LUTUR - ARSITEKTUR TRADISI DI MALUKU BARAT DAYA

 Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

 

 

BUKTI ZAMAN MEGALITIKUM




Tahap-tahap perkembangan peradaban dunia selalu ditemukan dalam masyarakat manusia di mana pun. Temuan-temuan itu menunjuk pada sejarah awal mula adanya manusia di suatu wilayah (baca. pulau), sekaligus jejak awal peradaban Pendidikan masyarakat setempat. Hasil karya masyarakat atau suatu etnis di dalam tahapan pertumbuhan peradaban itu menggambarkan derajat pengetahuan mereka sekaligus cara mereka mempertahankan hidup (living mechanism) atau kemampuan untuk bertahan hidup (survive). Pada sisi lainnya, bukti-bukti peradaban juga memperlihatkan mekanisme pengorganisasian diri dan kelompok di dalam lingkungannya. Dalam arti itu, lutur (=bangunan batu) yang ditemukan di Maluku Barat Daya (MBD) merupakan salah satu mekanisme yang oleh tradisi berfungsi juga untuk melindungi hak satu klen atau keluarga atau pribadi, tetapi juga kemampuan manusia di MBD menyeimbangkan relasi dengan alam dan dengan makhluk lain dalam hal ini ternak.

Lutur dapat dikatakan sebagai sisa peninggalan zaman megalitikum (bhs. Yunani: megas = besar; lithos = batu) suatu zaman yang dalam sejarah antropologi berlangsung kira-kira 8700 – 2000 SM. Megalit atau bangunn batu selalu menunjuk pada suatu benda atau perkakas dari batu yang digunakan sebagai peralatan hidup, seperti kapak sebagai peralatan hidup sesehari/rumahtangga, mata tombak untuk berburu, sebagai perkakas untuk bekerja, sampai pada bangunan batu berbagai bentuk. Apakah perkakas-perkakas itu masih ada saat ini? Butuh pencarian di setiap desa. Tetapi jika memperhatikan cara masyarakat MBD membelah batu karang untuk menyusun lutur, dapat disimpulkan bahwa keterampilan membuat perkakas batu itu merupakan warisan keterampilan yang masih ada sampai saat ini.

Beberapa bangunan di zaman ini juga menunjuk pada perkembangan kepercayaan masyarakat, seperti Menhir, tugu batu dan punden Berundak-undak, bangunan dari susunan baru, yang menjadi simbol kehadiran roh adikodrati dan sering menjadi pusat upacara agama tradisi. Di Maluku, batu pamali, batu pusat negeri (seperti di pusat desa Patti, Pulau Moa),bisa mewakili realitas tersebut sekaligus menunjukkan bahwa citra keagamaan masyarakat telah berkembang lama, sejak masyarakat itu ada. Artinya keagamaan masyarakat tidak bisa diklaim sebagai yang baru bertumbuh pada saat masuknya agama-agama Abrahaimik. Dalam kesadaran teologi dan kontekstualisasi, seharusnya religiositas keagamaan kit dibangun dari adaptasi konkrit antara dua kutub religiositas itu: religiositas dari akar-akar kultur/kemasyarakatan setempat dan religiositas Abrahaimik. Namun biarlah itu dijelaskan dalam tulisan yang lain.

Lutur sebagai salah satu bentuk peninggalan zaman megalitikum di MBD masih dipelihara dalam arti dibangun sampai saat ini. Kesannya sebagai pagar pelindung krasan (=kebun) milik seorang anggota masyarakat, atau batas permukiman suatu desa (bukan batas tanah), ada pula sebagai pagar rumah dengan susunan yang lebih artistik, namun sebenarnya pembangunannya di zaman ini menegaskan bahwa Lutur adalah arsitektur tradisi yang dilestarikan masyarakat di MBD karena fungsinya justru semakin efektif. Keberadaan lutur di zaman ini memperlihatkan bahwa orang MBD adalah kelompok petani yang terus bertahan hidup dan menyeimbangkan diri serta kerjanya di tengah alam yang keras (umumnya tanah kering dan berbatu karang), serta peternak yang ulet ~yang menggembalakan ternak (kerbau, kambing, sapi, babi) juga di alam yang terbatas pakannya, tetapi tidak boleh sampai merusak tanaman dalam krasan milik warga. Ini yang memperlihatkan bahwa fungsi lutur semakin efektif dalam memelihara eksistensi atau keberadaan masyarakat MBD di dalam alamnya itu.

 

 

ARSITEKTUR TRADISI DAN SISTEM PENGETAHUAN MASYARAKAT ASLI (INDIGENOUS KNOWLEDGE)




MBD dapat disebut sebagai Negeri 1000 Lutur. Penyebutan itu tentu tidak menunjuk pada jumlah sebenarnya Lutur yang ada di pulau-pulau pada kawasan ini, sebab realitas menunjukkan jumlahnya lebih dari angka 1000. Di pulau-pulau pada kawasan MBD, Moa, Letti, Lakor, Babar, Damer, Kisar, Wetar, Romang, Luang, Sermata, dll anda akan berjumpa dengan bangunan lutur. Ada yang membatasi bagian luar permukiman, ada yang menunjuk pada batas areal krasan, atau pagar tanaman untuk menghindari kerusakan oleh ternak.

Sekilas informasi yang diperoleh, cara membuatnya dimulai dari aktifitas mengumpulkan batu karang, memotong atau membelah batu karang yang berukuran besar, mengangkut ke lokasi pembangunan lutur, dan menyusun membentuk pagar yang tingginya rata-rata di atas 1m. Dalam pembuatan lutur terbangun solidaritas sosial karena dikerjakan bersama oleh masyarakat (bergiat; =masohi, badati di Maluku Tengah). Lutur pembatas areal permukiman bukan menunjuk pada batas tanah desa itu melainkan wilayah permukimannya. Artinya batas ini bisa diperluas jika ada yang membangun rumah di luar batas itu. Hal ini misalnya saya lihat (2017) di Moain, salah satu desa tertua di pulau Moa (selain Patti dan Klis). Lutur pembatas areal krasan dibuat untuk melindungi tanaman dari ternak, sebab pada pulau tertentu, sulit mendapat tanah yang luas untuk berkebun, sebab itu ukuran lutur ini bervariasi tergantung pada luas sempitnya tanah krasantersebut. Jadi areal krasan itu sangat tergantung pada ketersediaan tanah yang efektif dalam satu kawasan, sehingga ukuran setiap krasan itu bervariasi, demikian pun luasan luturnya.

Lutur pembatas permukiman dan krasan itu menyerupai pagar/tembok dan dibangun bundar atau empat persegi, tetapi umumnya juga sulit ditentukan model/bentuknya karena harus mengikuti bidang permukiman atau krasan itu. Arsitektur tradisi ini tampak mudah dalam pembuatannya, namun menurut masyarakat di MBD, teknik penyusunan batu-batu tersebut tidak dikuasai oleh semua orang secara general, sebab ada orang tertentu yang dinilai ahli untuk menyusunnya. Sebab itu dalam teknis pengerjaannya kelompok orang yang bekerja bersama itu sudah dibagi mulai dari yang bertugas mengumpulkan batu, memotong/membelah batu, mengangkut ke tempat dibangunnya lutur dan kelompok berikut adalah yang bertugas menyusunnya menjadi bangunan lutur. Selain memperlihatkan pola pembagian kerja dalam tradisi masyarakat, tetapi juga pengakuan pada profesionalitas. 

Pada sisi itu, lutur adalah salah satu bentuk pengetahuan masyarakat asli (indigenous knowledge) yang perlu diakui serta dikelompokkan sebagai kekayaan pengetahuan (knowledge heritage) tradisional dan masih berkembang sampai saat ini. Dalam arti tersebut, lutur dapat didaftarkan sebagai model bangunan tradisi di MBD, suatu arsitektur tradisi yang dimiliki oleh masyarakat MBD. Perkembangan teknologi pertanian apa pun yang berkembang di kemudian waktu, lutur merupakan bagian dari proses rekayasa teknologi di MBD, terutama rekayasa lahan perkebunan. Karena lutur sudah ada sejak lama, dari zaman megalitikum, maka keberadaannya saat ini menerangkan bahwa lutur adalah benda cagar budaya sebagai hasil karya masyarakat MBD. Benda cagar budaya ini memiliki sifat khusus, karena masih terus dibangun, jadi cagar dalam arti ini ialah suatu cara merawat pengetahuan tradisi yang telah ada sejak dahulu sampai sekarang. Model pembangunan lutur merupakan warisan pengetahuan dan keterampilan yang masih eksis dipraktekkan sampai saat ini.

Sebagai jenis arsitektur tradisi, keterampilan masyarakat MBD membangun lutur sampai saat ini menjadi bukti bahwa lutur sudah menjadi bagian dari ciri khas atau citra kehidupan masyarakat MBD di semua pulau. Lagi-lagi itu merupakan bukti betapa masyarakat MBD mampu mengembangkan cara-cara kebudayaan yang memiliki nilai dan fungsi yang efektif sampai saat ini. 

Bangunan tradisi ini sejak dibangun memiliki fungsi untuk melindungi hak dan memelihara kehidupan makhluk lain atau menjaga keseimbangan ekosistem. Dalam masyarakat adat di Maluku atau di mana pun, pemisahan antara lingkungan pemukiman dan areal kerja sudah ditentukan sejak transisi dari zaman nomaden ke bermukim menetap. Karena itu lutur sebagai pembatas pemukiman merupakan wujud transisi tersebut, karena lokasi pemukiman itu dinilai baik, aman, tersedia sumber pangan yang cukup/memadai untuk kelangsungan hidup keluarga, klen dan masyarakat.

Pada lokasi bermukim menetap itu, masyarakat adat membuat pemisahan juga antara tempat yang bersih dan yang kotor. Karena itu pada beberapa desa, ada tempat untuk membuang sampah (=semun/semung) dan umumnya di luar lokasi bermukim. Masyarakat yang suka berburu malah diwajibkan mengerjakan hasil berburunya di luar pemukiman atau di pantai dan hilir sungai (=kaki aer). Alasannya karena darah dari hewan yang telah mati (termasuk hasil berburu) taboo untuk masyarakat. Tetapi tujuan lain supaya bagian tubuh hewan yang tidak bisa dikonsumsikan tidak mencemari lingkungan bermukim. Ada satu hal yang unik dari masyarakat MBD yang adalah juga kelompok peternak tradisional, yaitu lutur batas pemukiman itu dibangun dengan tujuan agar ternak peliharaan tidak membaur dengan masyarakat di dalam areal pemukiman. Ini tampak di semua desa di MBD, dan yang saya lihat sebagai keunikan yaitu di Ahanari (Pulau Babar), di mana lutur dibangun memanjang di belakang desa itu dri gunung ke pantai, dan di dalam lutur itu ada semua ternak peliharaan semua keluarga. Pemandangan serupa ada pula di Hertuti (Pulau Dai), sehingga tidak ada ternak yang dijumpai dalam pemukiman. 

Demikian pun lutur di areal krasan, menjadi pelindung terhadap semua tanaman sehingga tidak dirusakkan oleh ternak (kerbau, sapi, babi, kambing). Jadi kelangsungan ekosistem terpelihara, tetapi relasi antar-makhluk pun dibingkai dengan cara teknologi tradisi yang unik. 

Itulah dua alasan yang menurut saya membuat sampai saat ini, pengetahuan tradisi membangun lutur masih dikuasai oleh semua lapisan masyarakat di MBD, dan arsitektur tradisi ini masih dijumpai juga di sana. Dalam kaitan dengan kondisi alam di MBD, saya peraya bahwa, penerapan teknologi pertanian/perkebunan dan peternakan di MBD akan terus berkembang dengan tidak perlu menghancurkan sistem pengetahuan dan keterampilan membangun lutur, melainkan adaptasi teknologi dengan menjaga warisan asli pengetahuan masyarakat setempat. MBD perlu rekayasa teknologi perkebunan/pertanian dan peternakan dengan mendorong industry olahan hasil kebun, budidaya ternak dan pengolahan hasilnya sebab kelangsungan ekosistem di sana harus terus terpelihara. (Pastori Ketua Klasis GPM Letti Moa Lakkor, Tiakur, 21 November 2020).


(Keterangan gambar:  Gambar 1 : Lutur di Desa Patti, Pulau Moa; Gambar 2: Lutur di desa Klis, Pulau Moa. Doc. Pribadi. 20 November 2020)

 

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara