Gayus dan Parodi Hukum

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

Komedian vs Politisi
Siapa yang lucu antara komedian dan politisi? Ini pertanyaan yang tidak penting. Sebab komedian memiliki sense of humor [kemampuan melucu] yang bertujuan membangkitkan sense of amusing [rasa lucu] pemirsa atau penonton. Mereka tidak sekedar melawak melainkan berusaha membawakan sesuatu cerita dengan gaya dan tingkah yang tidak sekedar lucu tetapi mampu membangkitkan rasa geli dan memancing tawa pemirsa atau penonton.

Politisi memiliki kharisma membangkitkan rasa percaya [sense of trust] rakyat melalui tutur kata, konsistensi ketika menjalankan fungsi-fungsi legislasi mereka. Jika politisi memparodikan sesuatu, ternyata tidak membangkitkan sense kelucuan pemirsa atau konstituent, melainkan membangkitkan rasa heran konstituent bahwa: ‘mereka kok lucu’. Suatu ironi, sebab konstituent –tanpa diajari, tentu tahu bahwa apa yang ‘diparodikan’ politisi itu ibarat jurang menganga antara teori dan praksis.
Parodi Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR-RI dengan Kapolri pada 24 Januari 2011 yang disiarkan secara Live oleh salah satu TV swasta Nasional memperlihatkan ironi itu. Masalah Gayus Tambunan –agar jelas beda dengan Gayus Lumbuun anggota Komisi III DPR-RI, terus ‘diburu’ tetapi dengan asumsi-asumsi politis yang terus terkurung dalam tema-tema normatif.

Bukankah untuk mengusut masalah mafia perpajakan yang dilakukan Gayus jelas harus dimulai dengan terlebih dahulu men-list [mendaftarkan] perusahaan yang ada dalam bagian kerja Gayus, sebagai obyek pajak yang berada dalam ‘kewenangan’ Gayus itu? Tentu perusahan-perusahan itu bernama, pemiliknya jelas, dan jumlah pajak tertanggungnya pun jelas. Susah-susah mencari siapa yang memberi uang, siapa yang meloloskan dia keluar masuk Lapas, siapa yang dijumpainya di Singapura, Macau, Bali, dll –nama perusahan dan pemilik sebagai obyek pajak saja tidak pernah berani disebut atau diungkap. Semua politisi di Komisi III malah bertindak membela kepentingan tertentu atas nama partai. Lihat saja gaya Ruhut ‘Poltak’ Sitompul yang terus mengatasnamakan dirinya sebagai Jurubicara Partai Demokrat, atau Edison Betaubun sebagai wakil dari Partai Golkar. Itu yang lucu, sebab Komisi III sendiri terpolarisasi dalam egosentrisme partai politik; bukan Komisi untuk kepentingan umum. Bukankah itu berarti ternyata pemilik perusahan obyek pajak itu adalah petinggi partai? Apa yang tidak jelas kepada rakyat? Semuanya jelas, hanya parodi di pentas politik DPR-RI yang membuatnya absurd, tidak kentara.

Gayus vs Polisi
Gayus bukan polisi, melainkan pelanggar hukum yang meminta menjadi staf ahli Kapolri. Inikah sindiran Gayus kepada institusi Polri? Gayus mungkin menilai dirinya lebih lihai dari kecermatan Reskrim Polri mengusut jaringan mafia perpajakan dan korupsi di Indonesia.

Para petinggi Polri disebut-sebut terjerat dalam masalah Gayus –bahkan Kapolri membeberkan sembilan faktor yang membuat anggota Polri bisa terseret dalam masalah per-mafia-an kasus. Ini merupakan bukti bahwa piranti hukum sebagai pengawal tidak juga ditaati oleh para penegak hukum itu sendiri. Mungkinkah dengan begitu kita memandang lumrah pomeo: ‘jika ada 10 sarja hukum, maka ada 10 pendapat tentang suatu masalah hukum’. Melumrahkan pomeo itu sama dengan mengatakan hukum itu relativ dan tafsir hukum itu selalu bertumpu pada subyektifitas. Maka lucu memang jika penegak hukum termasuk kepolisian menjadi gampang dan gamang melakukan praktek pelanggaran hukum; termasuk karena itu membiarkan Gayus lenggak-lenggong ke sana kemari, dan membiarkan para petinggi kepolisian dikejar-kejar berbagai tuduhan khalayak ramai.

Spekulasi hukum seperti itu menggambarkan bahwa supremasi hukum di Indonesia dilemahkan oleh para penegak hukum sendiri. Maka orang bermodal dapat saja melakukan pelanggaran hukum karena para penegaknya juga bisa diajak melanggari hukum itu. Ini jelas parodi yang membuat Gayus lebih lihai dari kecermatan kepolisian.

Gayus vs Jaksa/Hakim
Enteng sekali gaya Gayus menjawab semua pertanyaan hakim dan jaksa bahkan ketika harus sesuai dengan BAP sekalipun. Ia malah didakwa dengan UU perpajakan –yang oleh banyak kalangan akademisi adalah kurang tepat, karena mestinya digunakan UU pencucian uang. Para akademisi hukum yang adalah profesor dan dosen para penegak hukum itu sendiri malah merasa heran mengapa para penegak hukum mempraktekkan sesuatu yang justru berbeda dengan teori hukum yang dipelajari di perguruan tinggi. Apakah jarak antara teori dan praktek memang selalu niscaya sehingga orang gampang berdalih bahwa teori itu mubazir sebab di lapangan faktanya jadi lain?

Untuk hal-hal yang legal saja azas relativisme telah berlaku, bagaimana lagi untuk hal-hal yang niscaya? Ini menandakan bahwa memang Indonesia ini panggung parodi yang dimainkan hanya oleh mereka yang ada dalam lingkaran kekuasaan dan permodalan. Lihat saja, belum tuntas kasus Gayus, para anggota DPR-RI yang memburu Gayus rame-rame ditahan oleh kasus penyuapan dalam perebutan tampuk kekuasaan BI.

Ini menjadi menarik, yakni PR hukum terus bertambah di tengah banyak PR yang belum selesai dikerjakan: BLBI, Century, Mafia perpajakan, pemalsuan paspor, Lapindo, dst. Ada apa dengan fenomena ini? Jelas! Pertarungan para elite politik dan perang antarpartai politik. Alias tidak ada satu parpol yang bersih dan berhak ‘berteriak: maling’ terhadap parpol lainnya. Jika masalah Gayus dihembuskan [serangan terhadap petinggi partai Golkar], tentu Century ditiup angin pula [serangan terhadap petinggi partai Demokrat/Presiden dan Wapres]. Nah sekarang ada angin baru lagi yakni penyuapan dalam kasus pemilihan Deputy Senior BI [serangan terhadap PDIP].

Jaksa dan Hakim yang diharapkan menjadi eksekutor berbagai praktek ketidakbenaran ini berada pada dua posisi: semakin kuat atau bisa mempermainkan keadaan. Sebab institusi hukum pun mendapat angin: tidak bisa seenaknya dituduh main mata dengan pelanggar hukum karena politisi pun suka main mata dengan pelanggar hukum. Iwan Fals selalu benar: ‘maling teriak maling…’

Gayus vs Sipil
Gayus adalah sipil yang berubah menjadi un-sipil. Pelayan publik di Dirjen Perpajakan yang mesti menagih pajak tertanggung dari obyek pajak berubah memperkaya diri sendiri. Tugasnya menarik pajak yang berguna bagi pensejahteraan rakyat mengalami bias karena kerakusan sebagai sifat zoologi –demikian sitiran Elias Canetti, sehingga membuat dia bukan hanya kaya melainkan menjadi semakin ‘perkasa’ –karena dapat menembusi terali besi dan pengawalan ekstra ketat aparat keamanan di berbagai tempat.

Kelompok un-sipil seperti Gayus melemahkan posisi kesejahteraan sipil yang sebenarnya. Sipil yang berhak sejahtera kehilangan akses kesejahteraannya, sebab selain Gayus, kelompok un-sipil lain, yakni perusahan-perusahan besar obyek pajak yang manipulatif dan beberapa partai politik pun telah mencoreng usaha-usaha keejahteraan itu.

Kesimpulannya semua lembaga sipil di negara ini telah menjadi un-sipil, sebab jika pelanggaran hukum berupa pencurian buah cokelat/kakau, ayam, perkelahian antarwarga, stigma separatis sampai ke terorisme –yang dilakoni oleh masyarakat kecil, hukumnya jelas, langsung, tegas dan cepat. Ibarat sidang tilang kendaraan bermotor. Tetapi jika melibatkan petinggi, pengusaha besar, atau sesama rekan se-partai maka kasus-kasus itu menguap, bahkan ada yang hilang. Maka tidak heran jika Suciati terus akan merenungi nasibnya sebab misteri kematian suaminya Munir tetap akan menguap dan mungkin suatu waktu hilang.

Oh, sipil…..mungkin sudah begini nasib kita. Mereka membuat kita berhak meratapi dan menangisi nasib kita sendiri. Mengapa jadi rakyat kecil dan biasa ya????? Jangan-jangan ini salah TUHAN???? [*]

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara