‘Saya’: Kesantunan dalam Rajutan Etik Orang Maluku Utara




Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


SEBUAH KESAN AWAL
Dalam tata Bahasa Indonesia, personal pronoun, lazimnya yaitu:
-         ‘aku’ atau ‘saya’ = kata ganti nama orang pertama tunggal
-         ‘anda’, ‘kamu’ = kata ganti orang kedua tunggal
-         ‘kita’, ‘kami’,  ‘mereka’ = kata ganti orang ketiga jamak

Namun, jika anda ke Maluku Utara [dan/atau Sulawesi Utara], anda akan menjumpai penggunaan pronoun yang sedikit berbeda dari kelaziman tata bahasa tadi. Orang pertama  tunggal dalam cara membahasa orang-orang di Maluku Utara ialah ‘kita’. Kata ganti ini dikenakan kepada subyek orang pertama tunggal, pada situasi membahasa yang menunjuk pada diri sendiri. Tetapi pada situasi membahasa yang menunjuk kepada orang ketiga jamak pun digunakan ‘kita’. Jadi perbedaannya terletak pada situasi membahasa mereka.
Sebagai sebuah fenomena [the phenomena of speech] sudah tentu perlu ada penelusuran khusus terhadapnya. Saya tidak memiliki kompetensi ke arah itu. Sebab ini memerlukan sebuah riset dan apalagi saya bukanlah seorang yang secara khusus belajar linguistik/sosio-linguistik. Saya pun bukan orang Maluku Utara, atau setidaknya tinggal di Maluku Utara dalam jangka waktu yang panjang, menjadi bagian dalam komunitas membahasa itu [language user].
Sehingga bahasan ini bukanlah sebuah bahasan dari sudut pandang sosio-linguistik, walau saya harus mengaku, itu tidak bisa dihindari. Juga bukan bahasan dengan mengangkat perspektif emic yang mendalam, karena saya terbatas secara waktui dan juga dalam pengalaman membahasa dengan orang-orang Maluku Utara.
Untuk tidak kalalerang  [kesasar, tak tahu jalan] di dalam pusaran keilmuan dan sosial yang [harusnya] disyaratkan itu, saya memilih rumpunan ilmu-ilmu sosial, untuk mengkaji bagaimana membahasa itu terbentuk dari relasi interpersonal atau antarpersonal. Bagaimana membahasa sebagai sebuah media semantik yang telah berhasil mengungkapkan kedirian orang-orang Maluku Utara, dan bagaimana membahasa itu membentuk level etik [perilaku] di dalam hubungan inter dan antarpersonal tadi.
Tulisan ini disusun dari pengalaman saya berelasi langsung [dalam waktu yang sangat terbatas] dengan orang-orang Maluku Utara, saat saya, dalam tugas selaku Pendeta GPM berkunjung ke Ternate dan Bacan pada tahun 2010, untuk evaluasi pelaksanaan Pola Induk Pelayanan dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan [PIP/RIPP] GPM 2005-2015. Ditambah dengan pengalaman saya datang ke Ternate [2012], Labuha [Bacan, 2013], Wayaloar [Obi, 2013], Falabisahaya [Sula, 2013], Ternate lagi [2014] dan Mayau [Batang Dua, 2014] dalam tugas selaku Ketua Umum PB AMGPM.
Dalam waktui terbatas itu, saya justeru menemui fenomena membahasa yang menggelisahkan, sedikit menampilkan kesenjangan, yakni penggunaan kata ‘saya’, yang tidak menunjuk pada aku sebagai orang pertama tunggal, melainkan menjadi semacam ‘afirmasi diri’ [pengakuan diri], yang cenderung bermakna etis.
Ungkapan ‘saya’ digunakan oleh seseorang pada saat kepadanya ditanyakan atau dinyatakan sesuatu. Ungkapan itu digunakan seperti pengakuan bahwa, itu benar, itu saya, atau mengiyakan semua yang benar dan ditujukan kepada person tertentu. Menurut beberapa orang, ungkapan ‘saya’ juga sering berarti ‘iya, benar’.
Jadi, pada saat ‘kita’ digunakan sebagai penunjuk orang pertama tunggal [aku, saya], maka ‘saya’ digunakan sebagai afirmasi diri, atau afirmasi kebenaran yang melekat dalam diri dan tindakan ‘kita’ [baca. saya].
Dalam matra membahasa, penggunaan ungkapan ‘saya’ pada arti seperti dipahami orang Maluku Utara merupakan suatu model kesantunan yang melukiskan bahwa integritas diri mereka ditenun melalui pijar-pijar makna kebenaran. Kebenaran itu melekat atau merupakan fakta inhern dalam identitas orang Maluku Utara. Sehingga menolak kebenaran dalam diri, sama dengan menghancurkan integritas diri. Menyangkali kebenaran dalam relasi inter dan antarpersonal sama dengan menghancurkan tatanan kebenaran umum dalam masyarakat.

DIALOG SAYA DAN ‘SAYA’: Memintal Makna Diri
Minggu subuh [11 Mei 2014, jam 05.29 WIT – sesuai penunjuk waktu pada HP saya], kami tiba di Pelabuhan Penyeberangan Mayau, Batang Dua, Maluku Utara, untuk pelaksanaan MPPD ke-3 AMGPM Daerah Ternate. Setelah disuguhi segelas kopi susu dan katupa [ketupat] santang serta ikan goreng dan sambal, kami akan melakukan perjalanan ke Jemaat GPM Efata Mayau.
Sebuah mobil Kijang sudah menunggu di depan pintu pelabuhan. Di situ terjadi dialog yang menarik antara Ketua Klasis GPM Ternata, Pdt. Odie Ririmasse dan Lurah Perum, Mayau.
Kekla     : wah, jadi pak Lurah yang jemput e
Lurah    : saya [sambil sedikit menundukkan kepala]
Kekla     : jadi bapa lurah punya Kijang nih tetap mantap saja e
Lurah    : saya [tetap sambil sedikit menundukkan kepala, bahkan badan bagian punggung ke kepala]
                 [Kami kemudian naik ke mobil yang kemudian melaju ke Jemaat GPM Efata Mayau. Dalam perjalanan terjadi pula dialog, dan saya sengaja berdiam untuk mengamati pola membahasa Pak Lurah]
Kekla     : Pak Lurah…
Lurah    : saya [tetap sambil sedikit menundukkan kepala, bahkan badan bagian punggung ke kepala, padahal beliau sedang mengendarai mobil]
Kekla     : tadi waktu di Ternate saya kira bapa tidak ke Mayau [sebelum menyeberang dengan KMP Feri, kami sempat bertemu Pak Lurah di Pelabuhan Bastiong, Ternate]
Lurah    : ‘kita’ memang sudah mau datang sudah, bapa

Sewaktu kami masih di Pastori Klasis GPM Ternate pun, dalam beberapa kali menerima panggilan telepon, Ketua Klasis masih fasih menggunakan istilah ‘saya’ untuk menunjuk ke dirinya sebagai orang pertama tunggal. Ini dimaklumi sebab beliau baru dimutasikan dari Klasis Buru Selatan ke Ternate. Berbeda dengan teman saya, Pdt. Rudy Rahabeat, yang sudah sejak 2011 bertugas sebagai Ketua Majelis Jemaat GPM Ternate. Beliau fasih melafalkan ‘kita’ untuk menyebut dirinya dalam komunikasi dengan anggota jemaat. Serta juga fasih melafalkan ‘saya’ sebagai afirmasi dirinya, seperti halnya orang-orang Maluku Utara pada umumnya.
Dialog tadi dan gambaran yang saya dapati dari pola membahasa orang-orang Maluku Utara hendak menegaskan bahwa, mereka telah menerima kenyataan membahasa di mana ‘kita’ adalah sebutan bagi orang pertama tunggal, menunjuk kepada aku. Sebaliknya ‘saya’ merupakan bentuk afirmasi diri yang menunjuk pada sebuah esensi kebenaran diri. Sehingga jika orang dari luar komunitas Maluku Utara membahasa dengan menyebut ‘saya’ untuk menunjuk dirinya atau ‘kita’ untuk menunjuk orang ketiga tunggal, itu terpahami secara baik. Penggunaan istilah bisa berbeda dalam satu persitiwa komunikasi/dialog, tetapi pintalan maknanya sama-sama dipahami tanpa ada rasa perbedaan dalam komunikasi itu.
Pesannya ialah, membahasa masyarakat, seturut kosa kata yang digunakan menggambarkan keberadaan diri dan komunitas sebagai entitas kultur. Di dalamnya terpintal pula rajutan etika yang tergambar dalam tutur kata dan juga gesture [gerak tubuh, mimik, intonasi bicara] pada saat berbicara. Gesture merupakan faka para-linguistik yang selalu mampu melukiskan sikap etis seseorang atau sekelompok orang. Pada suatu komunitas, gerak anggukan kepala mungkin bermakna setuju, tetapi pada komunitas membahasa lain, itu merupakan model para-linguistik yang berarti membantah atau tidak setuju. Tentu masih banyak gesture lain yang bisa dibahas di sini.
Rajutan etik itu dinampakkan salah satunya melalui sikap sedikit menundukkan kepala atau badan dari punggung ke kepala, pada saat menyebut/menggunakan kata ‘saya’ sebagai afirmasi diri dan kebenaran diri. Sikap Lurah yang melakukan hal itu walaupun sedang mengendarai mobil sekalipun, menggambarkan bahwa afirmasi diri dan kebenaran diri itu telah menyusun level identitas atau gaya hidup mereka. Gesture Lurah sebelum dan pada saat mengendarai mobil bukan sekedar sebuah petanda, tetapi sebuah pintalan pesan etik yang kuat. Jadi penggunaan sebutan ‘saya’ disertai gesture serupa itu menegaskan sikap menghargai orang lain, dan afirmasi kebenaran diri.

ASPEK LAIN DARI KEMATIAN BAHASA
Fenomena membahasa orang-orang Maluku Utara seperti itu haruskah mendapat kritik dari sudut pandang Tata Bahasa Indonesia? Apakah penggunaan ‘kita’ dan ‘saya’ seperti pintalan makna orang-orang Maluku Utara merupakan bentuk kesesatan membahasa, karena keluar dari rule Tata Bahasa Indonesia? Saya tidak menelusuri secara mendalam bahasa etnik di Maluku Utara. Namun saya menemukan bahwa orang Maluku Utara umumnya pula menggunakan Proto Melayu sebagai lingua franca sampai saat ini. Mereka telah hidup melintasi zaman dan abad dengan gaya membahasanya.
Dalam teori, David Crystal [2000:1-13] berkata, fenomena kematian bahasa [language death] terjadi ketika tidak ada lagi orang yang menggunakan bahasa itu secara umum/massal. Menurutnya native speaker merupakan komunitas yang membahasa sesuai dengan bahasanya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kematian bahasa sekaligus berdampak pada kematian komunitas. Menurut Crystal, hal ini sudah sering diilustrasikan ibarat obituary-obituary kematian seseorang atau suatu komunitas. Pada saat anda menjadi orang terakhir yang membahasa menurut bahasa masyarakat [native language] maka anda telah mati, seperti bahasa itu pun telah mati.
Yang saya hendak katakan di sini ialah, menganggap penggunaan ‘kita’ dan ‘saya’ sebagai bentuk kesesatan dalam Tata Bahasa Indonesia, atau suatu pola membahasa yang salah, itu sama dengan kita membunuh orang-orang Maluku Utara. Pola membahasa mereka bukanlah sebuah bentuk penyimpangan perilaku membahasa dan bukan pula penyimpangan perilaku etis masyarakat.
Pola membahasa itu pula yang disebut Crystal [2000:5] sebagai variasi dialeg. Tetapi variasi dialeg sering dijumpai pada intonasi [tinggi, rendah, mendayu-dayu] atau perubahan fomenik [tanda vokal atau huruf vokal], seperti ‘gunung’ dan ‘gunong’, atau ‘pergi’, ‘pigi’ dan pi’, perut menjadi poro [Maluku Tengah] atau puru [Maluku Utara].
Penggunaan ‘kita’ dan ‘saya’ bukanlah sebuah variasi dialeg dalam arti itu, tetapi perbedaan pola bertutur yang cukup tajam dengan komunitas membahasa lain seperti orang-orang di Maluku, Jawa, dsb. Orang Maluku dan Maluku Utara sama-sama menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa sesehari, tetapi di antara dua sub suku ini sendiri terdapat perbedaan pola bertutur yang signifikan. Ada level etika yang menunjuk pada konsep diri yang kuat, dari gambaran pola membahasa orang Maluku Utara.

‘SAYA’ DALAM RAJUTAN ETIS: Language-Games yang bermakna
Berbicara tentang bahasa, kita tentu akan ingat pada Ludwig Wittgenstein [1889-1951] dengan teorinya language-games. Teori ini sering dipahami dan kerap disebut ketika seseorang secara sengaja menggunakan kosa kata tertentu atau istilah baru untuk menyebut suatu hal secara lain dari kebiasaan umum.
Padahal teorinya Wittgenstein tentang language-games tidak bermuara ke sana. Saya membaca buku Grayling  yang berjudul ‘Wittgenstein’ [mengingat buku tulisan asli Wittgenstein tidak saya miliki]. Dari bacaan itu, apa yang dipahami Wittgenstein dengan language-games bermuara pada apa yang disebutnya ‘forms of life’ [terj. badan kehidupan][1988:83-85].
Dalam penjelasan Grayling, teori Wittgenstein perlu dipahami dalam apa yang ia sebut bahwa, pengertian [understanding] merupakan kondisional [syarat pokok] untuk memahami sebuah ekspresi membahasa. Makna dari sebuah ungkapan, menurut Wittgenstein, adalah apa yang kita dapat pahami ketika kita memahami pengungkapannya. Dengan demikian pengertian itu dibentuk oleh bagaimana kita mengetahui suatu pengungkapan, dan bahkan dalam rupa-rupa language-games yang ada. Orang harus mampu memahami aturan kebahasaan dan pola membahasa masyarakat. Sebab orang mengungkapkan suatu istilah untuk menunjuk pada suatu maksud tertentu telah sesuai dengan apa yang disebut Wittgenstein ‘customs and agreements of a community’. 
Ada aturan yang menjadi standard kebenaran [mis. Tata Bahasa baku], tetapi masyarakat menggunakan ekspresi bahasanya menurut persepakatan [agreements] mereka yang tentu diyakini dapat membangun, mematangkan dimensi-dimensi praktis dalam komunitas itu. Dengan kata lain, menurut Wittgenstein, ada korelasi yang kuat antara unsur makna, pengungkapan, pemahaman, kegunaan suatu istilah, aturan dan dasar persepakatan komunitas atau masyarakat pengguna bahasa [language user].
Masih menurut Wittgenstein, seperti ditulis Grayling, untuk memahami satu kalimat baku [given sentence] berarti kita harus mengikuti aturan [rule] yang menjadi pedoman membahasa sebuah komunitas. Sebab language-games itu diproduksi oleh masyarakat pengguna bahasa, dan bahwa serentak dengan itu mereka memproduksi kebenaran [truth] yang disetujui atau diyakini oleh komunitas membahasa itu. Dalam kacamata etik, Wittgenstein mengajukan pertanyaan retoris, ‘jadi apakah anda berkata bahwa kesepakatan yang dibuat komunitas itu guna mengatur apa yang benar dan salah? Apakah karena hal benar dan salah itu maka mereka menggunakan bahasa mereka itu?
Ternyata Wittgenstein tidak menyederhanakan teorinya itu pada aspek ‘benar’ dan ‘salah’ sebagai sebuah konsep pokok. Apa yang dimaknainya dengan language-games tidak sebatas pada aturan-aturan Tata Bahasa, yang karena itu dapat pula dinilai pada sisi ‘benar’ dan ‘salah’. Ia menuangkan gagasannya itu untuk mengatakan bahwa, pada pola membahasa suatu masyarakat terbangun badan kehidupan [form of life] dari masyarakat atau komunitas membahasa [language users].
Badan kehidupan yang dimaksudkannya ialah konsensus-konsensus linguistik dan non-linguitik, perilaku, asumsi atau pendapat [saya kira yang kini berkembang pula dalam teori local genus dan indigenous knowledge], pola hidup/praktek, tradisi, dan sifat-sifat natural atau etika lokal yang digunakan, dibagikan secara mutual dan digunakan secara timbal balik oleh masyarakat sesuai dengan bahasa atau istilah yang mereka gunakan.
Artinya, badan kehidupan yang tampak dalam language-games itu merupakan pengungkapan karakter dan aktifitas komunitas. Hanya dengan memahami badan kehidupan komunitas pengguna bahasa itu, kita dapat memahami makna hakiki dari pola membahasa mereka. Sebab itu jika kita menerima bahwa membahasa adalah suatu fakta given, tidak berarti bahwa pintalan etika dan jati diri komunitas itu terbentuk begitu saja, melainkan diuji dan dihayati secara terus-menerus melalui seluruh aspek hidup atau badan kehidupan tadi.
Saya menggunakan teori ini untuk menjawab mengapa orang Maluku Utara menggunakan ‘kita’ dan ‘saya’ seturut arti yang telah mereka pahami dan yakini tersebut. Persepakatan [agreements] di antara mereka menunjukkan bahwa pola membahasa itu sudah melukiskan diri mereka yang sesungguhnya.
Jika oleh tafsir sosial penggunaan ‘kita’ untuk menunjuk orang pertama tunggal sebagai bukti bahwa orang Maluku Utara menerima orang lain [jamak, pluralisme] sebagai bagian dari fakta dirinya, saya pun tidak bisa menolak asumsi itu. Yang penting diingatkan saja bahwa, jika itu oleh karena agreements komunitas membahasa, dalam hal ini orang Maluku Utara, maka tentu harus disertai dengan upaya membangun rule, keyakinan dan struktur perilaku yang inklusif.
Demikian pun jika oleh tafsir sosial pula, penggunaan ‘saya’ menunjukkan bahwa orang Maluku Utara menjadikan kebenaran itu bagian dari dirinya [kebenaran diri] dan menuntut semua orang yang hidup di Maluku Utara atau berelasi dengan mereka menjadikan kebenaran sebagai bagian inheren dari diri dan relasi sosial, oleh agreements tadi, itu pun perlu membangun struktur dan cara pandang etik yang inklusif. Di situlah kita bisa menemukan makna kebenaran bersama [common right] yang harus digunakan sebagai ‘master’ [pedoman] hidup bersama.
Kita tidak bisa menyanggah pola membahasa orang Maluku Utara itu sebagai sebuah language-games dalam arti yang lain dari pemahaman Wittgenstein itu. Saya yakin, apa yang disebut Wittgenstein itu sudah dijalani orang Maluku Utara sejak dahulu kala. Teori itu tentu dibangun dari sebuah fakta sosial. Etika sosial orang Maluku Utara selama ini telah terbangun dengan melihat pada kebenaran diri yang inheren. Ini lebih tinggi dari apa yang disebut Wittgenstein dengan ‘badan kehidupan’. Kebenaran diri adalah lapis dasar etik sosial Maluku Utara dan dari situlah seluruh perilaku mereka dibangun. Cara membahasa Pak Lurah dalam dialog tadi, tidak sebatas sebuah proses ekspresi, tetapi keyakinan akan kebenaran diri. [*]

Buku Bacaan:
Crystal, David., 2000. Language Death, UK: Cambridge University Press
Grayling, A.C., 1988. Wittgenstein, Oxford – New York: Oxford University Press


Pastori Jemaat GPM Efata Mayau, Batang Dua
11 Mei 2014 – Jam 14.00-16.27

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara