KELEYE

Konsepsi Tentang ‘Gereja’ dalam Masyarakat Wemale di Honitetu
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella



Pengantar
Beta pernah menulis ‘kareda’ [bahasa Yamdena], sebuah konsepsi tentang gereja dalam masyarakat Tanimbar Selatan. Dari situ terdapat ruang perlacakan yang cukup luas dan dimulai dari tradisi membahasa masyarakat. Beta yakin bahwa bahasa tanah [ordinary language, native speech] di Maluku juga memiliki kosa kata yang menunjuk pada suatu persekutuan khusus dalam fungsi-fungsi ritus di masa lampau. Secara teoretik kecurigaan itu terbangun karena istilah ‘gereja’ yang digunakan dalam bahasa Indonesia ternyata merupakan serapan dari istilah ‘igreja’ dalam bahasa Portugis. Maka ketika mendengar istilah ‘kareda’, kecurigaan tadi mendorong dilakukannya pelacakan ke dalam struktur bahasa tanah dari beberapa sub-etnik di Maluku.

Minggu, 26 Februari 2012, ketika berkesempatan memimpin Ibadah Minggu Sengsara II di Jemaat Ursana, salah satu dusun dari negeri adat Honitetu, beta mendapati kesan yang luar biasa .

Kesan pertama, di papan statistik Jemaat, tertulis dua Sektor Pelayanan yang bernama Sektor Nusapapai [=pikul pulau, menunjuk pada tanggungjawab kepemimpinan] dan Sektor Hanuwele [=putri kelapa, salah satu mitos utama orang Wemale]. Sesuatu yang jarang ditemui dalam penamaan gereja dan sektor pelayanan di GPM yang lazim menggunakan nama-nama dari Alkitab atau tempat-tempat di Timur Tengah. Memang nama Gereja Ursana adalah SYALOM, tetapi nama Sektor tadi memperlihatkan bahwa penggunaan istilah-istilah lokal telah menjadi salah satu dimensi dari berteologi kontekstual. Teologi kontekstual tidak berarti melepaskan warisan-warisan tekstual dari Alkitab, melainkan menterjemahkan warisan tadi agar menjadi hidup ketika didialogkan dengan warisan budaya dan perubahan sosial setempat.

Kesan kedua ialah munculnya istilah ‘keleye’ yang berarti ‘gereja’. Istilah itu disampaikan tuagama, Roberth Silaka dan Benjamin Tebiary. Beta bertanya ke arah itu atas kenyataan penamaan dua sektor tadi. Dan beta memastikan ‘keleye’ sebagai suatu istilah yang sakral atau khusus walau ada istilah lain yakni ‘Tunai ei luma’ atau rumah Tuhan. Namun istilah ini sudah bersifat teknis dari kata ‘Tunai’ [=Tuhan], dan ‘luma’ [rumah].

Kesan yang kedua ini menunjukkan bahwa masih banyak warisan eklesiologi kontekstual yang perlu terus dilacak. Bahasa tanah merupakan obyek ilmunya sekaligus pintu masuk untuk menelisik alam sosial-budaya [sitz im-leben] dari istilah tersebut, sebab sebuah istilah digunakan untuk menunjuk pada bentuk prakteknya. Karena itu praktek agama suku atau ritus kebudayaan masyarakat Wemale di Honitetu diperkirakan merupakan ruang sosial dari mana istilah itu muncul dan dipraktekkan. Untuk hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut yang sudah tentu menghadapi kendala-kendala tertentu sebab praktek agama suku atau ritus budaya sudah banyak yang ‘ditunggangbalikkan’ oleh kecurigaan misiologis dalam sejarah kontak adat dan kekristenan di masa lampau.


Keleye, reproduksi teks budaya dan agama orang Wemale
Mitos gunung suci orang Wemale [Solohua] merupakan salah satu bentuk material kebudayaan dan warisan agama asli yang sampai saat ini membentuk perilaku dan paham-paham budaya orang Wemale, termasuk di Honitetu.

Selain itu, ritus mausue anae sebagai ritus yang dikenakan kepada anak yang baru lahir turut menjadi bukti lain dari adanya pola-pola budaya asli yang terus dipelihara oleh mereka. Sebuah ritus yang mengingatkan kita pentingnya anak sebagai person dan anak sebagai bagian dari komunitas. Sebab ritus ini dilakukan agar masyarakat mengetahui seorang anak telah lahir dan serentak dengan itu masyarakat mengakui keberadaan anak tersebut dan menerimanya [afirmatif] sebagai bagian dari komunitas suku/sub suku.

Kuatnya ikatan komunalitas orang Wemale dibentuk pula oleh berbagai praktek adat yang bertujuan untuk mengokohkan persekutuan di antara orang-orang Wemale. Mengapa komunalitas itu perlu bagi orang Wemale? Orang Wemale terdiri dari beberapa kelompok seperti Wemale Nudua Siwa, Wemale Wapiopatai dan Wemale Ulibatai. Dari situ integrasi di kalangan orang Wemale menjadi hal prinsipil.

Apa yang dapat dijadikan sebagai kekuatan filsafati ke arah integrasi bagi mereka? Ada beberapa pranata dan item budaya yang bisa dirujuk sebagai kekuatan filsafati mereka seperti ideologi gunung suci, mitos, saniri tiga batang air [Eti, Tala, Sapalewa], dan lainnya. Masing-masing pranata atau item budaya itu menjadi ciri dan simbol identitas orang Wemale.

Identias suku selalu diperkuat melalui ritus. Kita bisa mencatat ritus kekehan sebagai ruang sosial di mana identitas dan komunalitas tadi dibentuk. Kakehan merupakan semacam persekutuan rahasia yang bertujuan menggembleng para pemuda [ribane] untuk mengikuti pendidikan khusus agar mereka dapat menjadi pemimpin di dalam masyarakat. Setiap ribane dampingi oleh dua orang pendamping yang disebut masalo. Orang-orang Wemale di Honitetu menyebut bahwa para ribane itu akan menjadi pribadi yang perkasa dan berkharisma.

Memang masih ada kesulitan tertentu untuk melacak lebih lanjut apakah istilah ‘kaleye’ digunakan dalam ritus kakehan atau juga dalam ritus agama asli yang lain seperti dalam mausue anae. Apakah istilah ‘kaleye’ digunakan untuk menyebut suatu persekutuan khusus dalam arti ritual? Hal itu masih akan dilacak lebih lanjut.

Keleye, reproduksi teks budaya dalam eklesiologi kontekstual
Secara operasional ‘keleye’ berarti ‘persekutuan, orang banyak yang datang berkumpul’. Dari situ orang Wemale di Honitetu mengartikannya sebagai ‘gereja’ dalam arti yang sangat organis yakni persekutuan manusia. Gereja dalam arti material disebut dengan istilah ‘Tunai ei luma’ atau rumah Tuhan.

Istilah ‘keleye’ juga digunakan secara bersamaan dengan istilah ‘ukeleye’ yang berarti ‘teman-teman’ dalam arti orang banyak. Dari istilah ‘ukeleye’ itu dapat dipastikan bahwa persekutuan atau orang banyak dalam istilah ‘keleye’ tadi bersifat terbuka, tidak hanya pada satu soa atau mata rumah tertentu melainkan terbuka pada orang banyak atau komunitas yang luas.

Ketika istilah itu diartikan sebagai gereja, berarti orang banyak dari berbagai latar belakang yang berbeda tadi berhimpun dalam satu komunitas [yang baru] dan terikat pada prinsip-prinsip [ideologi, paham teologi] yang sama. Aspek komunalitas tadi berkembang menjadi suatu prinsip bersama yang mengikat tiap orang di dalam persekutuan ‘keleye’ itu. Jadi tetap ada suatu paham teologi yang membuat walau anggota ‘keleye’ tadi memiliki latar belakang yang berbeda, mereka tetap merasa sebagai satu bagian yang utuh. Dalam budaya orang Wemale, ideologi itu adalah ideologi suku. Mitos gunung suci dapat disebut sebagai salah satu bentuk paham teologi tradisional yang menjadi kekuatan pemersatu ‘keleye’. Sebab dalam mitos itu terkandung paham mengenai keselamatan dan etika hidup di dunia.

Hal itu sama dengan paham teologi di dalam kekristenan yang juga membuat persekutuan kristen itu terpelihara. Yang pasti bahwa istilah ‘keleye’ dan ‘gereja’ sama-sama bertumbuh dalam konteks sosial yang riil dan dibangun pula di atas pandangan serta ajaran-ajaran yang telah dianggap sebagai kebenaran umum [common-truth] atau apa yang disebut sebagai iman dan kepercayaan [faith and believe].[*]

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara