MENA MOLE



Pesan Kehidupan Orang Babar
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


Kecurigaan Ilmu dan Praksis
Dalam tradisi keilmuan, prejudice  merupakan salah satu tahapan dalam logika praktis yang pada gilirannya melahirkan berbagai asumsi. Dari sisi metodologi, asumsi-asumsi itu melahirkan sebuah defenisi yang kemudian dilanjutkan melalui riset keilmuan.
Saya memulai tulisan ini dengan mengatakan hal itu berangkat dari sebuah kecurigaan secara kultural dan semantik ketika saya membaca sebuah tulisan pada salah satu gapura di Jemaat GPM Analutur, Klasis Pulau-pulau Babar.
Tulisan itu ialah ‘mena mole’. Mengapa saya curiga? Kata ‘mena’ atau frasa ‘mena mole’ sedikit ‘mengganggu’ sensetifitas saya sebagai orang Maluku, salah satu komunitas ‘korban stigmatisasi’. Ungkapan itu mengingatkan saya pada ‘mena muria’ –sebuah falsafah kebudayaan yang ‘ditabukan’ oleh Pemerintah Republik Indonesia karena diyakini menjadi ‘slogan kebangsaan’ Republik Maluku Selatan [RMS]. Padahal slogan budaya ‘mena muria’ itu berarti ‘muka [dan] blakang, siap!’, menunjuk pada sebuah kondisi yang aman, damai, kondusif. Secara operasional berarti ‘siap untuk melakukan suatu tindakan/kerja’. Dari segi security approaach ungkapan itu berarti bahwa segala ancaman, tantangan dan gangguan sudah teratasi atau bisa diatasi sehingga suatu misi dijamin berhasil.
Dalam konteks ‘pentabuan’ tadi, saya ‘tacigi’ [baca. dikagetkan] dan menganggap teman saya [Pdt. Ny. Yos Sinay] dan jemaatnya ‘berani’ menulis ungkapan yang mirip dengan ‘ungkapan tabu’ tadi. Walau secara historis, kawasan Pulau Babar sama sekali tidak terpengaruh dengan pergerakan RMS di tahun 1950. Yah, begitulah. Saya datang dari Maluku Tengah, di mana masyarakat ‘dijajah’ dengan stigma RMS. Jadi kecurigaan itu cukup beralasan.
Alasan terakhir ialah, tulisan itu ada pada sebuah gapura yang sudah lasim dibangun pada batas masuk dan keluar sebuah negeri atau jemaat di Maluku –bahkan semua daerah di Indonesia. Tulisan itu ada pada gapura yang membatasi Analutur dengan Ahanari. Pada sisi bangunan gapura menuju Analutur atau dari arah Ahanari tertulis ‘selamat datang’. Sedangkan pada bagian belakangnya, atau dari Analutur menuju Ahanari tertulis ‘mena mole’. Dan biasanya di Maluku Tengah tertulis ‘Amatooo’. Karena itu saya menjadi curiga, apakah ungkapan itu juga berarti ‘selamat jalan’ seperti istilah ‘Amato’ dalam terminologi bahasa Wemale/Alune itu?
Dua situasi personal itu dan kesan etimologis tadi sengaja dihadapkan di sini untuk mengatakan bahwa saya menaruh curiga dengan makna ungkapan filsafatis milik orang-orang Babar ini.

Gapura dan Ekspektasi Sosial Masyarakat
Betapa kayanya negeri ini dengan berbagai warisan kulturalnya. Bahasa sebagai warisan kultural dan wujud peradaban manusia memiliki kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan tertentu antara satu sub suku dengan lainnya. Ungkapan atau slogan merupakan bentuk afirmasi masyarakat tentang pentingnya kehidupan. Pesan kehidupan yang universal dan menjangkau siapa pun tanpa membedakan latar belakang sosialnya.
Gapura sebagai sebuah produk material kebudayaan jelas tidak menggantikan peran manusia. Maksudnya tulisan ‘Selamat Datang’ pada gapura tidak menggantikan peran masyarakat menyambut seseorang [tamu] atau sekelompok orang [rombongan tamu] yang datang ke negeri/jemaat itu, sebab biasanya ada acara penyambutan secara khusus. Di dalam penyambutan khusus itu, tamu diterima melalui sebuah ritus budaya seperti ‘makan sirih-pinang, minum sopi’, pengalungan ‘kain tenun’, kamudian diikuti kelompok tarian atau paduan suara dari perempuan-perempuan atau anak-anak. Gapura dan slogan yang tertulis padanya merupakan bentuk ekspektasi masyarakat lokal terhadap orang yang datang ke negeri/jemaat mereka.
Sedangkan tulisan pada bagian sisi bagian dalam sebuah gapura merupakan bentuk doa dan harapan masyarakat setempat terhadap perjalanan orang atau tamu yang sudah selesai melakukan suatu kegiatan dan akan kembali ke tempat asal mereka masing-masing. Ini sebenarnya menunjukkan bahwa masyarakat telah merasa tamu itu bagian dari mereka. Hal itu tampak melalui ritus penyambutan. Karena itu perpisahan adalah suatu hal yang sebenarnya ‘berat’ tetapi harus terjadi.
Di sisi lainnya, orang atau tamu yang meninggalkan suatu negeri/jemaat akan kembali ke negeri atau jemaat asalnya dengan membawa sejumlah kenangan tetapi juga janji. Aspek-aspek ini yang menjadi kandungan makna dari proses-proses penerimaan satu komunitas terhadap orang atau kelompok tertentu.

Mena Mole, ‘bajalang kamuka bae-bae’
Tentang kecurigaan tadi! Dalam bahasa orang-orang Babar Timur, mena mole terdiri dari dua suku kata yakni: mena = bajalang kamuka [berjalan ke depan] dan mole = bae-bae [baik-baik, bagus, indah]. Jadi mena mole sebagai sebuah ungkapan filsafatik berarti bajalang kamuka bae-bae [=hati-hati melangkah/berjalan ke depan].
Ungkapan itu bernada doa dan harapan agar tamu yang sudah berbagi beberapa lamanya dengan masyarakat setempat selamat tiba di tempat tujuannya, dan tidak mengalami gangguan apa pun selama dalam perjalanan kembali ke tempat asalnya. Di sinilah terletak tingginya ekspektasi masyarakat terhadap orang lain yang sudah diterima melalui ritus penyambutan tadi.
Dengan demikian, orang Babar akan selalu merasa dirinya dan orang lain sebagai entitas ‘orang-orang basudara’ atau manusia sosial yang tidak terpisahkan. Tingkat kepercayaan orang Babar kepada orang lain begitu tinggi sebab mereka merasakan bahwa tiap pertemuan dengan siapa pun terjalin di situ semangat dan komitmen hidup bersama. Kesatuan di antara masyarakat menjadi bentuk keterikatan sosial.
Mereka membingkai secara rapih ikatan-ikatan kekerabatan atau ikatan kultural itu sambil menghormati norma-norma hidup bersama yang sudah disepakati dan dipraktekkan. Itulah sebabnya, ketegangan sosial di antara komunitas selalu dapat dikelola melalui pranata budaya [misalnya melalui musyawarah di Rumah Tua]  atau peran orang tua dan para pemuka di dalam masyarakat. ‘Dudu adat’ merupakan suatu pranta yang bertujuan menyelesaikan ketegangan sosial.
Sebab itu slogan mena mole mengarah pada pentingnya kehidupan yang aman, damai, selamat, lepas dari gangguan apa pun. Karena itu ada korelasi yang kuat dengan ungkapan-ungkapan seperti kalwedo dan lemyal yang bermakna sama yakni ‘salam damai’.[16 April 2012]


Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara