PEMIKIRAN TEOLOGI JOHANNES LEIMENA

Suatu Upaya Awal
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


Pendahuluan
Beta sebenarnya hendak menulis sebuah pemikiran Teologi Johannes Leimena, karena dari banyak cerita dan penelitian mengenainya, selain sebagai pemikir dan tokoh bangsa yang malang melintang di 'rimba' politik, kenegaraan, pelayanan sosial sebagai seorang dokter, Om Jo, begitu menurut sapaan di kalangan GMKI, adalah seorang tokoh gereja, yang turut membidani lahirnya Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), serta seorang pentolan CSV yang merupakan cikal bakal GMKI. Beta kira karena itu, Om Jo, adalah seorang yang patut disebut sebagai peletak dasar TEOLOGI KEBANGSAAN. Ia menggelisahkan beta untuk melihat Indonesia sebagai sebuah kenyataan teologis.

Beta berusaha membahas topik ini dengan meminjam beberapa sari pemikiran seorang Pahlawan Sejati bangsa Indonesia yakni DR. Johannes Leimena, yang oleh kalangan GMKI disapa Om Jo. Sebab menurut beta, setelah Rasul Paulus yang coba memposisikan relasi orang-orang kristen dengan pemerintah/negara, di Indonesia Johannes Leimena yang kembali melihat pentingnya hal itu, dengan mengedepankan apa yang suka ia sebut ‘keinsyafan kenegaraan’ (staatsbewustzijn) yang hanya dapat tumbuh jika ada ‘keinsyafan kebangsaan’ (volksbewustzijn). Seterusnya ternyata yang dimaksudkan Om Jo adalah ‘tanggungjawab’ atau ‘bertanggungjawab’ kepada negara dan masyarakat (bangsa).

Kembali pada soal ‘peran ganda’ itu, Om Jo dalam salah satu tulisannya (1955) menulis begini:

Kita yang hidup di antara dua waktu, yaitu antara kenaikan Tuhan ke sorga dan kedatangan kedua kalinya dalam dunia ini, tidak dapat melepaskan diri kita dari bumi (dunia) ini, tapi wajib turut serta dalam pemeliharaan dunia ini, turut serta dalam pekerjaan menegakan kerajaan sorga [damai sejahtera] dalam dunia ini.

Juga mengenai negara, orang Kristen mempunyai suatu kedudukan yang ‘paradoxaal’. Ia adalah warga dari negaranya dalam dunia ini dan ia adalah juga warga dari kerajaan Kristus. Ia mempunyai ‘double citizenship” (dwikewarganegaraan). Hal ini pula mengakibatkan suatu ketegangan (spanning) dalam kehidupannya sebagai warga negara.

Sebenarnya, semua pernyataan ini berkisar pada soal yang besar: …”Bagaimanakah orang kristen dapat hidup dengan Tuhannya dan bersamaan dengan itu hidup sebagai warga negara yang baik”, lebih tegas lagi: ‘bagaimanakah kita dapat hidup sebagai orang Kristen yang sejati dan sebagai warga negara yang sejati dan yang bertanggungjawab’.

Beta merasa penting mengemukakan pernyataan dan pertanyaan teologis Om Jo itu untuk mengatakan bahwa ternyata dalam kaitan dengan ‘dwikewarganegaraan’ kita itu Om Jo mendorong kita [gereja/orang kristen] untuk melihat Indonesia secara sosio-teologis, atau dalam bahasa yang lebih operasional, melihat Indonesia sebagai ajang berteologi gereja [dan agama-agama].

Bertanggungjawab
Aspek ‘bertanggungjawab’ adalah suatu gagasan dan sikap sosio-teologis seorang Om Jo yang juga dijadikan sebagai pijakan untuk mengkritisi kehidupan bernegara dan juga mengkritisi [berteologi] gereja.

Karena dipengaruhi oleh Teologi Luther, Calvin dan Barth, beta percaya bahwa hal ‘bertanggungjawab’ yang Om Jo maksudkan adalah agar negara memahami bahwa negara dan bangsa adalah entitas sosial yang harus bertanggungjawab terhadap hidup warganya. Demikian pun warga negara dan warga bangsa (masyarakat) mesti menyadari bahwa mereka adalah juga entitas sosial yang harus bertanggungjawan terhadap hidup bersama di dalam bangsa dan negara. Secara politis kita merumuskannya dalam apa yang disebut ‘hak dan kewajiban’.
Om Jo, dalam kaitan dengan teolog-teolog tadi, lalu akan sepakat untuk mendefenisikan hal bertanggungjawab itu sebagai ‘panggilan’ (Jer. Beruf, Ing. Calling). Artinya negara dan seluruh aparaturnya mendapat panggilan dari Tuhan untuk melayani kesejahteraan, keadilan, kebenaran, dan kedamaian bagi warganya. Tanpa itu negara adalah tiran dan penjajah. Sebaliknya warga negara juga mendapat panggilan untuk melayani sesama dan bangsa (masyarakat), serta memelihara kehidupan bernegara yang damai, adil, rukun, dan penuh cinta kasih.

