[Belajar dari Pendekatan Yesus dalam Lukas 5:1-11]
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Pengantar
Tentang Pola Pelayanan Gereja, dalam Tata Gereja
GPM, pasal 7, disebut bahwa:
GPM
menjalankan tugas pelayannya dengan berpolakan kehidupan Yesus Kristus sebagai:
1. HAMBA
yang taat dan mengosongkan diriNya untuk melayani bukan untuk dilayani;
2. IMAM
yang rela berkorban tanpa pamrih demi tugas-tugas pelayanan pendamaian di
antara Gereja, masyarakat dan sesama manusia;
3. NABI
yang menaklukkan segala sesuatu ke bawah penilaian Firman Allah terutama untuk
menegakan keadilan, kebenaran dan kesejahteraan umat manusia, gereja,
masyarakat, bangsa dan negara;
4. GEMBALA
yang mengenali umatnya, menjalankan tugas-tugas kepemimpinan dan pelayanan
Gereja dengan kesabaran, mencari yang terhilang dan mengumpulkan yang tersesat,
sebagaimana diperlihatkan oleh Gembala Agung Yesus Kristus;
5. PENGAJAR
yang mengajar dengan memberi teladan untuk mencerdaskan umat secara spiritual,
intelektual, emosional dan sosial.
Tentang itu
ditegaskan bahwa, seluruh pelayan dan warga gereja GPM bertanggungjawab
melakukan segala tugas panggilan dan pengutusannya menurut atau mengikuti pola
keteladanan Yesus. Karena itu yang dimaksud bahwa pelayanan gereja itu Kristosentris
tidak sekedar berpusat pada Yesus dalam dimensi misioner tetapi juga dalam
dimensi etik/keteladanan gereja.
Satu hal yang
penting dalam kaitan dengan pola keteladanan Yesus itu ialah aspek metode atau
lebih praksis lagi cara yang Yesus lakukan dalam menjalankan tugasNya. Cara apa
pun yang Yesus lakukan sesungguhnya adalah cara yang lazim dilakukan siapa
saja. Namun dimensi kuasa [manna]
yang membuktikan bahwa ada nilai lebih dari cara apa pun yang dilakukan Yesus.
Salah satunya yang dapat kita baca dalam Lukas 5:1-11.
Tulisan ini
dimaksudkan untuk berbagi tentang metode atau cara pemuridan yang dilakukan
Yesus. Sehingga dengannya, para perangkat pelayan Jemaat, atau Jemaat secara
umum bisa memedomani untuk menopang tugas bergereja di Jemaat.
Pendekatan Yesus
Sebuah
pendekatan atau cara menunjuk pada teknik atau seni tertentu. Pelayanan Gereja
dalam dimensi pemberitaan firman, pekabaran injil [PI], pastoralia adalah seni
melayani. Sebagai sebuah seni, maka hal itu perlu dijalankan dengan budhi yang
halus [setia, tekun, jujur, sungguh-sungguh, sabar, lemah lembut, sopan,
toleran, disiplin]. Mengelola budhi yang halus dalam seni melayani merupakan
cara memenuhi panggilan dan pengutusan secara sadar.
Dalam Lukas
5:1-11, kita bisa belajar dari cara yang digunakan Yesus. Penting dipahami
bahwa, perjumpaan Yesus dengan para calon muridNya itu sangat singkat, namun
hasilnya efektif karena perjumpaan itu memiliki efek pengubah yang sangat luar
biasa. Setiap perjumpaan yang berisi komunikasi antarpribadi perlu memberi efek
pengubah pada diri seseorang. Memang ini memerlukan seni atau keterampilan
tersendiri, terutama cara mengemas informasi [pesan], cara meyakinkan dan
menumbuhkan rasa percaya. Lagi-lagi keteladanan diri merupakan faktor penting
di sini. Baiklah kita belajar dari cara yang Yesus gunakan:
1. Bertemu langsung//Tatap
Muka//Bakudapa
Yesus tidak
sekedar bertemu langsung atau bertatap muka dengan para calon muridNya atau
dengan orang banyak lainnya. Lukas 5:2-3 menjelaskan bahwa, Yesus bertemu langsung
dengan Simon dan saudara-saudaranya di tempat dan waktu mereka sedang bekerja.
Yesus tidak mengundang mereka datang ke suatu tempat yang telah ditentukan.
Melainkan datang ke tempat mereka dan berada di dalam waktu ketika mereka
sedang melakukan pekerjaan pokoknya.
Jadi Yesus
menerima keberadaan mereka apa adanya, dan mereka pun menerima Yesus di tempat
mereka bekerja [yang bau amis, kotor, dan dalam pandangan umum mungkin tidak
layak].
Tidak hanya
itu, Yesus malah naik ke dalam perahu mereka. Sudah jelas perahu itu pun belum
selesai dibersihkan. Artinya Yesus tahu benar kondisi perahu itu yang amis;
barang-barang berserakan di dalamnya, malah tempat duduknya pun pasti basah.
Rupanya di
tempat itu bukan Simon dan saudara-saudaranya saja yang ada, tetapi juga orang
banyak lainnya [mereka yang mengerumuninya, dan bisa juga yang datang untuk
membeli ikan].
2. Duduk dan Berbicara [Mengajar]
Yesus yang
sudah naik dalam perahu itu, dikabarkan duduk dan mulai mengajar orang banyak
dari atas perahu. Yesus memilih tempat duduk dan wahana bertemu yang juga tidak
asing atau tidak berbeda dari keberadaan orang-orang di situ.
Perahu
merupakan wahana yang dimiliki para nelayan. Masyarakat pesisir pasti tidak
asing dengan wahana itu pula. Pantai merupakan lingkungan perjumpaannya, dan di
situ ada banyak orang yang datang dengan rupa-rupa keperluan/kebutuhan/harapan.
Dan Yesus duduk di situ dan mengajar mereka di situ pula. Ia tidak meminta
mereka ke suatu tempat yang lain supaya Ia bisa mengajar mereka. Ia langsung
memilih tempat itu untuk mengajar mereka di situ pula. Jadi semuanya serba
‘lokalitas’ – artinya, langsung di tempat di mana orang banyak itu ada. Tempat
yang tidak asing bagi mereka.
3. Mengajak Bekerja [Menetapkan
agenda guna mencapai tujuan]
Dengan
mengajar orang banyak di pesisir danau Genasaret itu, sudah tentu mereka
terpuaskan karena apa yang mereka harapkan sudah diperoleh. Namun bagaimana
dengan Simon dan rekan-rekannya, nelayan dan pemilik perahu itu?
Motivasi Yesus
datang ke pesisir Genasaret adalah berjumpa dengan Simon. Ternyata banyak orang
mengikutinya, untuk itu Ia melayani kebutuhan mereka [mengajar], supaya mereka
tidak kecewa. Setelah itu, Ia kembali ke tujuan utama, yaitu menetapkan agenda
kerja dengan Simon dan saudara-saudaranya.
Kata Yesus
“bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan”
[ay.4] menegaskan bahwa:
-
Tujuan Yesus dengan Simon dan
saudara-saudaranya itu tidak berubah
-
Ia tetap mengakui keberadaan
Simon dan saudaranya sebagai nelayan
-
Ia menghormati kerja mereka dan malah mendorong mereka bekerja; Ia
tidak menolak profesi mereka, melainkan terlibat secara bersama-sama dalam
pekerjaan mereka
Respons
Simon dalam ayat 5 menjadi menarik. “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja
keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku
akan menebarkan jala juga’. Penting diingat, dalam ayat 5 ini, Simon menyapa
Yesus dengan sapaan ‘Guru’.
Simon
telah melaksanakan tugasnya, dan gagal [tidak berhasil]. Kini ia mengakuinya tetapi
ia kemudian mau melaksanakan pekerjaannya itu sesuai agenda Yesus [bd. Ungkapan
Simon ‘karena Engkau menyuruhnya’]. Jadi Simon melakukan apa yang lazim ia
lakukan tetapi kini bukan atas pengalamannya melainkan atas perintah Yesus. Ini
dimensi baru dalam suatu agenda hidup/kerja manusia, yaitu ketika kita
melakukan apa yang biasa kita lakukan tetapi atas kehendak atau perintah Tuhan.
Pada
dimensi yang baru itu, apa yang dilakukan Simon berhasil malah melebihi apa
yang biasanya mereka dapati. Hal ini dilukiskan dari jala yang nyaris robek,
perahu yang tidak memuat ikan hasil tangkapan, dan permohonan bantuan kepada
perahu-perahu lain di sekitar mereka. Pada peristiwa itu, pengenalan Simon
kepada Petrus mengalami pembaruan secara radikal. Dalam ayat 5 ia menyapa Yesus
‘Guru’, dan pada ayat 8 ia menyapa Yesus ‘Tuhan’. Artinya, bekerja dalam
dimensi yang baru tadi membuat kita semakin mengenal dan percaya siapa Tuhan
kita. Tanpa bekerja pada dimensi baru itu, pengenalan kita tentang Tuhan tidak
akan berkembang, malah bisa saja mengalami degradasi/penurunan kualitas
percaya.
4. Mengubahkan Sang Murid
Simon, Yakobus
dan Yohanes, dan rekan lainnya telah berhasil dijangkau oleh Yesus.
Keberhasilan Yesus dibangun dari perjumpaan awal tadi, kemudian adanya rasa percaya
[setelah mendengar Ia mengajar], ketaatan mereka bertumbuh melalui sikap mereka
menyambut ajakan Yesus untuk mencari ikan lagi [dengan melupakan lelah
semalam//dimensi kerja keras atau sungguh-sungguh], dan menuruti kata-kataNya,
serta menyaksikan bagaimana kerjanya berhasil melimpah.
Bekerja dalam
dimensi kuasa Tuhan akan membuat kerja yang biasa berbuah hasil maksimal
[berkelimpahan]. Untuk memotivasi orang seperti itu perlu ada perjumpaan
langsung dan pesan-pesan yang konkrit melalui komunikasi yang cerdas pula.
Karena
keberhasilan tadi, maka Yesus tidak berhenti sampai di situ. Ia malah
mengubahkan Simon, Yakobus, Yohanes dan murid lainnya untuk menjadi ‘penjala
manusia’ [ay.10-11]. Artinya, mereka akan bekerja dalam wujud yang baru, tetapi
dengan metode dan pengalaman yang pernah mereka miliki. Mereka terbiasa mencari
ikan, dan terkadang pulang tanpa membawa hasil. Kini mereka harus mencari
[menjala] manusia. Walau dihadapkan pada banyak tantangan [tidak berhasil],
tetapi mereka harus melakukannya bukan menurut agenda mereka, tetapi harus
menurut agenda Tuhan.
Jadi
pengalaman sebagai nelayan menjadi sumber-sumber motivasi tentang kerja tekun,
sabar, hati-hati [mempertimbangkan aspek-aspek ancaman, tantangan, peluang],
disiplin [bisa sehari tanpa tidur], bersama-sama/kerjasama, taat pada perintah
juru mudi [kepemimpinan], walau gagal tetapi harus terus siap untuk terus
bekerja [tidak gampang menyerah]. Pengalaman itu bisa ditransformasi oleh kita
masing-masing sesuai dengan profesi yang kita atau warga jemaat tekuni.
Maka ternyata,
tujuan utama Yesus dengan Simon dan rekan-rekannya, atau tujuan utama kita
dalam menjangkau orang menjadi murid Yesus adalah mendorong orang itu mengalami
perubahan, sebab ia tidak bisa terus ada dalam situasi diri yang tidak
mengutungkan.
Langkah
dan/atau beberapa prinsip ini perlu menjadi pertimbangan kita bersama. Jemaat
ada dalam ruang profesi masing-masing. Ke depan pun kita bergumul dengan
pemilihan Majelis Jemaat, atau masalah-masalah rumah tangga jemaat. Cara-cara
Yesus ini bisa menjadi acuan bagi kita guna meningkatkan kualitas pelayanan di
tengah jemaat.
[Ibadah Keluarga Perangkat
Pelayan Jemaat Rumahtiga
17 Juni 2014. Rumah Dkn. S.
Leimena – Sektor Kalvary]