Tuesday, August 2, 2011

Kareda

Rekonsepsi Gereja dalam Teks Lokal Bahasa Yamdena
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


1. Kesenjangan Makna

Perjumpaan dengan komunitas Tanimbar (baca tulisan beta yang lain mengenai ‘Fangridin: Inisiasi Lokal dalam Konteks Budaya Tanimbar di Watmasa’) menimbulkan ketertarikan tersendiri terhadap pemahaman teologi lokal setempat yang kaya makna filosofinya.

Pada saat mewawancarai Bpk. Meki Wuarlela (49) - Lanun Duan Watmasa, dan Bpk. Onesimus Wuarlela (67), di Watmasa (28 Mei 2011, jam 07.30- 08.20), beta sempat mendengar sebuah istilah lokal dalam bahasa Fordata, yakni kareda. Menelusuri jejak arti operasionalnya ternyata menemui kendala tersendiri karena mereka lazim menerjemahkan kata itu secara langsung berarti ‘gereja’. Dalam bentuk kata sandang, muncul beberapa istilah yang dilekatkan dengan kareda seperti mel-kareda, yang berarti Tuhan yang disembah. Ada pula mangun-kareda atau tamu gereja, dan dawan-kareda atau pelayan gereja (baca. Pendeta dan Majelis Jemaat).

Tampaknya istilah gereja merupakan istilah serapan dari bahasa melayu yang berlaku umum dan menunjuk pada gereja itu sendiri. Tetapi ternyata bahasa Fordata yang memiliki kosa kata khusus tentang gereja.

Usaha menggali kandungan makna operasional dari istilah kareda ini masih sangat terbatas. Alasan pertama ialah beta tidak memiliki waktu yang singkat berada bersama komunitas berbahasa Fordata. Artinya aspek emic dari istilah itu pun belum tergali secara mendalam. Alasan utamanya ialah beta tidak bisa dan belum belajar berbahasa Fordata. Kedua, masyarakat membahasa pun menggunakan istilah itu sebagai sebuah istilah yang lumrah. Mereka sulit menjelaskan makna operasionalnya. Bagi mereka, memang itu telah menjadi istilah tentang gereja dalam bahasa setempat. Karena itu ketika ditanyakan ‘apa arti kareda itu’? Orang Fordata sendiri akan menjawab langsung: ‘yah, gereja!’ Ketiga, pada sisi praktek pelayanan gereja (GPM), para pendeta jarang menggunakan bahasa setempat sebagai alat komunikasi. Melayu Ambon atau bahasa Indonesia dijadikan sebagai alat komunikasi.

2. Kareda: Eklesiologi sebagai Fakta Linguistik

Kita patut bersyukur atas bahasa lokal masyarakat kita sendiri sebab bahasa merupakan cerminan identitas dan carapandang (worldview) masyarakat. Istilah apa pun yang digunakan oleh komunitas berbahasa merupakan refleksi jati diri dan carapandang mereka. Istilah atau kosa kata bersifat tidak menipu dan tidak spekulatif. Kosa kata yang digunakan oleh suatu komunitas mengungkapkan suatu maksud atau lahir sebagai cara mereka menunjukkan kedalaman pengertian mereka. Di situlah kita bisa memahami bahwa bahasa bahkan kosa kata yang digunakan oleh suatu masyarakat merupakan gambaran riil mengenai teologi atau cara mereka berteologi melalui komunikasi berbahasa setiap hari.

Eklesiologi bisa dimengerti secara mendalam ketika kita mendalami struktur bahasa dan makna dari kosa kata lokal yang digunakan oleh masyarakat setempat. Eklesiologi merupakan sebuah fakta linguistik yang tidak begitu saja, atau lahir bukan dalam ruang hampa (empty space). Ruang komunikasi antarwarga merupakan ruang sosial yang riil dan terbuka. Dalam ruang itu masyarakat membahasa, dalam arti berkomunikasi dan melahirkan kosa kata untuk membantu mereka bertukar pemahaman (thought) dan maksud (insight).

Ketika kosa kata tertentu digunakan secara terus menerus dan dalam ruang-ruang sosial khusus, seperti dalam gereja atau ibadah, maka kosa kata itu menjadi sebuah carapandang baru atau menunjuk pada identitas baru dari masyarakat. Ini yang terjadi pada istilah kareda. Ketika digunakan komunitas berbahasa Fordata, mereka sebenarnya menjelaskan cara pandang baru yang tidak bisa dipahami sama dengan istilah lain, walau sebenarnya istilah lain itu menunjuk makna yang sama dengan istilah kareda itu. Artinya, ketika kita menerjemahkan kareda sebagai ‘gereja’, tidak mungkin arti kareda kita mengerti dari arti istilah gereja. Sebab istilah kareda dan gereja lahir dalam dua atau lebih komunitas berbahasa yang berbeda.

Ada banyak istilah mengenai gereja dalam rupa-rupa bahasa. Istilah yang paling dekat dengan gereja dalam bahasa Indonesia adalah Igreja dalam bahasa Portugis. Istilah lain sudah muncul di zaman Bapa-bapa Gereja, seperti Luther, misalnya ‘curia’. Namun istilah ini lebih cenderung menunjuk kepada istilah lain dalam bahasa Jerman yang paralel dengan itu yakni gemeinde yang berarti ‘jemaat’ atau ‘komunitas’. Dalam bahasa Jerman sendiri masih ada istilah lain yang khusus menunjuk kepada gereja yakni ‘kirche’, atau dalam bahasa Swedia ‘kyrke’. Disebut ‘kerk’ oleh komunitas berbahasa Belanda, atau ‘carkov’ oleh orang-orang Slovenia. Komunitas berbahasa Inggris menyebutnya ‘church’.

Apakah semua istilah itu berasal dari istilah eklesia dalam bahasa Yunani? Jika demikian apakah eklesia itu pula berasal dari bahasa ibrani kehal? Kita tidak bisa memutlakkan bahwa karena semua istilah itu menunjuk pada suatu pengertian yang sama maka ada semacam garis keturunan bahasa dan istilah. Beta memahami bahwa apa pun istilah yang digunakan dalam suatu komunitas, istilah dan bahasa itu lahir untuk kepentingan khusus komunitas itu. Leluhur yang melahirkan bahasa dan menggunakan istilah-istilah dalam bahasa mereka malah pasti tidak pernah berjumpa satu sama lain. Jika pun berjumpa tidak mungkin mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa masing-masing. Karena itu ada istilah yang bermakna rahasia. Termasuk apa yang dikenal dengan sebutan ‘sandi’. Bahkan jauh sebelum aksara terbentuk, kita hanya mengenal sistem tanda atau apa yang di era modern dipakai dalam bentuk marka, seperti di jalan raya sebagai penunjuk lalu lintas.

Artinya istilah kareda itu benar-benar lahir dalam komunitas berbahasa Fordata dan digunakan pula oleh mereka sebagai suatu gambaran baru mengenai realitas beragama mereka. Bahwa istilah itu paling mungkin lahir ketika injil masuk ke Yamdena merupakan suatu asumsi yang bisa dibenarkan. Karena itu orang Fordata merasa perlu menyebut realitas kekristenan atau gereja itu dengan bahasa mereka. Dalam arti itu kareda dapat dipahami sebagai sebuah bentuk operasional tentang adanya suatu komunitas baru, yaitu gereja atau kekristenan.

Artinya sebagai sebuah fakta linguistik, maka paham eklesiologi GPM, atau dalam konteks masyarakat berbahasa Yamdena dibangun dari sebuah kenyataan bahwa gereja dan kekristenan adalah komunitas baru yang lahir di tengah masyarakat itu. Fakta ini menunjukkan bahwa injil dan kekristenan tidak lahir di dalam ruang sosial yang hampa. Dengan kata lain kekristenan bertumbuh justru di dalam dan dari komunitas berbudaya (Yamdena) dan berbahasa tertentu (Fordata).

Jika komunitas yang baru itu disebut sebagai jemaat, maka jemaat dalam arti itu lahir sebagai hasil pemaknaan gereja secara baru pula. Ini menjadi pendasaran sosial untuk memahami eklesiologi dalam suatu komunitas kristen.

3. Kareda: Antara Esensi dan Bentuk

Beta meminjam teori Hans Küng (1976:5) untuk membantu kita mendudukkan beberapa paham mendasar mengenai gereja. Bagi Küng gereja merupakan realitas yang memiliki esensi dan bentuk. Esensi gereja itu lahir dari tengah sejarah masyarakat, dan esensi itu tampak dalam beragam praktek bergereja, termasuk di dalamnya ritus gereja.

Küng (1976:5,6) menandaskan bahwa: [a] bahwa esensi dan bentuk merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, melainkan harus dilihat sebagai satu bagian; sebab esensi tanpa bentuk itu ‘tak berbentuk’ (formless) dan ‘tidak nyata’ (unreal). Sebab itu esensi gereja hanya bisa dimengerti dari eksistensinya di dalam sejarah gereja itu. Walau begitu [b] esensi dan bentuk tidaklah identik, walau demikian esensi dan bentuk gereja mesti diakui keberadaannya walau harus dibedakan. Kedua alasan itu membantu kita memahami tiap perubahan dalam bergereja. Perubahan itu bagi Küng merupakan manifestasi empirik dari gereja.

Untuk menjelaskan maksudnya itu, Küng (1976:227-239) menggunakan istilah gereja sebagai tubuh Kristus sebagai esensi dan bentuk gereja. menurutnya [a]. Jemaat lokal adalah tubuh Kristus, yang menurut Paulus, dibangun melalui baptisan (1 Kor. 12:12,13, 14-27; bnd. 6:5-17), dan yang turut merayakan Perjamuan Kudus, sebagai simbol keterhisabannya ke dalam tubuh dan darah Kristus (1 Kor. 10:16). Angota tubuh itu selalu memiliki kharisma atau karunia yang beragam satu sama lain dan dengannya mereka wajib melayani seorang akan yang lain.

[b]. Gereja seluruhnya adalah tubuh Kristus. Jika dalam Surat Korintus dan Roma gereja lebih menekankan pada individunya, namun dalam Surat Kolose dan Efesus lebih ditekankan pada keseluruhannya. Artinya dimensi eskatologi gereja berkaitan dengan aspek antropologi dari masyarakat yang nyata. Karena itu gereja ada dan terbangun sebagai satu keluarga dalam dunia yang luas (world-wide Church), di mana Kristus adalah kepala dari gereja dalam arti keseluruhan itu.

[c]. Yesus dan Gereja. Küng melihat tiga aspek penting di sini, yakni (1) Yesus ada di dalam gereja, bahwa Kristus tidak ada tanpa gereja dan gereja juga tidak ada tanpa Kristus. Yesus adalah untuk gereja dan ia ada sejak dahulu, sekarang dan selamanya. Sebagai tanda IA ada, jemaat menyelenggarakan ibadah yang Kristosentris; (2) Yesus yang hidup dan berkarya tidak ada seterusnya dengan gereja. Artinya Ia sudah mati, bangkit dan terangkat ke surga. Sebab itu gereja mengaku Yesus sebagai kepala Gereja dalam arti bahwa gereja bukanlah tubuh fisik dari Yesus melainkan tubuh spiritual dari Yesus. Karena Yesus adalah kepalanya, maka gereja hidup secara aktif di dunia; (3) Gereja mesti taat kepada Kristus, sebab Yesuslah kepala gereja.

Esensi kedua ialah gambaran gereja sebagai umat Tuhan (1979:130). Baginya mungkin dapat dipahami sebagai semacam adanya relasi quasy-divine antara Tuhan dan manusia. Hal ini dapat menimbulkan kesalahanpahaman yang memisahkannya dari warga masyarakat yang terhisab dalam gereja dan memasukkannya ke dalam suatu komunitas sendiri (ecclesia quod substantium), suatu institusi supra-personal di antara atau yang memediasi Allah dan manusia. Tentu gereja itu selalu dilihat sebagai institusi yang menghisabkan tiap individu anggotanya; tetapi mereka disebut sebagai para pengikut atau anggota orang beriman, yang dihimpun Allah menjadi umatNya. Maka tidak ada gereja tanpa adanya orang-orang percaya ini. Kita (manusia) adalah gereja, bukan Allah, bukan Kristus, bukan Roh Kudus. Tanpa kita atau di luar kita (manusia) gereja bukanlah suatu realitas. Memang di sini pula letak bahayanya yakni ketika kita menjadikan perbedaan atau keterpisahan kita itu sebagai sesuatu yang penting, dan memahami bahwa keterpisahan kita dari dunia itu adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak. Memang perlu membedakan antara “struktur” dan “kehidupan” gereja, tetapi salah jika menjadikan struktur iman, sakramen dan institusi, seakan-akan itulah jalan yang benar. Tidak mungkin ada sakramen, iman, dan institusi tanpa manusia. Jadi manusia menjadi subyek dan manusia adalah struktur dasar (basic structure) dari gereja.

Memahami kareda dalam pendekatan Küng tadi menolong kita untuk memaknai kareda sebagai suatu ‘komunitas baru’ (new community). Namun komunitas baru ini tidak lahir dari kehampaan melainkan lahir dari basis kebudayaan setempat. Artinya kareda melahirkan suatu pranata baru yang bersifat sosio-religius.

Kareda membuat umat/jemaat membangun pula suatu paham atau konsepsi Tuhan lokal yang khas yakni Mel-Kareda atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab konsepsi Tuhan yang lain dalam paham budaya masyarakat Yamdena ialah Ubu Ratu. Walau demikian Mel-Kareda dan Ubu Ratu bukanlah dualisme kepercayaan orang Yamdena. Mel-Kareda adalah sebutan khas Tuhan dalam komunitas baru yang bernama kareda atau jemaat. Mel-Kareda sesungguhnya adalah Ubu Ratu itu. Namun penggunaan dan fungsinya akan tampak dalam konteks khusus.
Menjadi menarik ketika rekonsepsi Tuhan itu dikaitkan dengan posisi pemaknaan dan penempatan Yesus di dalam pranata baru yang disebut kareda. Ini ruang baru bagi paham Tuhan dalam konteks masyarakat Yamdena atau komunitas berbahasa Fordata. Beta merasa ini menjadi pokok serius yang perlu digali secara lebih mendalam. Fenomena ini pun sama dengan ketika kita harus mempertanyakan kembali posisi Ubu Ratu, Upu Lanite, Upu Ume, Oplastala, Upu Ama, Upukuanahatana, Up-Ler, Duad Ler Vuan, bahkan Tete Manis dan Elmeseh, sebagai konsep dan ide-ide budaya mengenai Tuhan.

Konsepsi Tuhan yang khas ini memperlihatkan bahwa kareda merupakan suatu sistem sosial baru yang bernama jemaat. Realitas berjemaat itu bersifat terbuka. Keterbukaan itu dibangun dari fondasi budaya orang Tanimbar/Yamdena yang sangat akomodatif terhadap orang dari luar. Artinya proses pembauran sosial yang terjadi melalui organisasi sosial yang bernama kareda atau jemaat menjadi salah satu ciri dan kekuatan sosial orang Yamdena/Tanimbar. Keterbukaan itu menunjukkan bahwa aspek kepercayaan (trust) sebagai kekuatan harmoni sosial (sosiasi) berlangsung secara wajar di kalanngan orang Yamdena/Tanimbar. Sikap keterbukaan itu tampak dari kemampuan orang Tanimbar menerima orang lain menjadi bagian dari komunitas mereka (baca tulisan beta tentang “Fangridin”).

Itulah sebabnya kekristenan yang bertumbuh di Tanimbar memiliki corak yang khas. Salah satu kekhasan yang masih terpelihara, dan menurut beta perlu digali maknanya secara lebih mendalam ialah sapaan ‘Itrana’ kepada para pendeta laki-laki, dan ‘Itwata’ kepada para pendeta perempuan (Yamdena Barat), atau ‘Maken’ kepada pendeta laki-laki dan ‘Batmaken’ kepada pendeta perempuan (Yamdena Timur). Sebab pengenaan istilah itu memang merupakan suatu fakta umum dalam bentuk sapaan masyarakat. Namun dalam eklesiologi, sapaan itu merupakan bentuk pelabelan sebagai rasa penghargaan (espektasi) sosial.

Kareda pada akhirnya membangun pranata baru dan itu tampak dalam pemberlakuan berbagai praktek bergereja. Lahirnya kekristenan di Yamdena, seperti halnya pula di tempat lain dalam sejarah GPM, merupakan fakta bahwa gereja selalu lahir dalam kontak yang intens dengan kebudayaan setempat. Di dalam kontak itu, kareda dituntut pula untuk mampu melaksanakan amanatnya di tengah dunia dan dalam relasi dengan masyarakat majemuk.

Aspek kesatuan (unity) atau keutuhan (totally) kareda sebenarnya memiliki kekuatan tertentu karena kareda tidak menghancurkan bentuk kekerabatan dalam masyarakat melainkan dibangun di atas fondasi kekerbatan itu. Ini hanyalah tuangan pemikiran sederhana yang masih perlu digali lagi secara lebih mendalam. (1/8-2011)

ELMESEH

Ide Lokal orang Ameth – Nusalaut Tentang TUHAN
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


John Hicks, dalam salah satu bukunya menyebut bahwa Tuhan memiliki banyak sekali nama budaya (cultural name). Maksud Hicks bahwa tiap agama dan tiap masyarakat menyebut Tuhan menurut bahasa dan istilah mereka, malah mendefenisikan Tuhan menurut hal-hal yang berhasil mereka tangkap atau pengalaman mereka.

Lebih dalam mengenai itu, Hicks mengatakan tentang Tuhan itu ada dua realitas, yakni realitas ‘nomenon’ dan ‘fenomenon’. Realitas ‘nomenon’ itu merupakan defenisi atau pengenalan tentang Tuhan yang mengandung dimensi kekekalan, atau penyebutan/ pengistilahan yang menunjuk pada sifat Tuhan yang Absolut, seperti Sang Kebenaran, Jalan Yang Benar, Air Hidup, Roti Hidup, Gembala, dan lainnya.

Sedangkan realitas fenomenon ialah realitas penamaan yang tetap menurut bahasa atau budaya masyarakat. Nama-nama Tuhan seperti Shang Hyang Widi Wasa, Allah SWT, Thian, Tri Tunggal. Karena itu nama-nama budaya misalnya di Maluku: Upu Lanite, Upu Tepele, Upu Ume, Upukuanahatana, Upu Ama (Maluku Tengah), Upler, Duad Ler Vuan, Ubu Ratu (Maluku Tenggara), Oplastalah (Buru), dan lainnya adalah juga realitas fenomenon dari Tuhan tadi.

Realitas fenomenon tentu tidak sebatas pada cara masyarakat memberi nama mengenai Tuhan. Lebih jauh dari itu pada realitas ini masyarakat membangun suatu komunikasi dengan Tuhan atau menggunakan Tuhan sesuai dengan nama-nama itu sebagai media komunikasi dengan Tuhan yang absolut tadi. Maka baik nomenon maupun fenomenon, Tuhan itu adalah satu dan absolut.

Elmeseh: Fenomena Tuhan, Fenomena Bahasa

Orang Ameth, Nusalaut, sebagai pemangku istilah Elmeseh menggunakan nama Tuhan ini secara tipikal. Nama ini menjadi semacam tabu jika digunakan dalam komunikasi ritual atau ibadah gereja. Dalam doa dan khotbah, tabu jika nama ini digunakan. Sedangkan dalam komunikasi sesehari nama ini paling sering digunakan. Malah hampir semua orang Ameth menggunakannya dalam komunikasi satu sama lainnya. Bisa dikata, setiap mengawali pembicaraan apa pun selalu didahului dengan sebutan Elmeseh.

Dari sejarah kebahasaan, kita bisa mengatakan bahwa nama Elmeseh merupakan gaya serapan baru di Ameth dari istilah Almasih dalam bahasa Arab. Beta sendiri tidak bisa memastikan apakah cara penulisan yang benar mengenai istilah itu ialah Elmeseh atau El-Meseh. Karena bagaimana pun cara penulisannya, artinya tetap menunjuk pada cara khas orang Ameth menamakan Tuhan.
Dari segi tata bahasa baik ditulis Elmeseh, maupun El-Meseh atau El Meseh, semuanya menunjuk pada bentuk infinitif atau bentuk dasar, artinya menunjuk pada subyek khusus yang digelari. Sebab dalam bahasa Semit, termasuk bahasa Arab, istilah El- atau Al- itu adalah atributif untuk menunjukkan genus atau bahwa kata yang mengikutinya adalah subyek tertentu. Karena itu tidak berdiri sendiri melainkan diikuti oleh genus kata tertentu yang dilekatkan pada suatu subyek tertentu pula.

Misalnya Al-Masih tidak berdiri sendiri melainkan mengikuti subyek tertentu yakni Isa Al-Masih atau Isa Al Masih. Dalam bahasa Arab, Almasih berarti ‘Yang dibangkitkan kembali’, dan selalu digunakan di belakang nama Isa = Isa Almasih, artinya Nabi Isa Yang dibangkitkan kembali. Sama dengan nama teman beta, Sumanto Al-Qurtuby atau Sumanto Al Qurtuby. Sedangkan istilah El juga menunjuk pada atributif Tuhan dari bahasa Aram, yang dipakai dalam teks-teks Perjanjian Lama, seperti El-Elyon, El-Roy, El-Shaday, yang bentuk jamaknya tampak pada istilah Elohim (Tuhan).

Beta merasa bahwa Elmeseh adalah suatu bentuk infinitif yang mungkin berarti sama. Artinya orang Ameth menyerap bahasa Arab melalui istilah itu. Peristiwa penyerapan bahasa Arab oleh orang Ameth itu dapat dibenarkan karena sejarah kontak orang Nusalaut dengan Islam Arab pun berlangsung cukup intens. Malah bukti-bukti kontak dengan Islam Arab di Nusalaut pun masih bisa didapati sampai saat ini. Termasuk karena itu relasi mereka dengan orang Ambalau. Malah bahasa Arab pun pernah digunakan secara meluas di Lease melalui beberapa teks Alkitab yang diterjemahkan dalam bahasa Arab.

Namun orang Ameth menggunakan Elmeseh itu tanpa disertakan pada subyek Yesus atau Isa. Mereka telah menggunakannya secara tunggal. Tetapi menurut mereka, penyebutan itu sesungguhnya berarti Yesus itu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Elmeseh bagi mereka adalah istilah lokal tentang Yesus. Atau kembali pada teori Hicks, Elmeseh merupakan realitas fenomenon mengenai Tuhan dalam cara membahasa orang Ameth.

Apakah istilah ini penting? Franz Boas, dalam sebuah tulisannya pada buku ‘Language in Culture and Society’ (Dell Hymes, 1964:173) menjelaskan bahwa istilah-istilah yang dipakai oleh suatu masyarakat dapat menunjuk pada adanya ‘mythical beings’ dan ‘kepercayaan lokal’. Atau kembali kepada teori Hicks, maka istilah-istilah itu tentu menunjuk kepada Tuhan sebagai subyek absolut. Namun Tuhan dalam arti ini lahir dari pengalaman masyarakat, yakni orang Ameth.
Ada pengalaman unik yang mereka alami dari waktu ke waktu sehingga melahirkan konsepsi yang khas tentang Tuhan. Pendapat ini cukup beralasan sebab hanya orang Ameth yang memproduksi istilah Elmeseh dan menggunakannya dalam keseharian mereka. Penamaan itu tidak dijumpai pada enam negeri atau jemaat lainnya di Nusalaut yakni Akoon, Abubu, Titawai, Leinitu, Sila, dan Nalahia. Ini pula yang membuat istilah Elmeseh ini memiliki makna yang khas dibandingkan Tete Manis yang justru digunakan secara umum pada semua komunitas di Maluku.

Elmeseh: Rekonsepsi Tuhan dalam Sejarah Gereja di Ameth

Penjelasan tentang topik ini mestinya mengacu dari detail sejarah gereja di Ameth. Beta tidak memiliki detail sejarah itu. Karena itu gambaran ‘apa adanya’ pada topik ini merupakan semacam refleksi ‘di kuli aer’ (baca. refleksi umum) yang masih harus didalami lagi.

Apa yang mau beta sampaikan dalam bagian ini ialah bahwa orang Ameth memproduksi nama Tuhan dalam kerangka pemahaman mereka. Cara reproduksi seperti itu memang bisa menjadi semacam critical point of view ketika penamaan itu dibiarkan mengambang sehingga menjadi tabu yang dilegalkan. Ini sama dengan sebutan ‘TUANGALLAH’ yang lalu sudah menjadi semacam tabu. Padahal jika didalami dari segi kekhasan bahasa, justru Elmeseh dan Tuangallah tadi merupakan rekonsepsi nama Tuhan itu sendiri. Hanya kita sering tidak mengklarifikasi hal-hal serupa itu secara teologis. Akibatnya, seperti Tuangalah, dipahami sebagai konotasi kasar dari nama Tuhan yang lalu dipahami sebagai tabu.

Pada tempat lain, ada pula penyebutan seperti: ‘Tuangallah Tuangisa’ oleh orang-orang Tuhaha, Pulau Saparua. Jika dilihat sebagai gaya serapan bahasa Indonesia maka sesungguhnya penamaan itu berarti ‘Tuhan Allah, Tuhan Isa atau Tuhan Allah, Tuhan Yesus’. Sebuah penamaan umum dalam tata bahasa Indonesia tentang Tuhan dan Tuhan Yesus. Hanya orang Tuhaha menggunakannya secara bersama-sama, dengan tipikal mereka yang mengakui Yesus sebagai Tuhan itu sendiri.
Sebutan ‘Allah Bapa’ oleh orang-orang Oma (Pulau Haruku) pun adalah pengambilalihan secara langsung istilah dalam bahasa Indonesia. Namun karena digunakan dalam percakapan sesehari, seperti halnya Elmeseh tadi, maka sebutan itu dipandang pula sebagai tabu, sama dengan Tuangallah yang digunakan secara umum.

Kembali kepada Elmeseh. Jika penamaan itu diambil dari artinya dalam bahasa Arab, yakni ‘Yang Bangkit Kembali’, maka tentu harus dicari alasan-alasan sejarah dari penggunaan istilah itu. Apakah ini terkait dengan pemaknaan Yesus dalam sejarah gereja di Ameth atau Nusalaut, atau ada peristiwa sejarah tertentu yang membidaninya. Artinya kita tidak bisa melepaskan fenomena-fenomena itu begitu saja melainkan harus ada fungsi kritis teologis dalam rangka melihat reproduksi teks-teks tentang Tuhan oleh masyarakat kita di Maluku. Sebab Elmeseh tentu menjadi sebuah cara pandang yang tipikal Ameth tentang Tuhan. Jika digunakan dalam ruang-ruang ritus dan khotbah gereja, makna dasar dari Elmeseh itu akan menunjuk pada sebuah pemahaman baru yang bermakna teologis bagi jemaat. (1/8-2011)

TALITA KUM

(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella  PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS  Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...