TNYAFAR

Komunitas Gereja Pulau-pulau dan Kemiskinan

oleh. Elifas Tomix Maspaitella

Apakah Tepat, [masih] Mencari ‘rorok’ Teologi?

Konsentrasi Gereja Protestan Maluku (GPM) membangun eklesiologi kepulauan, sebagai eklesiologi GPM, sejauh ini masih terfokus pada problem-problem metodologi dan berkisar pada tema-tema yang lebih tepat masuk ke ranah dogmatika. Jauh hari Pdt. Christ Tamaela, mengintroduksi liturgi yang berbau budaya, dan nyanyian ‘Mae ka Lao’ (Mari ke Laut), atau ‘Siwalima Arika’ (Siwalima, cepat!), sebenarnya menunjuk bahwa eklesiologi kepulauan merupakan suatu telaah sosio-teologi yang perlu memperhatikan dengan sungguh-sungguh dinamika bergereja dan berjemaat pada semua jemaat di pulau-pulau yang terhampar dari Maluku Utara sampai Maluku Barat Daya.

Saya tidak tahu apakah tulisan ini menambah referensi ke dalam eklesiologi kepulauan ataukah tidak. Apalagi jika ada orang yang sengaja atau tidak, di era kini mulai alergi dengan sumbangan sosiologi dan antropologi ke dalam teologi. Saya hanya sebatas melempar fakta ini ke sebuah ranah kajian dan diskusi yang jika harus ‘dibuang’ dari katalog eklesiologi, setidaknya masih masuk ke dalam katalog teologi dan mungkin teologi masyarakat pulau-pulau.

Menolak Teologi Kontinental, So What Next?
Diskusi teologi di GPM, sampai pada level doktrin mengenai gereja menyimpulkan bahwa kita menolak suatu paham teologi kontinental. Bahkan presbiterial sinodal diyakini merupakan produk gereja kontinental yang tidak relevan lagi bagi GPM yang jemaatnya bercorak kepulauan.

Kita tentu tidak latah ketika dalam sistem presbiterial sinodal itu lalu berkata bahwa memosisikan Klasis pada organisasi level menengah berarti kita tidak mempolakan presbiterial murni yang hanya ada Sinode langsung Jemaat. Kelatahan dalam memahami hal itu membuat kita kehilangan jiwa yang sebenarnya dari kontekstualisasi eklesiologi kita di GPM. Padahal sebuah gagasan eklesiologi kepulauan itu sudah tua, karena sejak zaman Indische Kerk, Klasis dan Afdeeling Klasis sudah menjadi bagian dari pola organisasi Indicshe Kerk.

Ternyata sampai saat ini fakta jemaat kepulauan yang kurang kita reproduksi untuk memberi isi bagi eklesiologi kepulauan. Belum ada studi teologi secara sistematis untuk mereproduksi hal-hal itu. Setidaknya inilah sebentuk kegelisahan yang perlu pula mendorong kajian-kajian lebih lanjut terhadap hal ini.

Tnyafar, Realitas Sosial Jemaat Pulau-pulau

Tnyafar, dalam istilah bahasa Yamdena berarti ‘rumah kebun’. Setting sosial terbentuknya tnyafar dari kebiasaan beberapa keluarga pergi berkebun, dan membangun sebuah rumah tempat beristirahat (melayu Ambon: walang). Pada situasi yang lain, tnyafar dibangun oleh beberapa nelayan dengan corak dan tujuan yang sama. Akibatnya tnyafar menjadi semacam perkampungan kecil bagi pekebun dan nelayan. Mereka menekuni dua jenis pekerjaan itu sekaligus (mata pencaharian ganda).

Realitas mata pencaharian ganda tadi menjadi semacam trend bekerja masyarakat di Maluku. Itu pula yang membuat dinamika ekonomi di tnyafar bertumbuh dari waktu ke waktu.

Secara sosiologis, tnyafar merupakan suatu satuan organisasi sosial yang terdiri dari beberapa keluarga dan lebih bercorak sosio-ekonomi, karena tujuan pembentukannya untuk menjalankan aktifitas perekonomian dalam hal ini perkebunan dan usaha-usaha kelautan. Dikatakan satuan organisasi sosial sebab sistem pengorganisasian komunitas di tnyafar diselenggarakan secara bersama melalui koordinasi Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan dilantik oleh Kepala Desa.

Satu tnyafar dihuni oleh 20 sampai 60 kepala keluarga, dengan membangun rumah-rumah panggung sederhana, beratap daun rumbia (daun koli) atau alang-alang, dan dindingnya dibuat dari bilah bambu.

Tnyafar itu terpisah dari desa induk atau terkonsentrasi di dusun-dusun atau pulau-pulau yang terpisah dari desa induk. Biasanya kepala keluarga itu tinggal di tnyafar dalam jangka waktu yang panjang, yakni satu musim mulai dari masa mengerjakan kebun sampai panen. Selama waktu berada di tnyafar mereka tidak pernah pulang ke desanya. Artinya mereka menetap di tnyafar dan menghidupi diri dan keluarga dari hasil bekerja di tnyafar. Pada masa panen ada yang mengantar hasil kerjanya ke pasar di desa atau pusat kecamatan.

Karena sulitnya transportasi, ada sebagian pengusaha yang datang langsung ke tnyafar. Kenyataan itu yang membuat komunitas tnyafar lebih memilih menetap di tnyafar selama masa produksi. Mereka tidak susah-susah lagi mengantar hasil produksi ke pasar. Akibatnya mereka secara tidak langsung menetap di sana. Jika ada aktifitas pembangunan di desa atau gereja baru mereka beramai-ramai pulang ke desa induk atau ke jemaat.

Dari informasi yang diberikan Pdt. Cale Bembuain, Ketua Majelis Jemaat Adaut Klasis GPM Tanimbar Selatan, ada beberapa tnyafar, antara lain:
- Di Pulau Angwarmase: Namar, Minanlel dan Faliraya
- Di Buriat : Lende Kelebait, Lafesi, Bunga Tanjung, Alshar, Buariat Batialu dan Weiwatang
- Di Torintubun: Torintubun Besar, Torintubun Kecil, Nifmas, Wetiyayan, Kora, Wamjari, Tongarlos, Fulmamang, Tburi, Weydas, Adautubun, Arwean dan Wehao
- Beberapa tnyafar yang lain seperti Pipitlingat, Wehau, Arkwean, Wematang, Weisori, Buriat lende, Alsar

Seiring dengan corak bermukim menetap di tnyafar, maka fasilitas sosial seperti sarana kelistrikan mulai dibangun di beberapa tnyafar atas bantuan pemerintah pusat. Akibatnya tnyafar benar-benar berubah, tidak lagi menjadi ‘rumah kebun’ melainkan suatu lokasi bermukim. Artinya fungsi sosio-ekonomi pun diperlebar karena komunitas di tnyafar membangun pula sistem dan pranata dalam bekerja dan hidup sosial.

Beberapa implikasi praktis muncul dari perubahan itu. Kebiasaan orang tua menetap di tnyafar membuat anak-anak yang sedang bersekolah, dan tinggal di desa induk, sepertinya diterlantarkan. Mereka dibiarkan mengurus diri sendiri, dan akibatnya putus sekolah. Dalam kondisi itu, anak-anak yang terpaksa mengikut orang tuanya ke tnyafar otomatis tidak bisa bersekolah, sebab tidak ada fasilitas sosial di tnyafar selain rumah-rumah kebun yang sangat sederhana itu. Jarak dengan desa induk pun jauh dan memakan waktu, membuat tidak ada pilihan lain selain menemani orang tua bekerja (di kebun dan lautan).

Hal ini menimbulkan implikasi baru yakni angka pekerja anak pun tinggi. Sebab anak yang tinggal di tnyafar terkondisi dengan ritme dan budaya kerja orang tua mereka. Belum lagi angka kelahiran anak di tnyafar yang relatif tinggi. Malah ada semacam pomeo, ‘pergi sendiri, pulang berlima’ –untuk mereka yang membujang di desa, ketika ke tnyafar, dalam beberapa tahun ke depan, ketika kembali ke desa, sudah beristri/bersuami dan memiliki lebih dari dua anak.

Pomeo lain ‘pergi berdua, pulang berlima’ –untuk mereka yang menikah dan belum memiliki anak, beberapa tahun kemudian ketika kembali ke desa sudah dengan lebih dari dua anak. Kehidupan di tnyafar tidak berbeda jauh dari di desa. Artinya beberapa bentuk penyimpangan sosial pun berpotensi terjadi di sana.

Kemiskinan (?)
Tnyafar sebagai suatu lingkungan yang bercorak sosio-ekonomi adalah sebuah ironi yang cukup tajam. Tnyafar dibangun untuk usaha-usaha ekonomi keluarga. Harusnya keadaan ekonomi keluarga-keluarga di tnyafar jauh lebih baik/berkembang, sebab mereka berada di pusat produksi, yang mau tidak mau dapat menentukan harga barang di pasar. Apalagi dengan masuknya beberapa pengusaha guna membeli hasil produksi mereka secara langsung di sana.

Ironinya ialah, keluarga-keluarga di tnyafar relatif miskin dan tidak memiliki tingkat pendapatan yang jauh lebih baik dari keadaan mereka semasa tinggal di desa induk. Mereka terperangkap dalam lilitan ijon yang membuat mereka tidak bisa berkembang secara ekonomi. Keterbatasan fasilitas usaha dan pemasaran, serta jauh dari pusat-pusat pasar membuat praktek ijon semakin berkembang.

Para pengusaha yang pergi ke tnyafar untuk ‘mengambil’ hasil-hasil produksi masyarakat merupakan pengijon yang terus membelilit mereka dalam lingkaran setan ijonisasi yang sulit diurai apalagi diputuskan (baca. Tulisan saya yang lain: Ijonisasi dan Ijonisme – lht. www.kutikata.blogspot.com). Praktisnya mereka bekerja bertahun-tahun untuk membayar hutang yang terus melilit mereka.

Belum ada regulasi dan sistem rekayasa sosial-ekonomi dari Pemerintah Daerah yang dapat mengubah keadaan ekonomi komunitas tnyafar. Akibatnya tnyafar tidak lebih dari perkampungan nelayan dan pekebun miskin yang tersudutkan dari realitas pembangunan ekonomi.

Tnyafar dan Pelayanan Gereja

Jemaat Adaut, Klasis GPM Tanimbar Selatan adalah jemaat dengan tipikal yang unik. Sesuai dengan corak berjemaat GPM, jemaat Adaut adalah jemaat setempat yang terkonstruksi secara teritorial. Artinya seluruh anggota jemaat tinggal di dalam lokasi pelayanan jemaat, atau di sekitar gedung gereja (parokhial teritorial).
Namun fenomena tnyafar memperlihatkan sisi baru dari realitas bermukim warga jemaat Adaut. Dari 4.321 anggota jemaat, lebih dari separuh berada atau tinggal di dalam tnyafar-tnyafar yang tersebut tadi di atas. Mereka tinggal di sana dalam kurun waktu bertahun-tahun. Artinya jauh dari jangkauan pelayanan gereja bertahun-tahun pula. Walau dalam waktu tertentu, ketika ada event-event gerejawi, seperti Hari Ulang Tahun GPM (6 September), atau masa Natal dan Paskah, sebagiannya pulang ke Jemaat. Namun seiring dengan pola menetap di tnyafar, lebih banyak di antara mereka yang tidak pulang.

Menjadi permasalah serius bagi Majelis Jemaat ialah bagaimana menata pelayanan gereja terhadap jemaat yang tinggal di tnyafar. Mereka juga perlu dilayani, sehingga mesti ada pendekatan khusus dalam rangka pelayanan itu sendiri.

Menurut Pdt. Cale Bembuain, Majelis Jemaat GPM Adaut harus dibagi setiap hari minggu untuk melayani ibadah di dalam tnyafar-tnyafar. Tidak mungkin mengangkat Majelis yang mewakili tnyafar-tnyafar itu. Sebab tnyafar tidak terbentuk sebagai Sektor atau Unit Pelayanan di dalam sistem organisasi pelayanan Jemaat. Itu berarti pelayanan gereja di tnyafar bersifat insidentil. Padahal ada banyak aspek dari perilaku hidup jemaat di sana yang memerlukan adanya pendampingan pastoral dan bimbingan rohani yang intensif.

Setidaknya tnyafar membuat area pelayanan jemaat menjadi semakin luas. Ada perubahan tertentu dalam model pelayanan di sana. Pelayanan gereja tidak saja berlangsung di dalam rumah jemaat, melainkan di lokasi tempat kerja jemaat. Sebuah terobosan perlu dipikirkan tetapi ini pun memerlukan ketersediaan sumber daya pelayan yang memadai.
Mungkin perlu dibentuk semacam ‘tim pelayanan khusus’ yang secara khusus pula dilatih untuk bagaimana melayani kebutuhan rohani dan bimbingan spiritual kepada jemaat di dalam tnyafar-tnyafar. Ada model ‘kelompok sel’ atau ‘komsel’ sebagai salah satu pendekatan penginjilan kepada kelompok kecil secara intensif. Apakah model ini bisa digunakan? Hal ini sangat bergantung pada bagaimana manajemen pelayanan di sana diatur.

Setidaknya Komsel itu bertujuan untuk (a) membentuk kepribadian kristiani yang injili; (b) mengajak pribadi untuk memuji Tuhan; (c) mendalami firman Tuhan dalam hal praksis untuk kehidupan; (d) berhimpun bersama dalam satu kebaktian yang akrab satu sama lain dan dengan Tuhan; (e) agar setiap anggota dapat berbagi perhatian, kepedulian, saling membantu dan mendukung dalam berbagai permasalahan melalui sharing dan doa.

Jika direkayasa secara baik, Komsel itu akan dapat berlangsung efektif. Karena itu memerlukan ada pimpinan-pimpinan Komsel yakni orang yang bisa memberi perhatian serius pada pelayanan dimaksud. Dalam konteks tnyafar dan kepulauan seperti di Tanimbar Selatan, mekanisme itu perlu dipikirkan agar tidak pertumbuhan mental, spiritual dan carapandang jemaat dalam tnyafar dapat dibentuk secara etis-injili. Mereka harus pula sadar mengenai tanggungjawab hidup lain yang selama ini terkesan terabaikan (terutama pendidikan anak). (*)

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara