TANGGA MONYET


Diskriminasi Pembangunan Kawasan Kepulauan
[Sisi Lain Berlayar ke Maluku Barat Daya]
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


‘Katong nai kapal deng kambing-kambing’ merupakan salah satu ungkapan keresahan dan protes sosial masyarakat Maluku Tenggara terhadap pelayanan pelayaran yang dinilai mereka tidak manusiawi. Kapal penumpang terpaksa digunakan pula untuk mengangkut ternak. Karena tidak ada ruang khusus untuk ternak, maka penumpang dan ternak harus berbagi tempat dalam palka atau dek-dek kapal.

Kehadiran armada kapal PELNI seperti KM Pangrango, KM Tatamailau dan sejenisnya sudah cukup membantu memperlancar akses perhubungan masyarakat Maluku Tenggara ke dan dari Ambon, namun belum menuntaskan hal-hal mendasar dari sisi pembangunan kawasan kepulauan. Pelabuhan-pelabuhan kapal belum selesai dibangun sehingga di beberapa tempat seperti Tepa dan Leti, embarkasi berlangsung di tengah lautan. Cuaca ekstrim menjadi salah satu alasannya.

Jadi embarkasi dilakukan dengan bantuan speedboat, kapal kayu, long boat milik masyarakat. Artinya masyarakat harus mengeluarkan biaya embarkasi pula. Masalahnya bukan hanya di situ. Ada masalah lain yang jauh lebih penting disimak dari realitas berlayar ke Maluku Tenggara atau Maluku Barat Daya secara khusus, yakni stigma pembangunan dan dampaknya bagi masyarakat.

1. Tangga Monyet, siapa yang bergelantungan?
Jumat, 27 Januari 2012, jam 14.00 WIT, saya bersama bersama Pdt. J. Noya, M.Th – Wakil Ketua MPH Sinode GPM, dan Pdt. Nick Taberima, S.Th – Sekretaris Departemen Keesaan Sinode GPM menumpang KM. Pangrango dari Pelabuhan Saumlaki, Maluku Tenggara Barat [MTB] menuju Leti untuk menghadiri Sidang ke-28 Klasis GPM Leti, Moa, Lakor di jemaat Tomra.


Sabtu, 28 Januari 2012, jam 10.00 WIT, KM Pangrango yang kami tumpangi tiba di Tepa. Kami menuju pintu Dek 3 untuk menyaksikan proses embarkasi dan dembarkasi. Para penumpang dan ABK sudah bersiap di dek tersebut. Terdengar suara dari bagian informasi kapal ‘ABK 38 turunkan tangga monyet’. Seorang ABK yang sedang menggenggam HT langsung menuju depan pintu dek 3 dan menurunkan tangga tali yang disebut ‘tangga monyet’.

Terminologi itu menimbulkan mengingatkan saya pada ungkapan ‘Katong nai kapal deng kambing-kambing’ tadi. Ungkapan serupa itu turut dibentuk oleh stigma yang dibuat oleh negara melalui kapal PELNI. Istilah ‘tangga monyet’ semakin melegalkan realitas berlayar saudara-saudara dari MBD bahwa mereka memang harus berbagi tempat dengan hewan, dan malah dipaksakan/distrukturkan untuk ‘bergelantungan’ pada simbol itu.
‘Tangga Monyet’ adalah sarana embarkasi sebab kapal tidak menyinggahi pelabuhan dan penumpang mesti berjuang turun dari atau naik ke kapal melaluinya. Resiko sudah menjadi bagian dari kenyataan yang tidak bisa dihindari. Mereka tampak menjalaninya sebagai hal yang lazim, sebab sudah ‘dibiasakan’ oleh sistem, yakni sistem di kapal PELNI dan juga sistem pembangunan yang belum maksimal berpihak pada masyarakat/manusia.

Semua penumpang, yakni anak balita, anak kecil, laki-laki, perempuan, pemuda sampai lansia harus berjuang turun dan/atau naik melalui ‘tangga monyet’. Hal serupa juga terjadi dan bertambah tragis penuh resiko ketika KM Pangrango tiba di lautan pulau Leti pada Sabtu, 28 Januari 2012, jam 22.00 WIT. Penumpang [kami juga] harus turun di tengah amukan ombak. Ada salah seorang penumpang yang mengingatkan kami ‘pa, pas omba naik, bapa turun’. Maksudnya ketika bergelantungan di tangga monyet, kami harus memperhatikan ketika ombak mengangkat speedboat/kapal kayu naik, saat itulah kami harus segera melompat ke atas kapal atau speedboat. Jika terlambat tentu beresiko terjatuh ke atas speedboat atau malah tercebur ke dalam laut. Siapa mau????
Fenomena lain terjadi dalam hal bongkar muat barang milik penumpang. Barang-barang harus diturunkan ke atas speedboat atau longboat dan kapal kayu dengan cara yang ekstrim yakni melemparkan barang itu kepada penumpang di atas speedboat atau longboat. Bahkan di Leti, ada yang menurunkan sepeda motor dari dalam kapal.

Luar biasa! Sebab mereka sangat cekatan melakukannya. Luar biasa sebab memang itu cara-cara yang di luar daripada kebiasaan yang wajar bagi masyarakat di kawasan kepulauan. Luar biasa sebab hal itu menjelaskan bahwa pembangunan kawasan tertinggal ini terus mengalami ketertinggalan dalam banyak aspek. Luar biasa sebab ketika pemerintah memperjuangkan status Provinsi Kepulauan, infrastruktur perhubungan kepulauan belum bertumbuh secara baik. Luar biasa sebab masyarakat dipaksa untuk terus menikmatinya. Luar biasa dan akibatnya, masyarakat terus merana di dalam lumbung sumber kekayaan alam yang tidak bisa dipasarkan secara luas.

2. Tangga Monyet, sisi buruk Pariwisata
Provinsi kepulauan Maluku menjadikan sektor perikanan dan kelautan sebagai leading sector and prime mover pembangunan daerah. Artinya peningkatan infrastruktur perikanan dan kelautan menjadi prioritas yang harus segera dibangun. Di kawasan MBD terjadi parodi pembangunan di sektor ini. Sektor andalan ini tidak kuat mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan rakyat. Akibatnya tidak heran jika sopi dijadikan komoditi ekonomi andalan keluarga-keluarga. Ironi pula bahwa dalam hamparan potensi kelautan dan perikanan yang begitu tinggi, kapal-kapal nelayan dari luar negeri atau provinsi lain seperti Bali dan Sulawesi Tenggara bebas beroperasi dengan katanya ‘ijin dari pusat’. Pos TNI Angkatan Laut yang ada di Leti membenarkan hal itu sehingga kapal-kapal itu terus beroperasi dan nelayan lokal tetap miskin.
Selain sektor perikanan dan kelautan, sektor pariwisata bahari merupakan andalan provinsi kepulauan. Kawasan pulau-pulau di MBD justru menampilkan pesona tersendiri yang indah. Konteks itu semestinya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan wisata daerah, asalkan disertai dengan pembangunan sarana-prasarana transportasi yang terintegrasi dengan pembangunan sarana lainnya seperti perhotelan dan kawasan wisata.

‘Tangga monyet’ justru menunjukkan pariwisata bahari di kawasan ini sedang mengalami problem serius, yakni ketidaksiapan daerah untuk bergerak maju. Sektor perikanan dan kelautan serta pariwisata bahari nyaris tidak ditangani secara sistematis. Ironinya justru sektor migas yang mendapat perhatian serius dari pemerintah, seperti tampak dalam eksplorasi tambang Blok Masela yang melibatkan perusahan migas internasional, Impax Jepang.

Pada Sabtu pagi itu, ada dua orang turis Eropa yang turut bergelantungan di ‘tangga monyet’. Kerry dan Katy, suami istri penerjemah dari Yayasan SIL yang sudah bekerja belasan tahun di Tepa. Itu berarti mereka pun sudah terbiasa dengan ‘tangga monyet’. Namun bukan soal mereka sudah terbiasa melainkan sejauhmana keseriusan pemerintah membenahi hal ini agar dapat merangsang perkembangan ekonomi daerah dan kesejahteraan rakyat secara sistematis.



3. Tangga Monyet dan Alat Peraga Politik: Di Manakah Wakil Rakyat??

Kawasan MBD memang sudah tidak terisolasi seperti dahulu. Laju informasi di kawasan ini pun sudah mulai berkembang baik. Ternyata laju komunikasi politik jauh lebih cepat di kawasan ini. Indikatornya ialah tingkat partisipasi rakyat dalam pemilihan umum tentu tinggi. Pilkada Maluku, Pemilihan Legislatif Daerah dan Pusat, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta Pilkada MBD berlangsung sukses. Di berbagai tempat sampai saat ini simbol-simbol kampanye dan sosialisasi diri para Calkada, Caleg, Capres masih terus terpampang.

Para pemimpin yang terpilih melalui pesta-pesta demokrasi itu mungkin ada yang belum pernah berkunjung ke desa-desa di pelosok ini. Apakah mereka pun pernah merasakan sulitnya bergelantungan di tangga monyet? Kita tidak sedang meminta jawaban pernah ataukah belum pernah. Kita justru sedang meminta jawaban apakah yang sudah mereka lakukan sebab toh masyarakat telah mempercayakan mereka untuk melakukan berbagai terobosan dan negosiasi politik dalam rangka membangun masyarakat itu pula. Soalnya pula bukan berapa banyak suara yang diberi dari satu kampung kepada si A atau si B, tetapi si A dan si B sudah menjadi pemimpin bagi seluruh masyarakat dan mereka terikat kontrak untuk mensejahterakan rakyat.

Di situlah kita sedang mempersoalkan terus good will dan political will dari pemerintah dan wakil-wakil rakyat kita. Mungkin kita bisa dengan tegas berkata bahwa ‘tangga monyet’ adalah juga alat peraga politik supaya pada saat kampanye politik, diskriminasi dan ketimpangan sosial ekonomi ini bisa menjadi materi kampanye. Seakan-akan ada yang tidak beres dengan hak-hak rakyat. Tentu regime yang sedang berkuasa akan dilabrak, wakil rakyat yang sedang duduk di kursi empuk akan dihujat atau mereka saling menghujat satu sama lain. Alhasil, masyarakat terus ‘bergelantungan’ di ‘tangga monyet’. Dan sudah bisa diduga, ‘tangga monyet’ akan terus ada sebab jika kapal bisa menyinggahi pelabuhan, alat peraga politik akan hilang/berkurang.

Semoga saja ada perhatian dan kesungguhan kita untuk melepaskan stigma pembangunan ini dan stigma-stigma pembangunan lain yang terus menyengsarakan rakyat kita.

Tomra, 29 Januari 2012

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara