OPLASTALA

Rekonesepsi Tuhan dalam Budaya Buru
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


Pengantar
Dalam bukunya ‘Masa Depan Tuhan; Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme’, Karen Amstrong menulis begini:
Orang-orang yang beriman tahu bahwa secara teoretis Allah sama sekali di luar jangkauan, transenden, tetapi kadang-kadang mereka berasumsi bahwa mereka tahu persis siapa ‘dia’ dan apa yang dia pikirkan, cintai, dan harapkan. Kita cenderung menjinakkan dan memiara ‘keberadaan’ Tuhan. Kita tak henti-hentinya meminta Tuhan untuk memberkati bangsa kita, menyelamatkan ratu kita, menyembuhkan penyakit kita, atau memberi kita hari yang cerah untuk berpiknik. Kita mengingatkan Tuhan bahwa dia telah menciptakan dunia dan bahwa kita adalah pendosa yang sengsara, seolah-olah hal ini barangkali telah tergelincir dari pikirannya. Para politikus mengutip Tuhan untuk membenarkan kebijakan mereka; para guru memperalatnya untuk menjaga ketertiban di dalam kelas, dan para teroris melakukan kekejaman atas namanya. Kita memohon agar Tuhan mendukung pihak ‘kita’ dalam pemilihan atau peperangan, meski lawan kita, mungkin, juga merupakan umatnya serta obyek cinta dan kasih sayangnya [2011:9,10].

Kutipan ini dicantumkan agar tulisan ini pun tidak dianggap sebagai semacam ‘keyakinan’ bahwa kitalah yang paling tahu tentang siapa dan bagaimana Tuhan itu. Walau demikian Tuhan adalah juga konstruksi pikiran dan ide kita dan kita mengenalnya karena kita mengkonstruksi Tuhan dari pengalaman-pengalaman dan penalaran [baca. refleksi] kita.

Dalam dogma kita mengenal gelar-gelar Tuhan. Di dalam Perjanjian Lama [PL] dan Perjanjian Baru [PB] kita pun belajar bagaimana masyarakat Israel Alkitab mendefenisikan Tuhan. Karena itu sering disebut melalui filsafat kita menjumpai Tuhan yang abstrak dan jauh, tetapi melalui Alkitab kita menjumpai Tuhan yang sangat personal, yaitu Tuhan yang digambarkan ada di dalam pengalaman langsung dengan manusia. Ia bukan hanya ada melalui kuasanya mencipta, tetapi ia berdialog langsung dengan manusia. Malah dalam PB kita menemui sebuah gambaran tentang Tuhan yang ‘menjadi manusia’. Gambaran itu pun merupakan abstraksi dari konsep logos yang transenden menjadi logos yang imanen [khusus dalam Injil Yohanes dan Surat-surat Paulus].

Sejarah dogma kristen menunjukkan pula bahwa pengakuan iman [credo] seperti Pengakuan Iman Rasuli, Nicea Konstantinopel dan Athanasius, merupakan bentuk afirmasi [=refleksi] tentang siapa dan bagaimana Tuhan. Malah pengakuan iman itu dipahami sebagai klarifikasi yang defenitif tentang Tuhan di dalam kekristenan.
Sampai saat ini, ragam budaya populer seperti lukisan, ukiran atau seni patung, relief, dapat menerangkan juga tentang kemampuan manusia memvisualisasi Tuhannya.

Malah visualisasi itu sudah menjadi suatu kebenaran tentang wujud visual dan personalitas dari Tuhan. Lihat saja aneka lukisan Yesus. Ada lukisan kelahirannya di kandang domba bersama Maria dan Yusuf, kedua orang tuanya. Yesus di masa kanak-kanak yang bertelanjang badan, Yesus di masa remaja yang mencium sekuntum bunga atau memegang salib kecil, Yesus menggendong seekor anak domba, Yesus dan anak-anak, Yesus berdoa, membangkitkan orang mati, menyembuhkan rupa-rupa orang sakit, bercakap-cakap dengan perempuan, tersalib, sampai Yesus yang bangkit.

Beberapa pengistilahan dalam rupa-rupa bahasa juga merupakan bentuk pengenalan tentang Tuhan menurut bahasa masyarakat bangsa-bangsa. Di Maluku ada beberapa istilah tentang Tuhan yang digunakan secara khas oleh tiap sub-etnik yang menggunakan istilah tersebut.

Orang Tanimbar dan Babar lebih suka dengan istilah Ubu Ratu, Ratu/Rato. Kelompok masyarakat Kei gemar menyebut Duad atau Duad Lervuan untuk menamai subyek transenden yang dikenal sebagai Tuhan. Sub etnik di Maluku Tengah dan Maluku Selatan gemar dengan istilah Upu Lanite, Upu Tepele, Upu Ume, Tunai, Upu Kahuresi Leha Banua, Elo Lanit ee. Atau karena pengaruh Melayu Ambon, mereka pun kerap menyebut Upu Kabasarang, Sedangkan sub-etnik di pulau Buru menyebutnya Oplastala.

Istilah-istilah dalam bahasa lokal beberapa sub etnik di Maluku tentang Tuhan seperti tadi menunjuk pada Tuhan dalam arti tunggal dan digunakan oleh semua komunitas beragama Islam dan Kristen. Artinya konsepsi itu lahir sebelum masuknya agama wahyu yakni Islam dan Kristen ke Maluku.

Dari kedua agama itu kemudian muncul konsepsi Tuhan dalam istilah-istilah yang baru yakni Allah. Dari situ berkembang pula konsepsi yang melihat Tuhan sebagai figur transenden yang memperkenalkan dirinya dalam beragam manifestasi seperti melalui kitab suci [Al-Qur’an dan Alkitab] dan secara khusus dalam kekristenan melalui Yesus [bentuk penyataan khusus].

Tradisi beragama kemudian menempatkan tokoh-tokoh suci seperti Nabi, Rasul, dan bangunan-bangunan suci seperti Masjid dan Gereja sebagai materialisasi agama dan representasi kehadiran Tuhan di tengah hidup umat. Karena kuatnya ‘penetrasi’ kedua agama wahyu ini maka konsepsi Tuhan dalam bahasa tanah tadi tenggelam seiring dengan ‘penghancuran’ ritus agama asli dalam tiap sub etnik.

Di waktu tertentu, konsepsi Tuhan menurut bahasa tanah tadi dipandang sebagai bagian dari ‘kegelapan’ –akibatnya dikategorikan sebagai tuhan dengan huruf ‘t’ kecil, yang di bagian daerah lain disejajarkan dengan konsepsi dewa atau ilah. Malah di Maluku, konsepsi Tuhan tadi disejajarkan dengan tete nene moyang atau manusia yang sudah mati tetapi memiliki pengaruh ke dalam hidup masyarakat. Padahal tete nene moyang, di zaman mereka hidup telah membangun paham tentang makhluk adikodrati yang ‘omnipotent’ atau Tuhan, tetapi sesuai dengan bahasa tanah yang mereka miliki.
Hal ini yang membuat kedua agama wahyu ini memperkenalkan Tuhan kepada umatnya masing-masing dengan mengadopsi paham budaya Arab dan Israel Alkitab. Akibatnya kita tanpa sadar memahami bahwa Tuhan itu bekerja terlebih dahulu dalam masyarakat di Timur Tengah dan baru bekerja dalam masyarakat kita pada saat masuknya agama wahyu.

Padahal jauh sebelum agama wahyu masuk ke Maluku, masyarakat di Maluku sudah ada terlebih dahulu. Mereka sudah mengembangkan aturan-aturan adat yang mengikat diri dan kelompok [termasuk sistem Pela dan Gandong], dan ada ajaran-ajaran kehidupan yang berkembang dari generasi ke generasi secara lisan [seperti ajaran tentang pamali], malah sudah mengelompokkan diri dalam satu negeri menurut soa, mata rumah, dan sudah mengangkat pemimpin [raja], dan tertib mengatur batas-batas tanah [petuanan] masing-masing soa atau antar satu negeri dengan negeri lainnya. Semua itu sudah terjadi sebelumnya, malah kualitasnya lebih tinggi dari fenomena hidup masyarakat setelah masuknya agama wahyu.

Penetrasi Kristen dan Konsepi Tuhan dalam Melayu Ambon
Tete Manis, Tuangallah [Tuang Allah], Tuangisa [Tuang Isa], Bapa Sombayang dan Elmeseh merupakan konsepsi Tuhan yang secara khusus di dalam melayu Ambon. Buku Nyanyian Dua Sahabat Lama malah masing menulis kata ‘Isa’ di dalam syair lagu-lagu tertentu seperti DSL No. 201 ‘Sobat Yang Benar’, ditulis ‘Isa ada sobat kita amat tulus dan benar, dsl’. Tetapi pada saat menyanyikan lagu itu saat ini, syair itu menjadi ‘Yesus ada sobat kita amat tulus dan benar, dsl’.

Sepertinya kata ‘Isa’ dilihat sebagai pengistilahan yang salah atau tidak lazim dalam tradisi gereja saat ini. Padahal istilah itu adalah bentuk penerjemahan dalam melayu Ambon yang juga dipengaruhi oleh bahasa Arab. Ada semacam penilaian atau kecurigaan misiologis dengan istilah tersebut sebagai yang bercorak Islam sehingga tidak lazim disebut dalam tradisi gereja. Padahal istilah itu merupakan resapan bahasa Arab yang turut memperkaya khasanah bahasa teologi gereja di Maluku/Ambon.
Sedangkan istilah Tuangallah [Tuang Allah] telah dipahami dan digunakan secara bias, sehingga dipahami sebagai bentuk umpatan atau penyebutan kasar tentang Tuhan dan karena itu dilarang untuk diucapkan. Pelarangan itu bukan karena istilah itu adalah nama Tuhan yang kudus seperti Yahweh, melainkan karena sudah dikonotasikan kasar. Maka menyebutnya kerap diartikan sebagai semacam dosa terhadap nama Tuhan. Padahal istilah Tuang menunjuk pada orang yang besar, terhormat, terpandang, pembimbing, penuntun, pemimpin, dan yang terkasih [bnd. Basudara Tuang hati jantong]. Istilah Tuang menegaskan tentang adanya suatu relasi antara seseorang dengan orang yang mengagumi atau merasa memiliki dan dimiliki oleh orang tersebut.

Karena itu Tuang Allah dapat diartikan bahwa Allah itu adalah yang besar, yang utama, yang terhormat/dihormati. Allah itu pembimbing, penuntun, pemimpin. Malah Allah itu adalah orang yang dikasihi oleh manusia, dimiliki secara khusus oleh manusia. Sebab itu penyebutan Tuang Allah menegaskan relasi kepemilikan dan relasi cinta kasih antara manusia dengan Tuhan.

Mungkin arti itu pun sama ketika kita menjelaskan konsepsi Tete Manis. Dari pengalaman beta dengan beberapa orang tua di Liang, Wakal dan Hitumessing, saya menjumpai betapa fasihnya mereka menyebut Tuang Allah dan Tete Manis. Mengenai Tete Manis, dijelaskan mereka bahwa istilah itu berarti Tuhan yang penuh kasih sayang. Bentuk relasi sosial yang ideal mengenai itu ialah relasi antara seorang tete dengan anak dan cucunya.

Istilah itu menggambarkan tentang siapa Tuhan dan bagaimana sifatnya. Mengenai siapa Tuhan, dalam pandangan basudara Islam di Liang, Wakal dan Hitumessing, Tuhan atau Tete itu adalah yang disembah oleh orang tua kita. Jadi Ia ada di atas orang tua kita. Orang tua dalam arti ini adalah tete nene moyang atau leluhur yang percaya kepada Tuhan dalam sebutan Tete Manis. Kepada orang tua kita, Tete Manis menunjukkan cara-cara hidup yang benar [aturan adat] dan menghendaki ajaran itu diwariskan kepada keturunan selanjutnya [cucu, cece, cicit]. Jadi kita yang ada saat ini adalah pewaris ajaran-ajaran kebaikan [adat] yang diberi Tete Manis melalui tete nene moyang [orang tua] kita.

Tete Manis yang memberi aturan adat itu adalah Tuhan yang penuh kasih. Ia mau supaya anak cucunya hidup dalam damai, saling mengasihi, menjaga hubungan adik-kakak [basudara pela dan gandong], menghormati hak-hak orang lain [petuanan, dati, hak ulayat], berbagi dalam menanggung beban bersama [masohi, badati], jujur dan tidak mencuri atau merusakkan alam [sasi] dan lainnya.

Ajaran-ajaran itu merupakan wujud kasih Tuhan kepada manusia [anak cucu] sekaligus bentuk praktis dari sifat Tuhan yang baik atau manis. Maka Tete Manis menunjuk pada Tuhan yang memberi kepada manusia ajaran-ajaran ‘hidop bae’ [hidup yang baik].


Oplastala; Konsep Tuhan dalam Bahasa dan Budaya Orang Buru

Opo adalah istilah dasar tentang Tuhan dalam bahasa Buru. Bentuk jamak dari istilah itu adalah Oplastala. Beta akan menunjukkan salah satu bentuk afirmasi tentang Oplastala dalam tradisi pengakuan iman gereja yang disusun oleh Pdt. John Beay, dalam liturgi Pembukaan MPPD AMGPM Daerah Buru Selatan tahun 2012 di Jemaat Namrinat. Rumusannya ialah [rumusan ini sudah beta revisi tata bahasanya atas ijin sang penyusunnya]:

Kami Percaya kepada Allah yang Esa, yang disembah sejak zaman leluhur kami dalam rupa-rupa fungsi dan kuasa. Allah itu ialah Oplastala fisaka Langit, Opo Geba Snulat, Allah pencipta langit dan bumi. Allah itu yang menyuruh kami menjaga, melestarikan dan mengolah seluruh isinya bagi kehidupan kami. Dia juga ialah Opo Geba Blangan, Allah yang menghitung kami satu demi satu, yang mengetahui dan memelihara kami dan semua orang di dunia, dan Opo Geba Penatat, Allah yang memberkati keringat kami dan memberi kepada kami Hawagut setiap hari.

Sebagaimana semua orang beriman di dunia percaya, demikianlah kami dan leluhur-leluhur kami percaya, bahwa Opo Yesus adalah Anak Berkhendak, yaitu Anak yang lahir di dalam hidup kami manusia. Ia meninggalkan Kaku Date Garan untuk menebus kami dari dosa dan kematian melalui jalan salib. Ia mati, tetapi bangkit pada hari yang ketiga dan telah naik ke Huma Enmilit untuk memberi kepada kami yang percaya kepadaNya, Muan modan slamat-slamat.

Kami Percaya kepada Opo Roh Kudus, yang setiap saat mendiami hidup kami dan memberi kepada kami kedamaian, kekuatan serta petunjuk-petunjuk tentang kehidupan yang baik melalui perintah-perintah dalam adat istiadat kami, seperti Kakawait Baheren, Kalebat, Sihit, Watelahi dan Amalahi supaya kami hidup di jalan yang benar sesuai kehendak Tuhan.

Karena itu kami akan tetap menjadi gereja yang hidup dan mampu memelihara perdamaian dengan sesama dan alam semesta ciptaan Tuhan sampai selama-lamanya. Amin!


Rumusan itu memosisikan Oplastala dalam kerangka Tri-Tunggal di dalam Kekristenan, sehingga tampak pula pengakuan tentang Opo Yesus dan Opo Roh Kudus. Padahal Oplastala adalah konsep Tuhan dalam arti Tunggal dan meliputi berbagai fungsi [omnipotent], sama dengan konsep Duad [Kei] atau Tuniai [Wemale, Alune], Ubu Ratu [Tanimbar, Babar].

Cukup beralasan formulasi Oplastala dalam kerangka tri-tunggal itu sebab tradisi pengakuan iman gereja mengandung pengakuan akan ketritunggalan Allah yakni Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Namun sejauh itu mengenai hakekat dan fungsi Tuhan dalam paham masyarakat budaya Buru, maka Oplastala adalah Tuhan dalam arti tunggal dan kuasanya utuh tidak terbagi-bagi.

Namun dalam rangka pencarian bentuk afirmasi yang kontekstual di GPM, rumusan pengakuan iman ini patut menjadi acuan yang bermakna. Aspek-aspek Tuhan dalam pengakuan ini perlu dijelaskan secara teologis.


Oplastala
Dalam pengakuan itu, Oplastala dilekatkan pada fungsi penciptaan dan pemelihara serta memberi kepada manusia tanggungjawab untuk memelihara ciptaan-Nya itu. Ini adalah model pengakuan yang lazim dalam tradisi iman agama. Sebab kuasa mencipta memosisikan Tuhan sebagai Penyebab Yang Utama. Konsepsi ini bertumpu pada konsepsi ex nihilo dalam teologi agama yang berkembang di abad-abad pertama. Bahwa Tuhan menciptakan dunia ini dari ketiadaan menjadi suatu ada yang baru. Dengan mencipta dari ketiadaan menjadi ada, maka Tuhan diakui sebagai Penyebab Yang Utama [prima causa] dari semua yang tercipta. Dengan begitu Tuhan disebut sebagai pencipta dan manusia serta ciptaan lain adalah makhluk yang tercipta.

Pengakuan Oplastala fisaka langit, Opo Geba Snulat = Allah pencipta langi tdan bumi, berarti Oplastala ialah Tuhan atau Yang Utama bagi masyarakat Buru. Ia menciptakan masyarakat dan alam Buru yang kaya dan berlimpah beraneka potensi, dan memberi mandat kepada manusia Buru mengusahakan dan memelihara hasil ciptaan-Nya itu.

Fungsi lain dari Oplastala tergambar melalui pengakuan, Opo Geba Blangan, yaitu Allah yang menghitung kami satu demi satu, yang mengetahui dan memelihara kami dan semua orang di dunia. Pengakuan ini menunjuk pada relasi Tuhan yang dekat dengan manusia. Ia digambarkan mengenal setiap manusia yang dijadikannya dan mengetahui jumlah keseluruhan manusia yang diciptakan-Nya tanpa kecuali. Ungkapan ‘menghitung kami satu demi satu’ berarti semua orang Buru dikenal Tuhan pribadi lepas pribadi, dan Tuhan tahu di mana Ia menempatkan mereka satu demi satu [dalam arti fungsional]. Apakah ini juga berarti bahwa Tuhan membagi pada tiap-tiap orang atau tiap-tiap kelompok teritori sosial masing-masing? Hal ini juga masih perlu didalami. Namun dalam beberapa diskusi diketahui bahwa setiap kelompok marga di Buru memiliki hak atas wilayah yang sudah dibagi-bagi sejak awalnya.

Fungsi Opo Geba Blangan ternyata sangat terkait dengan perannya dalam pengakuan Opo Geba Penatat, yaitu Tuhan yang memberkati setiap ‘keringat’ [jerih lelah dalam bekerja] dan memberi berkat [hawagut] setiap hari. Ini merupakan fungsi yang erat terkait dengan dua gambaran fungsi tadi. Dieter Becker dan juga Donald Guthrie mengingatkan kita bahwa fungsi ini adalah fungsi trans-ekonomis dari Tuhan yang ada pula dalam dogma atau ajaran tentang Tuhan, termasuk dalam kekristenan.

Dari ketiga fungsi itu maka jelas bahwa melalui Pengakuan Iman, manusia tidak saja mengungkapkan mengapa dia memerlukan atau percaya kepada Tuhan, tetapi juga untuk tujuan apa ia percaya atau beriman. Pada saat manusia percaya kepada Tuhan sang Pencipta, maka saat itu pula manusia percaya Ia dapat memberi apa pun [baca. berkat] kepada manusia. Hal itu telah menjadi semacam asas resiprositas dalam kepercayaan agama [termasuk kristen].

Istilah-istilah Opo Geba Snulat, Opo Geba Opo Geba Blangan dan Opo Geba Penatat merupakan semacam pemberian gelar atau fungsi kepada Oplastala atau Tuhan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa gelar-gelar atau fungsi itu semakin mempertegas pensifatan Tuhan yang sesungguhnya bagi masyarakat Buru [Islam maupun Kristen].

Opo Yesus
Penyebutan ‘Opo Yesus’ mungkin tidak dapat disejajarkan dengan Opo Geba Snulat dan gelar paralel lainnya tadi. Opo Yesus lebih cenderung pada pemosisian Yesus dalam relasi dengan Oplastala. Namun hal itu pun masih perlu diuji lagi, sebab jika demikian maka pengakuan ini memosisikan Oplastala di satu tempat dan pada fungsi tertentu, dan Opo Yesus, serta nanti Opo Roh Kudus pada tempat dan fungsi lainnya. Tetapi sebenarnya rumusan pengakuan ini pun mengandung hal yang menarik, yaitu bagaimana Yesus dipersonalisasikan secara tersendiri. Yesus diimani sebagai Anak Berkhendak [=berkehendak], yaitu seorang anak yang lahir dalam hidup manusia atau dalam hidup masyarakat Buru.

Pengakuan bahwa ‘Ia meninggalkan kaku date garan’ [tempat yang kekal, kemuliaan] menunjukkan pengaruh teologi imanensi Allah melalui kelahiran Yesus. Konsep Yesus sebagai Anak Berkhendak dapat disejajarkan dengan konsepsi Tuhan dalam Injil Yohanes [logos atau firman yang menjadi manusia]. Ia kini telah masuk ke dalam hidup manusia Buru melalui peristiwa kelahiran. Karena itu ciri kealahan dan kemanusiaan yang melekat pada Yesus [konsep totus totus] dilekatkan dalam pengakuan ini. Konsepsi salib, kematian, kebangkitan, kenaikan ke surga [=huma enmilit, rumah kudus] dan keselamatan kekal, merupakan bukti pengaruh kekristenan dalam rumusan pengakuan tentang Yesus dalam hidup orang atau Jemaat-jemaat di Buru.

Opo Roh Kudus
Rumusan ketiga dalam pengakuan iman yang disusun Pdt. John Beay adalah pengakuan tentang ‘Opo Roh Kudus’. Opo Roh Kudus digambarkan cukup berbeda dari Opo Yesus, tetapi dikarakterkan abstrak seperti Oplastala. Fungsinya diarahkan pada semacam pemberian imaterial berupa aturan kehidupan, suasana hidup damai, yang ternyata berwujud secara material dalam adat, yang berguna mengatur dan menjamin kehidupan manusia.

Walau demikian pengakuan ini semakin menegaskan konsepsi trinitas yang sudah ditransformasi ke dalam struktur kepercayaan jemaat di Pulau Buru. Dengan pengakuan akan Opo Roh Kudus kita dapat mengetahui bahwa konsepsi Oplastala sebagai Tuhan dalam arti tunggal, utuh, turut berpengaruh dalam pengakuan Tuhan dalam kekristenan di Buru. Rumusan pengakuan iman ini menjadi semacam bentuk kontekstualisasi atau reproduksi kontekstual atas dogma tradisional yang ada [dalam kekristenan dan orientasi agama orang Buru]. Dua warisan dogmatik itu diolah kembali dalam suatu wawasan yang baru untuk mencari makna yang hakiki dari bagaimana memperkenalkan Tuhan dan kekristenan secara kontekstual.


KAMUS :
Hawagut : Berkat, rezeki
Huma Enmilit : Rumah Kudus=Sorga
Kakawait Baheren: Persaudaraan yang penuh cinta kasih
Kaku Date Garan : Kerajaan kekal, kemuliaan
Kalebat : Tanggungjawab bersama membangun kehidupan
Muan modan slamat-slamat : Keselamatan Kekal
Sihit : Tanggung jawab melestarikan alam dan mengolahnya bagi kehidupan
Watelahi dan Amalahi: Suatu tatanan kehidupan yang berlandaskan etika dan moralitas tentang penghormatan dan kepatuhan terhadap orang tua yang adalah juga wakil Allah di dunia

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara