Sunday, September 19, 2010

Sterkte! Kuatkanlah dirimu!

Tentang ‘rasa hati’ Leimena, Sang Teolog Kebangsaan
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


Teologi, di dalam cara dan situasi apa pun, adalah dialektika antara yang abstrak (misteri) dan empirik (kontekstual). Dialektika itu menempatkan manusia, sebagai subyek [yang ber]teologi, dalam ruang pemaknaan yang nyata; artinya ia hidup dan berada di dalam dunia, di tengah suatu situasi yang dihadapinya, bahkan di tengah galau hati, keresahan, dan berbagai problem psikologisnya. Malah di dalam situasi terancam sekalipun, teologi itu mampu hadir. Dalam keadaan itu, kita bisa mengatakan bahwa setiap pemikiran dan perbuatan teologi [berteologi] didorong pula pada adanya pengharapan [hope].

Banyak kalangan menyebut bahwa berteologi selalu didorong oleh solidaritas, yakni ketika diskusi teologi dibawa masuk ke dalam ruang-ruang publik dan dilihat sebagai suatu aktifitas kehidupan yang sesungguhnya. Artinya teologi dan berteologi itu bukan aktifitas tekstual atau dogmatik, sebaliknya aktifitas kehidupan/perbuatan.

‘RASA HATI’
Dalam banyak defenisi aspek ‘belarasa’ selalu dilihat sebagai dorongan mendasar dari solidaritas manusia yang berteologi. Malah ada yang menterjemahkannya lebih dari sebatas kepedulian, solider, karena ‘belarasa’ adalah bentuk empati mendalam, di mana seseorang yang berteologi pertama-tama didorong oleh ‘pandangan dunia’ atau pemahaman dirinya, lalu melahirkan kepekaan untuk melihat realitas yang termarginalkan [individu maupun kelompok], dan mendorong suatu aksi untuk benar-benar menyatakan keberpihakan, pembelaan [advokasi], dan kepedulian. ‘Belarasa’ pada gilirannya melahirkan perubahan, pemulihan relasi, penegakan keadilan dan kebenaran, yang semuanya mengarah pada kehidupan. Maka kehidupan adalah tema dan tujuan utama dari berteologi itu sendiri.

Om Jo ~seperti juga dalam tulisan sebelumnya~ adalah teolog kebangsaan yang mampu mendemonstrasikan suatu keunggulan berteologi secara personal, dan itu yang menjadi karakternya yang khas (typical). Ia bukan saja teolog kebangsaan yang kritis, dan tegas. Ternyata sikap kritis dan tegas itu lahir dari ‘rasa hati’ yang sangat mendalam terhadap bangsa dan masyarakat [orang] Indonesia.

Beberapa rekaman sejarah mengenai krisis awal 1965 yang menumbangkan Soekarno, seperti yang saya baca dalam buku brilian karya F.P.B. Litaay (2007) melukiskan suasana ‘rasa hati’ Om Jo yang mendalam dan mampu melahirkan kritik serta perlawanan [diskursus] terhadap Soeharto yang dinilainya berlaku kasar terhadap Presiden. Malah, menurut tulisan Litaay, ketika Soekarno ditawarkan untuk pergi ke Yogya, Om Jo yang bertindak membelokkan perjalanan Soekarno, dan membawanya ke Istana Bogor. Kisah ini mungkin dinilai sederhana, tetapi tindakan Om Jo itu membuat Indonesia terhindar dari perang saudara yang bisa saja menghancurkan Proklamasi. Komimten Om Jo pada Proklamasi ternyata lahir karena kecintaannya kepada rakyat Indonesia yang sudah merdeka. Dalam tulisan Litaay, yang juga mengutip wawancaranya dengan P.D. Latuihamallo, bahwa beberapa saat sebelum naik pesawat, dalam kondisi yang genting, Om Jo bertanya kepada Soekarno: ‘Pak Presiden, apakah anda benar mencintai rakyat?’ ‘Ya, tentu’, jawab Presiden.

Di situlah tergambar bahwa dalam krisis politik nasional itu, Om Jo tidak melihat seberapa penting kekuasaan, melainkan seberapa penting rakyat dan seberapa penting komitmen cinta [‘rasa hati’] pemimpin terhadap rakyatnya. Makanya tidak heran jika ia berani melawan Soeharto, dan menegaskan juga bahwa politik itu adalah etika untuk melayani, bukan nafsu untuk berkuasa.

‘Sterkte!’, Kuatkanlah dirimu!

Ungkapan ini dikatakan Om Jo saat Roeslan Abdulgani tertembak tangannya, 19 Desember 1948 di Yogyakarta. Saat itu Om Jo bersama beberapa perawat sedang dikawal tentara pendudukan dan berpapasan dengan Roeslan Abdulgani yang sedang diangkut dalam dokar.
Melihat keadaannya yang telah hilang beberapa jarinya, Om Jo berteriak dengan gusar: “Roeslan? Kamu terluka? Lekas ambil tetanus! Lekas ambil tetanus!

Menurut kesaksian Roeslan, sambil berteriak seperti itu Om Jo dibentak dan diancam dengan senjata oleh para pengawal, tetapi beliau tetap berteriak: ‘Lekas ambil tetanus! Lekas ambil tetanus! Hingga sayup-sayup terdengar suara Om Jo: ‘Sterkte! Kuatkanlah dirimu! (Litaay, 2007:183-4).

Om Jo seorang dokter. Lekas ambil tetanus! Kalimat itu adalah advice seorang dokter yang disampaikan kepada pasien (Roeslan) dengan tujuan agar tidak terjadi infeksi yang bisa mengancam hidup sang pasien. Bentuk terapi medis yang telah menjadi bagian dari etika kedokteran. Sungguh, Om Jo melakoni profesinya dengan baik. Tetapi lakon itu terjadi di dalam situasi yang sama sekali tidak menguntungkan baik untuk nyawanya dan para perawat yang sedang dalam pengawalan, tetapi terlebih kondisi pasien Roeslan yang sedang terluka dan juga dalam situasi perang.

Kita bisa melihat bahwa ia hanya berpapasan dengan Roeslan. Roeslan tidak sedang di kamar perawatan di sebuah Rumah Sakit atau Klinik, dan Om Jo adalah dokter jaga saat itu. Mereka berpapasan di jalan, Om Jo dalam pengawalan dan Roeslan terluka di dalam dokar. Namun aspek ‘rasa hati’ melahirkan suatu komitmen pelayanan yang tinggi meski dalam situasi yang sama sekali tidak nyaman, tidak menguntungkan dan mengancam.
Suatu bentuk respons teologi dan malah dobrakan teologi. Ia melakoni apa yang sesungguhnya menjadi inti dari berteologi itu yaitu: ‘berteriak’ melawan situasi yang tidak adil dan perlakuan yang menindas. Sebuah gerakan menolong, memulihkan, menumbuhkan dan membebaskan. Suatu teriakan kehidupan walau dirinya sendiri sedang dalam ancaman.

Tidak sampai di situ, sang dokter itu ternyata melakoni profesinya sebagai seorang beriman yang mampu melihat manusia melewati batas-batas apa pun: melewati batas situasi sosial, batas penjajahan, melewati batas ancaman, dan juga melewati batas agama. Roeslan bagi Om Jo adalah seorang manusia yang harus dipulihkan dan ditopang dalam menghadapi situasi krisisnya.

‘Sterkte’ Kuatkanlah dirimu!’, adalah bentuk penopangan Om Jo terhadap Roeslan, bukan karena tidak bisa merawatnya, melainkan karena Roeslan harus berjuang untuk mengatasi krisis yang sedang dialaminya, tetapi Om Jo tetap merasa ia harus mengadirkan diri dalam perjuangan melawan krisis yang dilakoni Roeslan sendiri.
‘Rasa hati’ selalu membuat seseorang mampu menghadirkan dirinya di dalam perjuangan orang lain atau sesama, walau tidak secara langsung. Apa yang Om Jo perlihatkan itu adalah bagian dari panggilan teologi kebangsaan yang mendorong suatu usaha mengatasi dan keluar dari krisis melalui kepedulian penuh kepada siapa pun juga.

Rujukan:
Flip P.B. Litaay, Pemikiran Sosial Johannes Leimena tentang Dwi-Kewarganegaraan di Indonesia, Salatiga: Satya Wacana Press, 2007

Friday, September 17, 2010

Menjadi Kristen yang Cerdas

Bahan Bacaan: Kisah Para Rasul 6:8-15
Fokus: Ay. 10



Menjadi orang kristen kita harus cerdas. Kecerdasan kristen adalah kecerdasan yang didasarkan pada hikmat. Sebab hikmat mengajarkan kita untuk sanggup memahami kita dipanggil TUHAN untuk menghadirkan damai sejahtera, dan melakukan hal-hal yang baik. Karena jika kita kedapatan melakukan hal-hal yang salah, negatif, kita diidentikkan dengan sebagai orang bodoh; sebaliknya melakukan hal-hal baik, positif, kita disebut berhikmat (cerdas).

Stefanus menunjukkan bahwa kecerdasan kristen tampak dalam isi pemberitaan kita. Pemberitaan kristen itu berdasar pada kebenaran, dan kebenaran itu adalah kebenaran mengenai karya Kristus di tengah dunia. Bahwa Kristus adalah seorang hamba Allah yang setia yang melakukan banyak perkara besar dan ajaib di tengah dunia. Perbuatan Kristus itu memungkinkan manusia memiliki keselamatan, karena perbuatan Kristus adalah perbuatan kasih yang bertujuan menebus manusia dari dosa.

Kebenaran kristen membuat kita dihadapkan pada berbagai tantangan. Salah satunya adalah fitnahan. Tetapi itu tidak harus mematikan nilai kebenaran itu sendiri. Kini banyak orang yang sudah tidak mau lagi mengasah hikmatnya, lalu cepat terbuai ketika mendengar berbagai ajaran baru yang instant. Kecerdasan kristen juga dapat diukur dari konsistensi kita berpegang dan berpedoman pada kebenaran yang sudah kita terima, yakni kita hanyalah hamba yang harus memberitakan Injil dalam kata dan perbuatan. Karena itu kita diajak untuk tenang menghadapi semua tantangan sambil tetap berpegang pada kebenaran yang sejati, yaitu kebenaran di dalam Kristus.

Menu:
Carilah hikmat dan peluklah kebenaran

Mengapa 'Salah Berdoa'? [Bagian 2]

Elifas Tomix Maspaitella

Bahan Bacaan: Yakobus 4:7-10

Ayat Fokus : ay.10 “Rendahkan dirimu di hadapan TUHAN dan IA akan meninggikan kamu”


Berdoa itu berarti kita sadar TUHAN itu berlimpah dan kaya dalam kuasa dan kasihNya. Dengan kalimat lain, orang yang berdoa itu sadar bahwa dia memiliki potensi yang terbatas, berhadapan dengan TUHAN yang omnipotent (Maha segalanya). Maka jika ia meminta dalam doa, sebetulnya bukan karena ia tidak memiliki potensi, tetapi ia meminta TUHAN memberi kemampuan untuk mengelola potensinya.

Ada dua kondisi pribadi yang mesti dibenahi saat kita berdoa: a) tahirkanlah tanganmu (ay.8a) ~maksudnya dari tangan kita biasa datang berbagai hal yang tidak terpuji, seperti mencuri, membunuh, atau menggali lobang untuk menjerat saudara kita sendiri, dan bahkan menyembunyikan apa yang kita miliki; dan (b) sucikan hati (ay.8b) ~sebab kadang dalam berdoa kita tidak sungguh-sungguh mengandalkan TUHAN, kita berdoa sambil ragu-ragu, atau berdoa sambil membayangkan rencana apa yang kita kehendaki untuk dilakukan. Padahal dengan berdoa kita berharap TUHAN menunjukkan dan memberitahukan rencanaNya lalu kita melakukan rencana itu. Hati kita bercabang, maka lidah kita pun mengeluarkan kata-kata yang tidak sejalan dengan hati kita. Kita berdoa dalam kepalsuan. Bahkan kita juga sering berdoa dengan kesombongan, lalu melebih-lebihkan apa yang kita punyai, bahkan melebih-lebihkan orang yang kita doakan, walau dia sebenarnya bersalah. Kita sering melayani ‘doa-doa pesanan’, ‘doa-doa iklan’.

Ini yang dikatakan Yakobus sebagai hal-hal yang turut membuat doa kita salah. Sebab itu ia mengajar kita bahwa dengan berdoa sesungguhnya kita sedang bertelud di bawah kemahakuasaan dan kemuliaan TUHAN. Kita tidak bisa menyembunyikan diri dan menyelubungi niat hati kita. Kita menutupnya, padahal kita lupa IA terlebih dahulu sudah mengetahuinya. Sebab itu berdoa harus dengan kerendahan hati.


DOA:
TUHAN, tiga hal kumohon daripadaMu, tetapi berilah aku satu hal yang KAU kehendaki: kerendahan hati. Amin

Mengapa 'Salah Berdoa'? [Bagian 1]

Elifas Tomix Maspaitella

Bahan Bacaan: Yakobus 4:1-6


Ayat Fokus : ayat 3 “Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu mint itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu”

Permohonan yang kita bawa dalam doa kepada TUHAN selalu membuat kita merasa bahwa TUHAN [harus] memberi sesuai apa yang kita minta. Benar dalam contoh mengenai jawaban doa, Yesus mengumpamakan, seorang anak meminta ikan dari bapaknya, tidak mungkin bapanya memberi ular (bnd. Luk.11:11-12). Artinya setiap anak meminta, karena (a) apa yang diminta dibutuhkannya, tetapi tidak dimilikinya; (b) dia yakin dan tahu apa yang dimintanya ada dan dimiliki oleh bapaknya.
Begitu juga saat kita berdoa. Kita tidak mempunyai tetapi membutuhkan sesuatu yang diminta, dan kita tahu semua itu ada pada TUHAN. Dalam contoh teks Lukas itu TUHAN sebagai yang memiliki segala sesuatu pasti memberi sesuai dengan apa yang diminta oleh anak-anakNya.
Maka jika kepada kita tidak diberi sesuai dengan apa yang diminta, bukan karena (a) tidak ada pada TUHAN, atau (b) TUHAN ‘sakakar’ atau tidak peduli kepada kita. Teks kita menunjuk pada suatu alasan mendasar mengapa kondisi ‘doa tidak terjawab’ itu terjadi.
Hal ‘salah berdoa’ itu bukan hal metode. Sebab metode doa itu sederhana: masuk dalam kamar, atau di mana saja, lalu ‘angka hati’, sampaikan kepada TUHAN apa yang benar-benar kita rasakan dan kita inginkan. Artinya berdoa dan isi doa itu harus jujur, lurus dan tidak bohong.
Ini lebih dari sekedar metode. Persoalan ‘doa tidak dijawab’ adalah soal motivasi kita meminta. Yakobus menulis, semuanya dikarenakan oleh ‘hawa nafsu’ yang berlebih-lebihan. Itu yang membuat tujuan doa kita menjadi kabur dan ‘belok di tengah jalan’.
Jadi persoalan ‘doa yang tidak dijawab’ atau ‘berdoa yang salah’ itu terletak pada tujuan kita meminta. Dengan begitu setelah kita memperoleh apa yang kita mintakan, kita pasti akan bertanggungjawab mengelolanya. Ibarat seorang anak, ketika meminta ikan, jika diberi kepadanya ikan, ia bisa makan. Ia meminta ikan untuk melengkapi nasi/roti yang akan dimakannya. Jadi setiap permintaan kita semata-mata bertujuan untuk melengkapi tugas dan tanggungjawab yang sudah TUHAN percayakan kepada kita.

DOA:
“TUHAN, ajar aku meluruskan niatku tiap aku datang berdoa kepadaMu”

TALITA KUM

(Markus 5:35-43) Oleh. Pdt. Elifas Tomix Maspaitella  PROKLAMASI KEMESIASAN YESUS  Injil Markus, sebagai injil tertua yang ditulis antara ta...