HUKUM ‘GAYUS’ [Gagal Teyus] di INDONESIA

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella
[Ketua Umum PB AMGPM]

I
Jelajah Istilah


Katong [kita] pasti memiliki kegelisahan yang berbeda dengan fenomena penegakan hukum di Republik Indonesia yang dari waktu ke waktu mempertontonkan drama berbagai kasus pelanggaran hukum. Drama yang jelas menunjukkan perbedaan perlakuan terhadap koruptor berdasi dan pejabat koruptor dengan Ibu Mina, nenek tua yang dituduh mencuri tiga buah kakau.

Tidak hanya itu, tetapi reaksi pemerintah yang berbeda pula terhadap pelanggaran HAM di dunia internasional. Katong tentu ingat bagaimana sikap Presiden SBY sebagai representasi Pemerintah Indonesia yang ‘lombo’ terhadap ‘perampokan’ lagu ‘Rasa Sayang e’ dan Reog Ponorogo oleh Pemerintah dan masyarakat Malaysia. Demikian pun terhadap nasib petugas Kementrian Kelautan dan Perikanan RI yang ditahan pemerintah Malaysia –kemudian ditukarkan dengan nelayan Malaysia yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Tetapi SBY bereaksi cepat –lebih cepat dari PRC Polri malah, ketika terjadi pembakaran Alqur’an di Florida.

Ternyata tidak hanya itu, setiap kali TKW/TKI diperlakukan tidak manusiawi di Malaysia, pemerintah pun bereaksi sangat cepat, tidak demikian ketika kasus yang sama terjadi di Arab Saudi. Selalu ada perbedaan-perbedaan yang mencolok sebagai lukisan sejati bahwa penegakan hukum di negara ini ‘gayus’ –alias gagal teyus.
Istilah ‘Gayus’ itu sendiri beta pinjam dari fenomena hukum saat ini di Negara rechstaat ini. ‘Gayus’ adalah petugas Kantor Pajak yang berhasil mengatur seluruh praktek dan jalannya roda hukum di Indonesia dewasa ini. Beta pinjam istilah itu sebab menurut beta kegagalan penegakan hukum telah menjadi budaya di Indonesia ketika yang tersangkut di dalamnya adalah penguasa dan pengusaha besar dan berpengaruh. Maka tidak heran jika kasus-kasus yang melibatkan mereka ‘gayus’ –alias gagal teyus. Sedangkan istilah teyus sebenarnya adalah ‘terus’ –tetapi di mulut Ellexia, anak saya yang berumur 2,9 tahun –yang belum bisa melafalkan huruf ‘r’ –jadinya teyus.

Sebab itu ‘Gayus’ adalah sebuah istilah untuk menegaskan bahwa sampai saat ini –entah mungkin seterusnya, wajah hukum di negeri kita akan terus begitu-begitu saja. Pesimistik? Mungkin ya. Tetapi sebenarnya realistis, sebab kenyataannya selalu begitu. Tidak ada perubahan.

Tetapi mungkin pula benar, hanya Gayus Tambunan yang bisa mengobrak-abrik seluruh sistem hukum dan politik di Indonesia. Apa yang membuat dia ternyata sungguh sangat berpengaruh seperti itu? Atau ada sistem yang memang sengaja dibuat sehingga sosok ini menjadi sungguh sangat luar biasa.


II
HUKUM ‘GAYUS’ karena PENETRASI POLITIK

Banyak teori yang mengatakan bahwa salah satu dan mungkin faktor pengaruh kegagalan hukum di Indonesia adalah penetrasi politik dalam penegakan hukum. Banyak masalah hukum diselesaikan atau dialihkan pembahasannya di ruang legislatif atau terganjal pemrosesannya karena intervensi kekuasaan. Suatu regim selalu berhasil menyembunyikan, menghilangkan, atau malah menekan agar kasus pelanggaran hukum tertentu tidak boleh diusut tuntas. Tidak hanya itu bahkan tidak boleh dipublikasi media. Di zaman Orde Baru, pembredelan media merupakan bentuk penekanan politik dan kekuasaan yang turut mematikan proses penegakan hukum. Tidak hanya itu, mutasi dengan alasan tour of duty juga selalu menjadi alasan jika suatu kasus pelanggaran hukum nyaris lepas kawalan kekuasaan dan hampir masuk ke ruang pengadilan.
Maka tidak heran sampai saat ini –termasuk di Maluku, seorang Kapolda yang briliant bertugas tak cukup 3 bulan, atau Kepala Kejaksaan yang getol menuntaskan kasus pelanggaran hukum tertentu ‘poti-poti’ dimutasikan.

Nanti pada regim berikutnya kasus-kasus lama ‘dibangkitkan dari kuburannya’. Bagaikan bangkai, ada yang sudah berbau busuk, ada yang tinggal tulang-belulang saja, bahkan ada yang nyaris musnah karena sudah lama terbenam dan tercampur dengan tanah.

Pada saat SBY membatalkan keberangkatannya ke Negeri Belanda, Adnan Buyung Nasution –yang kini menjadi Kuasa Hukum Gayus Tambunan, pada salah satu TV Swasta, menyalahkan penasehat hukum SBY yang katanya kurang memahami sistem politik dan hukum di Negeri Belanda. Buyung –kira-kira berkata begini: ‘jangan pakai mindset Indonesia untuk menilai realitas hukum dan politik di Negeri Belanda dong. Itu salah’. Artinya Buyung tahu persis bahwa TRIAS POLITIKA dijalankan secara konsisten di sana, sehingga hukum tidak pernah diitervensi oleh kekuasaan dalam hal sekecil apa sekalipun.

Seperti itu yang Buyung tahu, tetapi jadinya lain ketika terjadi di Indonesia, bahkan terhadap kasus Gayus Tambunan yang kini turut ditanganinya. Betapa pertarungan kekuasaan dan uang bukan saja terus terjadi tetapi dibiarkan juga teyus terjadi.

Berapa banyak kasus pelanggaran hukum yang ‘digelar’ di Pansus DPR RI juga DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang tuntas penyelesaiannya? Apakah ketidaktuntasannya karena hukum tidak boleh diintervensi oleh politik atau karena anggota legislatif tidak berkewenangan menyidik, memeriksa dan mengadili? Realitas itu memperlihatkan bahwa legislator kita pun sukanya ‘menyidangkan’ seseorang dengan dalih merugikan masyarakat –tetapi tidak mampu ‘memaksa’ aparat penegak hukum untuk menuntaskannya. Ketetapan Pansus Century adalah salah satu faktanya.

Yang terjadi malah kasus-kasus tertentu digunakan sebagai komoditi politik untuk menaikkan posisi tawar parpol tertentu –mereka saling serang, saling menuding, bahkan mengeluarkan kata-kata kasar secara blak-blakan dan tidak sopan. Selepas itu mereka melakukan lobi-lobi panjang dan mahal, lalu diam-diam kasus-kasus itu tak terdengar lagi. Itu berarti dunia politik dan dunia hukum kita sama saja.

III
HUKUM ‘GAYUS’ karena TIRANI UANG

Penegak hukum kita memang dibuat ‘kalalerang’ oleh masalah si Gayus Tambunan. Begitu divonis bersalah, Gayus menghilang. Dicari sana-sini, dia malah [akhirnya] menyerahkan diri. Dijebloskan ke dalam Lapas yang tentu berjeruji besi. Hanya tikus, hewan terbesar yang bisa lolos dari balik jeruji itu selain serangga seperti nyamuk, lalat, kecoa dan semut [itu pun mungkin tidak ada di kamar-kamar khusus dalam Lapas].

Memang Lapas di Indonesia sudah berganti wajah. Keseraman dan stigma penjara tidak ada lagi. Sebab Lapas sudah menjadi wadah pembinaan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran hukum. Namun begitu wajahnya berubah, Lapas malah ‘di-make over’, sampai kulkas, kasur busa, lemari pun bisa masuk dan AC pun terpasang. Tidak hanya itu, narkoba dan uang beredar luas di Lapas.

Lenggak-lenggok Gayus keluar masuk Lapas, bahkan ke Luar Negeri sudah cukup memberi bukti bahwa tidak ada batas yang tidak bisa dilanggar di negara ini –jika uang telah mengambil bagian. Artinya advokasi sebagai metode komunikasi hukum telah diparalelkan dengan negosiasi atau transaksi yang bermuatan uang. Praktek-praktek bisnis menjadi bagian pokok dari praktek penegakan hukum dewasa ini. Sebab itu pelaku pelanggar hukum bisa diposisikan sebagai pemegang saham di dalam Lapas. Sejauh prakteknya begitu, maka pelanggar hukum dapat diidentifikasi sebagai ‘komoditi ekonomi’ –kasusnya tidak lagi menjadi komoditi hukum, sehingga pelakunya bisa bertransaksi dengan masalahnya.

Tentunya katong tidak perlu dibingungkan. Sebab di Amerika pun, si pelanggar hukum bisa membayar uang denda dan terbebas dari jerat hukum. Apakah defenisi denda itu berlaku untuk semua kasus pelanggaran hukum? Di Indonesia juga demikian. Terdakwa selalu didakwakan hukuman badan dan wajib membayar denda sejumlah uang. Namun kasus Gayus lain lagi, untuk keluar bebas dan bebas ke mana-mana –sebagai penghuni Lapas, ia bisa saja memberi uang kepada mereka yang membisniskan penghukumannya, termasuk petugas Imigrasi –sesuai dengan temuan terakhir ini.

Sejauhmana uang bermain dalam roda penegakan hukum di negara ini? Tentu karena ada pemodal yang berkepentingan dengan seorang terdakwa. Nah siapa di balik Gayus? Atau siapa yang memanjakan Gayus? Gampang diduga, yaitu pebisnis yang tidak taat pajak. Walau gampang diduga, jika diketahui orang itu ternyata sulit –atau tidak boleh, ditetapkan sebagai tersangka baru dalam kasus ini. Otomatis Gayus akan terus menanggung hukuman. Tetapi dia enjoy saja, karena toh bebas keluar dan bebas ke mana-mana dalam status sebagai penghuni Lapas.

IV
HUKUM ‘GAYUS’ jadi BUDAYA HUKUM


Semoga pernyataan itu tidak melecehkan wibawa penegakan hukum. Beta percaya juga tidak. Alasan beta menggunakan istilah itu sebab kegagalan penegakan hukum di Indonesia karena intervensi politik dan tirani uang sudah berlangsung sejak Republik ini lahir. Lihat saja mereka yang dipenjara. Orang-orang kecil yang mencuri barang-barang kecil. Orang-orang miskin yang terpaksa mencuri karena tekanan struktural. Orang-orang berpendidikan rendah yang karena kelangkaan lapangan pekerjaan, pengangguran yang membludak, kekerasan yang membudaya di kota besar, lalu terpaksa menjadi preman atau malah ada yang preman kampung dan kampungan.

Memang ada pula pejabat. Tetapi mereka tidak memiliki dukungan kuat oleh partai politik atau institusi dan malah oleh pejabat tertentu yang berkuasa. Mereka mungkin juga lawan politik rekannya sendiri, atau sepak terjangnya dinilai membahayakan institusi tertentu. Alih-alih muncul istilah ‘seng ada bekingan’.

Tapol pun demikian. Stigma subversif dan separatis dialamatkan kepada mereka dengan tujuan agar masyarakat menganggap mereka sebagai musuh bersama. Padahal mungkin mereka hanya melakukan tugas kontrol dan kritik sipil tanpa perlawanan senjata atau parade militer dan bukan pula paramiliter.

Karena itu HUKUM ‘GAYUS’ bisa menjadi budaya penegakan hukum di negeri ini. Beta tidak menafikkan berbagai prestasi penegakan hukum yang tercapai selama ini. Sebab ini hanyalah sebuah refleksi dari apa yang bisa menjadi bahaya dalam dunia penegakan hukum di Indonesia. [*]

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara