PEREMPUAN, KARTINI DAN SEMANTIK PASKAH

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

EMANSIPASI SEBAGAI BENANG MERAH
Perempuan-perempuan di zaman Yesus, pelopor gerakan kebangunan rohani kalangan murid Yesus yang ketakutan, kecewa, putus asa pasca kematian Yesus. Sama saja dengan Christina Martha Tiahahu, pendobrak aroganisi penjajahan (kolonialisme) di masanya. Sama saja dengan Raden Ajeng Kartini, pelopor pergerakan emansipasi perempuan Indonesia di masanya. Semua yang ‘sama saja’ itu menunjuk bahwa apa yang mereka lakukan di zamannya masing-masing adalah interupsi terhadap suatu keadaan yang tidak menjamin kebebasan dalam arti yang luas.

Tiap masa ada orangnya, tiap orang lahir pada masanya. Begitulah kira-kira kita menempatkan diskusi ini dalam sebuah tukilan semantik (sistem tanda kebudayaan). Apa yang hendak dilihat adalah sebuah kemampuan perempuan ‘mendobrak’ atau ‘menggulingkan’ sesuatu halangan berat di tengah situasi di mana banyak orang sedang dalam kondisi keterpurukan akibat tekanan-tekanan psikologis, sosial, politik dan kebudayaan.

Aktifitas dan semangat perempuan ini memberi pesan (message) tertentu, bahwa mereka yang selama ini distigmakan ‘lemah’ dan tak berdaya menyimpan kekuatan besar untuk melawan berbagai arogansi kebudayaan dan politik.

Perempuan di zaman Yesus, Maria Magdalena, Maria Ibu Yesus, dan Maria yang lain –adalah nama-nama yang menimbulkan kecurigaan tertentu dalam tafsir teks selama ini. Sebab bayangkan saja di sekitar Yesus ada sekian banyak orang bernama Maria. Mereka dilukiskan injil sebagai kelompok yang lemah secara fisik dan menghadapi sebuah persoalan mendasar di pagi paskah: ‘siapakah yang akan menggulingkan batu [penutup kubur] itu’. Sebuah penjara stigma kebudayaan yang dilestarikan dalam tradisi masyarakat patriakh.

R.A. Kartini –namanya menunjukkan ia keturunan bangsawan, terdidik, dan tentu nasibnya jauh lebih beruntung dari perempuan-perempuan lain di zaman itu yang mungkin saja bernama: Juminten, Partiyem, Zaodah, Zumirah, dan lainnya. Walau begitu, mereka semua terpenjara dalam ‘pingitan’ patriakh dan kolonialisme sehingga rata-rata menjadi budak tani bersama orang tuanya. Kecuali Kartini yang menikmati hidup di rumah, tidak bermandi keringat di ladang tembakau atau hutan karet seperti Juminten dan teman lainnya.

Dua realitas kebudayaan yang di dalamnya perempuan-perempuan itu hidup merupakan lukisan dari adanya kesenjangan tertentu sebagai hasil dari pelestarian ketidakadilan dan stigma. Pada point itulah kita berusaha menggali ruang-ruang tindakan atau aktifitas perempuan ‘menggulingkan’ penghalang sosial yang menindihnya.

SIAPA YANG [AKAN/DAPAT] MENGGULINGKAN BATU ITU?
Beta mencoba membaca ruang tindakan perempuan di zaman Yesus dalam teks Markus, Matius, dan Lukas (Injil Sinoptik) –khusus pada bidang cerita kebangkitan Yesus. Tafsir umum berkata bahwa: perempuan-perempuan sebagai saksi pertama kebangkitan Yesus. Dan itu memperlihatkan bahwa mereka memiliki nyali yang lebih besar dari murid laki-laki yang mengurung diri dalam rumah tertutup karena takut.

Teks itu memperlihatkan juga stigma kebudayaan yang terus mewarnai carapandang budaya terhadap perempuan. Problem mendasar bagi para perempuan itu bukanlah Yesus [akan/ telah] bangkit. Bukan pula Ia adalah TUHAN. Bukan juga nubuat mengenai kebangkitanNya. Di sini penginjil tetap melukiskan murid-murid, laki-laki maupun perempuan, berada dalam kondisi yang sama, yaitu ‘belum atau tidak memahami kata-kata/nubuat Yesus’.

Keadaan itu menjadi alasan mengapa Yesus memberitahukan berkali-kali mengenai kematianNya kepada mereka. Di sisi lain penting pula dilihat kehadiran malaikat atau lelaki berjubah putih mengkilat yang mengingatkan mereka (baca.perempuan) mengenai kata-kata Yesus tentang kematian dan kebangkitanNya. Soal ‘reminding’ (mengingatkan) ini adalah soal lain dalam komunikasi injil mengenai peristiwa Yesus. Sebab selain ‘reminding’, Yesus pun menegor (admonish, reprimand) murid-muridNya (baca. Petrus) untuk mengingatkan tidak ada rencana TUHAN yang [harus] batal (baca. Mat.16:23).

Baik ‘mengingatkan’ maupun ‘menegur’ dalam hal ini bertujuan untuk memberitahu kepada para murid mengenai persitiwa-peristiwa Yesus (Chris event) yang tidak terelakkan lagi. Karena itu struktur cerita injil-injil mengenai peristiwa Yesus menempatkan Yesus – para murid – dan malaikat dalam satu jaringan komunikasi.

Ada pesan yang [telah] disampaikan Yesus (komunikator) kepada para muridNya (komunikan). Karena lag-understanding, maka pesan itu terputus di tengah jalan. Sebab itu penulis Injil menghadirkan malaikat ke dalam struktur cerita tersebut untuk menyambung kembali pesan yang terputus itu. Di sini pula kita bisa mengerti janji Yesus tentang Roh Kudus yang akan dicurahkan kepada para murid. Semuanya bertujuan menyambung cerita mengenai peristiwa Yesus. Cerita mengenai Roh Kudus ini yang menjadi tendensi utama cerita para rasul, terutama Paulus –di masa gereja/pasca kematian Yesus.

Kembali ke pokok soal kita. Stigmatisasi perempuan tampak jelas dalam cerita perempuan-perempuan yang pergi ke kubur Yesus di pagi-pagi buta (baca.subuh). Persoalan mendasar bagi mereka –yang sedang berjalan ke kuburan itu –ialah siapa yang akan menggulingkan batu penutup kuburan Yesus, agar mereka dapat meminyaki jasadnya. Jadi bukan soal Yesus [akan/telah] bangkit.

Persoalan itu yang mereka diskusikan sepanjang perjalanan. Jelas bahwa stigma ini memosisikan perempuan sebagai makhluk yang lemah secara fisik dibandingkan laki-laki. Tetapi ada dua kepentingan/keuntungan bagi penginjil dengan stigmatisasi itu. Pertama, karena kelemahan fisik mereka, tidak mungkin mereka kuat menggulingkan batu penutup kubur Yesus. Artinya, jika kuburnya kosong dan jasadnya tiada di situ, berarti Ia telah bangkit dari kematian. Kedua, jika pun batu kuburnya tidak tergolek, otomatis jasad Yesus terus berada di dalam kubur; kecuali tenaga Yesus pulih dan dia berusaha menggulingkannya dari dalam.

Kata Yunani yang digunakan di ketiga injil ini sama, yaitu apokulio. Dalam Markus 16:3 digunakan bentuk future (apo-kulisei > apo-ke-kulistai) = ‘siapa yang nanti akan menggulingkan…’. Penginjil bermaksud untuk mengatakan bahwa para perempuan itu merasa mereka tidak memiliki tenaga yang besar/kuat untuk menggulingkan batu itu. Mereka terjebak dalam kelemahan fisiknya, dan sesungguhnya mengharapkan ada seseorang dengan tenaga yang besar/kuat (baca. laki-laki) yang datang dan membantu mereka. Namun faktanya, tidak ada murid laki-laki yang menyertai mereka.

Sedangkan dalam Matius 28:2 menggunakan bentuk aorist (ap-e-kulisen > apokulio) yang mengikuti peran subyek baru yakni malaikat, sehingga kata itu berarti ‘sesuatu itu telah terguling atau seseorang telah menggulingkan…’. Ini jelas merupakan pembenaran terhadap stigma dalam Injil Markus tadi. Perempuan-perempuan itu lemah, karena itu intervensi seseorang yang bertenaga lebih besar/kuat diperlukan. Lagi-lagi malaikat TUHAN dihadirkan dalam cerita ini. Apa maksudnya? Peristiwa Yesus itu selalu diwarnai oleh unsur-unsur pentuhanan (theoporic element), dan salah satunya ialah kehadiran malaikat.

