MTQ DALAM PERSPEKTIF SIWALIMA

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella 

DIALEKTIKA DAN DIALOGIS SEBAGAI FRAME BUDAYA

Saya mengutip sebuah cerita yang menurut saya ada dalam tradisi Islam dan Kristen (juga Yahudi), yakni cerita Menara Babel, sebagai sebuah "desain penyeragaman" yang ternyata dikritik oleh Tuhan, sebab dinilai Telah mengebiri hakekat ciptaan Tuhan yang beragam. Dalam versi cerita itu, betapa manusia, melalui kemampuan akali dan invensinya bermaksud membuat sebuah menara, sekligus benteng untuk tetap melestarikan "keseragaman" hidup mereka. Tindakan Tuhan menghancurkan menara Babel memperlihatkan bahwa usaha manusia/masyarakat untuk menyangkali hakekat kemakhlukannya yang majemuk itu tidak bersesuaian dengan "order of creation" dari Tuhan. Menariknya ialah, Tuhan, oleh cerita itu, mengacaukan bahasa di antara manusis, sehingga mereka hidup, tetapi tidak saling memahami satu sama lainnya. Tindakan Tuhan itu bertujuan untuk melestarikan kemajemukan yang telah diciptakan-Nya itu. Sebab itu peristiwa Menara Babel secara sosiologis semakin mengokohkan kemajemukan yang multi aspek. Salah satu aspek kemajemukan itu ialah agama. Menariknya ialah, penulis Kitab Suci mendefenisikan kemajemukan itu melalui perbedaan bahasa di antara masyarakat. Artinya kemajemukan itu adalah sesuatu yang dialektis, dibentuk di dalam ruang hidup; di mana manusia adalah entitas sosial yang ternyata memiliki hubungan interdependensi dengan individu lain dan lingkungan sekitar. Dibentuk di dalam ruang perjumpaan (social encounter); di mana manusia hidup dengan komunitas yang saling berbeda, tetapi mereka berkomunikasi mengenai hal-hal yang urgent dari kehidupannya. Dibentuk melalui komunikasi dengan bahasa menjadi media utamanya. Dalam konteks itu, dialektika sosial menjadi fakta yang tidak bisa digeserkan melalui rekayasa dan proses sosial apa pun, termasuk oleh konflik dan peperangan sekali pun. Dialektika kehidupan memang selalu mengambil bentuk di dalam perjumpaan antarmanusia, antarkelompok dan antarmasyarakat, malahan antarteritori; jadi sphere-nya semakin hari semakin meluas. Di dalam sphere yang terus meluas itu, proses silang budaya dan translasi bahasa menjadi semakin penting. Dalam ranah sosial, hal itu sangat ditentukan oleh sejauhmana seseorang dapat mengerti pola-pola membahasa komunitas lain (worldview), supaya tidak terjadi kesenjangan bahasa dan peradaban sosial.  

DIALEKTIKA DAN DIALOGIS SEBAGAI FRAME BERBANGSA

Pada bagian ini saya hendak mengutip Sila Pertama Pancasila sebagai pijakan untuk melihat bagaimana dialektika beragama terbangun di Indonesia. Jelas bunyi Sila itu ialah "Ketuhanan Yang Maha Esa". Di mana dialektika itu? Profesor John Titaley, di UKSW, Salatiga, dalam Disertasinya menyebut, Indonesia sebagai negara demokratis, dengan komposisi masyarakat yang berbeda-beda, termasuk oleh agama, sama-sama menerima Pancasila sebagai ideologi, atau common ground, dengan tetap menjadi negara demokratis, walau Pancasila itu mengandung nilai Ketuhanan. Di situlah letaknya dialektika beragama di Indonesia; sebab semua umat beragama berusaha meresapi ajaran-ajaran agama yang diyakini dan dianutnya, sambil tetap mengakui nilai-nilai Pancasila sebagai nilai hidup bersama sebagai warga negara dan warga bangsa. Profesor Titaley dalam salah satu makalahnya yang lain menyebut bahwa Pancasila dan Indonesia Merdeka sebagai dua fenomena baru memiliki keutamaan yang sangat unik. Menurutnya, setiap agama dapat menganggap dirinya sebagai anak-mas dari bangsa baru ini. Tetapi Pancasila mengisyaratkan bahwa setap suku dan agama itu kini mesti menjadikan dirinya bukan anak-mas, melainkan anak-masyarakatnya, anak-bangsanya. Di situlah keunikan Indonesia, sebab menerima Pancasila sebagai ideologi berarti kita menerima fungsi integrasi dari Pancasila itu.

 SIWALIMA SEBAGAI WAWASAN BUDAYA AGAMA 

  Bagaimana hubungan antara kedua aspek tadi dengan Siwalima sebagai falsafah budaya lokal masyarakat Maluku? Dan bagaimana hubungannya dengan MTQ sebagai sebuah event beragama yang akan berlangsung di Ambon, Provinsi Maluku (6-17 Juni 2012)? Siwalima merupakan sebuah falsafah yang lahir dari pengelolaan kearifan lokal masyarakat di Maluku untuk membangun integrasi menuju pada kohesi. Nilai atau keyakinan dasar yang membuat Siwalima itu menjadi sebuah falsafah kehidupan adalah hubungan keleluhuran (ancestor-relationship) dan ikatan-ikatan genealogis di antara masyarakat yang multikulturalis ini. Karena itu falsafah Siwalima, yang mengintegrasikan kelompok Pata Lima dan Pata Siwa, sesungguhnya menjadi moment reunifikasi "orang-orang basudara" atau "saudara sekandung" yang tinggal pada negeri-negeri yang terpisah. Malahan negeri-negeri itu merupakan suatu satuan sosio-genealogis. Karena itu Siwalima sebenarnya adalaha paham yang berakar secara langsung di dalam struktur pandangan dunia dan keyakinan masyarakat Maluku; bukan falsafah serapan dari suatu unsur nilai dari luar. Menariknya ialah dalam paham Siwalima itu, perbedaan agama dari negeri-negeri atau masyarakat yang berbeda tidak dijadikan sebagai faktor pembeda, melainkan tanda-tanda dan simbol budaya, serta bahasa. Karena itu, ikatan "orang basudara" di dalam Siwalima itu tidak melihat perbedaan agama sebagai masalah. Ini merupakan bukti dari telah bertumbuhnya kesadaran dan kematangan kultural masyarakat Maluku. Karena itu, bagi orang Maluku, Salam-Sarane (Islam-Kristen) adalah kekayaan bersama sebagai "orang Maluku". Karena itu falsafah Siwalima yang bersifat integrasi itu terwujud salah satunya melalui ikatan pela, gandong, larvul ngabal, kakawai, ain ni ain, sebagai pranata-pranata persaudaraan di Maluku. Itulah sebabnya ketika dalam relasi pela, gandong, masyarakat Salam mengerjakan gedung gereja negri gandongnya, dan sebaliknya masyarakat Sarane mengerjakan mesjid, mereka tidak sekedar sedang ber-masohi, tetapi sedang membangun "simbol-simbol" kebersamaan mereka. Mereka membangunnya justru karena sadar akan adanya perbedaan, tetapi membangunnya bukan untuk "penyeragaman". Sebab itu bangunan-bangunan itu memiliki tujuan dan fungsi yang berbeda dari Menara Babel. Motivasi masyarakat yang membangaaunnya pun berbeda dari motivasi orang yang membangun menara Babel. Maka cerita-cerita lokal kita itu memiliki nilai yang tinggi dalam refleksi beragama yang baru di Indonesia dan dunia. Bagaimana dengan MTQ? Dalam falsafah Siwalima itu, MTQ dipahami sebagai "milik masyarakat Maluku". Karena itu MTQ bukanlah sebuah event semata, mekainkan sebuah "akta kehidupan". Dalam arti yang baru itu, MTQ menjadi milik semua masyarakat, sebab MTQ merupakan bagian dari jati diri ber-Maluku. MTQ menambah energi baru dalam berpikir sebagai Maluku, bertindak sebagai Maluku, percaya sebagai Maluku, dan bersaudara sebagai Maluku. Citra-citra kehidupan yang baru ini yang menurut saya membuat masyarakat Maluku, termasuk kami yang Sarane, tidak saja menerima berlangsungnya event nasional ini di Maluku, melainkan kami, Salam-Sarane, "mengadakan" atau "menyelenggarakannya" untuk membingkai kehidupan beragama yang lebih transformatif di Indonesia. Selamat bermusabaqoh.

Comments

Anonymous said…
This comment has been removed by a blog administrator.
Anonymous said…
This comment has been removed by a blog administrator.

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara