BLAKANG TANAH:



Stigma-stigma yang Menjajah Masyarakat Maluku
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

STIGMA SEBAGAI TEKS
Secara leksikal, stigma diartikan sebagai sebuah reputasi atau citra diri yang buruk yang diberikan oleh orang lain dan menyebabkan seseorang yang distigmakan itu dilecehkan atau dicela, sehingga terkadang ia mengalami hal-hal yang tidak adil.

Di dalam ruang sosial, stigma itu merupakan citra diri yang terberi atau labelisasi yang sengaja dibuat oleh kelompok suprastruktur terhadap minoritas yang tertekan, atau yang tidak memiliki pengaruh sosial (social power) –atau yang harus dilemahkan secara sosial, politik, ekonomi dan bahkan agama. Dalam sosilogi, stigma –atau kerap pula disebut dalam istilah labelisasi, adalah penanda sosial yang diproduksi oleh sekelompok orang dan pada gilirannya membangun social gap dan diskriminasi dalam banyak hal. Stigma di mana pun membuat masyarakat yang distigmakan itu ‘menyerah’ pada nasib karena terlalu dipojokkan (pejoratif). Kelompok yang distigmakan hidup dengan beban sosial dan sejarah seakan-akan mereka tidak bisa bebas dari beban-beban tersebut. 

Stigma itu dikenakan kepada seseorang/sekelompok orang meliputi berbagai aspek kehidupannya. Ringkasnya, stigma memosisikan seseorang atau sekelompok orang pada struktur puncak dan orang lain di di dasarnya. Stigma turut membuka ruang disfungsi sosial, dalam arti orang/kelompok yang distigmakan memiliki atau diberi ruang gerak yang sempit untuk berpartisipasi. Hak-hak partisipasi dan emansipasinya dicecoki dan dikungkung –ibarat seorang terpidana yang tidak bisa banyak menuntut haknya.

MALUKU DAN REALITAS STIGMATISASI
Orang Ambon/Maluku mungkin adalah kelompok yang paling ‘sial’ hidup di Republik ini. Kita bukan saja menghadapi stigmatisasi politik –yang khusus dilabelkan kepada orang Maluku/Ambon, tetapi kita turut tersedot ke dalam stigmatisasi terhadap komunitas Indonesia Timur. Dalam kondisi itu, kita tetap ‘dipaksa’ untuk mengaku atau mengafirmasi kewarganegaraan dan kebangsaan Indonesia. Padahal orang Maluku/Ambon tidak pernah menolak keindonesiaan itu sebagai jatidiri bangsa (universalitas). 

1. Separatisme, RMS dan ‘RMS’
Sejarah pergolakan di Indonesia telah terjadi sejak 1948 (PKI). Tahun 1950 adalah tahun ‘panen raya’ pergolakan kelompok-kelompok separatis, baik yang berbasis agama (mis. DI/TII, Kahar Musakar), ideologi (mis. PKI/G30S/PKI), revolusi politik (mis. APRA, Permesta, GAM, OPM). Richard Chauvel berpendapat lain dalam memosisikan RMS di masa itu. Baginya RMS adalah gerakan kontra-revolusi dalam dinamika politik NIT (Negara Indonesia Timur) di zaman RIS. Jadi tipikalnya sedikit berbeda dari separatisme lainnya –yakni semacam ‘hak menentukan sikap’ terhadap NIT (negara federalnya RIS).

Lepas dari realitas itu, dalam sejarah Indonesia RMS bukan satu-satunya separatisme. Ada banyak separatisme, termasuk yang sangat dilarang oleh negara, yakni PKI. Tetapi separatisme telah menjadi stigma tunggal terhadap masyarakat Maluku. Karena itu peran Provinsi Maluku sebagai Provinsi ke-8 yang melahirkan Indonesia telah dianggap sebagai ‘lelucon nasionalisme’ orang Maluku. 

Dampak dari stigmatisasi itu ialah hak-hak sosial orang Maluku sebagai warga bangsa dikebiri. Dahulu dan sampai saat ini, orang Maluku sulit menjadi lulusan AKABRI, AKMIL, AKPOL. Yang sudah ada di situ pun ‘susah dapa bintang’ (berpangkat Jenderal). Litsus (penelitian khusus) begitu ketatnya. Padahal yang jelas-jelas dilarang –sehingga perlu litsus, adalah PKI. Jadi litsus waktu itu bertujuan mengecek apakah orang itu adalah keturunan anggota PKI atau bukan. Tetapi bagi orang Maluku, jangankan anak atau cucu bekas anggota PKI, memikul marga Maluku atau lahir di salah satu negeri di Maluku pertanda ‘seng tambus’. 

Stigma separatisme dan RMS (Republik Maluku Selatan) bertujuan menumbuhkan ‘rasa bersalah’ orang Maluku terhadap Republik Indonesia. Dengan bertumbuhnya ‘rasa bersalah’ itu maka pembatasan hak-hak sipil orang Maluku mulai terjadi lagi. Tetapi karena beban ‘rasa bersalah’ itu seakan kita (rakyat dan pemerintah daerah) seperti takut memprotes kebijakan pemerintah RI. Kita menjadi korban stigmatisasi, tetapi juga menikmati status sebagai korban stigma baru ini. 

Belum lagi stigma itu berhenti, kita distigmakan kembali dengan ‘RMS’ (Republik Maluku Sarane). Sesungguhnya stigma ini sudah ada sejak 1950-an, sebagai suatu usaha memberi label agama terhadap pergolakan RMS agar sejajar dengan usaha sekelompok orang yang hendak mengubah NKRI menjadi Negara Islam. Pada masa konflik Maluku 1999, stigma ini kemudian dihembuskan lagi. Ketika Front Kedaulatan Maluku (FKM) lahir, seakan-akan stigma ini mendapat pembenarannya. Apalagi bendera RMS sering dinaikkan di negeri-negeri Kristen. Lagi-lagi pembenaran terhadapnya dimutlakkan.

Tujuannya dapat ditebak dengan mudah, ketika realitas Indonesia ini kita buka secara jujur. Pergulatan ideologi Pancasila bagi sebagian orang belum final. Masih ada kelompok yang hendak menambahi lagi 7 kata yang dihapuskan dalam Sila Pertama Pancasila sesuai dengan naskah Piagam Jakarta. Ada sekian banyak gerakan radikal berbasis agama tertentu di RI. Sebab itu stigma ini adalah usaha menyeimbangkan isu. 

Mengapa Maluku? Pertanyaan ini menarik. Sekaligus menjadi pertanyaan kritis untuk direnungi semua warga bangsa di negeri ini. Dari pengertian stigma, mungkin jawabannya karena Maluku memiliki kekuatan politik yang lemah dibandingkan Provinsi lain. Jika jawaban itu benar atau mendekati benar saja, pertanda bahwa kesatuan kita secara politis itu gampang ‘digoyang’. Soliditas politik antara pemerintah dengan rakyat rapuh. Hal ini juga diakibatkan organisasi sosial level menengah, seperti Parpol dan lainnya, tidak memainkan peran secara efektif. Akibatnya kita bukan saja gampang ‘dapa goyang’ tetapi cepat ‘tagoyang-goyang’ (baca. soliditas terpecah). 

Stigma ini memberi kepada kita suatu catatan kepongahan republik ini yang tidak bisa bersikap tegas terhadap separatisme lain yang jelas-jelas mengorganisasi kekuatan paramiliter bersenjata seperti GAM di Aceh dan OPM di Papua. Kepongahan republik ini dipertontonkan terus ketika tidak ada sikap yang tegas terhadap kelompok radikal yang telah berperan mengganti tugas Polisi Negara. Semakin pongah pula ketika Negara Islam Indonesia memproklamasikan dirinya, dan pemerintah memandangnya sebatas wacana. Padahal warga NII sudah memiliki KTP dan struktur pemerintahannya tersusun sampai ke tingkat Desa. Makar? RI takut berkata begitu. Tetapi RMS? Mereka stigmakan sebagai Makar dan Separatis. Inilah Republik Gagal. 

2. Kawasan Timur Indonesia
Beradanya Maluku sebagai Provinsi di Kawasan Timur Indonesia adalah suatu fakta teritorial atau geografis dalam bentangan kepulauan-kepulauan di Indonesia. Memang secara astronomi, kita sudah tidak bisa membalikkan struktur mata angin. Artinya TUHAN sudah membuat kita menjadi bagian dari bangsa, suku, etnik dan provinsi di Timur. 

Saya menyebut ini stigma sebab KTI adalah salah satu corak reorganisasi sistem pembangunan di Indonesia yang mengasumsikan bahwa pembangunan di KTI masih jauh tertinggal dari KBI (Kawasan Barat Indonesia). Kemajuan-kemajuan di Pulau Jawa (sebagai representasi KBI selama ini) begitu spektakuler, melalui rekruitmen hasil-hasil pembangunan dari KTI terjadi secara membabi buta (baca juga. monopoli).

Dalam kaitan itu, Kawasan Tertinggal, merupakan bentuk praksis dari stigma itu, yang ternyata mendapat perlakuan setengah hati dari pemerintah pusat selama puluhan tahun Indonesia Merdeka. Tidak usah jauh-jauh, Saparua sebagai Kota Sejarah Peradaban Merdeka di Indonesia saja sampai saat ini ‘bagitu-bagitu saja’ –tidak ada geliat pembangunan yang berarti di sana. Orang Aboru saja mengeluhkan jalan raya yang sudah digusur sejak 1980 dan belum diaspal sampai saat ini. Malah di era komunikasi seluler. Kepada Ketua Komnas HAM Provinsi Maluku, Ot Lawalata, SH, M.Hum, seperti diceritakan kepada saya, mereka berujar begini: ‘Katong di sini mau telepon musti nai ka gunung. Su bagitu musti barembeng di pohong. Mo tangang sablah pegang jaga, tangang sablah pegang HP. La kalu samu gigi di kalir, bagitu cubi samu deng katong jatuh patah-patah lai’. 

KTI menjadi juga sebuah strategi pembangunan nasional yang bertujuan merekrut potensi perikanan, kelautan, kehutanan dan mineral lain yang kaya di Maluku. Rekruitmen itu akan kita anggap wajar dan tak kuasa kita tolak sebab, strategi ekonomi nasional dibangun dengan mengutamakan kekuatan industri pengolahan, sebagai ganti dari paradigma agraris. Karena itu di Maluku tidak ada pabrik atau industri olahan yang besar dan dibangun secara sungguh-sungguh (lihat saja Pabrik Ikan Kaleng di Wailiha, Toisapu yang terbengkalai sampai hari ini, atau Pabrik Kayu Lapis di Batu Gong dan Waisarisa).

Belum lagi proses mematikan ekonomi rakyat Maluku secara sistematis dengan Tata Niaga Cengkih oleh cukong-cukong Orde Baru (Orba). Seiring dengan itu Maluku hendak diubah menjadi kebun kakau dan kelapa (termasuk kelapa sawit). Harga kakau melambung di pasar, harga cengkin jatuh, akibatnya hutan cengkih ada yang dibabat dan dibiarkan tidak terurus. Energi masyarakat dialihkan ke tanaman kakau. Padahal itu adalah Proyek Milyaran rupiah yang sedang dikelola para cukong Orba . Maluku adalah bagian dari perluasan kebun kakau di seluruh Indonesia. Tujuannya agar nilai proyek itu naik menjadi milyaran rupiah. Siapa yang untung? Cukung Orba. 

3. Kawasan Tertinggal (Kater)
Sebagai wilayah di KTI, Maluku langsung dicap sebagai Kawasan Tertinggal. Proyek milyaran rupiah dicanangkan di pusat dan di daerah. Guyuran dana pun terjadi. Tetapi hanya perusahan bonafid saja yang menguasai seluruh proyek itu. Padahal tidak ada garansi kesejahteraan kepada rakyat di Kater itu. Banyak proyek fiktif dan kredit macet yang terhampar di pulau-pulau di Maluku. 

Pada saat menyeberang dari Tehoru ke Hunisi (Januari 2011), saya melihat sendiri dari arah laut, lahan gusuran yang luas di sebelah Barat Negeri Laimu, Kec. Telutih, Kabupaten Maluku Tengah. Menurut juru mudi Long boat, itu adalah lokasi yang dahulu hendak dibangun pabrik. Pabrik apa? Dia tidak tahu. Padahal kawasan itu adalah hutan kelapa milik rakyat yang dibeli dan digusur tanpa bukti penggunaannya. Ini baru satu saja dari sekian banyak proyek dan kredit macet di Maluku.

Selain itu, alokasi proyek Kater di Provinsi Maluku pun banyak yang tidak berjalan sesuai dengan tujuannya. Kasus-kasus korupsi dana Kater merebak di Maluku dalam kondisi ketika masyarakat di Kater terus miskin dan tertinggal/terisolasi. 

Cap itu yang membenarkan pula stigma Provinsi Termiskin ketiga di Indonesia. Padahal pemenuhan kalori rata-rata masyarakat di Provinsi Maluku jauh lebih tinggi dari masyarakat di provinsi lainnya.

4. Blakang Tanah
Tanggal 29-30 April 2011 yang lalu, saya berkunjung ke AMGPM Daerah Telutih dan melakukan salah satu kegiatan di Ranting Sinar Kasih, Jemaat Nayeth, Kec. Siwalalat, Kab. Seram Bagian Timur. Ada sebuah keluhan masyarakat akibat terbatasnya sarana kesehatan, pendidikan, eksploitasi hutan oleh perusahan swasta, proses pembodohan oleh perusahan dengan garansi sertifikat tanah gratis, terbatasnya sarana transportasi laut dan darat, pendapatan masyarakat yang rendah, dan banyak lagi beban sosial yang dialaminya.

Mereka ternyata terpaksa menerima kondisi itu karena stigma ‘blakang tanah’. Ada yang berkata begini: ‘yah, mau bagumana lai, katong kan di blakang tanah’. Stigma ini menjadi bukti bahwa kasus-kasus ketidakadilan, keterbelakangan, pembodohan, pemiskinan, ijonisasi dan ijonisme gampang sekali terjadi dan terus terjadi. Masyarakat dipaksa menerima semuanya. Mereka dibelilit dalam lingkaran ketidakadilan dalam banyak aspek.

Anak-anak harus menikmati pendidikan di sekolah yang tidak memiliki sarana-prasarana yang memadai dan kelangkaan tenaga guru. Masyarakat berpartisipasi membangun Puskesmas dan Pustu untuk kemudian melihat bangunannya sebagai yang paling mewah di bandingkan rumah mereka. Padahal tidak ada tenaga kesehatan. Hasil alam dan hasil buminya melimpah. Tetapi terpaksa menyerah pada praktek ijon dan ijonisme. Eksploitasi terjadi terhadap sumber daya alam dan eksploitasi kebodohan rakyat.

Blakang tanah adalah stigma yang membuat masyarakat harus terus puas dengan kelangkaan sarana transportasi dan kelistrikan. Musim Timur, mereka terkurung di negerinya tanpa bisa ke mana-mana. Tiang listrik dibangun secara swadaya oleh rakyat, tetapi listriknya menyala 12 jam, dan itu pun tidak rutin. Genzet menjadi komoditi laku. Orang merasa memiliki pride sosial di negerinya, padahal itu ternyata bagian dari rekayasa bisnis penjualan bahan bakar minyak dan subsidi PLN. Rakyat menikmati tontonan TV dari Antena Parabola. Dengan begitu mereka dibuat lupa akan kemiskinannya. Mereka menikmati hiburan kota-kota mewah di Jawa dan Luar Negeri. Mereka melihat orang makan makanan enak-enak. Hati mereka terhibur. Padahal dalam dunia nyata, mereka dililit beban sosial dan ekonomi yang berat. 

Demikian beberapa hal yang masih harus dimatangkan lagi!
‘Selamat Berdispas’


Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara