Tuesday, April 26, 2011

PERJAMUAN KUDUS GPM

Reproduksi Teks dan Identitas Sosial Orang Maluku
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


ANTROPOLOGI TEKS

Beta merasa mulai tertarik untuk melihat kembali aktifitas-aktifitas beragama dewasa ini dengan asumsi: ‘mengapa kita masih terus mempraktekkannya?’ Sebab dari sekilas sejarah yang teranyam dalam bentuk tradisi lisan (oral tradition) maupun beberapa dokumen/buku, ternyata aktifitas-aktifitas itu dihasilkan di zaman lampau (baca.zaman leluhur). Begitu juga ketika melihat praktek budaya dan beragam folklore; malah beberapa kebiasaan yang sudah ada sejak dahulu itu tetap dipertahankan dan dipraktekkan seperti dahulu –tanpa mengubah forma dan tata caranya.

Salah satu kebiasaan itu ialah tata cara perayaan Perjamuan Kudus di Gereja Protestan Maluku (GPM). Sebuah tradisi unik (heritage) yang terus terpelihara hingga waktu ini. Suatu kebiasaan di mana setiap perayaannya, sebuah meja putih berbentuk Salib diletakkan di dalam ruang ibadah –memanjang ke arah altar dan mimbar, dan di kiri-kanannya diletakkan kursi/bangku untuk tempat duduk jemaat. Mungkin bisa dikatakan, pada saat gereja-gereja protestan anggota GPI (Gereja Protestan di Indonesia) –yang dibangun dari tradisi Indische Kerk, telah meninggalkan cara ini, GPM masih mempertahankan praktek itu hingga saat ini. Sebab itu dapat disebut sebagai suatu cara unik yang menjadi tradisi (heritage) GPM. Maka tidak salah jika judul artikel ini ialah: PERJAMUAN KUDUS GPM (-dalam tulisan ini disingkat PK).

Beta berusaha membahas tradisi unik ini dari sudut pandang Antropologi Teks; sebagai salah satu usaha membangun cara paham yang sebanarnya telah dirintis oleh Antropologi Agama. Hanya karya-karya Antropologi Agama selama ini lebih banyak berkutat pada agama suku atau agama nenek moyang [tribe religion], sehingga kekaitannya dengan budaya masyarakat –sebagai produk masa lampau, hampir tidak bisa dilepaskan.

Karya-karya itu –dalam konteks Maluku antara lain dipelopori oleh Frank Cooley, Dieter Bartels, Barbara dan Charles Grimes, Rooy Ellen, dan lainnya –berkisar pada kebudayaan masyarakat, sebagai teks orisinil yang melekat pada adat atau kebiasaan di dalam masyarakat. Jika pun ada yang menyinggung aspek kepercayaan, itu pun kepercayaan di zaman leluhur. Bartels akhir-akhir ini malah mempersoalkan kembali reproduksi teks terkait dengan koherensi Tuhan di dalam kekristenan dan keislaman di Maluku. Walau begitu ia lebih fokus pada paham kebudayaan masyarakat yang memuat ide dasar mengenai Tuhan.

Apa yang hendak beta kembangkan di sini ialah sebuah analisis antropologi ke dan dari dalam teks-teks beragama –memang ada yang diproduksi dari kebudayaan, dan lebih pada praktek beragama kristen [suatu waktu perlu juga pada Islam]. Praktek itu sendiri telah menjadi teks di dalam kekristenan yang direproduksi dari dua warisan beragama. Satu warisan kekristenan dalam hal ini doktrin/dogma dan tradisi gereja, dan kedua warisan kebudayaan –aspek kontekstualisasi, yang lebih spesifik pada mentalitas atau carapandang budaya dan simbol-simbol kebudayaan masyarakat.

Karena itu Teks yang dimaksudkan di sini ialah seperangkat kebiasaan/tradisi yang dipintal oleh masyarakat menjadi semacam simbol identitas diri dan kelompok. Istilah teks ini diambil dari kata Latin, texere, yang berarti menenun, menjalin –seperti menjalin atau menyanyam pita (braid), atau membangun, memproduksi (sehingga menghasilkan sesuatu) atau membangun, menyusun (Greetham, 1999:22). Manusia di seluruh dunia beraktifitas/bekerja untuk menenun atau memproduksi kata-kata. Mereka menggunakannya untuk membangun suatu tanda, untuk meninggalkan jejak (bekas). Mereka melakukannya baik secara baik secara oral maupun tertulis. Walau banyak orang memahami secara khusus bahwa teks adalah sebuah bentuk/hasil karya tulis, namun teks bukanlah hanya tulisan itu. Teks adalah segala sesuatu yang diakui sebagai gambaran/tanda dari eksistensi; entah yang diproduksi pada era modern ini maupun yang diproduksi di zaman lampau. Teks juga adalah pintalan horison sejarah manusia sejak zaman lampau, dan yang terus terpintal atau teranyam sampai saat ini. Maka bentuk teks yang orisinil, hasil atau sesuatu yang dihasilkan dari teks ialah ‘identitas’ (identity).

PERJAMUAN KUDUS GPM: SAKRALISASI

SAKRALISASI merupakan salah satu perlakuan terhadap tradisi atau ritus agama tertentu sehingga ritus atau tradisi itu dalam penampakannya memiliki bentuk (forma) dan sistem (order, baca.liturgi) yang berbeda dari tradisi dan ritus umum lainnya.

Hal ini tampak dalam PK GPM. Unsur-unsur Sakralisasi itu merupakan cara gereja ini mereproduksi tradisi kekristenan –yang berasal dari Eropa atau dari lingkungan masyarakat Isreal Alkitab, sehingga menjadi teks baru dan diakui sebagai teks yang dimiliki secara spesifik oleh masyarakat Kristen di Maluku.

Beta mencoba mengetengahkan beberapa bentuk Sakralisasi itu:

a]. Perhadliran: Awal Sakralisasi
Antropologi teks akan membimbing kita memahami bukan saja siapa dan untuk apa teks itu diproduksi, tetapi juga melihat aspek intuisi dari masyarakat tatkala menghasilkan dan menggunakan suatu tradisi sebagai miliknya yang khas. Apa yang disebut Karin Barber, bahwa intiusi itu akan mampu membawa kita memahami alasan dan tujuan paling dasar dari berkembangnya sebuah tradisi –atau membantu memahami reproduksi teks dalam konteks saat ini. Baginya antropologi dapat menunjukkan ‘inner life of society’ –jadi jauh lebih mendalam dari sebatas membahas struktur emic (the emic perspective) seperti yang selama ini menjadi konsentrasi ethnologi/ethnography.

Maksudnya teks itu adalah produk masyarakat lokal/setempat dan teks itu digunakan di dalam hidup mereka. Dalam kaitan dengan PK GPM, PERHADLIRAN merupakan salah satu ritus awal PK –dan bentuk awal dari sakralisasi.

Beta masih harus melacak sejarah berkembangnya tradisi ‘perhadliran’ dan juga etimologinya. Sebab itu akan membantu menjawab intuisi atau struktur terdalam hidup masyarakat kristen di Maluku (GPM) –setidaknya dari praktek PK itu sendiri.

Jelasnya bahwa ‘perhadliran’ merupakan bagian dari ibadah persiapan PK –seminggu sebelum perayaan PK. Dalam minggu khusus, ‘perhadliran’ adalah momentum klimaks dari Peneguhan Sidi Gereja –yaitu peneguhan terhadap katekhisan yang menamatkan pendidikan katekhisasi, dan mengaku iman percaya kepada Tuhan di dalam ibadah Jemaat yang khusus untuk itu.

Pada saat ‘perhadliran’ semua anggota sidi gereja berdiri dan menjawab pertanyaan-pertanyaan ‘perhadliran’ sebagai tanda pengakuan iman dan kesediaan mereka mengikuti PK. Karena dikhususkan hanya kepada anggota sidi gereja, maka ‘perhadliran’ itu mengandung suatu nilai dan memiliki bentuk yang khusus. Masih dapat dilihat pada beberapa jemaat sampai saat ini bahwa pada saat anggota sidi gereja diundang berdiri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan perhadliran, Majelis Jemaat berjalan ‘menghitung jumlah’ dan ‘memeriksa’ kepantasan seorang anggota jemaat.

Tujuan ‘menghitung’ bertujuan untuk menaksir berapa banyak roti dan anggur yang harus disiapkan untuk pelayanan PK. Sedangkan tujuan ‘memeriksa’ kepantasan ialah agar jika ada anggota jemaat yang belum sidi dan ternyata berdiri pada saat ‘perhadliran’ yang bersangkutan akan langsung ditegur untuk tidak berdiri. Atau jika ada anggota jemaat yang kedapatan hidup tidak sesuai dengan norma dan ajaran agama atau mencemarkan pernikahannya, atau sedang dikenakan sanksi [baca juga. Siasat] gereja, mereka akan dianjurkan untuk duduk.

Malah ada jemaat yang secara sukarela tidak berdiri di ‘perhadliran’ jika ia benar-benar tidak berniat untuk mengikuti PK atau jika ia sadari bahwa ia sedang melakukan atau dalam kondisi ‘tidak layak’ oleh berbagai kasus yang sedang dialaminya. Dari pemahaman jemaat –yang dibentuk oleh ajaran gereja sejak dahulu, hanya mereka yang pantas [dalam arti tidak cemar hidupnya] yang boleh datang ke PK. Sebab itu dahulu, seorang perempuan muda yang hamil di luar nikah pun tidak ‘diperkenankan’ hadir dalam PK.

Masih mengenai ‘perhadliran’ secara fungsional dipahami bahwa: ‘TUHAN memberi undangan kepada manusia yang berdosa untuk datang ke perjamuanNya agar mereka menerima anugerah pengampunan dosa’. Jadi setiap orang yang mengikuti ‘perhadliran’ diyakni mendapat undangan resmi dari TUHAN untuk datang ke PK. Bagi yang tidak mengikuti ‘perhadliran’ –dianjurkan untuk tidak datang ke PK. Malah dalam ‘perhadliran’ jika ada salah satu anggota jemaat yang tidak berniat mengikuti PK, walau ia adalah anggota sidi gereja, ia tidak usah berdiri untuk menjawab pertanyaan ‘perhadliran’. Demikian pun anggota sidi gereja yang tidak menghadiri ibadah ‘perhadliran’, maka yang bersangkutan pun ‘tidak bisa’ mengikuti PK.

Norma-norma semacam ini telah dipraktekkan dan menjadi pemahaman umum semua anggota GPM hingga saat ini. Oleh alasan-alasan teologis dewasa ini, dan esensi PK sebagai akta penghapusan dosa terhadap semua umat manusia, norma-norma semacam itu sudah tidak berlaku lagi secara mutlak seperti dahulu. Orang yang tidak mengikuti ibadah ‘perhadliran’ –tetapi berniat mengikuti PK sudah terlayani. Mereka cukup datang kepada Pendeta dan menyampaikan ‘niat hatinya’ –dan mendapat pastoralia, dan pada saat ibadah PK, sudah bisa mengikuti ibadah tersebut.

Terlepas dari semuanya cara dan alasan teologis itu, ‘perhadliran’ merupakan bentuk sakralisasi PK yang terus terpelihara dalam tradisi PK GPM.

b]. ‘GEREJA BESAR’ : Terminologi Sakralisasi
Istilah ‘Gereja Besar’ merupakan salah satu bentuk sakralisasi secara terminologis. Dalam antropologi teks, istilah sekalipun diproduksi oleh masyarakat, dan sebab itu teks itu memiliki atau hidup di dalam ‘ruang sosial’ (social fact). Karena dihasilkan dan berlaku di dalam suatu ruang sosial, maka teks itu menjadi semacam ‘konvensi masyarakat setempat’ –dari sisi terminologis pun, istilah itu hanya menjadi istilah yang ada di komunitas setempat itu.

‘Gereja Besar’ sebagai sebuah istilah mungkin hanya ada di GPM. Istilah universal untuk hal ini adalah ‘Jumat Agung’. Saudara-saudara Katolik menyebutnya sebagai ‘eukaristi’, atau lazimnya PK. Istilah-istilah dalam gereja itu diambil dari tradisi jamuan makan malam terakhir (Last Supper) antara Yesus dengan murid-muridNya sebelum Ia diserahkan untuk disalibkan keesokan harinya.

Bahkan istilah PK itu sendiri diambil dari ruang sosial teks itu, yaitu sebuah tradisi jamuan makan yang dilayankan secara khusus –mengikuti jamuan makan Yesus dengan para muridNya itu. Ada jamuan makan roti dan minum anggur sebagai ‘maedah’ dari PK itu. Sebuah ruang sosial di mana seseorang bertindak melayani makan dan minum orang banyak di meja makan –yang disediakan secara khusus kepada mereka.

Istilah ‘eucharisti’ atau ‘holy communion’ juga menunjuk pada suatu ruang sosial yang khas –yakni kehadiran orang banyak dalam perjamuan suci, dan di dalamnya mereka dilayani makan roti dan minum anggur.

Seperti itu pula istilah ‘Gereja Besar’ dilahirkan sebagai bentuk reproduksi teks sesuai dengan konteks sosial dari penggunaan istilah itu. Penyebutan itu di GPM lahir dari kenyataan bahwa mereka yang masuk ke ibadah itu adalah ‘orang-orang besar’ –artinya anggota sidi gereja. Dengan kata lain tidak diperuntukkan kepada anak-anak kecil –yakni anak-anak yang belum mengikuti peneguhan sidi. Malah pada saat ibadah berlangsung, semua pintu rumah ditutup. Anggota jemaat yang tidak mengikuti ‘Gereja Besar’ tidak boleh keluar rumah.

Istilah lain yang lebih ekstrim dahulu ialah ‘Gereja Itang’ –yang juga diambil dari konteks sosial bahwa semua warga jemaat yang datang ke ibadah itu mengenakan pakaian berwarna hitam (Kabaya Itang untuk laki-laki dan perempuan, dilengkapi ornamen ‘kain pikol’ pada pakaian perempuan). Itulah sebabnya hingga saat ini, peneguhan sidi, setiap calon sidi gereja diwajibkan mengenakan ‘pakeang itang’.


c]. HARI PERSIAPAN: Tindakan Sakralisasi
Di semua jemaat, hari persiapan PK, entah pada Kamis Putih (dalam Minggu Jumat Agung) atau Sabtu minggu biasa, dilakukan persiapan PK. Malah pada jemaat-jemaat di pedesaan, persiapan PK sudah dimulai dari hari Rabu/Kamis. Majelis Jemaat (MJ) sudah kelihatan mempersiapkan material untuk pembuatan roti dan anggur. Dalam hari-hari persiapan itu, terutama pada hari ‘bakar roti’ dan ‘masak anggur’, semua anggota MJ melakukan doa persiapan di Pastori. Saat itu malah anggota jemaat tidak melakukan aktifitas kerja apa pun, seperti ke kebun atau berburu.

Dalam hari-hari itu anggota jemaat juga sudah mempersiapkan diri untuk mengikuti PK pada hari Jumat Agung atau Minggu. Mereka menjaga agar mereka tidak terhalang untuk mengikuti PK. Jadi tidak pergi ke kebun, lautan, atau berburu, dengan asumsi kalau-kalau terjadi muzibah atau kecelakaan yang membuat mereka tidak bisa menghadiri PK di gereja.

Selain itu terbangun suasana hidup yang moralis, di mana tiap orang menjaga kelakuannya agar jangan ada tindakan yang mencemarkan diri, entah dalam kasus seksual atau pun pertengkaran dengan istri/suami, anak-anak, atau dengan tetangga dan orang lain. Suasana hidup dijaga begitu rupa agar tidak menghalangi ‘kekudusan diri’ untuk menghadiri PK.

Jika itu dipahami sebagai sebuah teks, maka yang hendak diungkapkan dari cara itu adalah sebuah ‘concern’ yang membuat jemaat merasa seakan merupakan bagian dari atau berada di dalam [within] tindakan atau teks yang diproduksinya. Mereka mewujudkan suatu independensi dari eksistensi diri yang melekat pada cara khas yang berhak mereka kembangkan. Orang lain mungkin menilai hal itu terlalu berlebihan, tetapi bagi mereka justru cara itu menegaskan jati diri dan corak keagamaannya [yang unik]. Teks yang diproduksi masyarakat lokal selalu beraksentuasi pada keunikan komunitas itu. Karena itu semakin keunikan itu dijaga, mereka merasa berada di dalam lingkungan praksisnya yang orisinil.

Dalam ranah teologi, cara itu sekaligus menjelaskan sikap teologi jemaat yang dibentuk sekian lama oleh warisan teks sosial ini. Jemaat GPM di pedesaan masih tampak memelihara kesakralannya dan cara mereka itu terpintal pula (baca.berdampak) dalam relasi sosial sesehari. Cara itu malah turut menertibkan cara hidup dan membentuk semacam etika dan standard perilaku mereka. Berbeda dengan jemaat-jemaat di perkotaan yang sudah mulai meninggalkan ‘jalinan’ perilaku sakralisasi ini. Perubahan sosial dan gaya hidup menjadi faktor determinan dari perubahan ini.

d]. PROSESI MASUK MEJA: Gesture
Teks menjadi bernilai dalam ranah sosial ketika teks itu disertakan dengan gesture. Dalam kaitan dengan ‘kata’ atau ‘frasa’ –atau dalam fungsi dialog/dialeg, mimik menjadi hal penting dalam memahami maksud teks yang diucapkan.

Sebagai contoh: kata ‘seng’ dalam bahasa Melayu Ambon berarti ‘tidak’. Sedangkan ‘tau’ berarti sama dengan ‘tahu’ dalam bahasa Indonesia. Tetapi biasanya dalam dialog sesehari di Ambon, jika seseorang menanyakan letak suatu benda, seperti pisau, kepada seseorang lainnya, dan seseorang lainnya itu tidak tahu keberadaan sesuatu benda yang ditanyakan itu, dia dapat menjawab ‘tau’ –dengan nada sedikit tinggi disertai gesture mengangkat kedua bahu dan sambil membuka kedua tangan atau menggelengkan kepala. Maksud dari orang itu ialah ia tidak tahu letak benda yang ditanyakan itu. Gesture begitu penting dan menekankan tentang maksud dari dialog penanda dan petanda tadi.

Pentingnya gesture juga dapat dilihat dalam cara sakalisasi PK di GPM. Ada semacam konvesi yang membimbing produksi teks dan penafsirannya di kalangan warga GPM di Maluku bahwa, jika sesorang berjalan memasuki meja PK dan kakinya terantuk pada kaki bangku/kaki kursi atau kaki meja PK, pertanda orang itu memiliki suatu masalah serius di rumah dengan suami, istri, orang tua atau anak, bahkan dengan tetangga atau seorang saudaranya. Atau orang itu sedang menyembunyikan suatu masalah lain yang diyakini bersifat buruk (misalnya mencuri suatu barang milik orang lain).

Tidak hanya itu, pada saat ia mengambil sepotong roti dari piring roti PK; jika ada penggalan roti lain atau yang diambilnya itu jatuh di meja atau ke tanah, pesannya pun sama bahwa orang itu ada memiliki suatu masalah tertentu di rumah. Demikian pun dengan anggur. Pada saat dia minum anggur dan keselek, atau anggurnya tumpah.

Semua kejadian seperti itu tidak dipandang sebagai aksedental melainkan menyimpan suatu masalah serius yang belum tuntas penanganannya. Dahulu biasanya hal itu disertai percakapan pastoralia setelah PK.

Hal-hal yang terkait dengan ketidaksengajaan atau sesuatu yang aksidental (seperti minum dan keselek) tidak dijadikan sebagai cara menafsir tindakan itu, melainkan ‘dosa’ atau ‘kesalahan’ yang tersimpan dan harus dibereskan. Akibatnya orang mengikuti PK dalam semacam ketakutan kecil agar tidak terjadi hal-hal ‘aksidental’ tadi.

e]. ROTI DAN ANGGUR: Sakralisasi Simbolik
Teks di mana pun adalah ungkapan pengalaman masyarakat (communal experience). Material PK dinilai mengandung semacam daya magis karena sakralisasi tadi. Banyak dijumpai pengalaman, setelah ibadah PK, anggota jemaat meminta agar diberikan sisa roti dan anggur (paling sering, anggur). Mereka meyakini ada daya magis tertentu pada material itu dan dapat menyembuhkan suatu penyakit.

Lepas dari sugesti, tetapi mereka meyakini atas pengalamannya atau pengalaman beberapa orang lain, sehingga sisa material PK ini sering dimintakan. Hal serupa pun pada air sisa pelayanan Baptisan Kudus.

Banyak cerita tentang kesembuhan seseorang setelah meminum anggur perjamuan atau sisa anggur perjamuan. Salah seorang anggota jemaat Rumahtiga, Christ Seilatu, Ketua Unit 1 Sektor Yarden, setelah PK tanggal 22 April 2011 lalu, kepada beta, menceritakan bahwa dahulu dia sakit asma. Tetapi tiap kali mengikuti PK, sebelum dia meminum anggur dia berdoa: ‘TUHAN, dengan anggur yang adalah darahMu ini, sakit asmaku hilang. Demi Nama Tuhan Yesus, aku berdoa. Amin’ Setelah doa dia meminumnya. Dan dia telah sembuh dari sakit asma.

Semua pengalaman itu menjadi cerita berulang dan terbagi secara merata dalam pengalaman masyarakat, sehingga menjadi pengalaman bersama yang membentuk pemaknaan tertentu terhadap material PK itu. Di situ pengalaman bersama tadi menjadi narasi atau teks baru dalam tiap tindakan PK. (*)

KEBODOHAN TEOLOGI:

Teror Bom dan Kekerasan Atas Nama Agama sebagai Teks Buram
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

AJARAN DAMAI
Semua orang di dunia ini akan berkata yang sama: ‘Agama sesekalipun tidak mengajarkan mengenai kekerasan atau teror terhadap kemanusiaan’. Tetapi kita hidup di dalam realitas yang antagois –bahwa atas nama agama, kekerasan dan teror terhadap kemanusiaan dimutlakkan oleh sekelompok orang.

Sesederhana apa pun agama, termasuk agama suku-suku di pedalaman Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, ajaran mengenai kebaikan menjadi jantung hidup masyarakat. Dalam setiap agama, seperti disimpulkan Hans Küng dalam magna opusnya, The Global Ethics, tidak dibenarkan membunuh, mencuri, saling menyakiti, berbohong, dan lain sebagainya. Agama membangun sebuah norma dasar, atau the good and virtue, menurut bahasa Aristoteles yang menjadi common ground morality dan common goods atau common virtue. Yesus lalu meringkas norma yang panjang lebar itu dalam: ‘mengasihi Tuhan dan sesama seperti mengasihi diri sendiri’.

Lalu semua agama menunjukkan jalan untuk melakukan kebaikan yaitu dengan cara beribadah kepada TUHAN dan melayani sesama saudara. Kiblat doa dan ibadah pada semua agama adalah berdamai dengan TUHAN dengan terlebih dahulu berdamai dengan sesama. Hadits Nabi Muhammad SAW pun mengajarkan demikian.

AMBIVALENSI DAN ANTAGONISME BUDAYA AGAMA
Mengapa muncul teror atas nama agama atau kekerasan untuk memperkuat hegemoni agama? Singkat saja jawabannya. Kebodohan teologis. Pembodohan teologis. Teks suci yang hidup di dalam konteksnya mengalami bias saat direproduksi dalam konteks pembaca yang baru. Bias ini menunjukkan bahwa teks telah dikorupsi dan dimanipulasi sebegitu rupa untuk menjadikan agama sebagai benteng moral dan garansi masuk surga atau sumber pahala di akhirat.

Teks kitab suci memang lahir dalam suatu masyarakat yang ambivalen dan wabah antagonisme budaya di Timur Tengah sebagai ‘tanah tumpah darah’ sekian banyak teks dan kitab suci. Ambivalensi dalam teks dibentuk oleh ‘perang urat syaraf’ di kalangan kaum Semitis tentang ide-ide pokok dalam agama yaitu TUHAN, Tanah Suci atau Tanah Perjanjian, Umat Pilihan TUHAN, Anak Dewa/Anak TUHAN, dan Surga/Akhirat. Siapa yang berhasil dalam propaganda teks menjadi bangsa dengan ‘pride religius’ yang tinggi. Jika demikian, bangsa itu pun akan unggul secara politis, sebab propaganda teks selalu berhasil mematahkan hegemoni lawan atau membangun hegemoni bangsa yang mempropagandakan teks itu.

Yahudi terbukti sebagai bangsa yang sangat berhasil melakukan propaganda itu, dan sampai saat ini hasil propagandanya itu ‘diyakini’ sebagai teks suci sebagian besar umat beragama di dunia, baik Islam, dan tentunya Kristen. Malah ‘konsumen’ propaganda Yahudi itu jauh lebih banyak dari propagandisnya sendiri. Luar biasanya lagi, sebagian besar warga dunia dibuat mengaku ‘tanpa syarat’ Yahudi sebagai Bangsa Pilihan TUHAN.

Antagonisme? Iya, sebab dalam pengakuan akan keterpilihan Yahudi, sebagian besar warga dunia, terutama yang beragama kristen, melihat perang saudara di Timur Tengah bukan sebagai konflik politik, melainkan konflik agama –dan dengan pongahnya sering orang berkata: ‘siapa mau lawan umat pilihan ALLAH? Sebuah buku propaganda yang ditulis Avner Sahertian, seseorang yang menggelari dirinya sendiri sebagai Rabi, yang berjudul: ‘Anak Kunci Israel yang Terhilang di Indonesia’ malah terkesan merayu orang Ambon –yang menurutnya adalah Suku Gad, untuk kembali pulang ke Yerusalem, ke tanah yang sempit dan berdarah-darah itu. Antagonisme. Benar. Sebab dalam seluruh realitas kemanusiaan dan teologi yang terpenjara seperti itu, fantasi tentang ‘holy land’ dan identifikasi diri dengan Israel menjamur di seluruh antero dunia.
Beta kira hal serupa pun menggejala di kalangan umat Muslim. Karena dari pengalaman kita selama ini, identifikasi diri dengan orang Israel dan Arab menjadi semacam ‘virus’ –sehingga label Arab atau Israel dijadikan sebagai ‘identitas arbiter’ di kalangan Muslim maupun Kristen di seluruh dunia. Malah label Eropa selalu pula disertakan dalam antagonisme budaya agama di Indonesia.

KEBODOHAN TEOLOGI
Aksi teror bom, kekerasan antar-agama, konflik agama, dan lainnya selalu dilihat dari sudut pandang politik, sosial, ekonomi. Sebab itu aktor intelektual selalu dialamatkan kepada elite birokrasi, politik, pengusaha, dan bahkan oknum militer (TNI/Polri). Pada kasus tertentu, analis-analis intelejen dan pakar gerakan teroris membuat peta jaringan internasional dari satu gerakan yang muncul di Indonesia –bahkan sampai pada aliran dana internasional yang masuk dari satu tangan ke tangan berikutnya.

Fokusnya selalu di situ, sehingga usaha menuntaskannya ialah dengan parade pasukan militer (TNI/Polri), sweeping, PAM Swakarsa, berburu kelompok dan gembong teroris, pengedaran foto dan sketsa wajah pelaku teror dengan iming-iming sejumlah uang sebagai imbalan bagi yang melapor. Lihat pula bagaimana prestasi Polri menggrebek dan menembak mati gembong teroris atau menyekat perkelahian antar-komunitas. Walau sebenarnya ada pula kealpaan dan kesengajaan untuk membiarkan konflik dan kekerasan antar-komunitas terjadi. Alih-alih pengamanan, mereka selalu berdalih dengan ‘datang terlambat’ atau rakyat terlambat melapor. Maka alih-alih pengamanan, konflik sudah meletus, bom sudah meledak dan memakan korban, barulah dipasang Police Line. Apa yang mau dibatasi? Tidak ada! Sebab sudah jatuh korban. Yah seperti kalimat sakti Martin Heidegger: ‘a boundary is not that which something stops but, as the Greeks recognized, the boundary is that from which something begins its presencing’. Boundary itu pula yang berhasil dilewati pelaku bom bunuh diri dalam Masjid Mapolsek di Cirebon.

Satu aspek yang perlu dituntut pertanggungjawabannya adalah ‘pendidikan teologi’. Sebab perlakuan teror dan kekerasan atas nama agama memberi bukti bahwa telah terjadi kebodohan teologis di kalangan umat. Umat dengan gampangnya dirasuki pikiran-pikiran teologis yang bias. Dari Kitab Suci yang sama bertumbuh beribu hasil tafsir dan menghasilkan jutaan madzhab tafsir. Mereka sesungguhnya berhak atas ajaran yang orisinil dari agama. Tetapi proses bimbingan terhadap mereka telah bias, karena pembimbingnya yang bias.

Mengapa begitu? Banyak pembimbing agama, alim-ulama, merasa menjadi wakil TUHAN satu-satunya di dunia. Mereka merasa memahami dengan tepat isi kepala TUHAN, dan ironinya isi kepala TUHAN yang mereka yakini itu adalah beragam tindakan kekerasan dan teror dan semuanya diberi fondasi: ‘atas nama agama’, atau ‘perang untuk TUHAN’. Tangisan beberapa anak-anak yang bertanya: ‘TUHAN, apakah agamamu?’ adalah protes kebodohan teologis yang sedang terjadi.

Proses pembodohan teologis itu dilakukan oleh mereka yang belajar teologi secara serius maupun ‘kursus kilat’ baik melalui pendidikan 6 bulan atau belajar dari guru-guru rohani saat minum kopi, makan siang bareng –dalam rangka mengirit biaya, atau cara lain melalui internet dan buku-buku yang menyesatkan. Mereka ada yang melakukannya melalui ceramah, khotbah, dakwah, atau juga bimbingan spiritual secara khusus. Ironinya mereka semua mengklaim seakan-akan TUHAN membenarkan tindakan kekerasan dan pembunuhan, dan orang yang melakukannya untuk TUHAN diselamatkan. Ironinya pula, ada orang yang mau melakukan tindakan keji seperti itu.

Lihat saja konflik Ambon. Betapa ayat-ayat suci ‘dijual’ setiap hari untuk menarik simpati dan membangun rasa superior satu kelompok atas lainnya. Tidak hanya itu, TUHAN pun ‘dipromosi’ habis-habisan sebagai kekasih salah satu kelompok yang sedang memendam rasa dendam terhadap kelompok lain. Akhirnya kekerasan terhadap kelompok lain dipahami sebagai cara membalas dendam TUHAN.

Lihat pula betapa dari seluruh rangkaian kasus teror dan kekerasan atas nama agama di Indonesia. Gambar yang tampil di saluran-saluran TV menunjukkan semua oknum teroris dan pelaku kekerasan secara pribadi maupun massif menjadikan nama TUHAN sebagai ‘yel-yel’ pembangkit semangat. Malah ‘yel-yel’-nya lebih bergemuruh dibandingkan suporter sepak bola, ketika jarak mereka sudah dekat dengan ‘orang yang dibenci TUHAN’ dan lebih hebat lagi ketika berhasil mengusir, menyerang, membakar ‘orang/kelompok yang dibenci TUHAN’. Ini bentuk pembodohan teologi dengan mengeksploitasi ayat dan nama TUHAN secara extraodinari.

Mereka yang melakukan gerakan pembodohan teologi dan mereka yang menjadi korban pembodohan itu malah merasa keagamaannya jauh lebih benar bukan saja dari kelompok beragama lain, tetapi dari saudara-saudaranya yang seagama. Lihatlah judul buku ‘Bom Buku’ yang dikirim kepada Ulil Abdallah –pentolan JIL yang kini juga menjadi aktifis Freedom Institut dan petinggi Partai Demokrat. Tidak hanya itu, orang-orang lain pun dinilai memiliki paham beragama yang salah –padahal menurut teman saya, Sumanto Al Qurtuby, apa yang dipelajari atau praktek beragama seperti membaca sunnah Nabi dan lainnya oleh banyak sekali kaum radikal itu, merupakan pelajaran beragama yang sudah diperolehnya sejak masih kanak-kanak, dan ketika ‘dibesarkan’ di pesantren. Artinya dia sudah lulus dari pelajaran-pelajaran itu, dan telah menjadi Islam atas pelajaran-pelajaran itu. Kini dia menjadi Islam sambil belajar juga dari kekayaan pengetahuan yang lain (seperti Antropologi yang sedang digelutinya di Boston University) atau juga dari kekayaan iman yang lain (seperti terekam dalam bukunya yang baru terbit tahun 2011 ini, Among the Believers).

Lepas dari kenyataan itu, negara turut melakukan proses-proses pembodohan teologis ketika instrumen negara seperti Kementrian dan Kepolisian tanpa sadar membiarkan gerakan-gerakan radikal terus menjadi ‘penentu’ kebijakan publik. Bisa dibayangkan bagaimana mungkin ada satu kelompok menyatakan kepada negara mereka berhak melakukan razia dan menghancurkan kelompok atau aliran tertentu. Mereka mempertontonkan kekerasan di hadapan aparatur negara, dan tidak ada tindakan apa pun dari negara terhadap mereka. Malah kelompoknya menjadi sangat ditakuti oleh negara.

Ini sama sekali tidak tersangkut dengan intrik politik, melainkan bias tafsir teks suci pada hampir semua agama di Indonesia atau dunia. Teror yang terus melanda, bayangan konflik antar-agama yang terus ditakuti, semakin hari semakin menjadi momok jika proses-proses pembodohan dan kebodohan teologis ini tidak disadari. Indonesia akan menjadi negeri yang dihuni oleh orang-orang bodoh secara teologis dan banyak alim-ulama akan beralih, tidak lagi menjadi teolog atau belajar teologi melainkan belajar ‘Teobulogi’ (Teologi Kibulin).(*)

Wednesday, April 20, 2011

PEREMPUAN, KARTINI DAN SEMANTIK PASKAH

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

EMANSIPASI SEBAGAI BENANG MERAH
Perempuan-perempuan di zaman Yesus, pelopor gerakan kebangunan rohani kalangan murid Yesus yang ketakutan, kecewa, putus asa pasca kematian Yesus. Sama saja dengan Christina Martha Tiahahu, pendobrak aroganisi penjajahan (kolonialisme) di masanya. Sama saja dengan Raden Ajeng Kartini, pelopor pergerakan emansipasi perempuan Indonesia di masanya. Semua yang ‘sama saja’ itu menunjuk bahwa apa yang mereka lakukan di zamannya masing-masing adalah interupsi terhadap suatu keadaan yang tidak menjamin kebebasan dalam arti yang luas.

Tiap masa ada orangnya, tiap orang lahir pada masanya. Begitulah kira-kira kita menempatkan diskusi ini dalam sebuah tukilan semantik (sistem tanda kebudayaan). Apa yang hendak dilihat adalah sebuah kemampuan perempuan ‘mendobrak’ atau ‘menggulingkan’ sesuatu halangan berat di tengah situasi di mana banyak orang sedang dalam kondisi keterpurukan akibat tekanan-tekanan psikologis, sosial, politik dan kebudayaan.

Aktifitas dan semangat perempuan ini memberi pesan (message) tertentu, bahwa mereka yang selama ini distigmakan ‘lemah’ dan tak berdaya menyimpan kekuatan besar untuk melawan berbagai arogansi kebudayaan dan politik.

Perempuan di zaman Yesus, Maria Magdalena, Maria Ibu Yesus, dan Maria yang lain –adalah nama-nama yang menimbulkan kecurigaan tertentu dalam tafsir teks selama ini. Sebab bayangkan saja di sekitar Yesus ada sekian banyak orang bernama Maria. Mereka dilukiskan injil sebagai kelompok yang lemah secara fisik dan menghadapi sebuah persoalan mendasar di pagi paskah: ‘siapakah yang akan menggulingkan batu [penutup kubur] itu’. Sebuah penjara stigma kebudayaan yang dilestarikan dalam tradisi masyarakat patriakh.

R.A. Kartini –namanya menunjukkan ia keturunan bangsawan, terdidik, dan tentu nasibnya jauh lebih beruntung dari perempuan-perempuan lain di zaman itu yang mungkin saja bernama: Juminten, Partiyem, Zaodah, Zumirah, dan lainnya. Walau begitu, mereka semua terpenjara dalam ‘pingitan’ patriakh dan kolonialisme sehingga rata-rata menjadi budak tani bersama orang tuanya. Kecuali Kartini yang menikmati hidup di rumah, tidak bermandi keringat di ladang tembakau atau hutan karet seperti Juminten dan teman lainnya.

Dua realitas kebudayaan yang di dalamnya perempuan-perempuan itu hidup merupakan lukisan dari adanya kesenjangan tertentu sebagai hasil dari pelestarian ketidakadilan dan stigma. Pada point itulah kita berusaha menggali ruang-ruang tindakan atau aktifitas perempuan ‘menggulingkan’ penghalang sosial yang menindihnya.

SIAPA YANG [AKAN/DAPAT] MENGGULINGKAN BATU ITU?
Beta mencoba membaca ruang tindakan perempuan di zaman Yesus dalam teks Markus, Matius, dan Lukas (Injil Sinoptik) –khusus pada bidang cerita kebangkitan Yesus. Tafsir umum berkata bahwa: perempuan-perempuan sebagai saksi pertama kebangkitan Yesus. Dan itu memperlihatkan bahwa mereka memiliki nyali yang lebih besar dari murid laki-laki yang mengurung diri dalam rumah tertutup karena takut.

Teks itu memperlihatkan juga stigma kebudayaan yang terus mewarnai carapandang budaya terhadap perempuan. Problem mendasar bagi para perempuan itu bukanlah Yesus [akan/ telah] bangkit. Bukan pula Ia adalah TUHAN. Bukan juga nubuat mengenai kebangkitanNya. Di sini penginjil tetap melukiskan murid-murid, laki-laki maupun perempuan, berada dalam kondisi yang sama, yaitu ‘belum atau tidak memahami kata-kata/nubuat Yesus’.

Keadaan itu menjadi alasan mengapa Yesus memberitahukan berkali-kali mengenai kematianNya kepada mereka. Di sisi lain penting pula dilihat kehadiran malaikat atau lelaki berjubah putih mengkilat yang mengingatkan mereka (baca.perempuan) mengenai kata-kata Yesus tentang kematian dan kebangkitanNya. Soal ‘reminding’ (mengingatkan) ini adalah soal lain dalam komunikasi injil mengenai peristiwa Yesus. Sebab selain ‘reminding’, Yesus pun menegor (admonish, reprimand) murid-muridNya (baca. Petrus) untuk mengingatkan tidak ada rencana TUHAN yang [harus] batal (baca. Mat.16:23).

Baik ‘mengingatkan’ maupun ‘menegur’ dalam hal ini bertujuan untuk memberitahu kepada para murid mengenai persitiwa-peristiwa Yesus (Chris event) yang tidak terelakkan lagi. Karena itu struktur cerita injil-injil mengenai peristiwa Yesus menempatkan Yesus – para murid – dan malaikat dalam satu jaringan komunikasi.

Ada pesan yang [telah] disampaikan Yesus (komunikator) kepada para muridNya (komunikan). Karena lag-understanding, maka pesan itu terputus di tengah jalan. Sebab itu penulis Injil menghadirkan malaikat ke dalam struktur cerita tersebut untuk menyambung kembali pesan yang terputus itu. Di sini pula kita bisa mengerti janji Yesus tentang Roh Kudus yang akan dicurahkan kepada para murid. Semuanya bertujuan menyambung cerita mengenai peristiwa Yesus. Cerita mengenai Roh Kudus ini yang menjadi tendensi utama cerita para rasul, terutama Paulus –di masa gereja/pasca kematian Yesus.

Kembali ke pokok soal kita. Stigmatisasi perempuan tampak jelas dalam cerita perempuan-perempuan yang pergi ke kubur Yesus di pagi-pagi buta (baca.subuh). Persoalan mendasar bagi mereka –yang sedang berjalan ke kuburan itu –ialah siapa yang akan menggulingkan batu penutup kuburan Yesus, agar mereka dapat meminyaki jasadnya. Jadi bukan soal Yesus [akan/telah] bangkit.

Persoalan itu yang mereka diskusikan sepanjang perjalanan. Jelas bahwa stigma ini memosisikan perempuan sebagai makhluk yang lemah secara fisik dibandingkan laki-laki. Tetapi ada dua kepentingan/keuntungan bagi penginjil dengan stigmatisasi itu. Pertama, karena kelemahan fisik mereka, tidak mungkin mereka kuat menggulingkan batu penutup kubur Yesus. Artinya, jika kuburnya kosong dan jasadnya tiada di situ, berarti Ia telah bangkit dari kematian. Kedua, jika pun batu kuburnya tidak tergolek, otomatis jasad Yesus terus berada di dalam kubur; kecuali tenaga Yesus pulih dan dia berusaha menggulingkannya dari dalam.

Kata Yunani yang digunakan di ketiga injil ini sama, yaitu apokulio. Dalam Markus 16:3 digunakan bentuk future (apo-kulisei > apo-ke-kulistai) = ‘siapa yang nanti akan menggulingkan…’. Penginjil bermaksud untuk mengatakan bahwa para perempuan itu merasa mereka tidak memiliki tenaga yang besar/kuat untuk menggulingkan batu itu. Mereka terjebak dalam kelemahan fisiknya, dan sesungguhnya mengharapkan ada seseorang dengan tenaga yang besar/kuat (baca. laki-laki) yang datang dan membantu mereka. Namun faktanya, tidak ada murid laki-laki yang menyertai mereka.

Sedangkan dalam Matius 28:2 menggunakan bentuk aorist (ap-e-kulisen > apokulio) yang mengikuti peran subyek baru yakni malaikat, sehingga kata itu berarti ‘sesuatu itu telah terguling atau seseorang telah menggulingkan…’. Ini jelas merupakan pembenaran terhadap stigma dalam Injil Markus tadi. Perempuan-perempuan itu lemah, karena itu intervensi seseorang yang bertenaga lebih besar/kuat diperlukan. Lagi-lagi malaikat TUHAN dihadirkan dalam cerita ini. Apa maksudnya? Peristiwa Yesus itu selalu diwarnai oleh unsur-unsur pentuhanan (theoporic element), dan salah satunya ialah kehadiran malaikat.

Injil Lukas 24:2 menggunakan bentuk perfek partisip pasif (apo-ke-kulismenon > apokulio), yang menerangkan suatu kondisi bahwa tanpa diduga-duga, perempuan-perempuan itu mendapati batu penutup kubur Yesus sudah terguling/digulingkan seseorang yang lain dari tempatnya. Bentuk perfek partisip pasif itu menunjukkan bahwa batu itu sudah tidak ada lagi di tempatnya. Batu itu sudah bergeser ke tempat lain. Artinya ada seseorang dengan tenaga yang lebih kuat yang sudah memindahkan batu penutup pintu kubur itu, dan tentu bukan perempuan.

Tiga catatan ini menarik. Markus sebagai injil tertua melukiskan bahwa jebakan stigma itu memerangkapkan para perempuan dalam kebingungan besar akan ketidakmampuan mereka secara fisik. Tetapi Injil Matius dan Lukas –yang dalam banyak hal memperluas tulisan Markus, menempatkan theoporic element sebagai sebuah jalan keluar dari stigma tadi.

Perbedaan penggunaan kata apokulio dalam ketiga injil ini memperlihatkan bahwa stigma itu membuat perempuan ada dalam dilema menghadapi sebuah realitas di hadapan mereka. Penginjil menggunakan faktor perbedaan fisik (tenaga) sambil membangun stigma tadi. Seakan-akan dengan tenaga yang kecil, mereka tidak mungkin akan dapat menggulingkan batu itu.

Sekarang soalnya untuk kita. Pada sisi mana kita melihat dinamika perempuan pergi ke kubur Yesus sebagai sebuah tindakan teologi atau kritik sosial yang penting? Apa kepentingan cerita ini bagi kita saat ini?

Dengan mengatakan ‘walau memiliki tenaga yang kecil, tetapi semangat mereka besar; keberanian mereka jauh melebihi laki-laki ‘cemen’ yang mengurung diri dalam rumah yang tertutup’, bukan berarti bahwa stigma itu berhasil diterobosi atau dibongkar. Ungkapan tadi justru membuat stigma itu tetap ada. Sebab ungkapan atau pun tafsir seperti itu terkesan terjebak dalam ‘kodrat psikologis’ –seakan perempuan itu emosional, laki-laki realistis, dan sebagainya.

Tindakan atau aktifitas kaum perempuan di pagi paskah itu mengandung pesan yang penting. Memang ‘siapa yang akan menggulingkan batu pentup kubur Yesus’ merupakan masalah pokok mereka. Tetapi lihatlah bagaimana mereka telah menyediakan di hari itu, segala rempah-rempah untuk meminyaki jazad Yesus. Artinya apa? Tujuan mereka ialah merempahi jazad Yesus.

Mengikuti kerangka berpikir teologi proses, merempahi jasad Yesus merupakan subject aim (tujuan antara) yang mereka hendak capai. Aktifitas yang mengarah ke tujuan itu ialah pertama, mempersiapkan rempah-rempah; kedua, pergi pagi-pagi buta ke kuburan Yesus. Ini adalah daily activity yang mereka lakukan, sebagai bukti bahwa mereka telah keluar dari halangan (kesedihan, ketakutan, kekecewaan –seperti yang masih dialami murid-murid yang laki-laki).

Dalam rangkaian aktifitas harian itu ada halangan mendasar; yakni batu penutup kuburan Yesus terlalu besar dan berat, dan tidak ada orang bertenaga besar yang bisa menggulingkannya. Ini adalah realitas di dalam dinamika aktifitas para perempuan itu. Sebuah realitas yang sesungguhnya dan semula tidak dipikirkan oleh mereka.

John Cobb, pengampu teologi proses, berkata begini: ‘dalam realitas keseharian, ketika berhadapan dengan tantangan, jika manusia melakukan serangkaian aktifitas yang keluar dari garis order (baca.tata tertib/norma), tindakannya itu mengalami bias. Bias itu adalah dosa. Artinya the subject aim-nya gagal tercapai maka the initial aim (tujuan utama) juga gagal terwujud.

Kembali kepada aktifitas perempuan-perempuan tadi. Mereka digambarkan terus berlari dan tidak ada yang kembali ke rumah yang terkunci dan merayu murid laki-laki bertenaga untuk datang membantu menggulingkan batu itu. Mengikuti bahasa Cobb, setidaknya begini: ‘aktifitas perempuan itu membuat mereka sudah mencapai yang disebut subject aim-nya. Mereka terus pergi ke kubur untuk meminyaki jazad Yesus. Bandingkan saja kebiasaan ‘ziarah’ (Ambon: pi kubur).

Tetapi pada saat mereka tiba dan batu penutup kubur itu sudah berpindah dari tempatnya, atau pintu kubur itu sudah terbuka, waktu itu ada peristiwa baru yang terjadi di luar apa yang dibayangkan oleh mereka. Munculnya suatu peristiwa baru, dalam kerangka teologi proses, memberi pesan bahwa di luar manusia ada potensi super-human yang bisa menggerakkan suatu peristiwa. Hujan bukanlah aksidental. Walau pengetahuan dapat menerangkan sebab-musabab terjadinya hujan. Pada titik tertentu dari penjelasan pengetahuan itu kita akan tiba pada pertanyaan dari mana unsur air, panas/matahari, awan, uap itu berasal. Saat tiba pada pertanyaan itu, maka potensi super-human selalu muncul. Pada titik itulah, cara berpikir agama memainkan peran penting.

Setidaknya dengan begitu kita bisa mengerti penggunaan kata apokulio yang berbeda dalam Injil Matius dan Lukas terhadap catatan aslinya dalam Markus. Peristiwa baru –batu pintu kubur [telah] ter/di-guling dari tempatnya semula –menunjuk pada potensi super-human yang mau ditegaskan para penginjil, lepas dari spekulasi dan tafsir lain mengenai kebenaran kebangkitan Yesus.

Tetapi bahwa semangat para perempuan itu membuat mereka berada dalam rangkaian peristiwa baru –yang terjadi di luar kendali mereka sebagai manusia. Bahwa peristiwa baru itu terjadi berlapis. Batu kubur itu sudah ter/di-guling dari tempatnya, diikuti dengan event baru lagi yakni jazad Yesus tidak ada di tempat di mana mereka membaringkan dia di dalam kubur. Ini jelas suatu perisitiwa baru lagi. Apalagi jika realitas itu dipahami sebagai bukti (evident) bahwa Yesus sudah bangkit.

Beta tidak akan lebih jauh melihat realitas Yesus sudah bangkit. Tetapi rangkaian peristiwa yang dialami para perempuan itu menunjukkan bahwa dengan berkreasi (baca.beraktifitas) mencapai the subject aim yang mereka cita-citakan, mereka akhirnya mencapai apa yang disebut the initial aim. Tujuan ideal ini adalah apa yang dicapai manusia sebagai bentuk pemberian TUHAN/berkat. The initial aim itu dikontrol oleh TUHAN. Manusia dalam hidupnya hanya bisa mencapai the subject aim-nya; sambil terus melakukan aktifitas dan kreasi kehidupan di suatu waktu ia pasti diberi kesempatan mencapai the initial aim.

EMANSIPASI DAN KREASI PEREMPUAN
Hari ini seluruh bangsa Indonesia memperingati hari perjuangan emansipasi perempuan yang dipelopori oleh R.A. Kartini. Sebuah perjuangan melawan stigma dan tirani patriakhal dan kolonialisme –sebuah gerakan melawan obyektifasi seksual: sebab perempuan seperti Kartini dan banyak perempuan cantik, anak pejabat dan bangsawan di kala itu selalu dipaksa kawin dengan kompeni atau datuk-datuk kaya (misalnya Siti Nurbaya dan Datuk Maringgi).

Kini kaum perempuan sudah malang melintang di ‘rimba’ perjuangan modern. Mereka melakoni serangkaian aktifitas tanpa ada rasa takut, cemas, malu, ragu-ragu. Sebab mereka terpanggil melakoni makna kehidupan sebagai manusia yang harus terus kritis dan kreatif. Mereka terdorong untuk mempertanggungjawabkan kemanusiaannya sebagai homo-faber yang memang tidak bisa hanya mengurung diri atau membiarkan diri dikurung di rumah (baca. wilayah domestik).

Lepas dari berbagai realitas keterpurukan dan obyektifasi perempuan seperti pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan oleh majian, tetapi kreasi kaum perempuan telah mewarnai berbagai sisi hidup bangsa, masyarakat, dunia dan agama-agama di Indonesia. Ada banyak contoh perempuan sukses, berani, kreatif yang bisa menjadi referensi kita dalam refleksi kehidupan. Tetapi satu yang menarik dari sisi-sisi peran dan kreasi perempuan adalah juga keberanian mereka untuk menjadi panutan bagi banyak orang.

Selamat Hari Kartini
Selamat Paskah

Sunday, April 17, 2011

‘Muhabet dan Makburet’

Reproduksi Teks Dalam Beragama di Maluku
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


Hari Sabtu lalu [16/4-2011] beta berada di Siri Sori Sarane [SirSa], tetapi dalam dua peristiwa dukacita. Sisi satu adalah dukacita keluarga Ririhena, anggota Jemaat GPM Rumahtiga di Wayame (Pulau Ambon), dan sisi kedua ialah dukacita keluarga Seipatiratu di SirSa.

Lazimnya jemaat-jemaat GPM, urusan dukacita diorganisir oleh Muhabet; sebuah organisasi sosial di negeri-negeri Kristen yang berperan mengurus berbagai keperluan dukacita keluarga anggotanya, meliputi pemandian jenazah [kas’mandi mayat], pembuatan peti jenazah [biking peti], penggalian liang lahat [gale kubur] dan keperluan lain seperti ‘biking sabua’ dan ‘angka bangko’ [bangku/kursi]. Di beberapa negeri justru kelompok Muhabet sudah memiliki sarana-sarana itu sebagai inventaris.

Sejak tiba di SirSa [jam 11.00 WIT], beta mendengar serangkaian percakapan di depan rumah duka. Narasinya mengenai anggota Muhabet di Jemaat SirSa yang sedang menggali liang kuburan dan ‘angka bangko’ dari kantor negeri ke rumah duka. Narasi-narasi sederhana ini memperlihatkan bagaimana pola berorganisasi dalam jemaat-jemaat terus bertahan sampai saat ini.

Kemudian kami bersama mengikuti ibadah Makburet dalam rangka pemakaman jenazah Alm. Bapak Neles Seipaturatu, atau di SirSa lebih dikenal dengan sapaan ‘Mantri Kaibobu’ –yang adalah ‘papa tua’ dari istri beta, Dessy.

Jejak historis ke tahapan awal tradisi ini perlu dilakukan dengan memperhatikan berbagai hal seputar cara-cara lokal itu dilahirkan dan digunakan dalam praktek hidup masyarakat/jemaat. Penelitian sejarah dan antropologi mungkin akan membantu menerangkan alasan-alasan kelaziman ini terus bertahan dan menjadi tradisi masyarakat dan jemaat.

Jejak itu menjadi pertanyaan yang sudah lama berkutat di benak beta. Tetapi sebuah kesan yang menggelitik ialah dari mana istilah Muhabet dan Makburet muncul dan menjadi istilah lazim dalam Melayu Ambon. Ruang maknanya pun menjadi pertanyaan khusus ketika ternyata kedua istilah itu adalah representasi komunalitas dalam dukacita di Jemaat-jemaat GPM/Maluku.

MUHABET
Teman beta, Sumanto Al Qurtuby, jebolan salah satu Pesantren di Pekalongan dan fasih berbahasa Arab dan tradisi keislaman klasik, membantu menerangkan istilah dari bahasa Arab yang memiliki kaitan dengan Muhabet dan Makburet.
Penjelasannya mengenai akar kata dari bahasa Arab itu menarik dan dapat diterima sebab bahasa Melayu Ambon bertumbuh ketika bahasa Arab telah menjadi sebuah bahasa yang dikenal orang-orang Ambon di zaman Belanda.

Malah beberapa teks Alkitab ada yang ditulis dalam bahasa Arab dan beredar sampai ke pelosok termasuk di Saparua. Istilah-istilah serapan dari bahasa Arab, Portugis dan Belanda menjadi kosakata Melayu Ambon yang terus digunakan sampai saat ini.
Mengenai Muhabet, ada istilah dalam bahasa Arab yang diperkirakan sebagai etimologinya. Istilah tersebut ialah ‘muhiba’ [kata benda, noun] yang berarti = kunjungan. Kata sifatnya [adjective] ialah ‘hibat’, dan keduanya bersumber dari akar kata ‘hub’ yang berarti = cinta, kepedulian, atau orang-orang yang mendermakan sesuatu untuk orang yang dia cintai.

Di situ dapat dikatakan bahwa Muhabet ialah suatu perhimpunan yang terdiri dari anggota masyarakat atas dasar kepedulian sosial, cinta kasih dan bertujuan untuk membantu anggota masyarakat lain yang perlu dibantu, atau yang berada dalam kesusahan/dukacita.

Lihat saja respeksitas anggota Muhabet kepada keluarga yang berduka. Ini adalah lukisan dari empati dan solidaritas sosial yang telah menjadi modal sosial jemaat-jemaat di GPM.

Dimensi komunalitas itu menempatkan keluarga ke dalam organisasi sipil ini. Jadi satu keluarga yang menjadi anggota suatu Muhabet wajib diurus ketika keluarga itu ada dalam kesusahan/dukacita oleh sebab salah satu anggota keluarganya meninggal dunia.

Dahulu ada pula istilah lokal lain mengenai Muhabet yaitu ‘PARAMPONANG’. Penelusuran leksilkal terhadapnya patut dilakukan. Di duga istilah itu adalah bentuk polisemi dalam Melayu Ambon tentang kata ‘perhimpunan’ dari kosa kata Bahasa Indonesia. Banding saja kebiasaan membahasa orang Ambon yang sering diakhiri akhiran ‘ang’ –misalnya: perempuan = parampuang.

Walau begitu makna sosialnya sama dengan Muhabet, tetap menonjolkan aspek komunalitasnya.

MAKBURET
Demikian pun dengan Makburet. Kata ini beta tanyakan dari Sumanto ketika membaca di gapura kuburan di Kota Jawa, Rumahtiga, tulisan ‘Maqbar’.

Pada waktu beta sampaikan, Manto agak ‘takajou’, sebab menurutnya istilah itu sudah jarang digunakan. Dari pertanyaan beta itu dia malah berniat meneliti aliran-aliran [madzhab] Islam di Maluku. Biarlah itu menjadi kerjanya yang berikut, sebab dia memang ahli dalam urusan-urusan keislaman.

Kata ‘makburet’ berasal dari kata Arab ‘maqbar’ adalah kata benda yang menunjukkan tempat dan artinya = kuburan, makam. Kata kerjanya ialah ‘Qubaro’ artinya = menguburkan; atau ‘orang menguburkan’. Sedangkan ‘muqbir’ ialah = orang yang menguburkan, dan ‘maqbur[ot] = jenazah, orang yang dikuburkan.

Dalam prakteknya, Muhabet mengorganisir anggota-anggotanya untuk mengurusi Makburet. Ada kepala kubur yang bertanggungjawab mengurusi pengerjaan kuburan. Dia kemudian berperan menyambut iringan jenazah di ‘pintu kuburan’. Di beberapa negeri di Ambon petugas penyambut iringan jenazah ini disebut ‘paidadu’ [masih ada dan dipraktekkan di Hukurila – Leitimor Selatan]. Kepala kubur membawahi para penggali kuburan yaitu anggota Muhabet laki-laki.

Ada tukang yang bertanggungjawab mengerjakan peti jenazah; petugas pemandian jenazah yang bertanggungjawab memandikan jenazah. Petugas ini terbagi antara laki-laki dan perempuan.

Makburet selanjutnya dipahami sebagai ibadah persiapan pemakaman. Untuk urusan ini menjadi bagian tugas dan peran Majelis Jemaat. Dalam hal tanda dimulainya Makburet biasanya melalui bunyi Tifa Muhabet dan Lonceng Gereja.

MATAWANA
Beta agak kehilangan etimologi dari kata ‘matawana’. Praktek ini berlangsung pada malam-malam selama jenazah belum dimakamkan. Biasanya karena menunggu suami atau istri, kakak atau adik, papa atau mama dari almarhum/ah, atau orang-orang terdekat tertentu yang berada di luar daerah dalam rangka ibadah Makburet.

Pada Matawana, setiap orang datang dan menemani keluarga sepanjang malam sampai pagi hari. Dalam praktek di GPM malam-malam itu berlangsung ibadah penghiburan dan persiapan pemakanan.

Demikian beberapa catatan yang semoga membantu kita menjelaskan praktek-praktek budaya dalam hidup beragama kita. Catatan ini menjadi semakin menarik karena sambil mengerjakannya [dari HP Nokia N9300]m, sedang berlangsung ibadah Makburet. Beta duduk di bagian dapur. Sedang ibadah berlangsung, beriring basudara dari Siri Sori Salam, mama-mama berkerudung dan berjilbab, nenek-nenek, orang-orang muda, yang sama-sama berucap: ‘bapa mantri e, su tolong katong banya lawang e. kalu saki katong mau pi panggel sapa lai? [bapak mantri, sudah banyak sekali membantu kami . Jika kami sakit nanti, siapa lagi yang bisa kami panggil –istilah ini menunjuk pada kondisi bahwa pelayanan ‘papa tua’ itu tidak kenal waktu dan kadang gratis, tidak mematok harga atau tidak meminta bayaran].

Ucap-ucap mereka menunjuk kekayaan agama kita di Maluku. Sebuah kekayaan agama yang dijumpai dan dipraktekkan justru oleh masyarakat di level bawah dalam ranah ‘pelayanan kemanusiaan’. Kalau orang mengatakan hal itu dilakukan tanpa berpegang pada teks dan doktrin agama, beta malah berpendapat lain. Mereka melakukannya karena mereka meresapi ajaran agama masing-masing secara sahih dan benar-benar, benar.
Mereka menunjukkan bagaimana teks-teks dan doktrin-doktrin itu direproduksi secara kontekstual. Sebuah tafsir yang jujur dan tanpa kepentingan pemutlakan. Hal yang ditakuti dan ditabukan oleh banyak teolog dan alim-ulama serta kelompok yang merasa menjadi pengawal kesucian agama dan ajaran justru dipakai oleh mereka dalam kesederhanaan tafsir yang ternyata lebih benar dan lebih terhormat dari tafsir umum para teolog dan alim-ulama serta ‘penjaga kesucian agama’ itu.

Reproduksi teks seperti ini merupakan modal sosial beragama yang mereka hidupi dari waktu ke waktu. Mereka menemukan kebenaran agama yang orisinil dan berbagi di dalam kebenaran yang sesungguhnya sama dan satu. [*]

TALITA KUM

(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella  PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS  Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...