Rekonesepsi Tuhan dalam Budaya Buru
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Pengantar
Dalam bukunya ‘Masa Depan Tuhan; Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme’, Karen Amstrong menulis begini:
Orang-orang yang beriman tahu bahwa secara teoretis Allah sama sekali di luar jangkauan, transenden, tetapi kadang-kadang mereka berasumsi bahwa mereka tahu persis siapa ‘dia’ dan apa yang dia pikirkan, cintai, dan harapkan. Kita cenderung menjinakkan dan memiara ‘keberadaan’ Tuhan. Kita tak henti-hentinya meminta Tuhan untuk memberkati bangsa kita, menyelamatkan ratu kita, menyembuhkan penyakit kita, atau memberi kita hari yang cerah untuk berpiknik. Kita mengingatkan Tuhan bahwa dia telah menciptakan dunia dan bahwa kita adalah pendosa yang sengsara, seolah-olah hal ini barangkali telah tergelincir dari pikirannya. Para politikus mengutip Tuhan untuk membenarkan kebijakan mereka; para guru memperalatnya untuk menjaga ketertiban di dalam kelas, dan para teroris melakukan kekejaman atas namanya. Kita memohon agar Tuhan mendukung pihak ‘kita’ dalam pemilihan atau peperangan, meski lawan kita, mungkin, juga merupakan umatnya serta obyek cinta dan kasih sayangnya [2011:9,10].
Kutipan ini dicantumkan agar tulisan ini pun tidak dianggap sebagai semacam ‘keyakinan’ bahwa kitalah yang paling tahu tentang siapa dan bagaimana Tuhan itu. Walau demikian Tuhan adalah juga konstruksi pikiran dan ide kita dan kita mengenalnya karena kita mengkonstruksi Tuhan dari pengalaman-pengalaman dan penalaran [baca. refleksi] kita.
Dalam dogma kita mengenal gelar-gelar Tuhan. Di dalam Perjanjian Lama [PL] dan Perjanjian Baru [PB] kita pun belajar bagaimana masyarakat Israel Alkitab mendefenisikan Tuhan. Karena itu sering disebut melalui filsafat kita menjumpai Tuhan yang abstrak dan jauh, tetapi melalui Alkitab kita menjumpai Tuhan yang sangat personal, yaitu Tuhan yang digambarkan ada di dalam pengalaman langsung dengan manusia. Ia bukan hanya ada melalui kuasanya mencipta, tetapi ia berdialog langsung dengan manusia. Malah dalam PB kita menemui sebuah gambaran tentang Tuhan yang ‘menjadi manusia’. Gambaran itu pun merupakan abstraksi dari konsep logos yang transenden menjadi logos yang imanen [khusus dalam Injil Yohanes dan Surat-surat Paulus].
Sejarah dogma kristen menunjukkan pula bahwa pengakuan iman [credo] seperti Pengakuan Iman Rasuli, Nicea Konstantinopel dan Athanasius, merupakan bentuk afirmasi [=refleksi] tentang siapa dan bagaimana Tuhan. Malah pengakuan iman itu dipahami sebagai klarifikasi yang defenitif tentang Tuhan di dalam kekristenan.
Sampai saat ini, ragam budaya populer seperti lukisan, ukiran atau seni patung, relief, dapat menerangkan juga tentang kemampuan manusia memvisualisasi Tuhannya.
Malah visualisasi itu sudah menjadi suatu kebenaran tentang wujud visual dan personalitas dari Tuhan. Lihat saja aneka lukisan Yesus. Ada lukisan kelahirannya di kandang domba bersama Maria dan Yusuf, kedua orang tuanya. Yesus di masa kanak-kanak yang bertelanjang badan, Yesus di masa remaja yang mencium sekuntum bunga atau memegang salib kecil, Yesus menggendong seekor anak domba, Yesus dan anak-anak, Yesus berdoa, membangkitkan orang mati, menyembuhkan rupa-rupa orang sakit, bercakap-cakap dengan perempuan, tersalib, sampai Yesus yang bangkit.
Beberapa pengistilahan dalam rupa-rupa bahasa juga merupakan bentuk pengenalan tentang Tuhan menurut bahasa masyarakat bangsa-bangsa. Di Maluku ada beberapa istilah tentang Tuhan yang digunakan secara khas oleh tiap sub-etnik yang menggunakan istilah tersebut.
Orang Tanimbar dan Babar lebih suka dengan istilah Ubu Ratu, Ratu/Rato. Kelompok masyarakat Kei gemar menyebut Duad atau Duad Lervuan untuk menamai subyek transenden yang dikenal sebagai Tuhan. Sub etnik di Maluku Tengah dan Maluku Selatan gemar dengan istilah Upu Lanite, Upu Tepele, Upu Ume, Tunai, Upu Kahuresi Leha Banua, Elo Lanit ee. Atau karena pengaruh Melayu Ambon, mereka pun kerap menyebut Upu Kabasarang, Sedangkan sub-etnik di pulau Buru menyebutnya Oplastala.
Istilah-istilah dalam bahasa lokal beberapa sub etnik di Maluku tentang Tuhan seperti tadi menunjuk pada Tuhan dalam arti tunggal dan digunakan oleh semua komunitas beragama Islam dan Kristen. Artinya konsepsi itu lahir sebelum masuknya agama wahyu yakni Islam dan Kristen ke Maluku.
Dari kedua agama itu kemudian muncul konsepsi Tuhan dalam istilah-istilah yang baru yakni Allah. Dari situ berkembang pula konsepsi yang melihat Tuhan sebagai figur transenden yang memperkenalkan dirinya dalam beragam manifestasi seperti melalui kitab suci [Al-Qur’an dan Alkitab] dan secara khusus dalam kekristenan melalui Yesus [bentuk penyataan khusus].
Tradisi beragama kemudian menempatkan tokoh-tokoh suci seperti Nabi, Rasul, dan bangunan-bangunan suci seperti Masjid dan Gereja sebagai materialisasi agama dan representasi kehadiran Tuhan di tengah hidup umat. Karena kuatnya ‘penetrasi’ kedua agama wahyu ini maka konsepsi Tuhan dalam bahasa tanah tadi tenggelam seiring dengan ‘penghancuran’ ritus agama asli dalam tiap sub etnik.
Di waktu tertentu, konsepsi Tuhan menurut bahasa tanah tadi dipandang sebagai bagian dari ‘kegelapan’ –akibatnya dikategorikan sebagai tuhan dengan huruf ‘t’ kecil, yang di bagian daerah lain disejajarkan dengan konsepsi dewa atau ilah. Malah di Maluku, konsepsi Tuhan tadi disejajarkan dengan tete nene moyang atau manusia yang sudah mati tetapi memiliki pengaruh ke dalam hidup masyarakat. Padahal tete nene moyang, di zaman mereka hidup telah membangun paham tentang makhluk adikodrati yang ‘omnipotent’ atau Tuhan, tetapi sesuai dengan bahasa tanah yang mereka miliki.
Hal ini yang membuat kedua agama wahyu ini memperkenalkan Tuhan kepada umatnya masing-masing dengan mengadopsi paham budaya Arab dan Israel Alkitab. Akibatnya kita tanpa sadar memahami bahwa Tuhan itu bekerja terlebih dahulu dalam masyarakat di Timur Tengah dan baru bekerja dalam masyarakat kita pada saat masuknya agama wahyu.
Padahal jauh sebelum agama wahyu masuk ke Maluku, masyarakat di Maluku sudah ada terlebih dahulu. Mereka sudah mengembangkan aturan-aturan adat yang mengikat diri dan kelompok [termasuk sistem Pela dan Gandong], dan ada ajaran-ajaran kehidupan yang berkembang dari generasi ke generasi secara lisan [seperti ajaran tentang pamali], malah sudah mengelompokkan diri dalam satu negeri menurut soa, mata rumah, dan sudah mengangkat pemimpin [raja], dan tertib mengatur batas-batas tanah [petuanan] masing-masing soa atau antar satu negeri dengan negeri lainnya. Semua itu sudah terjadi sebelumnya, malah kualitasnya lebih tinggi dari fenomena hidup masyarakat setelah masuknya agama wahyu.
Penetrasi Kristen dan Konsepi Tuhan dalam Melayu Ambon
Tete Manis, Tuangallah [Tuang Allah], Tuangisa [Tuang Isa], Bapa Sombayang dan Elmeseh merupakan konsepsi Tuhan yang secara khusus di dalam melayu Ambon. Buku Nyanyian Dua Sahabat Lama malah masing menulis kata ‘Isa’ di dalam syair lagu-lagu tertentu seperti DSL No. 201 ‘Sobat Yang Benar’, ditulis ‘Isa ada sobat kita amat tulus dan benar, dsl’. Tetapi pada saat menyanyikan lagu itu saat ini, syair itu menjadi ‘Yesus ada sobat kita amat tulus dan benar, dsl’.
Sepertinya kata ‘Isa’ dilihat sebagai pengistilahan yang salah atau tidak lazim dalam tradisi gereja saat ini. Padahal istilah itu adalah bentuk penerjemahan dalam melayu Ambon yang juga dipengaruhi oleh bahasa Arab. Ada semacam penilaian atau kecurigaan misiologis dengan istilah tersebut sebagai yang bercorak Islam sehingga tidak lazim disebut dalam tradisi gereja. Padahal istilah itu merupakan resapan bahasa Arab yang turut memperkaya khasanah bahasa teologi gereja di Maluku/Ambon.
Sedangkan istilah Tuangallah [Tuang Allah] telah dipahami dan digunakan secara bias, sehingga dipahami sebagai bentuk umpatan atau penyebutan kasar tentang Tuhan dan karena itu dilarang untuk diucapkan. Pelarangan itu bukan karena istilah itu adalah nama Tuhan yang kudus seperti Yahweh, melainkan karena sudah dikonotasikan kasar. Maka menyebutnya kerap diartikan sebagai semacam dosa terhadap nama Tuhan. Padahal istilah Tuang menunjuk pada orang yang besar, terhormat, terpandang, pembimbing, penuntun, pemimpin, dan yang terkasih [bnd. Basudara Tuang hati jantong]. Istilah Tuang menegaskan tentang adanya suatu relasi antara seseorang dengan orang yang mengagumi atau merasa memiliki dan dimiliki oleh orang tersebut.
Karena itu Tuang Allah dapat diartikan bahwa Allah itu adalah yang besar, yang utama, yang terhormat/dihormati. Allah itu pembimbing, penuntun, pemimpin. Malah Allah itu adalah orang yang dikasihi oleh manusia, dimiliki secara khusus oleh manusia. Sebab itu penyebutan Tuang Allah menegaskan relasi kepemilikan dan relasi cinta kasih antara manusia dengan Tuhan.
Mungkin arti itu pun sama ketika kita menjelaskan konsepsi Tete Manis. Dari pengalaman beta dengan beberapa orang tua di Liang, Wakal dan Hitumessing, saya menjumpai betapa fasihnya mereka menyebut Tuang Allah dan Tete Manis. Mengenai Tete Manis, dijelaskan mereka bahwa istilah itu berarti Tuhan yang penuh kasih sayang. Bentuk relasi sosial yang ideal mengenai itu ialah relasi antara seorang tete dengan anak dan cucunya.
Istilah itu menggambarkan tentang siapa Tuhan dan bagaimana sifatnya. Mengenai siapa Tuhan, dalam pandangan basudara Islam di Liang, Wakal dan Hitumessing, Tuhan atau Tete itu adalah yang disembah oleh orang tua kita. Jadi Ia ada di atas orang tua kita. Orang tua dalam arti ini adalah tete nene moyang atau leluhur yang percaya kepada Tuhan dalam sebutan Tete Manis. Kepada orang tua kita, Tete Manis menunjukkan cara-cara hidup yang benar [aturan adat] dan menghendaki ajaran itu diwariskan kepada keturunan selanjutnya [cucu, cece, cicit]. Jadi kita yang ada saat ini adalah pewaris ajaran-ajaran kebaikan [adat] yang diberi Tete Manis melalui tete nene moyang [orang tua] kita.
Tete Manis yang memberi aturan adat itu adalah Tuhan yang penuh kasih. Ia mau supaya anak cucunya hidup dalam damai, saling mengasihi, menjaga hubungan adik-kakak [basudara pela dan gandong], menghormati hak-hak orang lain [petuanan, dati, hak ulayat], berbagi dalam menanggung beban bersama [masohi, badati], jujur dan tidak mencuri atau merusakkan alam [sasi] dan lainnya.
Ajaran-ajaran itu merupakan wujud kasih Tuhan kepada manusia [anak cucu] sekaligus bentuk praktis dari sifat Tuhan yang baik atau manis. Maka Tete Manis menunjuk pada Tuhan yang memberi kepada manusia ajaran-ajaran ‘hidop bae’ [hidup yang baik].
Oplastala; Konsep Tuhan dalam Bahasa dan Budaya Orang Buru
Opo adalah istilah dasar tentang Tuhan dalam bahasa Buru. Bentuk jamak dari istilah itu adalah Oplastala. Beta akan menunjukkan salah satu bentuk afirmasi tentang Oplastala dalam tradisi pengakuan iman gereja yang disusun oleh Pdt. John Beay, dalam liturgi Pembukaan MPPD AMGPM Daerah Buru Selatan tahun 2012 di Jemaat Namrinat. Rumusannya ialah [rumusan ini sudah beta revisi tata bahasanya atas ijin sang penyusunnya]:
Kami Percaya kepada Allah yang Esa, yang disembah sejak zaman leluhur kami dalam rupa-rupa fungsi dan kuasa. Allah itu ialah Oplastala fisaka Langit, Opo Geba Snulat, Allah pencipta langit dan bumi. Allah itu yang menyuruh kami menjaga, melestarikan dan mengolah seluruh isinya bagi kehidupan kami. Dia juga ialah Opo Geba Blangan, Allah yang menghitung kami satu demi satu, yang mengetahui dan memelihara kami dan semua orang di dunia, dan Opo Geba Penatat, Allah yang memberkati keringat kami dan memberi kepada kami Hawagut setiap hari.
Sebagaimana semua orang beriman di dunia percaya, demikianlah kami dan leluhur-leluhur kami percaya, bahwa Opo Yesus adalah Anak Berkhendak, yaitu Anak yang lahir di dalam hidup kami manusia. Ia meninggalkan Kaku Date Garan untuk menebus kami dari dosa dan kematian melalui jalan salib. Ia mati, tetapi bangkit pada hari yang ketiga dan telah naik ke Huma Enmilit untuk memberi kepada kami yang percaya kepadaNya, Muan modan slamat-slamat.
Kami Percaya kepada Opo Roh Kudus, yang setiap saat mendiami hidup kami dan memberi kepada kami kedamaian, kekuatan serta petunjuk-petunjuk tentang kehidupan yang baik melalui perintah-perintah dalam adat istiadat kami, seperti Kakawait Baheren, Kalebat, Sihit, Watelahi dan Amalahi supaya kami hidup di jalan yang benar sesuai kehendak Tuhan.
Karena itu kami akan tetap menjadi gereja yang hidup dan mampu memelihara perdamaian dengan sesama dan alam semesta ciptaan Tuhan sampai selama-lamanya. Amin!
Rumusan itu memosisikan Oplastala dalam kerangka Tri-Tunggal di dalam Kekristenan, sehingga tampak pula pengakuan tentang Opo Yesus dan Opo Roh Kudus. Padahal Oplastala adalah konsep Tuhan dalam arti Tunggal dan meliputi berbagai fungsi [omnipotent], sama dengan konsep Duad [Kei] atau Tuniai [Wemale, Alune], Ubu Ratu [Tanimbar, Babar].
Cukup beralasan formulasi Oplastala dalam kerangka tri-tunggal itu sebab tradisi pengakuan iman gereja mengandung pengakuan akan ketritunggalan Allah yakni Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Namun sejauh itu mengenai hakekat dan fungsi Tuhan dalam paham masyarakat budaya Buru, maka Oplastala adalah Tuhan dalam arti tunggal dan kuasanya utuh tidak terbagi-bagi.
Namun dalam rangka pencarian bentuk afirmasi yang kontekstual di GPM, rumusan pengakuan iman ini patut menjadi acuan yang bermakna. Aspek-aspek Tuhan dalam pengakuan ini perlu dijelaskan secara teologis.
Oplastala
Dalam pengakuan itu, Oplastala dilekatkan pada fungsi penciptaan dan pemelihara serta memberi kepada manusia tanggungjawab untuk memelihara ciptaan-Nya itu. Ini adalah model pengakuan yang lazim dalam tradisi iman agama. Sebab kuasa mencipta memosisikan Tuhan sebagai Penyebab Yang Utama. Konsepsi ini bertumpu pada konsepsi ex nihilo dalam teologi agama yang berkembang di abad-abad pertama. Bahwa Tuhan menciptakan dunia ini dari ketiadaan menjadi suatu ada yang baru. Dengan mencipta dari ketiadaan menjadi ada, maka Tuhan diakui sebagai Penyebab Yang Utama [prima causa] dari semua yang tercipta. Dengan begitu Tuhan disebut sebagai pencipta dan manusia serta ciptaan lain adalah makhluk yang tercipta.
Pengakuan Oplastala fisaka langit, Opo Geba Snulat = Allah pencipta langi tdan bumi, berarti Oplastala ialah Tuhan atau Yang Utama bagi masyarakat Buru. Ia menciptakan masyarakat dan alam Buru yang kaya dan berlimpah beraneka potensi, dan memberi mandat kepada manusia Buru mengusahakan dan memelihara hasil ciptaan-Nya itu.
Fungsi lain dari Oplastala tergambar melalui pengakuan, Opo Geba Blangan, yaitu Allah yang menghitung kami satu demi satu, yang mengetahui dan memelihara kami dan semua orang di dunia. Pengakuan ini menunjuk pada relasi Tuhan yang dekat dengan manusia. Ia digambarkan mengenal setiap manusia yang dijadikannya dan mengetahui jumlah keseluruhan manusia yang diciptakan-Nya tanpa kecuali. Ungkapan ‘menghitung kami satu demi satu’ berarti semua orang Buru dikenal Tuhan pribadi lepas pribadi, dan Tuhan tahu di mana Ia menempatkan mereka satu demi satu [dalam arti fungsional]. Apakah ini juga berarti bahwa Tuhan membagi pada tiap-tiap orang atau tiap-tiap kelompok teritori sosial masing-masing? Hal ini juga masih perlu didalami. Namun dalam beberapa diskusi diketahui bahwa setiap kelompok marga di Buru memiliki hak atas wilayah yang sudah dibagi-bagi sejak awalnya.
Fungsi Opo Geba Blangan ternyata sangat terkait dengan perannya dalam pengakuan Opo Geba Penatat, yaitu Tuhan yang memberkati setiap ‘keringat’ [jerih lelah dalam bekerja] dan memberi berkat [hawagut] setiap hari. Ini merupakan fungsi yang erat terkait dengan dua gambaran fungsi tadi. Dieter Becker dan juga Donald Guthrie mengingatkan kita bahwa fungsi ini adalah fungsi trans-ekonomis dari Tuhan yang ada pula dalam dogma atau ajaran tentang Tuhan, termasuk dalam kekristenan.
Dari ketiga fungsi itu maka jelas bahwa melalui Pengakuan Iman, manusia tidak saja mengungkapkan mengapa dia memerlukan atau percaya kepada Tuhan, tetapi juga untuk tujuan apa ia percaya atau beriman. Pada saat manusia percaya kepada Tuhan sang Pencipta, maka saat itu pula manusia percaya Ia dapat memberi apa pun [baca. berkat] kepada manusia. Hal itu telah menjadi semacam asas resiprositas dalam kepercayaan agama [termasuk kristen].
Istilah-istilah Opo Geba Snulat, Opo Geba Opo Geba Blangan dan Opo Geba Penatat merupakan semacam pemberian gelar atau fungsi kepada Oplastala atau Tuhan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa gelar-gelar atau fungsi itu semakin mempertegas pensifatan Tuhan yang sesungguhnya bagi masyarakat Buru [Islam maupun Kristen].
Opo Yesus
Penyebutan ‘Opo Yesus’ mungkin tidak dapat disejajarkan dengan Opo Geba Snulat dan gelar paralel lainnya tadi. Opo Yesus lebih cenderung pada pemosisian Yesus dalam relasi dengan Oplastala. Namun hal itu pun masih perlu diuji lagi, sebab jika demikian maka pengakuan ini memosisikan Oplastala di satu tempat dan pada fungsi tertentu, dan Opo Yesus, serta nanti Opo Roh Kudus pada tempat dan fungsi lainnya. Tetapi sebenarnya rumusan pengakuan ini pun mengandung hal yang menarik, yaitu bagaimana Yesus dipersonalisasikan secara tersendiri. Yesus diimani sebagai Anak Berkhendak [=berkehendak], yaitu seorang anak yang lahir dalam hidup manusia atau dalam hidup masyarakat Buru.
Pengakuan bahwa ‘Ia meninggalkan kaku date garan’ [tempat yang kekal, kemuliaan] menunjukkan pengaruh teologi imanensi Allah melalui kelahiran Yesus. Konsep Yesus sebagai Anak Berkhendak dapat disejajarkan dengan konsepsi Tuhan dalam Injil Yohanes [logos atau firman yang menjadi manusia]. Ia kini telah masuk ke dalam hidup manusia Buru melalui peristiwa kelahiran. Karena itu ciri kealahan dan kemanusiaan yang melekat pada Yesus [konsep totus totus] dilekatkan dalam pengakuan ini. Konsepsi salib, kematian, kebangkitan, kenaikan ke surga [=huma enmilit, rumah kudus] dan keselamatan kekal, merupakan bukti pengaruh kekristenan dalam rumusan pengakuan tentang Yesus dalam hidup orang atau Jemaat-jemaat di Buru.
Opo Roh Kudus
Rumusan ketiga dalam pengakuan iman yang disusun Pdt. John Beay adalah pengakuan tentang ‘Opo Roh Kudus’. Opo Roh Kudus digambarkan cukup berbeda dari Opo Yesus, tetapi dikarakterkan abstrak seperti Oplastala. Fungsinya diarahkan pada semacam pemberian imaterial berupa aturan kehidupan, suasana hidup damai, yang ternyata berwujud secara material dalam adat, yang berguna mengatur dan menjamin kehidupan manusia.
Walau demikian pengakuan ini semakin menegaskan konsepsi trinitas yang sudah ditransformasi ke dalam struktur kepercayaan jemaat di Pulau Buru. Dengan pengakuan akan Opo Roh Kudus kita dapat mengetahui bahwa konsepsi Oplastala sebagai Tuhan dalam arti tunggal, utuh, turut berpengaruh dalam pengakuan Tuhan dalam kekristenan di Buru. Rumusan pengakuan iman ini menjadi semacam bentuk kontekstualisasi atau reproduksi kontekstual atas dogma tradisional yang ada [dalam kekristenan dan orientasi agama orang Buru]. Dua warisan dogmatik itu diolah kembali dalam suatu wawasan yang baru untuk mencari makna yang hakiki dari bagaimana memperkenalkan Tuhan dan kekristenan secara kontekstual.
KAMUS :
Hawagut : Berkat, rezeki
Huma Enmilit : Rumah Kudus=Sorga
Kakawait Baheren: Persaudaraan yang penuh cinta kasih
Kaku Date Garan : Kerajaan kekal, kemuliaan
Kalebat : Tanggungjawab bersama membangun kehidupan
Muan modan slamat-slamat : Keselamatan Kekal
Sihit : Tanggung jawab melestarikan alam dan mengolahnya bagi kehidupan
Watelahi dan Amalahi: Suatu tatanan kehidupan yang berlandaskan etika dan moralitas tentang penghormatan dan kepatuhan terhadap orang tua yang adalah juga wakil Allah di dunia
Tuesday, February 28, 2012
KELEYE
Konsepsi Tentang ‘Gereja’ dalam Masyarakat Wemale di Honitetu
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Pengantar
Beta pernah menulis ‘kareda’ [bahasa Yamdena], sebuah konsepsi tentang gereja dalam masyarakat Tanimbar Selatan. Dari situ terdapat ruang perlacakan yang cukup luas dan dimulai dari tradisi membahasa masyarakat. Beta yakin bahwa bahasa tanah [ordinary language, native speech] di Maluku juga memiliki kosa kata yang menunjuk pada suatu persekutuan khusus dalam fungsi-fungsi ritus di masa lampau. Secara teoretik kecurigaan itu terbangun karena istilah ‘gereja’ yang digunakan dalam bahasa Indonesia ternyata merupakan serapan dari istilah ‘igreja’ dalam bahasa Portugis. Maka ketika mendengar istilah ‘kareda’, kecurigaan tadi mendorong dilakukannya pelacakan ke dalam struktur bahasa tanah dari beberapa sub-etnik di Maluku.
Minggu, 26 Februari 2012, ketika berkesempatan memimpin Ibadah Minggu Sengsara II di Jemaat Ursana, salah satu dusun dari negeri adat Honitetu, beta mendapati kesan yang luar biasa .
Kesan pertama, di papan statistik Jemaat, tertulis dua Sektor Pelayanan yang bernama Sektor Nusapapai [=pikul pulau, menunjuk pada tanggungjawab kepemimpinan] dan Sektor Hanuwele [=putri kelapa, salah satu mitos utama orang Wemale]. Sesuatu yang jarang ditemui dalam penamaan gereja dan sektor pelayanan di GPM yang lazim menggunakan nama-nama dari Alkitab atau tempat-tempat di Timur Tengah. Memang nama Gereja Ursana adalah SYALOM, tetapi nama Sektor tadi memperlihatkan bahwa penggunaan istilah-istilah lokal telah menjadi salah satu dimensi dari berteologi kontekstual. Teologi kontekstual tidak berarti melepaskan warisan-warisan tekstual dari Alkitab, melainkan menterjemahkan warisan tadi agar menjadi hidup ketika didialogkan dengan warisan budaya dan perubahan sosial setempat.
Kesan kedua ialah munculnya istilah ‘keleye’ yang berarti ‘gereja’. Istilah itu disampaikan tuagama, Roberth Silaka dan Benjamin Tebiary. Beta bertanya ke arah itu atas kenyataan penamaan dua sektor tadi. Dan beta memastikan ‘keleye’ sebagai suatu istilah yang sakral atau khusus walau ada istilah lain yakni ‘Tunai ei luma’ atau rumah Tuhan. Namun istilah ini sudah bersifat teknis dari kata ‘Tunai’ [=Tuhan], dan ‘luma’ [rumah].
Kesan yang kedua ini menunjukkan bahwa masih banyak warisan eklesiologi kontekstual yang perlu terus dilacak. Bahasa tanah merupakan obyek ilmunya sekaligus pintu masuk untuk menelisik alam sosial-budaya [sitz im-leben] dari istilah tersebut, sebab sebuah istilah digunakan untuk menunjuk pada bentuk prakteknya. Karena itu praktek agama suku atau ritus kebudayaan masyarakat Wemale di Honitetu diperkirakan merupakan ruang sosial dari mana istilah itu muncul dan dipraktekkan. Untuk hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut yang sudah tentu menghadapi kendala-kendala tertentu sebab praktek agama suku atau ritus budaya sudah banyak yang ‘ditunggangbalikkan’ oleh kecurigaan misiologis dalam sejarah kontak adat dan kekristenan di masa lampau.
Keleye, reproduksi teks budaya dan agama orang Wemale
Mitos gunung suci orang Wemale [Solohua] merupakan salah satu bentuk material kebudayaan dan warisan agama asli yang sampai saat ini membentuk perilaku dan paham-paham budaya orang Wemale, termasuk di Honitetu.
Selain itu, ritus mausue anae sebagai ritus yang dikenakan kepada anak yang baru lahir turut menjadi bukti lain dari adanya pola-pola budaya asli yang terus dipelihara oleh mereka. Sebuah ritus yang mengingatkan kita pentingnya anak sebagai person dan anak sebagai bagian dari komunitas. Sebab ritus ini dilakukan agar masyarakat mengetahui seorang anak telah lahir dan serentak dengan itu masyarakat mengakui keberadaan anak tersebut dan menerimanya [afirmatif] sebagai bagian dari komunitas suku/sub suku.
Kuatnya ikatan komunalitas orang Wemale dibentuk pula oleh berbagai praktek adat yang bertujuan untuk mengokohkan persekutuan di antara orang-orang Wemale. Mengapa komunalitas itu perlu bagi orang Wemale? Orang Wemale terdiri dari beberapa kelompok seperti Wemale Nudua Siwa, Wemale Wapiopatai dan Wemale Ulibatai. Dari situ integrasi di kalangan orang Wemale menjadi hal prinsipil.
Apa yang dapat dijadikan sebagai kekuatan filsafati ke arah integrasi bagi mereka? Ada beberapa pranata dan item budaya yang bisa dirujuk sebagai kekuatan filsafati mereka seperti ideologi gunung suci, mitos, saniri tiga batang air [Eti, Tala, Sapalewa], dan lainnya. Masing-masing pranata atau item budaya itu menjadi ciri dan simbol identitas orang Wemale.
Identias suku selalu diperkuat melalui ritus. Kita bisa mencatat ritus kekehan sebagai ruang sosial di mana identitas dan komunalitas tadi dibentuk. Kakehan merupakan semacam persekutuan rahasia yang bertujuan menggembleng para pemuda [ribane] untuk mengikuti pendidikan khusus agar mereka dapat menjadi pemimpin di dalam masyarakat. Setiap ribane dampingi oleh dua orang pendamping yang disebut masalo. Orang-orang Wemale di Honitetu menyebut bahwa para ribane itu akan menjadi pribadi yang perkasa dan berkharisma.
Memang masih ada kesulitan tertentu untuk melacak lebih lanjut apakah istilah ‘kaleye’ digunakan dalam ritus kakehan atau juga dalam ritus agama asli yang lain seperti dalam mausue anae. Apakah istilah ‘kaleye’ digunakan untuk menyebut suatu persekutuan khusus dalam arti ritual? Hal itu masih akan dilacak lebih lanjut.
Keleye, reproduksi teks budaya dalam eklesiologi kontekstual
Secara operasional ‘keleye’ berarti ‘persekutuan, orang banyak yang datang berkumpul’. Dari situ orang Wemale di Honitetu mengartikannya sebagai ‘gereja’ dalam arti yang sangat organis yakni persekutuan manusia. Gereja dalam arti material disebut dengan istilah ‘Tunai ei luma’ atau rumah Tuhan.
Istilah ‘keleye’ juga digunakan secara bersamaan dengan istilah ‘ukeleye’ yang berarti ‘teman-teman’ dalam arti orang banyak. Dari istilah ‘ukeleye’ itu dapat dipastikan bahwa persekutuan atau orang banyak dalam istilah ‘keleye’ tadi bersifat terbuka, tidak hanya pada satu soa atau mata rumah tertentu melainkan terbuka pada orang banyak atau komunitas yang luas.
Ketika istilah itu diartikan sebagai gereja, berarti orang banyak dari berbagai latar belakang yang berbeda tadi berhimpun dalam satu komunitas [yang baru] dan terikat pada prinsip-prinsip [ideologi, paham teologi] yang sama. Aspek komunalitas tadi berkembang menjadi suatu prinsip bersama yang mengikat tiap orang di dalam persekutuan ‘keleye’ itu. Jadi tetap ada suatu paham teologi yang membuat walau anggota ‘keleye’ tadi memiliki latar belakang yang berbeda, mereka tetap merasa sebagai satu bagian yang utuh. Dalam budaya orang Wemale, ideologi itu adalah ideologi suku. Mitos gunung suci dapat disebut sebagai salah satu bentuk paham teologi tradisional yang menjadi kekuatan pemersatu ‘keleye’. Sebab dalam mitos itu terkandung paham mengenai keselamatan dan etika hidup di dunia.
Hal itu sama dengan paham teologi di dalam kekristenan yang juga membuat persekutuan kristen itu terpelihara. Yang pasti bahwa istilah ‘keleye’ dan ‘gereja’ sama-sama bertumbuh dalam konteks sosial yang riil dan dibangun pula di atas pandangan serta ajaran-ajaran yang telah dianggap sebagai kebenaran umum [common-truth] atau apa yang disebut sebagai iman dan kepercayaan [faith and believe].[*]
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Pengantar
Beta pernah menulis ‘kareda’ [bahasa Yamdena], sebuah konsepsi tentang gereja dalam masyarakat Tanimbar Selatan. Dari situ terdapat ruang perlacakan yang cukup luas dan dimulai dari tradisi membahasa masyarakat. Beta yakin bahwa bahasa tanah [ordinary language, native speech] di Maluku juga memiliki kosa kata yang menunjuk pada suatu persekutuan khusus dalam fungsi-fungsi ritus di masa lampau. Secara teoretik kecurigaan itu terbangun karena istilah ‘gereja’ yang digunakan dalam bahasa Indonesia ternyata merupakan serapan dari istilah ‘igreja’ dalam bahasa Portugis. Maka ketika mendengar istilah ‘kareda’, kecurigaan tadi mendorong dilakukannya pelacakan ke dalam struktur bahasa tanah dari beberapa sub-etnik di Maluku.
Minggu, 26 Februari 2012, ketika berkesempatan memimpin Ibadah Minggu Sengsara II di Jemaat Ursana, salah satu dusun dari negeri adat Honitetu, beta mendapati kesan yang luar biasa .
Kesan pertama, di papan statistik Jemaat, tertulis dua Sektor Pelayanan yang bernama Sektor Nusapapai [=pikul pulau, menunjuk pada tanggungjawab kepemimpinan] dan Sektor Hanuwele [=putri kelapa, salah satu mitos utama orang Wemale]. Sesuatu yang jarang ditemui dalam penamaan gereja dan sektor pelayanan di GPM yang lazim menggunakan nama-nama dari Alkitab atau tempat-tempat di Timur Tengah. Memang nama Gereja Ursana adalah SYALOM, tetapi nama Sektor tadi memperlihatkan bahwa penggunaan istilah-istilah lokal telah menjadi salah satu dimensi dari berteologi kontekstual. Teologi kontekstual tidak berarti melepaskan warisan-warisan tekstual dari Alkitab, melainkan menterjemahkan warisan tadi agar menjadi hidup ketika didialogkan dengan warisan budaya dan perubahan sosial setempat.
Kesan kedua ialah munculnya istilah ‘keleye’ yang berarti ‘gereja’. Istilah itu disampaikan tuagama, Roberth Silaka dan Benjamin Tebiary. Beta bertanya ke arah itu atas kenyataan penamaan dua sektor tadi. Dan beta memastikan ‘keleye’ sebagai suatu istilah yang sakral atau khusus walau ada istilah lain yakni ‘Tunai ei luma’ atau rumah Tuhan. Namun istilah ini sudah bersifat teknis dari kata ‘Tunai’ [=Tuhan], dan ‘luma’ [rumah].
Kesan yang kedua ini menunjukkan bahwa masih banyak warisan eklesiologi kontekstual yang perlu terus dilacak. Bahasa tanah merupakan obyek ilmunya sekaligus pintu masuk untuk menelisik alam sosial-budaya [sitz im-leben] dari istilah tersebut, sebab sebuah istilah digunakan untuk menunjuk pada bentuk prakteknya. Karena itu praktek agama suku atau ritus kebudayaan masyarakat Wemale di Honitetu diperkirakan merupakan ruang sosial dari mana istilah itu muncul dan dipraktekkan. Untuk hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut yang sudah tentu menghadapi kendala-kendala tertentu sebab praktek agama suku atau ritus budaya sudah banyak yang ‘ditunggangbalikkan’ oleh kecurigaan misiologis dalam sejarah kontak adat dan kekristenan di masa lampau.
Keleye, reproduksi teks budaya dan agama orang Wemale
Mitos gunung suci orang Wemale [Solohua] merupakan salah satu bentuk material kebudayaan dan warisan agama asli yang sampai saat ini membentuk perilaku dan paham-paham budaya orang Wemale, termasuk di Honitetu.
Selain itu, ritus mausue anae sebagai ritus yang dikenakan kepada anak yang baru lahir turut menjadi bukti lain dari adanya pola-pola budaya asli yang terus dipelihara oleh mereka. Sebuah ritus yang mengingatkan kita pentingnya anak sebagai person dan anak sebagai bagian dari komunitas. Sebab ritus ini dilakukan agar masyarakat mengetahui seorang anak telah lahir dan serentak dengan itu masyarakat mengakui keberadaan anak tersebut dan menerimanya [afirmatif] sebagai bagian dari komunitas suku/sub suku.
Kuatnya ikatan komunalitas orang Wemale dibentuk pula oleh berbagai praktek adat yang bertujuan untuk mengokohkan persekutuan di antara orang-orang Wemale. Mengapa komunalitas itu perlu bagi orang Wemale? Orang Wemale terdiri dari beberapa kelompok seperti Wemale Nudua Siwa, Wemale Wapiopatai dan Wemale Ulibatai. Dari situ integrasi di kalangan orang Wemale menjadi hal prinsipil.
Apa yang dapat dijadikan sebagai kekuatan filsafati ke arah integrasi bagi mereka? Ada beberapa pranata dan item budaya yang bisa dirujuk sebagai kekuatan filsafati mereka seperti ideologi gunung suci, mitos, saniri tiga batang air [Eti, Tala, Sapalewa], dan lainnya. Masing-masing pranata atau item budaya itu menjadi ciri dan simbol identitas orang Wemale.
Identias suku selalu diperkuat melalui ritus. Kita bisa mencatat ritus kekehan sebagai ruang sosial di mana identitas dan komunalitas tadi dibentuk. Kakehan merupakan semacam persekutuan rahasia yang bertujuan menggembleng para pemuda [ribane] untuk mengikuti pendidikan khusus agar mereka dapat menjadi pemimpin di dalam masyarakat. Setiap ribane dampingi oleh dua orang pendamping yang disebut masalo. Orang-orang Wemale di Honitetu menyebut bahwa para ribane itu akan menjadi pribadi yang perkasa dan berkharisma.
Memang masih ada kesulitan tertentu untuk melacak lebih lanjut apakah istilah ‘kaleye’ digunakan dalam ritus kakehan atau juga dalam ritus agama asli yang lain seperti dalam mausue anae. Apakah istilah ‘kaleye’ digunakan untuk menyebut suatu persekutuan khusus dalam arti ritual? Hal itu masih akan dilacak lebih lanjut.
Keleye, reproduksi teks budaya dalam eklesiologi kontekstual
Secara operasional ‘keleye’ berarti ‘persekutuan, orang banyak yang datang berkumpul’. Dari situ orang Wemale di Honitetu mengartikannya sebagai ‘gereja’ dalam arti yang sangat organis yakni persekutuan manusia. Gereja dalam arti material disebut dengan istilah ‘Tunai ei luma’ atau rumah Tuhan.
Istilah ‘keleye’ juga digunakan secara bersamaan dengan istilah ‘ukeleye’ yang berarti ‘teman-teman’ dalam arti orang banyak. Dari istilah ‘ukeleye’ itu dapat dipastikan bahwa persekutuan atau orang banyak dalam istilah ‘keleye’ tadi bersifat terbuka, tidak hanya pada satu soa atau mata rumah tertentu melainkan terbuka pada orang banyak atau komunitas yang luas.
Ketika istilah itu diartikan sebagai gereja, berarti orang banyak dari berbagai latar belakang yang berbeda tadi berhimpun dalam satu komunitas [yang baru] dan terikat pada prinsip-prinsip [ideologi, paham teologi] yang sama. Aspek komunalitas tadi berkembang menjadi suatu prinsip bersama yang mengikat tiap orang di dalam persekutuan ‘keleye’ itu. Jadi tetap ada suatu paham teologi yang membuat walau anggota ‘keleye’ tadi memiliki latar belakang yang berbeda, mereka tetap merasa sebagai satu bagian yang utuh. Dalam budaya orang Wemale, ideologi itu adalah ideologi suku. Mitos gunung suci dapat disebut sebagai salah satu bentuk paham teologi tradisional yang menjadi kekuatan pemersatu ‘keleye’. Sebab dalam mitos itu terkandung paham mengenai keselamatan dan etika hidup di dunia.
Hal itu sama dengan paham teologi di dalam kekristenan yang juga membuat persekutuan kristen itu terpelihara. Yang pasti bahwa istilah ‘keleye’ dan ‘gereja’ sama-sama bertumbuh dalam konteks sosial yang riil dan dibangun pula di atas pandangan serta ajaran-ajaran yang telah dianggap sebagai kebenaran umum [common-truth] atau apa yang disebut sebagai iman dan kepercayaan [faith and believe].[*]
Wednesday, February 15, 2012
Konflik Pelauw
Simbol Identitas Kita Musnah Terbakar
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Pengantar
Dalam buku Encyclopedia of Philosophy (edited by. Donald M. Borchert, 2nd edition, 2006) Vol. 4, dijelaskan bahwa identitas menunjuk pada relasi antara obyek [identity is relation between objects]. Dari segi itu, identitas itu merunut kepada semacam kerangka logis yang berkisar pada unsur-unsur secara general (umum), suatu obyek khusus dan keduanya itu mengandung suatu nilai intrinsik.
Menurut hukum Leibniz [Leibniz’s Law] identitas itu terdiri atas: [a] identitas reflektif, yakni jika setiap obyek itu identik pada dirinya sendiri; [b] identitas yang bersifat simetrik, yakni ketika sebuah obyek x itu identik dengan satu obyek yang lain atau y; [c] identitas yang bersifat transitif, yakni ketika obyek x identik dengan obyek y dan obyek y identik dengan obyek z. Tiap hubungan di dalam ketiga jenis identitas itu disebut hubungan ekuivalen. [d] dan ada pula identitas yang memiliki hubungan ekuivalen lebih kuat, di mana jika suatu obyek x identik dengan suatu obyek y, kemudian x menghubungkan r dengan y, dan setiap obyek itu terhubung dengan r. Maka di dalam tiap hubungan itu ada suatu nilai yang unik atau murni.
Budaya material pada sisi tertentu merupakan unsur di dalam proses pembentukan dan pematangan identitas, termasuk di dalamnya bahasa, pranata-sosial dan simbol-simbol budaya [aspek fisik]. Karena itu ketika Georg-Simmel membangun tesis tentang tragedy of culture, ia tidak menunjuk pada model-model goncangan atau tragedi kebudayaan, seperti juga tampak dalam analisis Huntington. Simmel sedang menanyakan suatu masalah yang lebih substansial yakni masyarakat sebagai penghasil budaya itu sendiri. Sebab budaya bertumbuh di dalam dan oleh masyarakat, serta digunakan pula oleh masyarakat. Artinya budaya dalam segala aspeknya sangat terkait dengan dan dapat diartikan sebagai bagian identitas masyarakat.
Budaya tidak mungkin hidup di tanpa masyarakat [without producer], karena itu ketika salah satu obyek kebudayaan hancur, masyarakat yang menghasilkan budaya itu berada dalam goncangan, tragedy, dilema dan semacam split personality.
Di Maluku, proses-proses itu terjadi dalam suatu sejarah budaya yang panjang. Penetrasi Barat (Portugis, Belanda, Inggris) atau Jepang merupakan masa-masa tragedy kebudayaan masyarakat di Maluku. Dalam banyak aspek kita menjadi ‘konsumen’ dari produk budaya luar yang dibawa masuk [invasi]. Proses invasi itu terbukti mematikan budaya asli yang ditemui [discovery] atau dikembangkan [invensi] sendiri oleh masyarakat Maluku. Kita perlu mengakui bahwa invasi budaya itu cukup ‘berhasil’ merombak sistem-sistem budaya dalam negeri-negeri Sarane di Maluku Tengah. Beberapa bukti dari hal itu seperti kematian bahasa tanah [death language] dan rumah raja, rumah tua [milik soa] di beberapa negeri pun dirobohkan.
Berbeda dengan di negeri-negeri Salam. Bahasa, rumah raja, rumah tua soa malah tetap dilestarikan. Di kemudian waktu, dalam zaman agama [Islam] justru eksistensi rumah raja, rumah tua soa itu menjadi suatu mikro-kosmos [selain baileu]. Rumah tua soa itu ada yang menjadi milik eksklusif soa, tetapi ada di antaranya yang digunakan untuk hal-hal kebersamaan dalam negeri [rumah tua besar]. Struktur itu ada di negeri Pelauw – Pulau Haruku, yang akan menjadi bagian dari ulasan ini.
Invasi budaya yang turut mengubah sistem budaya di Maluku tampak dalam pemberlakuan UU RI Nomor 5 Tahun 1974 tentang Sistem Pemerintahan Desa yang jelas-jelas sebagai ‘proyek jawanisasi’. Namun kita mencatat, negeri-negeri Salam justru tidak pernah ada masalah serius, sebab jabatan-jabatan adat tetap dipertahankan. Mata rumah Prentah pun tetap berlaku sejak dari zaman leluhur sampai saat ini, dan raja yang diangkat selalu dari situ. Berbeda dengan negeri-negeri Kristen, sampai saat ini sering terjadi klaim mata rumah raja.
Pelauw dan Dokumen Salam Tua Maluku Tengah
Saya membuat tulisan ini dari tengah kegelisahan akan soal-soal identitas lokal kita di Maluku, sambil ‘bersedih’ atas konflik orang basudara di Haria-Porto dan Pelauw sejak akhir 2011 dan terjadi lagi di Februari 2012 ini.
Perjumpaan saya dengan Bung Embong Salampessy tanggal 14 Februari 2012 di Kudamati, tatkala kami bersama-sama akan menghadiri ibadah pemberkatan nikah seorang teman [Bung Embong menjadi fotografer dan mengikuti seluruh rangkaian pernikahan termasuk ibadah di Gereja Rehoboth].
Awalnya kami bertukar informasi mengenai jumlah rumah yang terbakar, sebab ada yang mengatakan 300 [juga di TV Nasional] dan diralat oleh bung Embong bahwa jumlahnya 500 dan total pengungsi sekitar 5.000-an yang kini tersebar di Ori, Kailolo, pulau Seram, Liang, bahkan di dalam negeri Pelauw sendiri.
Dari percakapan kami tersebut bahwa ‘ada dokumen-dokumen adat yang tabakar dalang rumah soa lai’. Saya ‘skrek’ [=kaget] sebab justru dokumen-dokumen itu berisi hal-hal yang sangat penting tentang banyak hal. Bung Embong lalu menegaskan, bahwa dokumen-dokumen itu dipandang sakral dan belum didokumentasikan dalam bentuk yang lain. Untuk membacanya pun tidak bisa secara sembarangan. Salah satu isi dari dokumen itu adalah cara penghitungan tanggal Maulid, Idhul Fitri, dan hari-hari raya Islam menurut tata cara adat yang diwariskan dari zaman leluhur.
Memang hampir tiap tahun kita menyaksikan sistem penanggalan yang berbeda antara sistem penanggalan resmi yang ditetapkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Kementrian Agama RI, juga ada penanggalan dari kelompok Muhammadyah, bahkan Islam-islam Kejawen di Jawa, Islam-islam kultural di Sumatera dan Kalimantan.
Di Maluku hal itu selalu berlangsung secara arif. Komunitas Salam di Haruku, Tulehu, Batu Merah, Hitu dan Wakal memiliki cara penanggalan serupa. Fenomena itu justru memperlihatkan bahwa Islam merupakan agama yang kaya dalam warisan-warisan kontekstualnya.
Di Pelauw, tata cara itu sudah dipraktekkan ribuan tahun, sejak Islam mulai ada di Pulau Haruku atau setidaknya ketika orang Pelauw mulai menjadi Islam. Sebagai komunitas Salam tua di Maluku Tengah, mereka sejak abad-abad awal itu melaksanakan berbagai ritus agama menurut cara penghitungan tersebut. Suatu bukti bahwa Islam kultural di Maluku telah berkembang dan memiliki mekanisme yang khas dalam membingkai keislamannya.
Sejarah masuknya Islam ke Maluku atau Indonesia justru memperlihatkan keberhasilan Islam membangun dialog antara agama [wahyu] dengan budaya masyarakat setempat. Komunitas Islam yang terbentuk di kawasan pesisir adalah komunitas Islam yang sangat telaten dengan warisan ajaran Islam yang sudah memiliki warna baru dan unik. Sebuah pertautan harmoni dengan kebudayaan setempat. Islam sangat berhasil dalam sisi itu dibandingkan Kristen yang cukup invasif terhadap warisan budaya dan adat dalam masyarakat.
Dalam Buku Mimbar dan Takhta, Frank L. Cooley, menunjuk pada nisbah ‘mimbar dan takhta’ atau gereja (mimbar) dan pemerintah negeri (takhta). Cooley mempersonifikasikan nisbah itu pada klaim antara Pendeta [yang memiliki Jemaat] dan Raja [yang memiliki masyarakat]. Dalam Tesis saya [pada UKSW, 2001], memang saya melakukan kritik terhadap Cooley yang tidak melihat pada mekanisme budaya Tiga Batu Tungku yang ternyata sudah ada sejak lama sebelum masuknya agama, yakni interelasi antara sistem sosial yakni Raja, Kepala Adat dan Mauweng. Di negeri-negeri Islam dikenal dengan sebutan Tetua Teru, seperti di Hitu dikenal sebagai hubungan antara Siatawa – Raja Hitu – Timu Lau.
Artinya, negeri-negeri Salam membangun sistem adat dan agama sebagai dua sistem yang harmoni dan tidak bertentangan satu sama lain. Orang-orang Salam di Maluku menjaga dengan baik warisan-warisan kultur itu, dan salah satu yang terus dijaga sampai saat ini adalah Pela dan Gandong.
Pelauw, Terbakarnya Rumah Soa Kami
Sudah banyak buku yang menjelaskan mengenai bagaimana soa-soa itu terbentuk, malah negeri adalah suatu bentuk liga soa yang dipimpin oleh Raja. Karena itu kepala soa memiliki peran penting di dalam soa dan negerinya. Percakapan kita mengenai soa selama ini terkait dengan pengelompokkan mata rumah, kepala soa, dusun dati, teung, dan juga rumah tua. Percakapan tentang negeri pun akan diarahkan kepada baileu, negeri lama, teung dan batu pamali serta unsur lainnya.
Rumah soa atau rumah tua sendiri adalah manifestasi material dari soa sebagai suatu simbol identitas anak negeri atau anak dati atau anak mata rumah. Di Pelauw simbol ini dikenal dengan sebutan Rumah Soa, yakni Rumah Soa dari setiap Soa di dalam negeri itu. Ada dua jenis rumah soa di Pelauw yakni [a] Rumah Soa Nai Molon atau Rumah Soa Galap [=gelap], dan [b] Rumah Soa Nai Kawa atau Rumah Soa Tarang [=terang]. Mengapa dinamai seperti itu? Saya pun masih harus mendalaminya, tetapi yang sempat saya tahu dari beberapa informan orang Pelauw bahwa Rumah Soa Nai Molon atau Rumah Soa Galap selalu diperuntukkan bagi upacara-upacara adat khusus. Dinamai demikian bukan karena suasana dalam Rumah Soa itu gelap, tetapi lebih menunjuk kepada kesakralannya. Di situ juga biasa tersimpan dokumen-dokumen yang tidak bisa diakses secara bebas oleh masyarakat. Sedangkan Rumah Soa Nai Kawa atau Rumah Soa Terang selalu digunakan untuk rapat-rapat soa atau pertemuan lainnya [pertemuan biasa]. Di Pelauw setiap soa memiliki sekurang-kurangnya 2 (dua) rumah soa, yang selalu terdiri dari dua jenis tadi, atau biasa pula di sebut Rumah Soa Kecil dan Rumah Soa Besar [sekali lagi penjelasan tentang hal ini masih akan diperbarui sesuai dengan sistem budaya di Pelauw].
Yang hendak ditegaskan di sini ialah bahwa konflik di Pelauw, 12/2-2012 yang lalu mengakibatkan kurang lebih 20 rumah soa yang terbakar, di antaranya Rumah Soa Latuconsina 1,2,3 [di dalamnya ialah Rumah Soa Basar atau Rumah Soa Prentah], Rumah Soa Angkotasan 1,2,3, Rumah Soa Salampessy 1,2, Rumah Soa Tualepe, Rumah Soa Latupono, Rumah Soa Tuasikal Kacil, Rumah Soa Tuakia, Rumah Soa Tuankotta Kacil, Rumah Soa Tunni.
Di situlah yang saya maksudkan bahwa terjadi problem serius dalam usaha kita membangun identitas budaya masyarakat Maluku. Kita sedang berusaha membangun kembali simbol-simbol kultural pasca-konflik 1999. Namun justru kita terus mengalami keterpurukan budaya dan identitas sebab simbol-simbol identitas tadi tidak sanggup merekatkan kebersamaan kita.
Apakah ada kekuatan nilai lain yang berpenetrasi ke dalam struktur nilai dasar kita di Maluku? Jika ada apakah nilai lain itu?
Di dalam kekristenan di Maluku, kita sedang jatuh bangun kembali membingkai dan mengisi teologi kontekstual, dan terus melacak simbol-simbol identitas budaya. Kita kehilangan banyak simbol ke arah itu sehingga hasil berteologi kita masih terbuka pada ruang tafsir yang baru. Kita mulai sadar bahwa teologi Baratisme yang cukup dominan selama ini sudah tidak relevan dengan konteks kekristenan di Indonesia dan Maluku, namun kita terbatas dalam warisan budaya kita sendiri.
Selebihnya, saudara-saudara Muslim memiliki kekayaan warisan itu, dan kini secara perlahan telah hancur pula. Tentu saya menolak pendapat bahwa jika simbol itu hancur, identitas kita hancur pula. Sebab saya yakin bahwa identitas budaya itu juga bersifat transitif, sehingga semakin kita berkembang ke masa depan, ada hubungan ekuivalen dengan warisan di masa lampau, walau itu adalah memori dan tradisi lisan.
Yang saya mau katakan bahwa, referensi budaya kita akan habis dan kita tidak lagi memiliki kebanggaan kultural secara material. Intinya ialah konflik sosial di Maluku adalah sebuah proses pembodohan budaya dan teologi bagi kita dan generasi Maluku di masa depan. Ini yang mesti dihentikan dan dilawan sampai ke akar-akarnya.
Heraklitus, Filusuf Yunani berkata begini: ‘seseorang tidak dapat mandi pada sungai yang sama dua kali, dan begitu seterusnya. Air mengalir. Aliran air di hari Senin tidak sama dengan di hari Selasa. Walau air sungai tidak bisa dipisahkan dan dibedakan dari aliran sungai itu; entah itu di hari senin atau selasa, air dan aliran air itu satu dan sama. Itu adalah wujud tidak kelihatan dari unsur yang identik, bahwa air di hari senin tidak sama dengan air di hari selasa. Jika seseorang mandi di sungai pada hari senin, dan kembali di sungai itu lagi pada hari selasa, ia tidak mandi di air sungai yang sama dua kali. Artinya: pada hari senin, sungai itu identik dengan aliran air di hari itu, pada hari selasa, sungai yang sama identik dengan aliran air yang berbeda. Artinya identitas itu bisa juga temporal, ada pada suatu waktu tetapi tidak pada waktu lainnya. Identitas yang temporal itu bukan pada pernyataan itu, juga bukan para sungai itu, tetapi pada semua entitas yang ada; [yakni sungai, air dan aliran air, waktu, dan orang yang mandi di sungai itu pada tiap kali dan di tiap waktu]’.
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
Pengantar
Dalam buku Encyclopedia of Philosophy (edited by. Donald M. Borchert, 2nd edition, 2006) Vol. 4, dijelaskan bahwa identitas menunjuk pada relasi antara obyek [identity is relation between objects]. Dari segi itu, identitas itu merunut kepada semacam kerangka logis yang berkisar pada unsur-unsur secara general (umum), suatu obyek khusus dan keduanya itu mengandung suatu nilai intrinsik.
Menurut hukum Leibniz [Leibniz’s Law] identitas itu terdiri atas: [a] identitas reflektif, yakni jika setiap obyek itu identik pada dirinya sendiri; [b] identitas yang bersifat simetrik, yakni ketika sebuah obyek x itu identik dengan satu obyek yang lain atau y; [c] identitas yang bersifat transitif, yakni ketika obyek x identik dengan obyek y dan obyek y identik dengan obyek z. Tiap hubungan di dalam ketiga jenis identitas itu disebut hubungan ekuivalen. [d] dan ada pula identitas yang memiliki hubungan ekuivalen lebih kuat, di mana jika suatu obyek x identik dengan suatu obyek y, kemudian x menghubungkan r dengan y, dan setiap obyek itu terhubung dengan r. Maka di dalam tiap hubungan itu ada suatu nilai yang unik atau murni.
Budaya material pada sisi tertentu merupakan unsur di dalam proses pembentukan dan pematangan identitas, termasuk di dalamnya bahasa, pranata-sosial dan simbol-simbol budaya [aspek fisik]. Karena itu ketika Georg-Simmel membangun tesis tentang tragedy of culture, ia tidak menunjuk pada model-model goncangan atau tragedi kebudayaan, seperti juga tampak dalam analisis Huntington. Simmel sedang menanyakan suatu masalah yang lebih substansial yakni masyarakat sebagai penghasil budaya itu sendiri. Sebab budaya bertumbuh di dalam dan oleh masyarakat, serta digunakan pula oleh masyarakat. Artinya budaya dalam segala aspeknya sangat terkait dengan dan dapat diartikan sebagai bagian identitas masyarakat.
Budaya tidak mungkin hidup di tanpa masyarakat [without producer], karena itu ketika salah satu obyek kebudayaan hancur, masyarakat yang menghasilkan budaya itu berada dalam goncangan, tragedy, dilema dan semacam split personality.
Di Maluku, proses-proses itu terjadi dalam suatu sejarah budaya yang panjang. Penetrasi Barat (Portugis, Belanda, Inggris) atau Jepang merupakan masa-masa tragedy kebudayaan masyarakat di Maluku. Dalam banyak aspek kita menjadi ‘konsumen’ dari produk budaya luar yang dibawa masuk [invasi]. Proses invasi itu terbukti mematikan budaya asli yang ditemui [discovery] atau dikembangkan [invensi] sendiri oleh masyarakat Maluku. Kita perlu mengakui bahwa invasi budaya itu cukup ‘berhasil’ merombak sistem-sistem budaya dalam negeri-negeri Sarane di Maluku Tengah. Beberapa bukti dari hal itu seperti kematian bahasa tanah [death language] dan rumah raja, rumah tua [milik soa] di beberapa negeri pun dirobohkan.
Berbeda dengan di negeri-negeri Salam. Bahasa, rumah raja, rumah tua soa malah tetap dilestarikan. Di kemudian waktu, dalam zaman agama [Islam] justru eksistensi rumah raja, rumah tua soa itu menjadi suatu mikro-kosmos [selain baileu]. Rumah tua soa itu ada yang menjadi milik eksklusif soa, tetapi ada di antaranya yang digunakan untuk hal-hal kebersamaan dalam negeri [rumah tua besar]. Struktur itu ada di negeri Pelauw – Pulau Haruku, yang akan menjadi bagian dari ulasan ini.
Invasi budaya yang turut mengubah sistem budaya di Maluku tampak dalam pemberlakuan UU RI Nomor 5 Tahun 1974 tentang Sistem Pemerintahan Desa yang jelas-jelas sebagai ‘proyek jawanisasi’. Namun kita mencatat, negeri-negeri Salam justru tidak pernah ada masalah serius, sebab jabatan-jabatan adat tetap dipertahankan. Mata rumah Prentah pun tetap berlaku sejak dari zaman leluhur sampai saat ini, dan raja yang diangkat selalu dari situ. Berbeda dengan negeri-negeri Kristen, sampai saat ini sering terjadi klaim mata rumah raja.
Pelauw dan Dokumen Salam Tua Maluku Tengah
Saya membuat tulisan ini dari tengah kegelisahan akan soal-soal identitas lokal kita di Maluku, sambil ‘bersedih’ atas konflik orang basudara di Haria-Porto dan Pelauw sejak akhir 2011 dan terjadi lagi di Februari 2012 ini.
Perjumpaan saya dengan Bung Embong Salampessy tanggal 14 Februari 2012 di Kudamati, tatkala kami bersama-sama akan menghadiri ibadah pemberkatan nikah seorang teman [Bung Embong menjadi fotografer dan mengikuti seluruh rangkaian pernikahan termasuk ibadah di Gereja Rehoboth].
Awalnya kami bertukar informasi mengenai jumlah rumah yang terbakar, sebab ada yang mengatakan 300 [juga di TV Nasional] dan diralat oleh bung Embong bahwa jumlahnya 500 dan total pengungsi sekitar 5.000-an yang kini tersebar di Ori, Kailolo, pulau Seram, Liang, bahkan di dalam negeri Pelauw sendiri.
Dari percakapan kami tersebut bahwa ‘ada dokumen-dokumen adat yang tabakar dalang rumah soa lai’. Saya ‘skrek’ [=kaget] sebab justru dokumen-dokumen itu berisi hal-hal yang sangat penting tentang banyak hal. Bung Embong lalu menegaskan, bahwa dokumen-dokumen itu dipandang sakral dan belum didokumentasikan dalam bentuk yang lain. Untuk membacanya pun tidak bisa secara sembarangan. Salah satu isi dari dokumen itu adalah cara penghitungan tanggal Maulid, Idhul Fitri, dan hari-hari raya Islam menurut tata cara adat yang diwariskan dari zaman leluhur.
Memang hampir tiap tahun kita menyaksikan sistem penanggalan yang berbeda antara sistem penanggalan resmi yang ditetapkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Kementrian Agama RI, juga ada penanggalan dari kelompok Muhammadyah, bahkan Islam-islam Kejawen di Jawa, Islam-islam kultural di Sumatera dan Kalimantan.
Di Maluku hal itu selalu berlangsung secara arif. Komunitas Salam di Haruku, Tulehu, Batu Merah, Hitu dan Wakal memiliki cara penanggalan serupa. Fenomena itu justru memperlihatkan bahwa Islam merupakan agama yang kaya dalam warisan-warisan kontekstualnya.
Di Pelauw, tata cara itu sudah dipraktekkan ribuan tahun, sejak Islam mulai ada di Pulau Haruku atau setidaknya ketika orang Pelauw mulai menjadi Islam. Sebagai komunitas Salam tua di Maluku Tengah, mereka sejak abad-abad awal itu melaksanakan berbagai ritus agama menurut cara penghitungan tersebut. Suatu bukti bahwa Islam kultural di Maluku telah berkembang dan memiliki mekanisme yang khas dalam membingkai keislamannya.
Sejarah masuknya Islam ke Maluku atau Indonesia justru memperlihatkan keberhasilan Islam membangun dialog antara agama [wahyu] dengan budaya masyarakat setempat. Komunitas Islam yang terbentuk di kawasan pesisir adalah komunitas Islam yang sangat telaten dengan warisan ajaran Islam yang sudah memiliki warna baru dan unik. Sebuah pertautan harmoni dengan kebudayaan setempat. Islam sangat berhasil dalam sisi itu dibandingkan Kristen yang cukup invasif terhadap warisan budaya dan adat dalam masyarakat.
Dalam Buku Mimbar dan Takhta, Frank L. Cooley, menunjuk pada nisbah ‘mimbar dan takhta’ atau gereja (mimbar) dan pemerintah negeri (takhta). Cooley mempersonifikasikan nisbah itu pada klaim antara Pendeta [yang memiliki Jemaat] dan Raja [yang memiliki masyarakat]. Dalam Tesis saya [pada UKSW, 2001], memang saya melakukan kritik terhadap Cooley yang tidak melihat pada mekanisme budaya Tiga Batu Tungku yang ternyata sudah ada sejak lama sebelum masuknya agama, yakni interelasi antara sistem sosial yakni Raja, Kepala Adat dan Mauweng. Di negeri-negeri Islam dikenal dengan sebutan Tetua Teru, seperti di Hitu dikenal sebagai hubungan antara Siatawa – Raja Hitu – Timu Lau.
Artinya, negeri-negeri Salam membangun sistem adat dan agama sebagai dua sistem yang harmoni dan tidak bertentangan satu sama lain. Orang-orang Salam di Maluku menjaga dengan baik warisan-warisan kultur itu, dan salah satu yang terus dijaga sampai saat ini adalah Pela dan Gandong.
Pelauw, Terbakarnya Rumah Soa Kami
Sudah banyak buku yang menjelaskan mengenai bagaimana soa-soa itu terbentuk, malah negeri adalah suatu bentuk liga soa yang dipimpin oleh Raja. Karena itu kepala soa memiliki peran penting di dalam soa dan negerinya. Percakapan kita mengenai soa selama ini terkait dengan pengelompokkan mata rumah, kepala soa, dusun dati, teung, dan juga rumah tua. Percakapan tentang negeri pun akan diarahkan kepada baileu, negeri lama, teung dan batu pamali serta unsur lainnya.
Rumah soa atau rumah tua sendiri adalah manifestasi material dari soa sebagai suatu simbol identitas anak negeri atau anak dati atau anak mata rumah. Di Pelauw simbol ini dikenal dengan sebutan Rumah Soa, yakni Rumah Soa dari setiap Soa di dalam negeri itu. Ada dua jenis rumah soa di Pelauw yakni [a] Rumah Soa Nai Molon atau Rumah Soa Galap [=gelap], dan [b] Rumah Soa Nai Kawa atau Rumah Soa Tarang [=terang]. Mengapa dinamai seperti itu? Saya pun masih harus mendalaminya, tetapi yang sempat saya tahu dari beberapa informan orang Pelauw bahwa Rumah Soa Nai Molon atau Rumah Soa Galap selalu diperuntukkan bagi upacara-upacara adat khusus. Dinamai demikian bukan karena suasana dalam Rumah Soa itu gelap, tetapi lebih menunjuk kepada kesakralannya. Di situ juga biasa tersimpan dokumen-dokumen yang tidak bisa diakses secara bebas oleh masyarakat. Sedangkan Rumah Soa Nai Kawa atau Rumah Soa Terang selalu digunakan untuk rapat-rapat soa atau pertemuan lainnya [pertemuan biasa]. Di Pelauw setiap soa memiliki sekurang-kurangnya 2 (dua) rumah soa, yang selalu terdiri dari dua jenis tadi, atau biasa pula di sebut Rumah Soa Kecil dan Rumah Soa Besar [sekali lagi penjelasan tentang hal ini masih akan diperbarui sesuai dengan sistem budaya di Pelauw].
Yang hendak ditegaskan di sini ialah bahwa konflik di Pelauw, 12/2-2012 yang lalu mengakibatkan kurang lebih 20 rumah soa yang terbakar, di antaranya Rumah Soa Latuconsina 1,2,3 [di dalamnya ialah Rumah Soa Basar atau Rumah Soa Prentah], Rumah Soa Angkotasan 1,2,3, Rumah Soa Salampessy 1,2, Rumah Soa Tualepe, Rumah Soa Latupono, Rumah Soa Tuasikal Kacil, Rumah Soa Tuakia, Rumah Soa Tuankotta Kacil, Rumah Soa Tunni.
Di situlah yang saya maksudkan bahwa terjadi problem serius dalam usaha kita membangun identitas budaya masyarakat Maluku. Kita sedang berusaha membangun kembali simbol-simbol kultural pasca-konflik 1999. Namun justru kita terus mengalami keterpurukan budaya dan identitas sebab simbol-simbol identitas tadi tidak sanggup merekatkan kebersamaan kita.
Apakah ada kekuatan nilai lain yang berpenetrasi ke dalam struktur nilai dasar kita di Maluku? Jika ada apakah nilai lain itu?
Di dalam kekristenan di Maluku, kita sedang jatuh bangun kembali membingkai dan mengisi teologi kontekstual, dan terus melacak simbol-simbol identitas budaya. Kita kehilangan banyak simbol ke arah itu sehingga hasil berteologi kita masih terbuka pada ruang tafsir yang baru. Kita mulai sadar bahwa teologi Baratisme yang cukup dominan selama ini sudah tidak relevan dengan konteks kekristenan di Indonesia dan Maluku, namun kita terbatas dalam warisan budaya kita sendiri.
Selebihnya, saudara-saudara Muslim memiliki kekayaan warisan itu, dan kini secara perlahan telah hancur pula. Tentu saya menolak pendapat bahwa jika simbol itu hancur, identitas kita hancur pula. Sebab saya yakin bahwa identitas budaya itu juga bersifat transitif, sehingga semakin kita berkembang ke masa depan, ada hubungan ekuivalen dengan warisan di masa lampau, walau itu adalah memori dan tradisi lisan.
Yang saya mau katakan bahwa, referensi budaya kita akan habis dan kita tidak lagi memiliki kebanggaan kultural secara material. Intinya ialah konflik sosial di Maluku adalah sebuah proses pembodohan budaya dan teologi bagi kita dan generasi Maluku di masa depan. Ini yang mesti dihentikan dan dilawan sampai ke akar-akarnya.
Heraklitus, Filusuf Yunani berkata begini: ‘seseorang tidak dapat mandi pada sungai yang sama dua kali, dan begitu seterusnya. Air mengalir. Aliran air di hari Senin tidak sama dengan di hari Selasa. Walau air sungai tidak bisa dipisahkan dan dibedakan dari aliran sungai itu; entah itu di hari senin atau selasa, air dan aliran air itu satu dan sama. Itu adalah wujud tidak kelihatan dari unsur yang identik, bahwa air di hari senin tidak sama dengan air di hari selasa. Jika seseorang mandi di sungai pada hari senin, dan kembali di sungai itu lagi pada hari selasa, ia tidak mandi di air sungai yang sama dua kali. Artinya: pada hari senin, sungai itu identik dengan aliran air di hari itu, pada hari selasa, sungai yang sama identik dengan aliran air yang berbeda. Artinya identitas itu bisa juga temporal, ada pada suatu waktu tetapi tidak pada waktu lainnya. Identitas yang temporal itu bukan pada pernyataan itu, juga bukan para sungai itu, tetapi pada semua entitas yang ada; [yakni sungai, air dan aliran air, waktu, dan orang yang mandi di sungai itu pada tiap kali dan di tiap waktu]’.
Monday, February 13, 2012
TANGGA MONYET
Diskriminasi Pembangunan Kawasan Kepulauan
[Sisi Lain Berlayar ke Maluku Barat Daya]
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
‘Katong nai kapal deng kambing-kambing’ merupakan salah satu ungkapan keresahan dan protes sosial masyarakat Maluku Tenggara terhadap pelayanan pelayaran yang dinilai mereka tidak manusiawi. Kapal penumpang terpaksa digunakan pula untuk mengangkut ternak. Karena tidak ada ruang khusus untuk ternak, maka penumpang dan ternak harus berbagi tempat dalam palka atau dek-dek kapal.
Kehadiran armada kapal PELNI seperti KM Pangrango, KM Tatamailau dan sejenisnya sudah cukup membantu memperlancar akses perhubungan masyarakat Maluku Tenggara ke dan dari Ambon, namun belum menuntaskan hal-hal mendasar dari sisi pembangunan kawasan kepulauan. Pelabuhan-pelabuhan kapal belum selesai dibangun sehingga di beberapa tempat seperti Tepa dan Leti, embarkasi berlangsung di tengah lautan. Cuaca ekstrim menjadi salah satu alasannya.
Jadi embarkasi dilakukan dengan bantuan speedboat, kapal kayu, long boat milik masyarakat. Artinya masyarakat harus mengeluarkan biaya embarkasi pula. Masalahnya bukan hanya di situ. Ada masalah lain yang jauh lebih penting disimak dari realitas berlayar ke Maluku Tenggara atau Maluku Barat Daya secara khusus, yakni stigma pembangunan dan dampaknya bagi masyarakat.
1. Tangga Monyet, siapa yang bergelantungan?
Jumat, 27 Januari 2012, jam 14.00 WIT, saya bersama bersama Pdt. J. Noya, M.Th – Wakil Ketua MPH Sinode GPM, dan Pdt. Nick Taberima, S.Th – Sekretaris Departemen Keesaan Sinode GPM menumpang KM. Pangrango dari Pelabuhan Saumlaki, Maluku Tenggara Barat [MTB] menuju Leti untuk menghadiri Sidang ke-28 Klasis GPM Leti, Moa, Lakor di jemaat Tomra.
Sabtu, 28 Januari 2012, jam 10.00 WIT, KM Pangrango yang kami tumpangi tiba di Tepa. Kami menuju pintu Dek 3 untuk menyaksikan proses embarkasi dan dembarkasi. Para penumpang dan ABK sudah bersiap di dek tersebut. Terdengar suara dari bagian informasi kapal ‘ABK 38 turunkan tangga monyet’. Seorang ABK yang sedang menggenggam HT langsung menuju depan pintu dek 3 dan menurunkan tangga tali yang disebut ‘tangga monyet’.
Terminologi itu menimbulkan mengingatkan saya pada ungkapan ‘Katong nai kapal deng kambing-kambing’ tadi. Ungkapan serupa itu turut dibentuk oleh stigma yang dibuat oleh negara melalui kapal PELNI. Istilah ‘tangga monyet’ semakin melegalkan realitas berlayar saudara-saudara dari MBD bahwa mereka memang harus berbagi tempat dengan hewan, dan malah dipaksakan/distrukturkan untuk ‘bergelantungan’ pada simbol itu.
‘Tangga Monyet’ adalah sarana embarkasi sebab kapal tidak menyinggahi pelabuhan dan penumpang mesti berjuang turun dari atau naik ke kapal melaluinya. Resiko sudah menjadi bagian dari kenyataan yang tidak bisa dihindari. Mereka tampak menjalaninya sebagai hal yang lazim, sebab sudah ‘dibiasakan’ oleh sistem, yakni sistem di kapal PELNI dan juga sistem pembangunan yang belum maksimal berpihak pada masyarakat/manusia.
Semua penumpang, yakni anak balita, anak kecil, laki-laki, perempuan, pemuda sampai lansia harus berjuang turun dan/atau naik melalui ‘tangga monyet’. Hal serupa juga terjadi dan bertambah tragis penuh resiko ketika KM Pangrango tiba di lautan pulau Leti pada Sabtu, 28 Januari 2012, jam 22.00 WIT. Penumpang [kami juga] harus turun di tengah amukan ombak. Ada salah seorang penumpang yang mengingatkan kami ‘pa, pas omba naik, bapa turun’. Maksudnya ketika bergelantungan di tangga monyet, kami harus memperhatikan ketika ombak mengangkat speedboat/kapal kayu naik, saat itulah kami harus segera melompat ke atas kapal atau speedboat. Jika terlambat tentu beresiko terjatuh ke atas speedboat atau malah tercebur ke dalam laut. Siapa mau????
Fenomena lain terjadi dalam hal bongkar muat barang milik penumpang. Barang-barang harus diturunkan ke atas speedboat atau longboat dan kapal kayu dengan cara yang ekstrim yakni melemparkan barang itu kepada penumpang di atas speedboat atau longboat. Bahkan di Leti, ada yang menurunkan sepeda motor dari dalam kapal.
Luar biasa! Sebab mereka sangat cekatan melakukannya. Luar biasa sebab memang itu cara-cara yang di luar daripada kebiasaan yang wajar bagi masyarakat di kawasan kepulauan. Luar biasa sebab hal itu menjelaskan bahwa pembangunan kawasan tertinggal ini terus mengalami ketertinggalan dalam banyak aspek. Luar biasa sebab ketika pemerintah memperjuangkan status Provinsi Kepulauan, infrastruktur perhubungan kepulauan belum bertumbuh secara baik. Luar biasa sebab masyarakat dipaksa untuk terus menikmatinya. Luar biasa dan akibatnya, masyarakat terus merana di dalam lumbung sumber kekayaan alam yang tidak bisa dipasarkan secara luas.
2. Tangga Monyet, sisi buruk Pariwisata
Provinsi kepulauan Maluku menjadikan sektor perikanan dan kelautan sebagai leading sector and prime mover pembangunan daerah. Artinya peningkatan infrastruktur perikanan dan kelautan menjadi prioritas yang harus segera dibangun. Di kawasan MBD terjadi parodi pembangunan di sektor ini. Sektor andalan ini tidak kuat mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan rakyat. Akibatnya tidak heran jika sopi dijadikan komoditi ekonomi andalan keluarga-keluarga. Ironi pula bahwa dalam hamparan potensi kelautan dan perikanan yang begitu tinggi, kapal-kapal nelayan dari luar negeri atau provinsi lain seperti Bali dan Sulawesi Tenggara bebas beroperasi dengan katanya ‘ijin dari pusat’. Pos TNI Angkatan Laut yang ada di Leti membenarkan hal itu sehingga kapal-kapal itu terus beroperasi dan nelayan lokal tetap miskin.
Selain sektor perikanan dan kelautan, sektor pariwisata bahari merupakan andalan provinsi kepulauan. Kawasan pulau-pulau di MBD justru menampilkan pesona tersendiri yang indah. Konteks itu semestinya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan wisata daerah, asalkan disertai dengan pembangunan sarana-prasarana transportasi yang terintegrasi dengan pembangunan sarana lainnya seperti perhotelan dan kawasan wisata.
‘Tangga monyet’ justru menunjukkan pariwisata bahari di kawasan ini sedang mengalami problem serius, yakni ketidaksiapan daerah untuk bergerak maju. Sektor perikanan dan kelautan serta pariwisata bahari nyaris tidak ditangani secara sistematis. Ironinya justru sektor migas yang mendapat perhatian serius dari pemerintah, seperti tampak dalam eksplorasi tambang Blok Masela yang melibatkan perusahan migas internasional, Impax Jepang.
Pada Sabtu pagi itu, ada dua orang turis Eropa yang turut bergelantungan di ‘tangga monyet’. Kerry dan Katy, suami istri penerjemah dari Yayasan SIL yang sudah bekerja belasan tahun di Tepa. Itu berarti mereka pun sudah terbiasa dengan ‘tangga monyet’. Namun bukan soal mereka sudah terbiasa melainkan sejauhmana keseriusan pemerintah membenahi hal ini agar dapat merangsang perkembangan ekonomi daerah dan kesejahteraan rakyat secara sistematis.
3. Tangga Monyet dan Alat Peraga Politik: Di Manakah Wakil Rakyat??
Kawasan MBD memang sudah tidak terisolasi seperti dahulu. Laju informasi di kawasan ini pun sudah mulai berkembang baik. Ternyata laju komunikasi politik jauh lebih cepat di kawasan ini. Indikatornya ialah tingkat partisipasi rakyat dalam pemilihan umum tentu tinggi. Pilkada Maluku, Pemilihan Legislatif Daerah dan Pusat, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta Pilkada MBD berlangsung sukses. Di berbagai tempat sampai saat ini simbol-simbol kampanye dan sosialisasi diri para Calkada, Caleg, Capres masih terus terpampang.
Para pemimpin yang terpilih melalui pesta-pesta demokrasi itu mungkin ada yang belum pernah berkunjung ke desa-desa di pelosok ini. Apakah mereka pun pernah merasakan sulitnya bergelantungan di tangga monyet? Kita tidak sedang meminta jawaban pernah ataukah belum pernah. Kita justru sedang meminta jawaban apakah yang sudah mereka lakukan sebab toh masyarakat telah mempercayakan mereka untuk melakukan berbagai terobosan dan negosiasi politik dalam rangka membangun masyarakat itu pula. Soalnya pula bukan berapa banyak suara yang diberi dari satu kampung kepada si A atau si B, tetapi si A dan si B sudah menjadi pemimpin bagi seluruh masyarakat dan mereka terikat kontrak untuk mensejahterakan rakyat.
Di situlah kita sedang mempersoalkan terus good will dan political will dari pemerintah dan wakil-wakil rakyat kita. Mungkin kita bisa dengan tegas berkata bahwa ‘tangga monyet’ adalah juga alat peraga politik supaya pada saat kampanye politik, diskriminasi dan ketimpangan sosial ekonomi ini bisa menjadi materi kampanye. Seakan-akan ada yang tidak beres dengan hak-hak rakyat. Tentu regime yang sedang berkuasa akan dilabrak, wakil rakyat yang sedang duduk di kursi empuk akan dihujat atau mereka saling menghujat satu sama lain. Alhasil, masyarakat terus ‘bergelantungan’ di ‘tangga monyet’. Dan sudah bisa diduga, ‘tangga monyet’ akan terus ada sebab jika kapal bisa menyinggahi pelabuhan, alat peraga politik akan hilang/berkurang.
Semoga saja ada perhatian dan kesungguhan kita untuk melepaskan stigma pembangunan ini dan stigma-stigma pembangunan lain yang terus menyengsarakan rakyat kita.
Tomra, 29 Januari 2012
Subscribe to:
Posts (Atom)
TALITA KUM
(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella Paduan Terompet Jemaat Rumahtiga di Rohua, Januari 2009 A. Perspektif Ibadah merupakan suatu aktifitas agama ...
-
Materi Khotbah Bahan Khotbah : Mazmur 72:1-11 Saudara-saudaraku, Tulisan dalam Mazmur 72:1-11(20), merupakan suatu hymne kepada keadilan dar...
-
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella [Materi Ibadah Keluarga Perangkat Pelayan Jemaat Rumahtiga, 17 September 2013] Pengantar Tulisan ini...