Carita Orang Basudara, Carita Bakutamaso



Resensi:
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

SEJARAH KELABU adalah PELAJARAN TENTANG IDENTITAS
Story [bastory] adalah istilah bahasa Inggris yang sudah lama menjadi baku dalam bahasa Melayu Ambon. Kata yang sepadan dengan itu adalah carita, bacarita. Penambahan kata ba- [baku] pada setiap kata kerja dasar [invinitive] dalam Melayu Ambon menunjuk pada makna kesalingan [resiprositas], di suatu aktifitas dilakukan oleh dua pihak/subyek secara bersama. Pada beberapa kata kerja dasar, lazim digunakan kata depan ba-, sedangkan beberapa lainnya lazim digunakan baku- [bakupolo, bakudapa]. Dalam istilah carita, tendensi maknanya lebih condong positif, dalam arti isi berita [message] yang diceritakan itu penting, bermakna. Sebab itu subyek yang bacarita sering disebut tukang riwayat [istilah riwayat sering digunakan pada fungsi pemberitaan yang dikenakan kepada para alim ulama, imam, pandita].
Story atau carita, bacarita, dalam makna tertentu berbeda dengan kata lain yang sepadan, yaitu kewel. Kewel lebih bertendensi negatif, dalam arti carita ka sana ka mari, carita tar ujung pohong, carita palente. Sebab itu kewel cenderung difungsikan dalam candaan [bakusengaja/basangaja].
Saya sengaja mengatakan itu untuk mengajukan keyakinan pokok bahwa buku “Carita Orang Basudara” [COB - eds. Jacky Manuputty, Zairin Salampessy, Ihsan Ali-Fauzi, Irsyad Rafsadi, LAIM, Ambon & PUSAD Paramadina, Jakarta, 2014] benar adalah sebuah carita penuh makna yang jujur menceritakan pengalaman langsung [bukan refleksi dan tafsir]. Jadi isinya adalah carita kehidupan [life story], dari apa yang terjadi secara langsung, dialami pada saat terjadinya, dan melibatkan orang-orang yang dikenal langsung, maupun tidak dikenal.
26 tukang carita dalam buku COB, bacarita mengenai hal-hal nyata itu. Gerry van Klinken, yang menulis Pembuka COB menegaskan bahwa carita-carita ini layak menjadi bagian dari carita [narasi] sejarah. Orang Maluku musti berani bacarita  tentang kerusuhan 19 Januari 1999; ada banyak tanggapan menarik darinya. Namun jika carita itu diresapi, COB, menurut van Klinken layak jadi peringatan tentang perasaan yang mengalir – rasa sedih, rasa nostalgia, rasa syukur, rasa malu, bahkan rasa manis [hlm.9]. Tujuan bacarita, menurut van Klinken agar anak-anak Maluku di masa kini dan masa depan, baik mereka yang mengalami dan tidak mengalami kerusuhan 1999, mengetahui seperti itulah masyarakatnya. Mereka harus tahu sejarah yang paling pahit sekali pun, agar mereka mengenal identitas diri mereka sendiri. Sebab itu, van Klinken menyebut carita ini sebagai carita pribadi yang disampaikan dengan kejujuran yang luar biasa [hlm.11].

‘ANGKA BUANG AKANG DENDAM BODOH TUH!’
COB diawali oleh tiga carita dari tiga juru berita dan tukang carita yang dikenal secara meluas di seantero tanah Maluku. Rudy Fofid, Zairin Salampessy [Embong], Novi Pinontoan, adalah tiga juru berita yang ternyata sudah bakutamaso sejak era SKM [sebelum kerusuhan Maluku]. Jika ketiga carita ini disimak, ada tali hulaleng yang mengikatnya. Menariknya, mereka bertiga bacarita tentang pengalaman pribadi dan bersama yang terjadi dalam Senin, 18 Januari – Rabu 20 Januari 1999. Ternyata, mereka bertiga, dan rekan-rekan jurnalis lainnya, sudah sepakat untuk ronda har’ raya di rumah Zairin [Embong] Salampessy.
Beberapa jam sebelum terjadi kerusuhan, dalam carita Rudy, Embong sudah meneleponnya, ‘kambing-kambing sudah lari karena menunggu talalu lama’ [=soto kambing, menu Idhul Fitri yang dimasak ibunya]. Carita Embong dan Novi pun berkisah tentang pengalaman mereka di hari yang sama.
Tiga carita ini mau menegaskan bahwa, bakutamaso salam-sarane di Ambon/Maluku itu adalah suatu fakta historis, sosial, filosofis dan religius yang terjalin dalam Identitas diri masyarkat.
Saya mengangkat tiga carita ini untuk juga mengutip bahwa dalam hal bakutamaso salam-sarane itu, dendam, yang terjadi di masa lampau sekalipun sirna, sebab jiwa Maluku itu selalu mendahulukan sudara dari siapa pun dan dalam situasi apa pun. Yang mampu melakukannya hanya mereka yang tahu dan memiliki ‘rasa Maluku’. Ini sudah menjadi lapisan identitas. Tentu bukan dendam antara Rudi-Embong-Novi, melainkan dalam carita Rudy, Papa Ulen dan Mama Titi Lawalata, sudah dapat menyelamatkan Daeng Batako sekeluarga dari ancaman pembunuhan di hari kerusuhan itu. Padahal  Daeng Batako, pernah terlibat sengketa tanah dengan Papa Ulen, dan Daeng Batako yang menang sebidang tanah yang dimiliki Papa Ulen sejak masa orang tuanya [hlm.20-21].
Carita Embong lain lagi. Sebuah lukisan bakutamaso salam-sarane yang sudah ada sejak lama. Bahwa Bu Edy Papuling, seorang prajurit TNI-AD, Oma Auw, Mami De Nussy, menjadi pengasuh dua anak salam yang selalu ditinggal kerja orang tuanya. Dan hal bakutamaso itu masih terjadi sampai saat ini.
Carita-carita lain dalam bagian pertama buku COB selebihnya mekisahkan pengalaman pribadi hidup bersama dalam perbedaan salam-sarane tanpa menegasikan sedikitpun perbedaan di antara mereka. Carita-carita itu ada yang terjadi di saat kerusuhan, atau dalam waktu 1999-2000. Masa ketika ale bakar, beta bakar masih menjadi slogan yang mewarnai watak dan perilaku masyarakat. Juga carita di masa rekonsiliasi, 2002-2010, masa ketika trauma massal masih mengendap dan belum mencair. Tingkat kecurigaan masih tinggi. Hidup bersama masih sulit diwujudkan. Pemukiman tersegregasi. Terbentuk segmentasi masyarakat yang jelas-jelas menurut kelompok agama. Semuanya diceritakan apa adanya, tanpa harus taat pada teori, walau ada yang merefleksikan pengalaman sui generis itu dengan teori tertentu. Malah berisi harapan kepada anak-anak yang masih kecil, yang tidak mengalami kerusuhan itu.
Pengalaman-pengalaman sui generis, selain tiga tukang riwayat tadi, yang mencuat dalam bagian pertama buku ini, semisal dalam carita Dian Pesiwarissa, Dino Umahuk, M. Azis Tuny, I.W.J. Hendriks, Jacky Manuputty, Hasbollah Toisuta, Weslly Johanes, Elifas Tomix Maspaitella, Zainal Arifin Sandia, dan Abidin Wakanno. Pengalaman mereka juga unik
Namun ada perjumpaan [bakutamaso] yang luar biasa dialami para tukang riwayat ini. Sebuah fakta unik yang menjadi lapisan sejarah masyarakat. Kita bersyukur sebab bagian sejarah yang di kemudian waktu akan hilang itu, telah terkonstruksi dalam data baku, sebuah tulisan, arsip baku, yang saatnya dapat dibaca oleh semua orang.

MALU, KETIKA GEREJA DAN MESJID DIAM, KETIKA NEGARA BUNGKAM DAN KETIKA POLITIK BICARA
Bagian kedua buku COB berisi carita dari 6 (enam) tukang riwayat yang trampil mencuatkan pengalaman dan isi hati [kritik] mereka [M.J. Papilaya, M. Noor Tawainela, Steve Gaspersz, Theofransus Litaay, Almudatsir Z. Sangadji, Thamrin Ely]. Dalam kerusuhan semua orang berharap, gereja dan masjid berbicara, dan jangan diam. Sebab ketika gereja dan masjid diam, maka persaudaraan akan menjadi kemustahilan. Sebaliknya jika berbicara, maka perdamaian akan menjadi anugerah di tengah kecamuk amarah dan darah-darah yang tercurah.
Catatan kritik terhadap negara yang cenderung tidak mau berpihak pada kemanusiaan menjadi carita sejarah, carita keluhan anak-anak Maluku di masa konflik pula. Ini layak tersaji, bukan dalam rangka menuduh, melainkan untuk menjadi bahan perenungan tentang peran sejati negara terhadap rakyat dan bangsa [M.J. Papilaya].
Nurani [Noor Tawainela] dan rasa malu [Steve Gaspersz], tidak bisa diabaikan dalam COB. Sebuah renungan yang mengantar kita mempertegas jati diri bahwa basudara adalah bagian paling pokok dari jati diri dan identitas Maluku. Nurani berbicara, dan rasa malu agar jangan kita dan generasi di masa depan terpuruk lagi, menjadi pesan moral yang berharga dari COB.
Catatan kritik bahwa negara tidak bertindak menghentikan kekerasan dan membiarkannya menjadi ‘konflik horisontal’ yang terbuka [Theoransus Litaay], ternyata berdampak serius. Yaitu konflik dibiarkan sebagai ‘isu menganga’, sehingga berbagai ranah isu dan fakta pun masuk dan bercampur menjadi satu. Separatisme menjadi salah satu fakta dan isu yang dihembuskan ke dalam konflik, dan agenda Pemilu 1999 dan 2004 pun merupakan momentum yang selalu dikaitkan dengan berbagai bentuk kekerasan massal di Ambon [Almudatsir Z. Sangadji dan Thamrin Ely].
Saya tidak akan menceritakan carita mereka kembali. Intinya, carita pada bagian kedua ini melengkapi wawasan kita tentang anatomi konflik Maluku yang sarat kepentingan itu.

PEJUANG DAMAI
Bagian ketiga COB menjadi menarik sebab diwarnai oleh cuatan pengalaman 6 [enam] tukang carita perempuan [Hilary Syaranamual, Sandra Lakembe, Inggrid Silitonga, Tiara Melinda A.S, Helena M. Rijoly, Nancy Souisa] dan satu saja ‘mauweng’ laki-laki, Jacky Manuputty.
Saya minta maaf. Saya tidak akan menceritakan carita perempuan-perempuan tangguh itu di sini. Saya memilih membahas beberapa foto dalam bagian ini. Walau teman saya, Embong, selalu mengatakan ‘biar foto yang bastory’.
Ada sebuah foto yang menarik di halaman 359, Ustaz Abidin Wakanno dan Pdt. Jacky Manuputty dilatari beberapa orang Bule, pukul tifa damai Maluku, sebagai bukti bahwa damai Maluku itu laksana notasi yang berbunyi dalam harmoni kehidupan. Agama dan jabatan agama mereka terlebur dalam irama tifa damai. Dan gambar ini menjadi salah satu fakta sejarah yang akan terus menghias gerak para pejuang damai.
Foto berikut pada halaman 331 dan 332, memperlihatkan bahwa hal bakutamaso salam-sarane itu menembusi sekat agama yang sakral. Tiang alif Masjid Raya Batumerah, yang diusung di depan semua rombongan, ternyata [harus] melibatkan masyarakat adat Ema dan Passo yang adalah masyarakat Sarane. Embong memang cermat dalam hal ‘keker’ [foto] dan sisi ‘par keker’ [sudut pengambilan gambar]. Namun, event yang direkamnya itu adalah sebuah fakta apa adanya yang selama puluhan tahun berlangsung dalam sejarah bakutamaso salam-sarane. Ketika itu menjadi bagian dari COB, maka buku ini telah menampilkan aspek filsafati dari COB itu sendiri.
Dua foto lain adalah pada halaman 282 dan 362. Dua foto ini merupakan sisi baru dalam perjuangan damai Maluku. Yakni, bahwa pejuang damai telah merambah dan masuk ke sisi budaya pop. Provokasi damai dalam dinamika budaya pop akan membentuk basis masyarakat yang militant terhadap perdamaian dan nilai kemanusiaan.
Segmen seni, fotografi, musik, dan wujud kesenian material lainnya, merupakan unsur-unsur baru yang perlu dijadikan sebagai media provokasi damai. Pada sisi itu, COB, adalah sebuah media yang sudah memaparkan kepada kita sisi lain dalam sejarah kerusuhan Maluku 1999, yang jika tidak ditulis, akan menjadi memori yang suatu waktu tidak diingat lagi. Maka di masa depan, anak-anak Maluku akan sulit mempelajari event-event sejarah yang membentuk identitas mereka.
Sebab COB adalah dokumen sejarah, maka sepantasnya semua masyarakat Maluku memiliki dan membacanya. Pasti akan ada COB Jilid 2, 3, sampai 10 – sebab Carita Anak-anak yang mengalami dan merasakan kerusuhan, adalah data sejarah yang penting. Carita Pengungsi di Pengungsian dan Relokasi, adalah data sejarah yang perlu. Dan data-data lain yang perlu dicaritakan sama-sama kembali.
Rumahtiga, 25 Januari 2014



Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara