Stigmatisasi Sosial

Elifas Tomix Maspaitella

“Sejak Orde Baru, orang Maluku tidak satupun menjadi Menteri”. Ini bukan hanya sebuah pomeo, tetapi suatu kenyataan sosio-politik yang kita alami sebagai warga negara di bumi “merdeka” ini.

Tentu kita tidak kekurangan kader. Sumberdaya manusia Maluku tidak kalah bersaing di level nasional, juga tidak kalah pintar dengan orang dari daerah lain. Kita memiliki sejumlah pejabat daerah yang pintar-pintar, dan memiliki golongan di pemerintahan yang memenuhi syarat untuk semakin berkembang. Para akademisi kita pun adalah orang-orang brilian, bahkan hasil kajian dan pemikiran mereka dijadikan rujukan di pemerintahan, dan tidak sedikit dari mereka menyandang gelar Doktor, Profesor.

Di Militer, sampai saat ini tidak satu pun anak Maluku yang menyandang Bintang Empat di pundaknya. Jika ada yang dapat Bintang, itu pun job untuk pensiun. Bayangkan saja, para mantan Panglima Kodam XVI Pattimura, semisal Joko Santoso dan Agustadi. Selepas jabatan Pandam XVI Pattimura, terus melambung dan menduduki posisi puncak di TNI. Firman Gani, mantan Kapolda Maluku juga bernasib cerlang seperti itu di Kepolisian.
Max Tamaela, Bugis Saman, Frans de Wanna, Izaak Latuconsina, Suaedy Marasabessy, bahkan Julius Tahya, Leo Lopulissa, Leo Wattimena, Herman Pieters, Jop Mailoa, dan deretan nama petinggi militer asal Maluku lainnya, mereka adalah orang-orang hebat yang mentok di posisi Bintang Tiga, itu pun hanya diraih Leo Lopulissa dan Suaedy Marasabessy.

Dalam strategi pembangunan nasional pun, Maluku cukup tertinggal dibandingkan Provinsi lain seusianya –yang mendirikan Indonesia, 1945- bahkan nyaris tidak ada mega proyek nasional yang berlangsung di sini. Kita cukup “dihibur” dengan pertambahan anggaran ini dan itu, atau dana perimbangan yang merangkak naik, juga “diimiming-imingi” dengan berbagai janji A dan B.

Jika ada mega proyek yang berlangsung, paling tidak itu berlangsung di kantong transmigrasi. Oleh sebab itu, mega proyek di Maluku adalah penanaman padi, atau panen raya padi. Tidak pernah ada “panen raya sagu” atau “budidaya sagu” sebagai program nasional. Sagu, kasbi, kaladi, kumbili, dan produk lokal/khas Maluku seperti itu malah disebut sebagai “makanan pengganti beras”, dan kita dengan latah mengiyakannya. Lalu, siapakah yang mengerjakan “sawah” untuk beras? Tidak ada orang Maluku. Alasannya sederhana, “kita tidak terbiasa dengan kultur kerja di sawah yang telaten”. Lalu berlangsunglah tuduhan “orang Maluku malas”, atau “kita dimanjakan oleh alam”. Ini suatu stigmatisasi sosial.

Dikatakan demikian karena, jika sagu tidak bisa masuk dalam program pangan nasional, ikan sebagai komoditi handal nasional pun tidak pernah memberi dampak keuntungan dan kesejahteraan bagi Maluku. Sampai saat ini malah kita terkesan sebagai orang yang “merengek-rengek” untuk menaikkan Dana Alokasi Umum dari Pemerintah Pusat dengan memasukkan indikator laut dalam bentangan geografis Maluku. Padahal, tanpa pengakuan tersebut, jika potensi perikanan dikelola secara otonom dan transparan, pasti kita sudah ketiban untung dari zaman dahulu kala.

Yah, semuanya sudah terjadi. Apa penyebabnya? Terlalu lama kita terbuai dengan terminologi “daerah luar Jawa”. Maluku tidak hanya dipandang sebagai Provinsi di Kawasan Indonesia Timur, sebaliknya “Daerah Luar Jawa”.

Ini suatu stigmatisasi sosial yang dengan latah kita ikuti terus, malah kita mengafirmasi (mengakui) hal itu, dan malah menggunakannya dalam berbagai dokumen Provinsi. Kita telah setuju dengan stigmatisasi yang kebablasan ini.

Penyebutan “daerah luar Jawa” dalam desain pembangunan nasional telah menempatkan Jawa pada titik pusat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Anda mungkin akan membantah klaim ini, dengan mengajukan konsepsi “otonomi daerah”. Tetapi jangan lupa, sampai kini semua proses perkembangan di daerah masih menggunakan mekanisme “lobi pusat”. Termasuk persetujuan Parpol terhadap calon Kepala Daerah, kan.
Kita menjadi sasaran transmigrasi. Mengapa? Sebab penduduk yang banyak di Jawa itu menambah beban masalah sosial bagi pemerintah di sana. Ini bukan hanya masalah kesejahteraan, tetapi rentang kendali pengawasan sosial pemerintah yang harus ditata untuk menurunkan angka kerawanan sosial di Jawa.

Stigmatisasi sosial itu pula yang membuat kita merasa bahwa perjuangan kemanusiaan di daerah harus sinkron dengan perjuangan yang sama di Jawa. Selalu begitu.

Kita berharap agar Pilkada Maluku 2008 ini menghasilkan suatu sinergitas sosial baru, dengan menghidupkan dinamika pembangunan di Maluku secara “otonom”. Selamat berjuang.

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara