Tuesday, June 7, 2011

FANGRIDIN:

Inisiasi Lokal dalam Konteks Budaya Tanimbar di Watmasa
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella




Kamis, 26 Mei 2011, jam. 08.35, beta bersama Tim Penatar dari MPH Sinode GPM dan Klasis Tanimbar Utara (Pdt. Jopy Noya, Pdt. Yan Latuwael, Pdt. Nick Taberima, Pdt. Nor Refialy, Pdt. Da Salakory dan Pdt. Dece Herbawal - Ketua Klasis GPM Tanimbar Utara, Pdt. Rooy Maail, Penginjil Cepu Ratuanik, dan Wem Masrikat - Jurumudi Speed boat) melayari lautan dari Larat ke Jemaat GPM Watmasa, untuk melaksanakan kegiatan Penataran Majelis Jemaat Periode 2010-2015 di Klasis Tanimbar Utara.

Pemandangan pulau-pulau kecil dan terkecil di hamparan lautan itu begitu indah. Usi Ana, demikian beta menyapa Ketua Klasis GPM Tanimbar Utara, bercerita banyak hal tentang pulau-pulau tersebut. Ada yang berpenghuni, ada yang kosong tak berpenghuni, tetapi sudah dimiliki oleh para kapitalis lokal. Usi Ana juga bercerita mengenai tantangan pelayanan antarpulau di kawasan yang kaya dan indah ini. Keindahan alam pesisir ini kelihatan dari jejeran hutan bakau dan areal budidaya rumput laut milik warga jemaat.

Jam 09.10 kami tiba di pesisir pantai Watmasa. Tampak warga jemaat sudah mempersiapkan acara penyambutan terhadap tamu gereja (mel kareda).
Pada gapura utama, anak-anak Sekolah Minggu dan Tunas Pekabaran Injil (SMTPI) sudah bersiap untuk acara penyambutan. Mereka mengenakan pakaian adat: kebaya putih dan kain tenun Tanimbar. Ada sekitar 20- an orang, di antaranya dua anak laki-laki yang mengenakan ikat kepala dari kain tenun.

Di gapura kedua, tampak ibu-ibu yang juga mengenakan pakaian adat. Mereka kemudian memainkan tarian 'dobol' salah satu jenis tarian penyambutan dalam budaya Tanimbar, selain 'Tnebar ila' dan 'Tnebar fanewa'.

Namun sebelum kami memasuki gapura dan dua kelompok penyambutan itu, ada proses inisasi yang dilayani oleh tuan tanah (lanun duan) Watmasa. Prosesi inisiasi ini yang akan diulas pada tulisan ini.

1. WATMASA: Tanah Yang Dibeli dengan Harta Kawin Saudara Perempuan
Nama Watmasa berasal dari dua suku kata dalam bahasa Fordata (rumpun Fordata Molo), yakni: wata yang berarti perempuan, dan mas yang berarti emas -menunjuk pada harta kawin dalam bentuk sepasang emas berbentuk bulat (seperti koin).

Dalam ceritanya, orang-orang Watmasa sebelumnya tinggal di Korba Leka (batu putih). Karena kondisi tanah di situ tidak baik, dan sering terancam longsor, maka orang-orang tua membeli tanah dari Empat Serangkai yakni komunitas Lelingluan, Ritabel, Ridol dan Watidal. Tanah itu dibeli seharga sepasang emas yang adalah harta kawin saudara perempuan mereka.

Akhirnya orang Watmasa menempati negeri yang sekarang dan daerah Batu Putih kini menjadi dusun orang Watmasa. Masyarakat ini masih mempraktekkan adat dan kebudayaan seperti diwariskan dari zaman nenek moyangnya.

Konsepsi agama suku masih meninggalkan jejaknya hingga saat ini. Penyebutan Tuhan sebagai Ubu (Tuhan) atau Ubu Ratu (Tuhan Semesta Alam) masih lestari dalam sapaan mereka, baik dalam komunikasi sehari-hari maupun dalam upacara-upacara adat tertentu.
Begitu pun konsepsi mengenai sesama atau saudara (kidabela; kida=teman, bela=saudara, pela) merupakan semacam ideologi budaya yang membuat orang Watmasa, dan Tanimbar pada umumnya dapat menerima orang lain, atau orang lain bisa dengan mudah beradaptasi dengan mereka.

2. FANGRIDIN: Inisiasi Lokal
Lazimnya masyarakat Tanimbar, setiap tamu atau orang luar yang datang ke negerinya disambut dengan rangkaian upacara adat yang khusus untuk itu.
Demikian pun orang-orang Tanimbar di Watmasa. Pada hari kamis itu, ada sebuah pengalaman unik yang mengundang perlunya kajian dari sisi kebudayaan dan teologi. Suatu praksis kearifan lokal yang terpintal dalam upacara ritus penyambutan tamu gereja (mel kareda).

a. Persiapan Ritus

Fangridin, atau diartikan 'kasi atau biking dingin' merupakan tindakan ritual dalam upacara penyambutan tamu atau orang yang datang dari luar dan hendak melakukan serangkaian aktifitas, tugas atau tinggal dan menetap di dalam serta bersama orang Watmasa.


Dalam prakteknya, fangridin itu bertujuan untuk memohon kepada Tuhan agar menghindarkan penyakit, mengatasi kesulitan atau kekurangan akan bebab-beban tertentu dari tamu atau orang yang akan tinggal di Watmasa. Juga memohon menyampaikan kepada para leluhur atau Tete Nene Moyang (TNM - ubun nusi) tentang ada orang dari luar yang datang dan tinggal di Watmasa. Ini dimaksudkan agar TNM 'seng takajo' (tidak kaget/bingung) bahwa ada orang lain yang datang dan tinggal di sana.
Intinya dengan fangridin, orang luar itu sudah diterima dan menjadi bagian utuh dari masyarakat Watmasa. Mereka tidak lagi dianggap sebagai orang luar, sebab sudah diterima oleh masyarakat, dan diketahui atau disetujui oleh para TNM. Mereka dan orang Watmasa adalah satu dan dapat disebut sebagai orang Watmasa.

Hal ini ternyata sudah dipersiapkan jauh hari sebelum orang itu datang. Pada malam persiapan penyambutan, biasanya tuan tanah dan semua tua adat serta Kepala Desa, sebagai Kepala Adat (Raja), berkumpul dan mempersiapkan upacara dimaksud.
Dalam persiapan itu, tuan tanah mendoakan material air dan sopi yang dipersiapkan untuk kebutuhan upacara itu. Doa itu memohon agar tamu itu selamat dalam perjalanan, diterima oleh semua masyarakat dan TNM. Mereka pun mendoakan agar sopi dan air yang akan menjadi simbol ritus pada upacara itu pun diberkati Tuhan ketika akan digunakan. Dalam doa itu, mereka pun memohon supaya TNM membantu menyampaikan maksud itu kepada Tuhan.

Jadi posisi TNM di sini sebagai orang yang turut menjadi saksi atas upacara fangridin dan mediator antara masyarakat dengan Tuhan.

b. Simbol Ritus
Ritus fangridin dilaksanakan dengan menggunakan material sopi dan air. Kedua material ini dipersiapkan terlebih dahulu dalam doa adat malam hari sebelum upacara penyambutan itu diadakan keesokan harinya.

Sopi menjadi simbol bahwa tamu atau orang yang datang dari luar itu diterima menjadi atau menjadi bagian dari orang setempat. Dengan meminum sopi, tamu atau orang dari luar yang datang dan hendak hidup di salah satu negeri di Tanimbar, misalnya Watmasa, bukan lagi orang lain bagi mereka. Begitu pun tamu atau orang dari luar harus memandang orang setempat sebagai bagian dari keluarganya sendiri.
Mereka dituntut untuk saling membantu dalam segala hal, dan tidak perlu sungkan dalam hal saling berbagi.

Sedangkan air menjadi simbol bahwa seluruh hambatan, kesulitan, tantangan dan kekurangan akan bisa teratasi atau tidak akan menjadi beban yang memberatkan hidup tamu atau orang yang baru datang serta masyarakat setempat. Termasuk beban-beban psikhis, seperti salah paham, emosi dan konflik. Air memainkan fungsi harmoni dalam rangka pelaksanaan tugas atau dalam hal hidup bersama nantinya (baik temporal maupun dalam waktu yang panjang). Di situ letak makna 'kasi dinging'.

c. Pelaksanaan Ritus
Ritus fangridin berlangsung atas permintaan Raja/Kepala Desa (mela) atau gereja. Kepala Desa menghendaki dilaksanakan fangridin kepada tamu-tamu yang datang dari unsur pemerintah, atau juga guru baru yang akan mengajar dan tinggal di negerinya, bidan atau tenaga kesehatan. Dalam hal itu juga kepada salah seorang anak dari luar yang menikah dengan anak negeri setempat (laki-laki maupun perempuan) dan hendak tinggal di situ.


Begitu pun jika ada tamu gereja (mel kareda), pihak Majelis Jemaat dapat meminta dilaksanakan fangridin. Dalam hal ini pun Kepala Desa akan bertindak selaku pemangku adat untuk mengumpulkan tuan tanah dan semua pemuka adat mempersiapkan upacara fangridin.

Rangkaian persiapan upacaranya dilakukan sehari sebelum acara penyambutan, dan biasanya pada malam hari. Kepala Desa akan mempersiapkan air dan sopi dan mengumpulkan pemuka adat dan tuan tanah untuk melakukan doa adat mempersiapkan sopi dan air serta pelaksanaan upacara keesokan harinya.

Mereka biasanya berkumpul di rumah Kepala Desa atau juga di temarlolan, atau baileu dalam bahasa di Maluku Tengah. Selain temarolan ada pula tempat berkumpul yang biasa disebut ridalan yakni lokasi tempat berkumpul (bukan bangunan).

Keesokan harinya upacara fangridin dilaksanakan. Tuan tanah bersama dengan salah seorang perempuan anggota mata rumah tuan tanah berdiri di jalan masuk ke negeri untuk menyambut tamu. Tuan tanah melayankan doa adat fangridin meminta kepada Tuhan (Ubu Ratu) dan TNM (Ubun Nusi) agar tamu atau orang yang baru datang itu diberkati selama berada di negeri mereka.

Formulasi doa adat itu disesuaikan dengan kebutuhan atau orang yang datang; dengan demikian berbeda untuk tamu yang datang dan tinggal dalam waktu singkat dan yang datang tinggal karena bekerja atau berkeluarga.

Doa adat yang dipakai dalam upacara penyambutan mel kareda pada hari itu seperti ini:
O Ubu. Mrenara mam sambayang amarini mangun mela rma ma habana mu karya ini te Ubu.
Amhera tali oa te Ubu, muflahar hera maling sian sala tali hera, boma deka rtuan sian te Ubu.
Fwatuang hera tinemun boma rnaa wanglolin Ubu mam har hera lawan ini te Ubu.


Setelah doa itu dilayankan, tuan tanah mengambil sedikit sopi dan memerciknya ke atas sebanyak tiga kali. Tindkan itu berarti ditujukan kepada Tuhan agar memberkati tamu yang datang dan menghindarkan dari sakit, celaka, beban-bebannya menjadi ringan dan tidak menghambat. Hidup dalam damai dengan masyarakat dan tidak ada salah paham yang menjurus pada konflik sehingga kegiatan tersebut terhalang.

Setelah itu menyiram air ke tanah (tiga kali) sebagai tanda bahwa tamu ini sudah menjadi bagian dari masyarakat setempat. Semua masyarakat dan TNM menjadi saksinya. Begitu pun meminta supaya selama mereka hidup di negeri itu, negeri tidak menolak -dalam arti tamu itu tidak sakit oleh sebab yang tidak jelas. Tindakan itu pun dimaksudkan agar TNM tidak 'takajo' terhadap tamu itu.

Setelah itu, tuan tanah memercik air ke kepala para tamu, seperti pelayanan baptisan Kristen, sebanyak tiga kali; sebagai tanda bahwa tamu itu bukan lagi orang asing bagi masyarakat. Ia sudah menyatu dengan masyarakat setempat; dan masyarakat pun dengan sukacita menerima mereka.

Setelah itu mereka disuguhi sopi adat oleh tuan tanah. Dengan meminum sopi maka tamu itu langsung menjadi bagian dari masyarakat di situ. Pada beberapa kasus, adakalanya tamu itu diberi nama-nama setempat (dalam bahasa tanah).

d. Makna Teologis

Inisiasi sebagai suatu tindakan sosio-budaya menunjuk pada tingkat adaptasi dan pembauran sosial antarindividu dan komunitas. Setiap komunitas memiliki ritus dan simbol khusus sebagai tanda diterimanya seseorang ke dalam atau menjadi bagian dari masyarakat setempat.

Ritus-ritus sosial itu selalu terjadi dalam relasi antarmanusia. Bentuk ritus itu patut pula dipahami sebagai suatu tindakan teologis masyarakat lokal. Sebab tiap tindakan sosial- budaya lahir dari konsepsi pandangan dunia (worldview). Sebuah pandangan dunia mengandung selain harapan tetapi juga keyakinan atau kepercayaan (sense of belief).

Jika seseorang atau satu komunitas bisa menerima orang lain dan menjadikan orang lain itu bagian dari hidup mereka maka relasi harapan, keyakinan dan kepercayaan telah menjadi suatu sistem kehidupan yang terwujud dalam persekutuan (baca. hidup bersama).

Dalam injil, kelahiran Yesus patut dimaknai sebagai tindakan inisiasi Allah ke dalam realitas dan struktur sosial manusia dan masyarakat. Allah tidak lagi menjadi 'orang asing', dan tidak usah dijumpai dengan tindakan-tindakan ritus yang abstrak. Allah sudah ada bersama masyarakat dan tinggal dalam struktur serta beradaptasi dengan sistem- sistem sosial dalam masyarakat.

Sedangkan ketika Yesus ditolak oleh orang Nazareth artinya bahwa proses inisiasi seseorang dalam suatu masyarakat dapat terbentur oleh perbedaan carapandang di antara mereka.

Untuk mengatasi itu, masyarakat membuat ritus dan simbol inisiasi yang bertujuan agar mereka bisa saling menerima. Inisiasi membuat seseorang mengenakan 'jubah budaya dan sosial' konteks setempat. Ia bukan hanya dipandang sama, melainkan dipandang sebagai bagian dari masyarakat setempat. Inisiasi membawa sesorang menjadi bagian dari suatu komunitas.

Tindakan menginisiasi seseorang atau berinisiasi ke dalam komunitas tertentu merupakan wujud dari tindakan mengenakan identitas baru. Di dalam identitas itu mereka akan mampu berbagi dalam berbagai hal.
--------------


Informan:
Bpk. Meki Wuarlela (49 thn) - Lanun Duan Watmasa,
dan Bpk. Onesimus Wuarlela (67 thn)
Percakapan pada 28 Mei 2011, jam 07.30- 08.20 di Watmasa

Monday, June 6, 2011

IJONISASI DAN IJONISME:

Problem Pertumbuhan Ekonomi Jemaat GPM
di Kawasan Pedalaman dan Pulau Terluar
oleh. Elifas Tomix Maspaitella



Praktek ijonisasi telah menjadi salah satu simpul lingkaran setan kemelaratan atau pemiskinan masyarakat dan jemaat-jemaat Gereja protestan Maluku (GPM) di berbagai tempat (baca. Klasis).

Sedangkan ijonisme merupakan kecenderungan perilaku masyarakat (baca.warga jemaat) untuk terus menghutang atau bekerja menutupi hutang kepada para pengijon dari generasi ke generasi. Ada semacam mental ketergantungan secara finansial dengan 'menggadaikan' atau 'menjaminkan' lahan potensial milik mereka kepada pengijon.
Praktek dan kecenderungan perilaku semacam itu memperlihatkan bahwa kemiskinan struktural terjadi bukan sebagai sebab kebijakan publik dari pemerintah yang tidak menjangkau. Kemiskinan struktural juga disebabkan oleh kekuatan- kekuatan kapitalis lokal yang dari waktu ke waktu menguasai perputaran uang di suatu wilayah serta mengontrol harga suatu produk lokal (spatial) setempat.

Kawasan pedalaman dan pulau terluar yang dimaksudkan dalam tulisan ini ialah Jemaat- jemaat di pulau Seram (Klasis GPM Masohi, Telutih, Seram Utara, Kairatu, Seram Barat, dan Taniwel) dan Maluku Tenggara Barat (Klasis GPM Tanimbar Utara dan Tanimbar Selatan).

I. Pedalaman dan Pulau Terluar: Komunitas Rentan
Maluku sebagai Provinsi Kepulauan sekaligus merupakan suatu kenyataan sosio-demografis, yakni bahwa umumnya penduduk di kepulauan Maluku tersebar pada ribuan pulau yang ada.

Ketersebaran penduduk pada pulau-pulau menampilkan bahwa kondisi ekonomi masyarakat Maluku cukup problematik. Dalam hukum ekonomi, sektor produksi sangat terkait dengan kepemilikan lahan dan potensi sumber kekayaan alam. Beragam potensi spatial (varietas unggulan dan khas) baik perkebunan, pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan, tersedia secara melimpah di semua pulau. Setiap pulau memiliki varietas spatial yang bahkan menjadi primadona pulau-pulau tersebut.

Problem pokok dari realitas tersebut yakni distribusi dan pemasaran. Hambatan-hambatan struktural dan latent transportasi darat maupun laut merupakan problematik ekonomi di Maluku.

Terbatasnya sarana transportasi darat dan laut menjadi problem hubungan antarpulau dan antarwilayah sekaligus problem ekonomi dalam urusan distribusi dan pemasaran hasil-hasil produksi pada pulau-pulau dan wilayah yang tersebar-sebar.

Selain itu keterisolasian wilayah-wilayah di kepulauan Maluku turut menjadi problem sosial dan perekonomian. Keterisolasian membuat akses pemasaran produk yang tidak bisa berlangsung secara massal serta potensi khas yang bernilai ekonomi 'disembunyikan' oleh kapitalis-kapitalis lokal demi kepentingan monopoli dan memperkuat oligarki ekonomi. Potensi-potensi khas itu tidak [dapat] dipromosi demi kepentingan monopoli.

Pulau-pulau di Maluku terdiri atas pulau-pulau sedang (Pulau Seram, Buru, Halmahera, Yamdena, Fordata, Babar, Banda), pulau-pulau kecil (Ambon, Saparua, Haruku, Nusalaut, Ambalau, Bacan, Tidore, Sula, Obi, dll) dan pulau-pulau terkecil (Matakus, Kesui, Teor, dll). Pulau-pulau sedang dan kecil berpenghuni, sedangkan pulau-pulau terkecil ada yang tidak berpenghuni.

Realitas seperti itu menjadi problematik jemaat- jemaat di GPM, terutama yang ada di pedalaman dan pulau-pulau terluar (kawasan perbatasan antarprovinsi dan antarbangsa).
Dari konteks kewilayahan tersebut dapat diidentifikasi beberapa problematik, antara lain:
- Produksi potensi spatial daerah tidak diimbangin dengan efektifitas dan efisiensi distribusi
- Terbatasnya sarana transportasi dan infrastruktur perekonomian di masing-masing wilayah
- Tingginya praktek ijonisasi
- Monopoli ekonomi oleh kapitalis lokal
- Penetrasi Perusahan-perusahan Swasta dan BUMN di bidang kehutanan, pertambangan yang berdampak kerusakan lingkungan
- Praktek 'perdagangan manusia' (trafficking) - khusus di Maluku Tenggara Barat (Tanimbar Utara) kepada para nelayan luar negeri.

II. Bentuk-bentuk Ijonisasi
Keberadaan jemaat-jemaat pada ribuan pulau yang terhampar di kepulauan Maluku menjadi faktor pembentuk ijonisasi dan ijonisme. Bentuk-bentuk praktek ijonisasi yang marak terjadi pada basis-basis Jemaat di GPM seperti:

a. Kontrak Tanah/Lahan
Praktek ijonisasi terjadi di hampir sebagian besar wilayah pelayanan GPM atau di sebagian besar wilayah Provinsi Maluku.

Kontrak tanah/lahan kebun merupakan salah satu bentuk ijonisasi yang marak terjadi pada basis-basis masyarakat di pedesaan dan pulau- pulau terluar.
Keterbatasan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga membuat banyak keluarga di pedesaan dan pulau terluar berhutang pada kelompok kapitalis lokal di pedesaan.

Di wilayah-wilayah seperti itu sarana pendidikan dan kesehatan sebagai sarana vital kehidupan manusia cukup langka. Sejalan dengan kelangkaan sarana pendidikan jenjang SMA dan Perguruan Tinggi yang tidak tersedia di pedesaan dan pulau terluar pada umumnya, anak-anak disekolahkan ke pulau lain yakni pusat Kabupaten dan Provinsi.
Artinya kebutuhan anggaran pendidikan cukup tinggi. Dalam lingkaran setan produksi dan minimnya akses distribusi membuat pendapatan rumah tangga minim. Dalam kondisi itu tuntutan biaya pendidikan anak mesti dipenuhi bahkan dalam waktu yang cepat atau mendesak.

Hal ini umumnya membuat banyak keluarga berhutang kepada para kapitalis lokal. Para kapitalis lokal selalu menjadikan lahan kebun dan tanah masyarakat sebagai anggunan.
Dalam lingkaran setan ekonomi seperti sudah ulas tadi, keluarga-keluarga tadi pada gilirannya kesulitan melunasi hutangnya. Situasi itu yang membuat lahan kebun atau tanahnya bisa otomatis dilepaskan kepada para kapitalis lokal oleh alasan hutang.

b. Penjualan Tanah
Karena lilitan itu dari waktu ke waktu terjadi seperti itu, masyarakat akan dipaksa untuk secara sukarela menjual tanah miliknya. Jadi penjualan tanah merupakan akumulasi dari praktek kontrak tanah dan lahan tadi.

Di banyak jemaat di pulau Seram dan Buru, praktek penjualan tanah terjadi cukup tinggi. Para kapitalis lokal bersaing dengan perusahan- perusahan kehutanan dan pertambangan yang turut berekspansi ke wilayah-wilayah itu. Praktek Illegal logging di Pulau Seram dan eksploitasi potensi kayu di Pulau Buru menjadi fakta oligarki ekonomi yang memperkuat struktur ijonisasi di wilayah-wilayah tersebut.

Sedangkan kasus-kasus kepemilikan tanah, pantai dan pulau di Maluku Tenggara Barat, misalnya di Pulau Yamdena oleh para kapitalis lokal juga memperkuat struktur ijonisasi.

Masyarakat kini tinggal memiliki separuh dari tanah atau hak ulayatnya saja. Lahan lain yang luas dan kaya beragam potensi sudah dimiliki oleh para kapitalis lokal di pulau-pulau itu.

Wilayah atau batas negeri-negeri adat malah sudah dikepung oleh lahan atau tanah milik para kapitalis lokal dan perusahaan swasta atau BUMN.

Malahan di Pulau Ambon saja, masyarakat adat sudah tidak lagi menjadi pemilik atas tanah-tanah ulayatnya. Praktek penjualan tanah yang sudah terjadi dari waktu-waktu sebelumnya menimbulkan banyak problem sosial di Kota Ambon sendiri.

Salah satu faktor yang membuat masyarakat dengan sukarela menjual lahan miliknya ialah stigma 'lahan kritis' atau 'lahan tidur'. Padahal ternyata lahan-lahan itu adalah lahan-lahan potensial namun yang belum dikelola secara sistematis karena keterbatasan sumber daya manusia, skill, dan terbatasnya informasi tentang potensi di dalam perut tanah itu atau karakteristik tanah tersebut.

c. Bantuan Modal dan Sarana Usaha
Salah satu bentuk ijonisasi ialah pemberian bantuan modal dan sarana usaha kepada rakyat oleh kapitalis lokal. Di Tanimbar Selatan dan Tanimbar Utara, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) praktek ini terjadi melalui proyek budidaya rumput laut dan kayu.

Pada usaha budidaya rumput laut, para kapitalis lokal membagi-bagikan, sebagai pinjaman berupa: tali, beras, genzet, ketinting, BBM (minyak tanah, solar, bensin) kepada para petani rumput laut. Para petani rumput laut ini diberi kelonggaran untuk membayar secara bertahap. Kasus yang ditemui di Adaut (Maret 2011), ada petani rumput laut yang sudah mengantongi hutang Rp. 865.000.000 kepada salah seorang pengusaha dari Namtabung.

Sedangkan di Marantutul, Wermatang dan Batuputih, pengusaha kayu menyerahkan kepada masyarakat satu buah chainsaw, yang selanjutnya akan menjadi milik masyarakat. Mereka yang menerima chainsaw wajib memberi kepada pengusaha 10 kubik kayu. Di pasar kayu itu laku Rp. 2.000.000/kubik. Padahal chainsaw dibeli seharga Rp. 5.000.000. Jadi masyarakat 'dihibur' dengan chainsaw -sebagai sarana usahanya, padahal dia berkontribusi pada kerusakan lingkungan dan melanggengkan ijonisasi.


d. Penentuan Harga Komoditi
Ijonisasi terjadi pula dalam bentuk penentuan harga suatu komoditi. Sebagai contoh, harga beli rumput laut ditetapkan oleh para pengusaha, di luar kontrol dan kendali pemerintah daerah.

Di Tanimbar Utara misalnya, harga beli rumput laut kering, pada harga konstan ialah Rp. 9.000/kg. Dalam kondisi tertentu -misalnya persaingan di antara para pengusaha, harga beli dapat mencapai Rp. 10.000/kg. Tetapi pada waktu lain, harga beli bisa turun sampai pada level Rp. 5.000/kg.

Tidak ada mekanisme atau regulasi yang jelas mengenai penentuan harga beli komoditi ini. Dengan kondisi harga beli itu, masyarakat yang sudah terlebih dahulu berhutang pada pengijon tidak bisa memperoleh untung yang lebih.

Hal ini semakin diperparah oleh praktek monopoli oleh satu pengusaha di satu kawasan. Tidak ada pembeli lain, sehingga tidak ada pula persaingan di antara para pembeli. Otomatis kondisi harga beli dikendalikan pula oleh satu pengusaha. Masyarakat pun menemui kesulitan dalam menjual komoditinya secara langsung ke pasar atau ekspor karena kesulitan sarana transportasi.

III. Faktor Pembentuk Ijonisme
Seperti sudah dijelaskan, ijonisme adalah kecenderungan umum sebagian besar masyarakat untuk berhutang kepada pengijon. Ijonisme bermakna ada ketergantungan yang tinggi di kalangan masyarakat terhadap para pengijon sebab faktor-faktor struktural. Beberapa hal yang membuat masih tingginya ijonisme antara lain:

a. Kemiskinan
Kemiskinan sebagian besar masyarakat di kepulauan Maluku terjadi dalam bentuk rendahnya pendapatan masyarakat sebagai akibat dari minimnya transaksi ekonomi di pulau-pulau atau antarpulau, antarwilayah. Apalagi dalam kenyataannya roda perekonomian di pulau dan antarpulau masih didominasi oleh kapitalis lokal dan pihak tertentu.

Ironi memang. Masyarakat di Tanimbar Utara memiliki kekayaan aneka biota laut yang bernilai ekonomi/fiskal tinggi, seperti teripang, lola dan ikan. Tetapi pemasarannya terbatas yakni kepada para kapitalis lokal. Akibatnya sudah bisa diduga bahwa masyarakat tetap miskin. Apalagi jika ternyata kawasan laut pun sudah menjadi milik kapitalis lokal tertentu. Maka segala potensi di dalam laut itu merupakan milik mereka. Masyarakat setempat menjadi buruh laut atau buruh pesisir yang bekerja demi kepentingan dan peningkatan ekonomi para kapitalis lokal.

Lilitan kemiskinan pun terjadi sebab terbatasnya kemampuan distribusi. Akibatnya masyarakat menjadi pekerja satu komoditi, seperti rumput laut, karena komoditi itu mudah dipasarkan, tetapi ternyata dikuasai atau malah ditentukan oleh kapitalis itu sendiri. Masyarakat tidak mengelola potensi khasnya, melainkan potensi yang diperlukan para kapitalis. Lingkaran setannya terus terjadi. Nilai jual ditentukan oleh para kapitalis. Dari nilai jual itu mereka akan melakukan transaksi baru dengan pihak tertentu di pasar yang lebih luas dengan nilai jual yang tentu jauh lebih tinggi.

Di kawasan Yamdena, rumput laut sebagai komoditi pasar yang laku sudah mengubah banyak sekali ekotipe pertanian masyarakat. Masyarakat sudah meninggalkan pertanian feodal: menanam kacang, ubi, keladi, dll -dan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menjadi 'petani rumput laut'.

Sama dengan di Seram Bagian Barat dan Seram Utara. Ekotipe pertanian masyarakat pun turut berubah seiring dengan beroperasinya perkebunan kelapa sawit. Lahan potensial masyarakat dijual. Di sisi lain, masyarakat mulai meninggalkan dan membiarkan lahan potensialnya tidak tergarap dan menjadi petani plasma di kebun kelapa sawit. Tetapi lilitan kemiskinan terus saja terjadi, sebab pasar masih dikuasai oleh kapitalis lokal. Harga barang kebutuhan hidup, termasuk sandang, masih cukup tinggi.

b. Keterisolasian
Keterisolasian wilayah merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri dalam konteks provinsi Kepulauan Maluku. Sarana transportasi darat dan laut masih cukup terbatas.
Hubungan antarpulau atau antarwilayah masih cukup sulit dan memakan waktu yang lama. Konsekuensinya ialah biaya perhubungan cukup tinggi. Di sisi lain, sarana transportasi yang tersedia lebih terfokus pada transportasi manusia dan bukan sarana transportasi ekonomi.

Banyak kapal yang tersedia, sampai pada jenis kapal cepat. Begitu juga ketersediaan sarana ASDP (Angkutan Sungai, Danau dan Perhubungan) atau Kapal Feri. Namun semua itu merupakan sarana transportasi yang melayani penumpang dan bukan kapal-kapal barang yang lebih beraksentuasi ekonomi.

Akibatnya ialah hasil-hasil produksi milik masyarakat tidak bisa dipasarkan secara besar- besaran. Ini membuka ruang bagi monopoli karena kapitalis lokal adalah kelompok yang sangat siap dalam konteks kewilayahan seperti di Maluku. Masyarakat akan terus termarginal dalam jalur- jalur perekonomian tersebut. Kondisi itu akan meningkatkan praktek ijonisasi dan ijonisme.

c. Keterbelakangan pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat masih menjadi salah satu penyebab tingginya ijonisasi dan ijonisme.

Dalam satu kasus yang pernah terjadi di Taniwel, Kabupaten Seram Bagian Barat, seorang nenek dibujuk untuk melepaskan lahannya dengan biaya: 'setengah juta'. Dalam proses transaksi, ia dihadapkan memilih mau melepaskan lahannya dengan harga: 'setengah juta atau tujuh ratus lima puluh ribu'. Dari sisi bunyi (semantik), sang nenak yang rendah tingkat pendidikan itu terjebak dalam istilah 'juta' dan 'ribu'. Ia tentu memaknai bahwa 'juta' lebih besar dari 'ribu', walau pada aspek jumlah, setengah juta lebih sedikit dari tujuh ratus lima puluh ribu.

Tidak hanya itu. Oleh faktor-faktor sebelumnya, dan juga rendahnya tingkat pendidikan, ada keluarga-keluarga yang rela menggadaikan lahan kelapa dan kakau yang sudah siap panen kepada kapitalis lokal tertentu seharga Rp. 300.000 - 500.000 untuk beberapa tahun atau beberapa masa panen. Dalam kenyataannya, satu kali panen kakau, kapitalis lokal bisa memperoleh Rp.5.000.000 - 10.000.000.

Jadi tindakannya melepaskan lahannya seharga 'setengah juta' menjadi bukti bahwa rendahnya tingkat pendidikan menjadi faktor rentan praktek penipuan dan ijonisasi.

d. Terbatasnya Informasi
Ada kalanya ijonisasi dan ijonisme pun terjadi karena terbatasnya informasi mengenai jenis komoditi pasar atau kualitas hasil produksi dan pemasaran. Kurangnya sosialisasi dari instansi terkait sering membuat masyarakat tidak mengelola potensi tertentu secara baik. Bahkan minimnya informasi mengenai pasar suatu komoditi menjadi alasan lain ijonisasi dan ijonisme.

e. Terbatasnya Akses Pasar
Alasan keterisolasian, terbatasnya sarana transportasi membuat akses pasar pun terbatas. Dampak lain ialah hasil produksi menumpuk dalam arti tidak bisa dipasarkan.

Sistem kerja subsisten -bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari sebagai salah satu corak kerja masyarakat di Maluku, merupakan salah satu bukti dari terbatasnya akses pasar itu.

Di daerah-daerah pedalaman, hasil kebun masyarakat melimpah. Begitu juga dengan hasil kelautan dan perikanan di pulau-pulau terluar. Namun akses pasar yang terbatas membuat masyarakat kurang terpola untuk mengusahakan potensi itu dan menjadikannya sebagai potensi ekonomi/komoditi pasar.

f. Perilaku Masyarakat
Perilaku masyarakat menjadi salah satu faktor pembentuk ijonisme, karena berbagai kesulitan dan praktek monopoli yang sudah 'tua' dan telah tersistem dalam hidup masyarakat.

Yang dimaksudkan di sini bahwa, masyarakat sudah terlebih dahulu mengambil barang di toko- toko para pengusaha, atau menerima 'pemberian' sarana dari para pengusaha sebelum mereka berusaha.

Artinya mereka dibentuk oleh sistem kerja untuk menutupi hutang dan pinjaman sarana yang sudah terjadi sebelumnya. Mereka bekerja bukan untuk mendapatkan keuntungan, tetapi mengganti hutang yang sudah ada.

IV. Trafficking Sebagai Ekses Ijonisme
Kasus trafficking yang terjadi di Adodo Molo, Nurkat dan Wedangkou Kabupaten Maluku Tenggara Barat merupakan ekses dari ijonisme. Hal ini merupakan salah satu ekses dari bebasnya praktek illegal fishing yang dilakukan nelayan dari luar negeri di kawasan pulau-pulau terluar.

Banyak kapal luar negeri beroperasi di lautan pada kawasan itu tanpa ada pengawasan dan regulasi yang ketat dari pemerintah dan pihak TNI/Polri.

Para nelayan itu melakukan aktifitas di laut dan dasar laut di kawasan itu. Secara sosiologis terjadi pula kontak dengan masyarakat di daratan, yakni di Nurkat, Adodo Molo dan Wedangkou.

Dari kontak itu, ada orang tua yang 'menjual' anak gadis di bawah umur kepada para nelayan luar negeri (Philipina) untuk dikawini, atau menjadi obyek seksual para nelayan tersebut. Mereka dijual dengan harga Rp.500.000 kepada para nelayan tadi.
Setelah para nelayan itu selesai mengeruk isi laut (ikan dan teripang), mereka meninggalkan 'istri bayaran' tadi atau anak gadis lain yang menjadi obyek seksual. Ada yang ditinggalkan dalam keadaan hamil. Hal ini melilit sebagian besar masyarakat atau anak gadis untuk turut menjadi pekerja seks komersil ketika kapal-kapal nelayan itu singgah di situ.

Tanpa sadar masyarakat sudah terpola dengan cara itu, sehingga terkesan masyarakat sudah cukup 'permisif' terhadap aktifitas seks komersil tadi. Padahal sesungguhnya hal itu terjadi karena ijonisme yang sudah terstruktur dalam perilaku masyarakat.

V. Peran Gereja
Persoalan-persoalan itu memberi kepada gereja suatu pekerjaan rumah (baca. panggilan misi) untuk membebaskan masyarakat dari jerat dan lilitan ijonisasi dan ijonisme.
Program pemberdayaan ekonomi sebagai 'mission campaign' (kampanye misi) sering tidak berlangsung secara efektif. Kita ternyata tidak terbentur oleh mentalitas kerja warga jemaat yang selama ini diasumsikan 'malas' atau 'masa bodoh' saja.

Benturan paling keras ialah ketergantungan kepada pengijon atau kecenderungan ijonisme yang sudah akut dan mendarah-daging. Lilitan itu menciptakan semacam struktur perilaku 'harap gampang'. Banyak jemaat yang merasa tidak usah susah-susah toh bisa berhutang karena masih ada lahan yang bisa digadaikan.

Sebagian besar orang sudah puas hidup seadanya: dapat uang seadanya, dapat barang seadanya -lalu dapat susah dan hidup seadanya (baca. miskin). Pada sisi lain, kebijakan publik yang diharapkan datang dari pemerintah pun nyaris tiada. Praktek ijon jelas-jelas merusak kawasan hutan, lautan, pesisir dan memiskinkan masyarakat.

Belum lagi kebijakan pemerintah untuk perlindungan potensi sumber kekayaan alam dari eksploitasi pengusaha atau malah 'perompak' dari luar negeri. Masalah-masalah ini ternyata diketahui secara memadai oleh aparatur negara. Namun penanganannya tidak pernah serius. Akibatnya justru dirasakan oleh masyarakat di kawasan pedalaman dan pulau terluar. Suatu indikasi bahwa ketahanan sosial masyarakat semakin melemah; karena itu ketahanan ekonomi pun turut dilemahkan. Regulasi yang tidak 'ketat' seperti itu juga merupakan salah satu bentuk tekanan struktur yang melanggengkan ijonisasi dan ijonisme (baca. kemiskinan).

Gereja perlu memainkan peran mendidik warganya untuk memahami potensi sumber daya alam yang tersedia dan mengelolanya secara profesional.Memutuskan ijonsasi dan ijonisme perlu dilakukan dengan turut membentuk kesadaran teologi para pengijon. Mereka perlu diarahkan untuk menjadi kekuatan penopang pertumbuhan ekonomi jemaat, dan tidak mengeksploitasi kemampuan dan 'kebodohan' masyarakat.

Sudah waktunya GPM (melalui Departemen Finek dan Yayasan Parpem) membangun suatu model pengembangan ekonomi jemaat/gereja dengan fokus pada pengelolaan potensi-potensi spatial terutama di pulau terluar dan pedalaman. Strategi ini perlu diikuti dengan mekanisme jejaring pengembangan ekonomi antarpulau; sehingga lalu lintas pertumbuhan ekonomi menjadi hidup dan jemaat menjadi semakin berdaya, tangguh dan matang secara ekonomi.

Sebagai gereja kepulauan, dinamika bergereja kita (GPM) adalah juga menata gerak pertumbuhan ekonomi jemaat secara bersama dan serentak. Jemaat-jemaat perlu diarahkan agar melindungi potensi alam, sumber kekayaan alam di darat, pesisir dan laut, dan memacu keterampilan dalam mengelola seluruh potensi yang ada.

Menghindari praktek menjual tanah, berhutang, menggadaikan lahan, dan lainnya; sebaliknya bekerja keras dan menjadi pelaku ekonomi di lahan miliknya (bukan buruh yang bekerja kepada orang di lahan milik sendiri).

Problem mentalitas kerja warga jemaat pun perlu mendapat perhatian tertentu, termasuk membangun cara pandang yang tepat tentang hutang/pinjaman dari para pengijon. Ini perlu agar jemaat memahami bahwa mereka bekerja bukan untuk menutupi/melunasi hutang melainkan untuk menambah pendapatan keluarga. (*)

Watmasa – Larat, 30 Mei 2011

TALITA KUM

(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella  PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS  Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...