FENOMENA SOSIAL MIGRAN BABAR

Identitas Budaya dalam Reorganisasi Jemaat GPM
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


Kesan Awal
Ada dua sisi cerita yang penting sebagai alasan akademik dan praksis mengapa paper ini sengaja ditulis. Sisi cerita pertama ialah pengalaman tinggal di Karang Panjang, atau menjadi warga Jemaat Imanuel Karang Panjang Klasis GPM Kota Ambon (jauh sebelum Pemekaran Jemaat Petra dari Imanuel Karpan) membuat beta secara langsung berinteraksi dengan sesama warga jemaat yang sebagian besarnya adalah sub etnik Babar atau Tepa.

Orang-orang yang tinggal di Kampung Tepa menghisabkan diri dalam Lakopona Amarere, merupakan komunitas Babar/Tepa yang tinggal di daerah Lahane sampai Ahuru (sekarang merupakan wilayah Jemaat Petra Klasis GPM Kota Ambon). Mereka adalah mayoritas penduduk atau warga jemaat di kawasan tersebut dan menjadikan Jemaat Imanuel Karpan (dan kini Jemaat Petra) merupakan jemaat GPM di Kota Ambon dengan tipikal tersendiri. Fenomena ini tentu sama dengan kampung Ullath dan Aboru di kawasan Karang Panjang atau juga Kudamati. Namun fenomena migran Babar ternyata mampu mendorong suatu dinamika pertumbuhan jemaat yang baru.

Sisi cerita kedua adalah ketika menghadiri pelaksanaan Musyawarah Pimpinan Paripurna (MPP) ke-25 Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM) di Jemaat Marbali, Klasis GPM Kepulauan Aru pada 23-27 Oktober 2011 dan Persidangan ke-33 Majelis Pekerja Lengkap (MPL) Sinode GPM di Dobo, 30 Oktober – 5 November 2011.

Jemaat Marbali merupakan Jemaat mandiri yang dimekarkan dari Jemaat Dobo pada 29 Maret 1998. Marbali sendiri adalah sebuah Dusun milik Negeri Wangel yang ditempati oleh migran dari Babar/Tepa yang datang sejak tahun 1930-an untuk mencari pekerjaan atau untuk kepentingan studi ke jenjang SMP dan SMA di Dobo. Sampai dengan tahun dimekarkan, telah terdapat 47 kepala keluarga atau 176 jiwa warga jemaat yang nota bene adalah orang Babar/Tepa.

Dari sejarah terbentuknya Jemaat-jemaat yang termuat dalam Buku Panduan MPL ke-33, hasil penelitian dan penulisan oleh Pdt. Henkie Mussa dan teman-temannya, terungkap pula bahwa Jemaat Blakang Wamar, Lamerang, Londe, Katanter adalah juga jemaat yang terbentuk di antara komunitas orang Babar/Tepa yang datang sejak tahun 1950. Hal yang sama pada jemaat Marlasi dan Warialau (campuran dengan orang Kei dan penduduk asli Aru).

Dua sisi cerita itu cukup mengesankan sebab jemaat-jemaat GPM adalah jemaat-jemaat homogen yang terstruktur di dalam lingkungan kebudayaannya. Karena itu negeri adalah juga bagian utuh dari jemaat. Atau komunitas sub-etnik di negeri itu adalah warga jemaat GPM itu sendiri. Namun migran Babar/Tepa menunjukkan bahwa jemaat-jemaat mandiri yang terbentuk di dalam komunitas migran Babar di luar Babar memiliki tipikal tertentu yang unik.

Faktor-faktor Pengaruh Migrasi Orang Babar
Migran sering dipandang sebagai kelompok sosial yang terdorong keluar dari lokasi kulturalnya untuk suatu motivasi ekonomi yakni mencari kerja. Orang-orang Babar pun menyadari hal itu bahwa tujuan mereka memang untuk mencari pekerjaan seperti untuk mencari lahan produksi sopi dan penyelam mutiara guna menyambung ekonomi keluarga. Pdt. Veky Untailawan, Sekretaris Umum Sinode GPM, yang turut bermigrasi tahun 1973 dari Babar ke Dobo untuk bersekolah, menyampaikan semacam pomeo, orang Babar yang datang ke Aru terbagi atas dua angkatan yaitu angkatan laut (para penyelam mutiara) dan angkatan udara (kelompok tifar sopi).

Pendidikan anak merupakan dorongan lain yang menyebabkan terjadinya lonjakan jumlah migran dari Babar/Tepa ke daerah lain seperti Dobo dan Pulau Ambon, mengingat keterbatasan sarana pendidikan di daerahnya. Hal itu dapat dikatakan sebagai dua alasan utama yang menyebabkan tingginya angka migrasi orang Babar ke berbagai daerah di Maluku.

Kita masih dapat bertanya mengapa migrasi itu terjadi secara pesat. Setidaknya kondisi wilayah di pulau Babar merupakan faktor tertentu yang mendorong migrasi. Fakta Babar adalah fakta pulau-pulau kecil, di mana kondisi dan luas tanah yang terbatas dan menjadi lahan produksi turun-temurun membuat keadaan tanah menjadi kurang potensial. Karena itu migrasi turut disebabkan oleh usaha menemukan lahan produksi baru. Ini terbukti sebab ketika lahan produksi potensial diperoleh, di pulau yang lain, orang tidak kembali lagi ke negeri asal, malah menjadi penduduk di suatu negeri baru.

Terjadi perubahan mindset di kalangan para migran. Orientasinya bukan lagi bekerja atau bersekolah melainkan menetap dan membangun sebuah komunitas di daerah yang baru. Mereka terkonsentrasi membangun hidup di daerah baru itu, malah membawa perubahan tertentu di daerah yang baru. Artinya migrasi bukan sekedar sebuah cara bertahan hidup (survive) tetapi lebih dari itu yakni untuk eksis (alife).

M. Harris (1959) atau juga E. Colson, dalam Wallerstein (1966) menengarai bahwa migrasi itu membuat kelompok migran menetap di suatu tempat selain oleh alasan pekerjaan, tetapi juga perkawinan dengan orang setempat. Karena itu perkawinan menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya mobilisasi penduduk dari suatu tempat ke tempat yang baru itu. Namun itu terjadi pada migran yang tinggal membaur di dalam teritori sosial komunitas setempat. Hal ini berbeda pada migran Babar yang cenderung menempati suatu lahan kosong dan berusaha di atas lahan itu.

Migran Babar berlangsung secara spontan dan memilih tempat tinggal khusus yang potensial untuk usaha perkebunan, kelautan atau usaha lainnya. Contoh di daerah Ahuru Karang Panjang. Mereka menempati kawasan yang dahulu disebut ‘ewang’ oleh orang-orang Karang Panjang atau Soya dan mereka menjadikan tempat itu sebagai lahan usaha keluarga, atas ijin orang Soya sebagai pemilik tanah tersebut. Dalam beberapa waktu, terjadi transformasi pada sisi tertentu. Kawasan itu berubah menjadi lokasi berpenghuni. Tidak hanya itu, orang-orang Ambon mulai berbiasa makan ‘mandekar’ sejenis penganan dari kasbi (ubi kayu) yang direbus, diiris tipis dan dikeringkan. Tentu masih ada bentuk pertukaran budaya lainnya di antara mereka, termasuk ketika terjadi perkawinan dengan penduduk asli setempat.

Proses-proses itu terjadi terus dalam sejarah kontak migran Babar dengan penduduk setempat. Mereka tetap mempertahankan identitas dan seluruh simbol budayanya, malah melakukan pertukaran budaya secara damai dengan komunitas setempat.

Dalam keadaan itu rasa cinta akan kampung halaman tetap terbangun. Sebab itu migran bukanlah orang yang tercabut hakekat dan identitasnya, mau lahan identitas kultural itu semakin menguat justru ketika mereka berada di luar. Hal ini cukup beralasan mengingat orang Maluku memiliki ideologi yang kuat akan negeri atau ‘tanah tampa potong pusa’. Ada pula ideologi lain seperti ‘gunung tanah’.

Dalam salah satu syair Lagu Kebesaran Bukar Buar, karangan bapak Junus Okimekma, tokoh adat Masbuar yang sempat beta sadur dari file Pdt. Ampy Beresaby, Ketua Klasis Pulau-pulau Babar, berkisah begini:

Buar Bukar tanah pusaka moyangku
Itu pulau kebanggaanku,
Buar Bukar kampung pujaan hatiku
Sana tempat kelahiranku
Waktu tenggelam hidupku menderita
Cari tempat untuk berteduh
Aku terpisah dengan sodaraku
Sungguh sangat hancur hatiku
Waktu ‘ku pergi ‘ku kenang padamu
Buar Bukar kesayanganku

Reef. Jauh aku padamu ‘ku tinggal di rantau
Mohon pimpinan pada Tuhan Yang Esa
Agar klak kita jumpa lagi

Terungkap dalam syair itu pujaan kepada negeri, tanah pusaka moyang, dan kuatnya keinginan untuk kembali atau pulang ke kampung, tanah pusaka moyang itu.

Jemaat GPM dalam Konstruksi Orang Babar
Beta tidak membahas Jemaat GPM di Klasis Pulau-pulau Babar dalam bagian ini, tetapi eksistensi jemaat-jemaat GPM yang beranggotakan orang-orang Babar di luar Pulau Babar. Dari data sementara yang berhasil dihimpun selama hari-hari bersidang di Dobo, ada beberapa Jemaat mandiri GPM yang anggotanya adalah migran Babar.

Di Klasis Pulau-pulau Aru terdapat beberapa Jemaat migran Babar yakni Blakang Wamar, Marbali, Lamerang, Londe, Katanter, Marlasi dan Warialau (campuran dengan orang Kei dan penduduk asli Aru). Di Klasis Kota Ambon ialah Jemaat Petra. Mungkin masih ada di Klasis-klasis lainnya. Delapan Jemaat itu merupakan potret bahwa migran Babar mendorong munculnya jemaat-jemaat dengan tipikal tertentu. Migran Babar dan pertumbuhan gereja (GPM) merupakan sebuah kenyataan sosial dan sejarah. Pertumbuhan jemaat GPM turut didorong oleh reorganisasi sosial migran Babar. Jadi pelembagaan Jemaat-jemaat GPM terjadi bukan sekedar fenomena pertambahan jumlah anggota jemaat, melainkan faktor migrasi. Dalam hal itu migran Babar merupakan komunitas basis yang telah melahirkan jemaat-jemaat GPM yang baru.

Ada aspek misioner dari migrasi sosial orang Babar, walau sebenarnya itu bukan tujuan mereka. Keberadaan mereka di suatu tempat yang baru menambah dinamika pelayanan dan pertumbuhan GPM. Migran Babar telah melakoni suatu cara hidup bergereja yang solid, sebuah perwujudan koinonia yang transformatif secara struktural dan fungsional (praksis). Ini menjadi fakta eklesiologi gereja kepulauan yang harus terus direfleksikan dalam dinamika bergereja dewasa ini di Maluku dan Indonesia.

Beberapa persoalan yang dihadapi jemaat migran Babar di Aru misalnya (a) mereka bukan pemilik atas tanah tempat tinggal. Mereka merupakan buruh tani dan nelayan yang hanya memiliki hak pakai atas lahan-lahan usaha dan tempat tinggal; (b) jika tanah-tanah itu beralih fungsi dan kepemilikan ada dampak tertentu terhadap keberadaan jemaat.
Ini hanyalah sebuah realitas yang perlu menjadi bagian dari diskusi eklesiologi di GPM. Kita selama ini sibuk dengan diskursus akademis mengenai eklesiologi yang berpusat pada referensi dogmatika dan ajaran. Padahal migran Babar memberi interupsi bahwa debat eklesiologi adalah debat sosial yang harus dapat meluruskan bagaimana cara jemaat melembagakan dirinya ke dalam gereja dan bagaimana mereka hidup sebagai gereja yang bertanggungjawab dengan konteks kehadiran atau di tempat kehadirannya yang baru.

Demikian beberapa hal yang menggelisahkan. Kegelisahan ini masih terus ada. Mungkin bisa terus dilengkapi setelah nanti pergi ke pulau Babar. Sampai berjumpa tahun 2012, oh tanah Babar.(*)

Buku Rujukan:
M. Harris, “Labour Emigration Among The Mocambique Thonga: Cultural and Politics Factor (1959)
E. Colson, “Migration in Africa: Trends and Possibilities’, dalam Immanuel Wallerstein, Social Change: The Colonial Situation, New York-London-Sidney: John Wiley & Sons, Inc., 1966

Ruang Sidang ke-33 MPL Sinode GPM, Gereja Bethel, Dobo, 3 November 2011

Comments

Steve Gaspersz said…
Catatan yang menarik. Ini juga kemudian mengundang kita untuk melihat bagaimana strategi budaya orang Babar pada setiap tanah pijakan baru dalam ketegangan mempertahankan identitas asli dari Babar dan negosiasi identitas sehingga mengonstruksi identitas hibrid. Apakah ini juga menjadi salah satu faktor yang mendorong mereka sangat progresif membentuk komunitas dengan semangat ekspansif (ide, populasi, bentuk budaya) sehingga terbentuk pula "komunitas baru Babar" di beberapa pulau?
Anonymous said…
Pola kehidupan orang Babar/Tepa sangat diwarnai dengan generasi yang rajin beibadah. Itu gambaran konteks dulu. Konteks sekarang justru generasi Babar/Tepa sangatlah jauh dari pola kehidupan generasi yag dulu itu.
Generasi sekarang ialah generasi yang hidup hanya dalam domain sub-sub suku dalam satu komunitas masyarakat Babar/Tepa pada suatu tempat. Generasi yang pola pikirnya tidak berkembang soal dukungan terhadap pelayanan baik di aras Unit, Sektor, Jemaat dan AMGPM.
Kondisi tersebut disebabkan karena masing-masing orang hanya fokus/khawatir pada apa yang ia akan makan hari ini dan besok. Tak pelak justru persekutuan-persekutuan sub-sub suku ini yang lebih berperan dan mendapat dukungan daripada dukungan kepada persekutuan yang oikumenis.
Selain kemunduran pola kehidupan generasi sekarang, masih ada yang masih kokoh dipertahankan oleh para ibu d jemaat Petra Karpan Ambon yang keluar dari sub-sub suku untuk bergabung dalam satu Paduan Suling, yang masih dipertahankan sampai sekarang. Paduan Suling Petra merupakan kumpulan ibu-ibu keturunan Babar/Tepa (rata-rata sudah lanjut usia) yang berkecimpun dalam pelayanan musik gereja.
Mungkin juga bisa diangkat dalam penelusuran sejarah terbentuk serta sepak terjang Paduan Suling ini, sebagai ciri khas orang Babar/Tepa di perantauan yang patut juga ditelusuri karena merupakan aset GPM yang perlu diperhatikan dan dilestarikan.
Anonymous said…
This comment has been removed by a blog administrator.
Andrew Paliama said…
This comment has been removed by a blog administrator.

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara