FANGRIDIN:

Inisiasi Lokal dalam Konteks Budaya Tanimbar di Watmasa
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella




Kamis, 26 Mei 2011, jam. 08.35, beta bersama Tim Penatar dari MPH Sinode GPM dan Klasis Tanimbar Utara (Pdt. Jopy Noya, Pdt. Yan Latuwael, Pdt. Nick Taberima, Pdt. Nor Refialy, Pdt. Da Salakory dan Pdt. Dece Herbawal - Ketua Klasis GPM Tanimbar Utara, Pdt. Rooy Maail, Penginjil Cepu Ratuanik, dan Wem Masrikat - Jurumudi Speed boat) melayari lautan dari Larat ke Jemaat GPM Watmasa, untuk melaksanakan kegiatan Penataran Majelis Jemaat Periode 2010-2015 di Klasis Tanimbar Utara.

Pemandangan pulau-pulau kecil dan terkecil di hamparan lautan itu begitu indah. Usi Ana, demikian beta menyapa Ketua Klasis GPM Tanimbar Utara, bercerita banyak hal tentang pulau-pulau tersebut. Ada yang berpenghuni, ada yang kosong tak berpenghuni, tetapi sudah dimiliki oleh para kapitalis lokal. Usi Ana juga bercerita mengenai tantangan pelayanan antarpulau di kawasan yang kaya dan indah ini. Keindahan alam pesisir ini kelihatan dari jejeran hutan bakau dan areal budidaya rumput laut milik warga jemaat.

Jam 09.10 kami tiba di pesisir pantai Watmasa. Tampak warga jemaat sudah mempersiapkan acara penyambutan terhadap tamu gereja (mel kareda).
Pada gapura utama, anak-anak Sekolah Minggu dan Tunas Pekabaran Injil (SMTPI) sudah bersiap untuk acara penyambutan. Mereka mengenakan pakaian adat: kebaya putih dan kain tenun Tanimbar. Ada sekitar 20- an orang, di antaranya dua anak laki-laki yang mengenakan ikat kepala dari kain tenun.

Di gapura kedua, tampak ibu-ibu yang juga mengenakan pakaian adat. Mereka kemudian memainkan tarian 'dobol' salah satu jenis tarian penyambutan dalam budaya Tanimbar, selain 'Tnebar ila' dan 'Tnebar fanewa'.

Namun sebelum kami memasuki gapura dan dua kelompok penyambutan itu, ada proses inisasi yang dilayani oleh tuan tanah (lanun duan) Watmasa. Prosesi inisiasi ini yang akan diulas pada tulisan ini.

1. WATMASA: Tanah Yang Dibeli dengan Harta Kawin Saudara Perempuan
Nama Watmasa berasal dari dua suku kata dalam bahasa Fordata (rumpun Fordata Molo), yakni: wata yang berarti perempuan, dan mas yang berarti emas -menunjuk pada harta kawin dalam bentuk sepasang emas berbentuk bulat (seperti koin).

Dalam ceritanya, orang-orang Watmasa sebelumnya tinggal di Korba Leka (batu putih). Karena kondisi tanah di situ tidak baik, dan sering terancam longsor, maka orang-orang tua membeli tanah dari Empat Serangkai yakni komunitas Lelingluan, Ritabel, Ridol dan Watidal. Tanah itu dibeli seharga sepasang emas yang adalah harta kawin saudara perempuan mereka.

Akhirnya orang Watmasa menempati negeri yang sekarang dan daerah Batu Putih kini menjadi dusun orang Watmasa. Masyarakat ini masih mempraktekkan adat dan kebudayaan seperti diwariskan dari zaman nenek moyangnya.

Konsepsi agama suku masih meninggalkan jejaknya hingga saat ini. Penyebutan Tuhan sebagai Ubu (Tuhan) atau Ubu Ratu (Tuhan Semesta Alam) masih lestari dalam sapaan mereka, baik dalam komunikasi sehari-hari maupun dalam upacara-upacara adat tertentu.
Begitu pun konsepsi mengenai sesama atau saudara (kidabela; kida=teman, bela=saudara, pela) merupakan semacam ideologi budaya yang membuat orang Watmasa, dan Tanimbar pada umumnya dapat menerima orang lain, atau orang lain bisa dengan mudah beradaptasi dengan mereka.

2. FANGRIDIN: Inisiasi Lokal
Lazimnya masyarakat Tanimbar, setiap tamu atau orang luar yang datang ke negerinya disambut dengan rangkaian upacara adat yang khusus untuk itu.
Demikian pun orang-orang Tanimbar di Watmasa. Pada hari kamis itu, ada sebuah pengalaman unik yang mengundang perlunya kajian dari sisi kebudayaan dan teologi. Suatu praksis kearifan lokal yang terpintal dalam upacara ritus penyambutan tamu gereja (mel kareda).

a. Persiapan Ritus

Fangridin, atau diartikan 'kasi atau biking dingin' merupakan tindakan ritual dalam upacara penyambutan tamu atau orang yang datang dari luar dan hendak melakukan serangkaian aktifitas, tugas atau tinggal dan menetap di dalam serta bersama orang Watmasa.


Dalam prakteknya, fangridin itu bertujuan untuk memohon kepada Tuhan agar menghindarkan penyakit, mengatasi kesulitan atau kekurangan akan bebab-beban tertentu dari tamu atau orang yang akan tinggal di Watmasa. Juga memohon menyampaikan kepada para leluhur atau Tete Nene Moyang (TNM - ubun nusi) tentang ada orang dari luar yang datang dan tinggal di Watmasa. Ini dimaksudkan agar TNM 'seng takajo' (tidak kaget/bingung) bahwa ada orang lain yang datang dan tinggal di sana.
Intinya dengan fangridin, orang luar itu sudah diterima dan menjadi bagian utuh dari masyarakat Watmasa. Mereka tidak lagi dianggap sebagai orang luar, sebab sudah diterima oleh masyarakat, dan diketahui atau disetujui oleh para TNM. Mereka dan orang Watmasa adalah satu dan dapat disebut sebagai orang Watmasa.

Hal ini ternyata sudah dipersiapkan jauh hari sebelum orang itu datang. Pada malam persiapan penyambutan, biasanya tuan tanah dan semua tua adat serta Kepala Desa, sebagai Kepala Adat (Raja), berkumpul dan mempersiapkan upacara dimaksud.
Dalam persiapan itu, tuan tanah mendoakan material air dan sopi yang dipersiapkan untuk kebutuhan upacara itu. Doa itu memohon agar tamu itu selamat dalam perjalanan, diterima oleh semua masyarakat dan TNM. Mereka pun mendoakan agar sopi dan air yang akan menjadi simbol ritus pada upacara itu pun diberkati Tuhan ketika akan digunakan. Dalam doa itu, mereka pun memohon supaya TNM membantu menyampaikan maksud itu kepada Tuhan.

Jadi posisi TNM di sini sebagai orang yang turut menjadi saksi atas upacara fangridin dan mediator antara masyarakat dengan Tuhan.

b. Simbol Ritus
Ritus fangridin dilaksanakan dengan menggunakan material sopi dan air. Kedua material ini dipersiapkan terlebih dahulu dalam doa adat malam hari sebelum upacara penyambutan itu diadakan keesokan harinya.

Sopi menjadi simbol bahwa tamu atau orang yang datang dari luar itu diterima menjadi atau menjadi bagian dari orang setempat. Dengan meminum sopi, tamu atau orang dari luar yang datang dan hendak hidup di salah satu negeri di Tanimbar, misalnya Watmasa, bukan lagi orang lain bagi mereka. Begitu pun tamu atau orang dari luar harus memandang orang setempat sebagai bagian dari keluarganya sendiri.
Mereka dituntut untuk saling membantu dalam segala hal, dan tidak perlu sungkan dalam hal saling berbagi.

Sedangkan air menjadi simbol bahwa seluruh hambatan, kesulitan, tantangan dan kekurangan akan bisa teratasi atau tidak akan menjadi beban yang memberatkan hidup tamu atau orang yang baru datang serta masyarakat setempat. Termasuk beban-beban psikhis, seperti salah paham, emosi dan konflik. Air memainkan fungsi harmoni dalam rangka pelaksanaan tugas atau dalam hal hidup bersama nantinya (baik temporal maupun dalam waktu yang panjang). Di situ letak makna 'kasi dinging'.

c. Pelaksanaan Ritus
Ritus fangridin berlangsung atas permintaan Raja/Kepala Desa (mela) atau gereja. Kepala Desa menghendaki dilaksanakan fangridin kepada tamu-tamu yang datang dari unsur pemerintah, atau juga guru baru yang akan mengajar dan tinggal di negerinya, bidan atau tenaga kesehatan. Dalam hal itu juga kepada salah seorang anak dari luar yang menikah dengan anak negeri setempat (laki-laki maupun perempuan) dan hendak tinggal di situ.


Begitu pun jika ada tamu gereja (mel kareda), pihak Majelis Jemaat dapat meminta dilaksanakan fangridin. Dalam hal ini pun Kepala Desa akan bertindak selaku pemangku adat untuk mengumpulkan tuan tanah dan semua pemuka adat mempersiapkan upacara fangridin.

Rangkaian persiapan upacaranya dilakukan sehari sebelum acara penyambutan, dan biasanya pada malam hari. Kepala Desa akan mempersiapkan air dan sopi dan mengumpulkan pemuka adat dan tuan tanah untuk melakukan doa adat mempersiapkan sopi dan air serta pelaksanaan upacara keesokan harinya.

Mereka biasanya berkumpul di rumah Kepala Desa atau juga di temarlolan, atau baileu dalam bahasa di Maluku Tengah. Selain temarolan ada pula tempat berkumpul yang biasa disebut ridalan yakni lokasi tempat berkumpul (bukan bangunan).

Keesokan harinya upacara fangridin dilaksanakan. Tuan tanah bersama dengan salah seorang perempuan anggota mata rumah tuan tanah berdiri di jalan masuk ke negeri untuk menyambut tamu. Tuan tanah melayankan doa adat fangridin meminta kepada Tuhan (Ubu Ratu) dan TNM (Ubun Nusi) agar tamu atau orang yang baru datang itu diberkati selama berada di negeri mereka.

Formulasi doa adat itu disesuaikan dengan kebutuhan atau orang yang datang; dengan demikian berbeda untuk tamu yang datang dan tinggal dalam waktu singkat dan yang datang tinggal karena bekerja atau berkeluarga.

Doa adat yang dipakai dalam upacara penyambutan mel kareda pada hari itu seperti ini:
O Ubu. Mrenara mam sambayang amarini mangun mela rma ma habana mu karya ini te Ubu.
Amhera tali oa te Ubu, muflahar hera maling sian sala tali hera, boma deka rtuan sian te Ubu.
Fwatuang hera tinemun boma rnaa wanglolin Ubu mam har hera lawan ini te Ubu.


Setelah doa itu dilayankan, tuan tanah mengambil sedikit sopi dan memerciknya ke atas sebanyak tiga kali. Tindkan itu berarti ditujukan kepada Tuhan agar memberkati tamu yang datang dan menghindarkan dari sakit, celaka, beban-bebannya menjadi ringan dan tidak menghambat. Hidup dalam damai dengan masyarakat dan tidak ada salah paham yang menjurus pada konflik sehingga kegiatan tersebut terhalang.

Setelah itu menyiram air ke tanah (tiga kali) sebagai tanda bahwa tamu ini sudah menjadi bagian dari masyarakat setempat. Semua masyarakat dan TNM menjadi saksinya. Begitu pun meminta supaya selama mereka hidup di negeri itu, negeri tidak menolak -dalam arti tamu itu tidak sakit oleh sebab yang tidak jelas. Tindakan itu pun dimaksudkan agar TNM tidak 'takajo' terhadap tamu itu.

Setelah itu, tuan tanah memercik air ke kepala para tamu, seperti pelayanan baptisan Kristen, sebanyak tiga kali; sebagai tanda bahwa tamu itu bukan lagi orang asing bagi masyarakat. Ia sudah menyatu dengan masyarakat setempat; dan masyarakat pun dengan sukacita menerima mereka.

Setelah itu mereka disuguhi sopi adat oleh tuan tanah. Dengan meminum sopi maka tamu itu langsung menjadi bagian dari masyarakat di situ. Pada beberapa kasus, adakalanya tamu itu diberi nama-nama setempat (dalam bahasa tanah).

d. Makna Teologis

Inisiasi sebagai suatu tindakan sosio-budaya menunjuk pada tingkat adaptasi dan pembauran sosial antarindividu dan komunitas. Setiap komunitas memiliki ritus dan simbol khusus sebagai tanda diterimanya seseorang ke dalam atau menjadi bagian dari masyarakat setempat.

Ritus-ritus sosial itu selalu terjadi dalam relasi antarmanusia. Bentuk ritus itu patut pula dipahami sebagai suatu tindakan teologis masyarakat lokal. Sebab tiap tindakan sosial- budaya lahir dari konsepsi pandangan dunia (worldview). Sebuah pandangan dunia mengandung selain harapan tetapi juga keyakinan atau kepercayaan (sense of belief).

Jika seseorang atau satu komunitas bisa menerima orang lain dan menjadikan orang lain itu bagian dari hidup mereka maka relasi harapan, keyakinan dan kepercayaan telah menjadi suatu sistem kehidupan yang terwujud dalam persekutuan (baca. hidup bersama).

Dalam injil, kelahiran Yesus patut dimaknai sebagai tindakan inisiasi Allah ke dalam realitas dan struktur sosial manusia dan masyarakat. Allah tidak lagi menjadi 'orang asing', dan tidak usah dijumpai dengan tindakan-tindakan ritus yang abstrak. Allah sudah ada bersama masyarakat dan tinggal dalam struktur serta beradaptasi dengan sistem- sistem sosial dalam masyarakat.

Sedangkan ketika Yesus ditolak oleh orang Nazareth artinya bahwa proses inisiasi seseorang dalam suatu masyarakat dapat terbentur oleh perbedaan carapandang di antara mereka.

Untuk mengatasi itu, masyarakat membuat ritus dan simbol inisiasi yang bertujuan agar mereka bisa saling menerima. Inisiasi membuat seseorang mengenakan 'jubah budaya dan sosial' konteks setempat. Ia bukan hanya dipandang sama, melainkan dipandang sebagai bagian dari masyarakat setempat. Inisiasi membawa sesorang menjadi bagian dari suatu komunitas.

Tindakan menginisiasi seseorang atau berinisiasi ke dalam komunitas tertentu merupakan wujud dari tindakan mengenakan identitas baru. Di dalam identitas itu mereka akan mampu berbagi dalam berbagai hal.
--------------


Informan:
Bpk. Meki Wuarlela (49 thn) - Lanun Duan Watmasa,
dan Bpk. Onesimus Wuarlela (67 thn)
Percakapan pada 28 Mei 2011, jam 07.30- 08.20 di Watmasa

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara