Namun kesan
yang saya dapati dari pemaknaan itu adalah bahwa ‘dunia’ yang direpresentasi
dalam tuturan masyarakat Sopa Maraina adalah ‘kehidupan’ itu sendiri.
Mena
Muria, di muka dan di belakang, ada ~menerangkan tentang fisiologis gunung
Murkele Besar dan Kecil yang menurut masyarakat, dari depan tampak seperti mama
sedang tidur untuk melahirkan. Itulah kehidupan. Dan di belakang akan kelihatan
seperti dapur atau meja makan, dan aneka makanan yang tersedia. Itulah kehidupan.
Tete
Cada malah berujar ‘jadi mau takotang apa? Samua ada. Maluku tar miskin. Di muka
deng di blakang samua su ada’ (=jadi mau takut apa? Semuanya tersedia. Maluku
tidak miskin. Di semua tempat tersedia beragam potensi kehidupan).
Jadi
istilah itu adalah representasi potensi kekayaan alam Maluku yang tersedia
sebagai berkat kehidupan. Dengannya ‘dunia’ itu ditata dan diarahkan pada suatu
hal yang luhur yakni ‘kehidupan’.
Murkele,
itu mama yang melahirkan katong! Murkele, Maluku mari lia mama!
Mena
Muria!
Ambon,
25 April 2016