Injil Lukas 24:2 menggunakan bentuk perfek partisip pasif (apo-ke-kulismenon > apokulio), yang menerangkan suatu kondisi bahwa tanpa diduga-duga, perempuan-perempuan itu mendapati batu penutup kubur Yesus sudah terguling/digulingkan seseorang yang lain dari tempatnya. Bentuk perfek partisip pasif itu menunjukkan bahwa batu itu sudah tidak ada lagi di tempatnya. Batu itu sudah bergeser ke tempat lain. Artinya ada seseorang dengan tenaga yang lebih kuat yang sudah memindahkan batu penutup pintu kubur itu, dan tentu bukan perempuan.

Tiga catatan ini menarik. Markus sebagai injil tertua melukiskan bahwa jebakan stigma itu memerangkapkan para perempuan dalam kebingungan besar akan ketidakmampuan mereka secara fisik. Tetapi Injil Matius dan Lukas –yang dalam banyak hal memperluas tulisan Markus, menempatkan theoporic element sebagai sebuah jalan keluar dari stigma tadi.

Perbedaan penggunaan kata apokulio dalam ketiga injil ini memperlihatkan bahwa stigma itu membuat perempuan ada dalam dilema menghadapi sebuah realitas di hadapan mereka. Penginjil menggunakan faktor perbedaan fisik (tenaga) sambil membangun stigma tadi. Seakan-akan dengan tenaga yang kecil, mereka tidak mungkin akan dapat menggulingkan batu itu.

Sekarang soalnya untuk kita. Pada sisi mana kita melihat dinamika perempuan pergi ke kubur Yesus sebagai sebuah tindakan teologi atau kritik sosial yang penting? Apa kepentingan cerita ini bagi kita saat ini?

Dengan mengatakan ‘walau memiliki tenaga yang kecil, tetapi semangat mereka besar; keberanian mereka jauh melebihi laki-laki ‘cemen’ yang mengurung diri dalam rumah yang tertutup’, bukan berarti bahwa stigma itu berhasil diterobosi atau dibongkar. Ungkapan tadi justru membuat stigma itu tetap ada. Sebab ungkapan atau pun tafsir seperti itu terkesan terjebak dalam ‘kodrat psikologis’ –seakan perempuan itu emosional, laki-laki realistis, dan sebagainya.

Tindakan atau aktifitas kaum perempuan di pagi paskah itu mengandung pesan yang penting. Memang ‘siapa yang akan menggulingkan batu pentup kubur Yesus’ merupakan masalah pokok mereka. Tetapi lihatlah bagaimana mereka telah menyediakan di hari itu, segala rempah-rempah untuk meminyaki jazad Yesus. Artinya apa? Tujuan mereka ialah merempahi jazad Yesus.

Mengikuti kerangka berpikir teologi proses, merempahi jasad Yesus merupakan subject aim (tujuan antara) yang mereka hendak capai. Aktifitas yang mengarah ke tujuan itu ialah pertama, mempersiapkan rempah-rempah; kedua, pergi pagi-pagi buta ke kuburan Yesus. Ini adalah daily activity yang mereka lakukan, sebagai bukti bahwa mereka telah keluar dari halangan (kesedihan, ketakutan, kekecewaan –seperti yang masih dialami murid-murid yang laki-laki).

Dalam rangkaian aktifitas harian itu ada halangan mendasar; yakni batu penutup kuburan Yesus terlalu besar dan berat, dan tidak ada orang bertenaga besar yang bisa menggulingkannya. Ini adalah realitas di dalam dinamika aktifitas para perempuan itu. Sebuah realitas yang sesungguhnya dan semula tidak dipikirkan oleh mereka.

John Cobb, pengampu teologi proses, berkata begini: ‘dalam realitas keseharian, ketika berhadapan dengan tantangan, jika manusia melakukan serangkaian aktifitas yang keluar dari garis order (baca.tata tertib/norma), tindakannya itu mengalami bias. Bias itu adalah dosa. Artinya the subject aim-nya gagal tercapai maka the initial aim (tujuan utama) juga gagal terwujud.

Kembali kepada aktifitas perempuan-perempuan tadi. Mereka digambarkan terus berlari dan tidak ada yang kembali ke rumah yang terkunci dan merayu murid laki-laki bertenaga untuk datang membantu menggulingkan batu itu. Mengikuti bahasa Cobb, setidaknya begini: ‘aktifitas perempuan itu membuat mereka sudah mencapai yang disebut subject aim-nya. Mereka terus pergi ke kubur untuk meminyaki jazad Yesus. Bandingkan saja kebiasaan ‘ziarah’ (Ambon: pi kubur).

Tetapi pada saat mereka tiba dan batu penutup kubur itu sudah berpindah dari tempatnya, atau pintu kubur itu sudah terbuka, waktu itu ada peristiwa baru yang terjadi di luar apa yang dibayangkan oleh mereka. Munculnya suatu peristiwa baru, dalam kerangka teologi proses, memberi pesan bahwa di luar manusia ada potensi super-human yang bisa menggerakkan suatu peristiwa. Hujan bukanlah aksidental. Walau pengetahuan dapat menerangkan sebab-musabab terjadinya hujan. Pada titik tertentu dari penjelasan pengetahuan itu kita akan tiba pada pertanyaan dari mana unsur air, panas/matahari, awan, uap itu berasal. Saat tiba pada pertanyaan itu, maka potensi super-human selalu muncul. Pada titik itulah, cara berpikir agama memainkan peran penting.

Setidaknya dengan begitu kita bisa mengerti penggunaan kata apokulio yang berbeda dalam Injil Matius dan Lukas terhadap catatan aslinya dalam Markus. Peristiwa baru –batu pintu kubur [telah] ter/di-guling dari tempatnya semula –menunjuk pada potensi super-human yang mau ditegaskan para penginjil, lepas dari spekulasi dan tafsir lain mengenai kebenaran kebangkitan Yesus.

Tetapi bahwa semangat para perempuan itu membuat mereka berada dalam rangkaian peristiwa baru –yang terjadi di luar kendali mereka sebagai manusia. Bahwa peristiwa baru itu terjadi berlapis. Batu kubur itu sudah ter/di-guling dari tempatnya, diikuti dengan event baru lagi yakni jazad Yesus tidak ada di tempat di mana mereka membaringkan dia di dalam kubur. Ini jelas suatu perisitiwa baru lagi. Apalagi jika realitas itu dipahami sebagai bukti (evident) bahwa Yesus sudah bangkit.

Beta tidak akan lebih jauh melihat realitas Yesus sudah bangkit. Tetapi rangkaian peristiwa yang dialami para perempuan itu menunjukkan bahwa dengan berkreasi (baca.beraktifitas) mencapai the subject aim yang mereka cita-citakan, mereka akhirnya mencapai apa yang disebut the initial aim. Tujuan ideal ini adalah apa yang dicapai manusia sebagai bentuk pemberian TUHAN/berkat. The initial aim itu dikontrol oleh TUHAN. Manusia dalam hidupnya hanya bisa mencapai the subject aim-nya; sambil terus melakukan aktifitas dan kreasi kehidupan di suatu waktu ia pasti diberi kesempatan mencapai the initial aim.

EMANSIPASI DAN KREASI PEREMPUAN
Hari ini seluruh bangsa Indonesia memperingati hari perjuangan emansipasi perempuan yang dipelopori oleh R.A. Kartini. Sebuah perjuangan melawan stigma dan tirani patriakhal dan kolonialisme –sebuah gerakan melawan obyektifasi seksual: sebab perempuan seperti Kartini dan banyak perempuan cantik, anak pejabat dan bangsawan di kala itu selalu dipaksa kawin dengan kompeni atau datuk-datuk kaya (misalnya Siti Nurbaya dan Datuk Maringgi).

Kini kaum perempuan sudah malang melintang di ‘rimba’ perjuangan modern. Mereka melakoni serangkaian aktifitas tanpa ada rasa takut, cemas, malu, ragu-ragu. Sebab mereka terpanggil melakoni makna kehidupan sebagai manusia yang harus terus kritis dan kreatif. Mereka terdorong untuk mempertanggungjawabkan kemanusiaannya sebagai homo-faber yang memang tidak bisa hanya mengurung diri atau membiarkan diri dikurung di rumah (baca. wilayah domestik).

Lepas dari berbagai realitas keterpurukan dan obyektifasi perempuan seperti pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan oleh majian, tetapi kreasi kaum perempuan telah mewarnai berbagai sisi hidup bangsa, masyarakat, dunia dan agama-agama di Indonesia. Ada banyak contoh perempuan sukses, berani, kreatif yang bisa menjadi referensi kita dalam refleksi kehidupan. Tetapi satu yang menarik dari sisi-sisi peran dan kreasi perempuan adalah juga keberanian mereka untuk menjadi panutan bagi banyak orang.

Selamat Hari Kartini
Selamat Paskah

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Tahap Perkembangan Kepercayaan