Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
SEKILAS INFO:
Pertama : Di beberapa negeri adat di Pulau Seram, ada bidang
tanah milik keluarga yang (terpaksa) dijual seharga Rp. 1.000.000,- dan
ukurannya lebih dari dua hektare.
Kedua : Seorang nenek di salah satu negeri adat pernah
didatangi seorang pengusaha dan menawarkan agar lahannya yang penuh dengan kayu
berkelas (entah berapa luasnya), dijual dengan tawaran ‘setengah juta’ atau
‘tujuh ratus lima puluh ribu’. Logika si nenek yang renta itu membayangkan
bunyi ‘juta’ sebagai jumlah uang yang banyak. Logika itu kemudian disesatkan
oleh perilaku sang pengusaha dan berhasil membeli lahan tersebut dengan harga
‘setengah juta’. Setelah dilunasi, dan si nenek renta itu menghitungnya,
ternyata jumlah uang yang diperolehnya hanya ‘lima ratus ribu’. Ia menggerutu
kepada salah seorang pejabat pemerintah negeri yang mengantar pengusaha itu,
bahwa ia menyangka ‘setengah juta itu banyak’ padahal cuma ‘lima ratus ribu’,
lebih sedikit dari ‘tujuh ratus lima puluh ribu’.
Ketiga : masih dari pulau Seram. Lahan milik masyarakat adat
yang semula menjadi milik mutlak, kini telah beralih untuk perusahaan
perkebunan kelapa sawit dan ‘dibabat’ perusahaan kayu (illegal logging). Para petani pemilik tanah telah berubah menjadi
‘buruh tani’ dengan penghasilan yang kecil dan kesusahan yang besar. Mereka
bukan hanya ‘terusir’ dari tanah ulayatnya, tetapi juga terusir dari negerinya,
karena berhasil direlokasi oleh perusahaan tersebut.
Keempat : di beberapa negeri di Kota Ambon, para
pemilik tanah sudah menjual tanah miliknya kepada para pengusaha dan/atau para
pembeli lain; baik untuk membangun rumah, tempat usaha, atau juga sarana sosial
lainnya. Alhasil, tanah untuk membangun rumah bagi anak-anak cucunya (nyaris)
tidak ada lagi. Tingkat ekonomi mereka pun tidak lebih baik dari orang lain,
malah (nyaris) miskin.
TANAH DAN
MANUSIA: Pergeseran Paradigma Sosio-Ekonomi
Salah satu sorotan diskusi
dalam Konsultasi Study Gerejawi (KSG) GPM (01-03 Juni 2015), ‘kebangkrutan’
sumber daya dan hak ulayat masyarakat adat akibat dari ekspansi bisnis dan
kebijakan pembangunan di daerah-daerah dengan menyebut bahwa ‘tanah adalah
satu-satunya sumber produksi masyarakat adat di Maluku’.
Pernyataan ini selaras
dengan beberapa teori besar, termasuk apa yang juga diketengahkan Marx, tatkala
melihat persaingan kaum proletar dan borjuis, di mana tanah dalam arti lahan
produksi telah pula dikuasai para kapitalis. Akumulasinya sudah tentu pada
terbentuknya kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Ada kelompok yang mengalami
perubahan status sosial. Indikatornya selain penguasaan atas aspek-aspek feodal
(tanah) tetapi juga pola dan kemampuan memenuhi kebutuhan (konsumsi) setiap
hari. Ini tentu terkait dengan modal atau income
yang diperoleh melalui produksi (pada lahan yang ada/dimiliki).
Masyarakat agraris dalam
tradisi Perjanjian Lama, digambarkan sebagai para pemilik tanah kebun (lahan)
yang sejak zaman para leluhur telah dibagi kepada masing-masing Suku. Tradisi dalam
Taurat seperti pada Kitab Bilangan menyebut bahwa pembagian itu dilakukan
secara merata, di mana setiap suku mendapati bagian miliknya (baca. ulayat). Kecuali
suku Lewi, yang diserahi tanggungjawab untuk melayani Bait Allah atau sebagai
pelaksana ritus. Namun ada kewajiban sosio-ekonomi dari suku-suku lain terhadap
penghidupan mereka.
Namun teks-teks Perjanjian
Lama pun menceritakan mengenai praktek-praktek perampasan hak ulayat keluarga
atau masyarakat adat, sebagai wujud praktek ketidakadilan, baik oleh pemerintah
maupun para kapitalis. Karena itu dalam
sosiologi Perjanjian Lama, kelompok ‘buruh tani’ yang nota bene adalah pemilik
tanah yang kehilangan hak ulayatnya adalah kelas budak yang miskin.
Semula mereka memiliki tanah
sebagai alat produksi keluarga. Tetapi perampasan hak ulayat karena beban
hutang dan kebijakan yang tidak adil membuat mereka menjadi alat produksi pengusaha/kapitalis.
Munculnya kelas ‘buruh tani’
dalam tradisi Perjanjian Lama mencerminkan perubahan sosial di mana manusia
telah menjadi obyek ekonomi, dan hakekat kemuliaannya sebagai ‘mandataris Tuhan’
untuk menatalayani alam ciptaan-Nya (Kej. 2:18) telah dilecehkan. Produksi pertanian
menjadi prioritas utama para kapitalis dan manusia menjadi mesin produksi. Ini yang
menjadi faktor penyebab mengapa ketidakadilan tidak bisa dihapus.
‘KAMI SUDAH
TIDAK PUNYA TANAH LAGI’
Praktek jual tanah adalah
kasus pertama yang penting disoroti secara teologis. Bagi masyarakat Maluku,
tanah memiliki nilai yang sakral. Kesakralan tanah itu karena tanah adalah
pemberian Tuhan yang telah dibagi kepada setiap soa atau klen sejak dahulu
kala.
Hak ulayat sebagai hak
kepemilikan atas tanah (daratan) dan pantai (pesisir dan laut) merupakan
satuan-satuan milik soa dan negeri secara komunalitas. Tanah dati dan tanah
negeri adalah dua area yang kepemilikannya khas, karena dimiliki secara sah
oleh pembagian dan pengakuan di dalam masyarakat. Hukum adat menerimanya
sebagai kepemilikan mutlak yang tidak bisa diganggu oleh siapa pun.
Dalam aspek itu, tanah dati
adalah kepemilikan sah dan mutlak suatu mata rumah. Negeri tidak bisa mengambil
alih tanah dati oleh alasan apa pun, selama turunan dari soa atau mata rumah
itu masih hidup. Terkecuali dalam kasus ‘soa linyap/lenyap’, di mana tidak ada
lagi turunan dari soa atau mata rumah tertentu di dalam negeri, barulah haknya
beralih menjadi ‘tanah negeri’. Peralihan ini bertujuan untuk mengindarkan
klaim kepemilikan oleh orang lain yang tidak berhak atasnya.
Praktek penyerobotan lahan
milik masyarakat oleh pihak perusahaan bersamaan dengan ‘jual tanah negeri’
atau satuan tanah dati dan tanah milik masyarakat adat merupakan kasus kedua
yang menyebabkan hilangnya hak-hak ulayat atau sumber produksi masyarakat. Ironisnya,
raja-raja, di negeri-negeri tertentu, sebagai simbol kekuatan dan sumber
legitimasi hak adatis masyarakat bertindak menjual tanah-tanah negeri dan
berkolaborasi bersama para kapitalis dan menyeroboti tanah-tanah ulayat.
Proses ini membuat
masyarakat adat, yakni keluarga-keluarga di negeri-negeri adat mulai kehilangan
tanah sebagai satu-satunya sumber produksi mereka. Jika hal ini terus terjadi,
ditambah dengan pertambahan penduduk akibat migrasi dan transmigrasi
(terselubung), seiring dengan pemekaran daerah Kabupaten atau terbentuknya
daerah otonomi baru, maka masyarakat adat akan menjadi kelompok marginal yang
tidak lagi memiliki akses produksi di tanah miliknya sendiri.
BAGAIMANA
SELANJUTNYA?
Kedaulatan ekonomi di
negeri-negeri adat ditentukan pada penguasaan tanah sebagai alat produksi yang
telah dimiliki mereka sejak dahulu. Tanah harus dipahami sebagai satuan negeri
yang sakral. Karena itu tanah adalah juga suatu medium kehidupan yang harus
dipahami secara teologis.
Tanah merupakan kepemilikan
kudus sebagai pemberian Tuhan (Imamat 25:23). Sebagai yang demikian, tanah mengandung
potensi yang memberi kehidupan kepada manusia (Imamat 25:19).
Bertani, meramu, kerja berburu
binatang hutan, mencari kayu bakar, mengolah damar, dan lainnya merupakan jenis
kerja yang dibangun atas pemahaman dan keyakinan teologi bahwa tanah menjadi
lahan yang darinya ada kehidupan. Keterikatan manusia dengan tanah ditunjukkan
melalui kerja keras dengan berpeluh (Melayu Ambon: ‘mandi karingat’). Keringat yang
bercucuran adalah gambaran keterpaduan manusia dengan tanah untuk
penghidupannya.
Bentuk-bentuk keterikatan
secara idelogis pun berkembang dalam berbagai pranata kebudayaan di mana tanah
menjadi simbol dari Tuhan. Konsep Upu Ume atau Upu Tepele (Tuhan di
negeri/tanah) dalam konsep orang Wemale dan Alune di pulau Seram menunjukkan
bahwa di tanah dan di dalam tanah ada kuasa Tuhan yang menggerakkan seluruh
organisme yang hidup di dalam dan di atasnya. Bukan hanya itu, Tuhan pun
memanifestasikan dirinya di atas dan di dalam tanah dengan beraneka hasil di
tanah dan perut bumi; baik mineral, air, dan gas bumi.
Karena itu menjual tanah
berarti menjual Tuhan, dan merusakkan lingkungan berarti merusakkan wajah Tuhan
yang baik. Konsep ketuhanan itu melihat Tuhan bukan saja dalam wujud manusia,
tetapi Tuhan dalam totalitas hidup di bumi/tanah/negeri. (*)