Hidup bersama (Samenleven)
Mungkin bahasa teologi untuk hal ini adalah ‘koinonia’, tetapi Om Jo menggunakan istilah ‘samenleven’ dari bahasa Belanda untuk merefleksikan aspek kedua dari tanggungjawab itu. Menariknya ‘samenleven’ diterjemahkannya dari suatu relasi dasar ‘aku-engkau’. Secara sosiologis, bahwa manusia itu ada oleh karena ada manusia yang lain. Kesadaran akan ada [sumbangan] orang lain yang kiranya menentukan cara kita berdiri terhadap manusia lain. Karena itu hubungan ‘aku-engkau’ yang berhasil dikelola akan membentuk masyarakat [samenleving = masyarakat]. Sebab itu ada persekutuan [dalam bangsa] karena terdapat suatu ikatan yang menghubungkan oknum-oknum [individu]menjadi satu bangsa. Ikatan itu menurut Om Jo adalah ‘pengasihan’ [liefdesgebod]. Karena itu persekutuan dalam bangsa menjadi kuat karena ikatan-ikatan hidup yang selalu dibangun menjadi daya rekat hidup bersama.

Politik ber-etika
Om Jo juga dikenal sebagai pendiri dasar teologi politik Indonesia. Pernyataannya: ‘Politik bukan alat kekuasaan, tetapi etika untuk melayani’, perlu dijadikan rujukan untuk melihat bagaimana kehidupan politik bangsa ini dikembangkan.

Jika kita menafsirnya, pernyataan itu lahir dari suatu penghayatan yang mendalam akan ‘dwikewarganegaraan’ tadi. Sebab menurutnya Indonesia ini negara baru, dan kita sedang berhadapan dengan soal-soal kenegaraan, dan soal-soal kebangsaan yang besar. Ia bermaksud untuk mengatakan bahwa tidak ada persoalan yang harus dipandang enteng atau sulit, karena semua itu adalah soal kita sendiri. Karena itu kita harus bersama-sama memecahkannya. Itulah yang dimaksudkan dengan tanggungjawab/bertanggungjawab.

Menariknya bahwa ia melihat hal itu pada tataran sebuah etika politik, agar kekuasaan itu benar-benar dikelola untuk membangun bangsa ini secara baik. Karena itu menurutnya pula, orang Indonesia akan bisa membangun Indonesia dengan baik jika ia memandang bahwa negara ini ada karena karunia Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan telah menganugerahkan kepada bangsa Indonesia suatu negara. Tuhan mempunyai maksud dengan negara ini. Tuhan memberikan suatu tugas kepada negara dan bangsa itu, ialah tugas memelihara kehidupannya sendiri dengan sebaik-baiknya.

Bagaimana Pemuda Kristen di Indonesia?
Beta tidak memberi semacam formula atau ayat sakti mengenai bagaimana pemuda Kristen harus menjadi ‘tulang punggung’ bangsa dan gereja. Sebab siapa pun dia, warga bangsa ini, mendapat panggilan yang sama dari Tuhan yaitu untuk saling mengasihi dan melayani kota [bangsa] di mana mereka ada, sambil mengusahakan kesejahteraan kota [masyarakat] itu.
Problem-problem sebagai orang kristen harus dilihat sebagai problem orang dan bangsa Indonesia. Sebab itu sensetifitas sosial yang harus dibangun, bukan sensetifitas agama yang sempit dan kaku. Sebab agama-agama itu adalah bagian dari budaya orang Indonesia, bukan kiriman orang lain dari luar untuk ‘terpaksa’ kita anut. Kita adalah pemuda Indonesia yang kemudian beragama kristen. Hal kita beragama adalah hal kita mengekspresikan iman sebagai orang Indonesia. Memang kemudian agama itu menuntut kita untuk hidup sesuai dengan ajaran/doktrin, tetapi doktrin agama ternyata menuntut kita untuk mengasihi sesama dan mengasihi Tuhan. Mengasihi bangsa, bertanggungjawab sebagai warga bangsa, adalah wujud mengasihi Tuhan dan bertanggungjawab sebagai orang beriman.

Demikian!

(Materi Diskusi Kepemudaan Kristen, GMKI Cabang Ambon. 23 Agustus 2010, Gereja Maranatha, Ambon – beta Panel bersama Dr. Poly Koritelu dan Hendry Pasalbessy. Aslinya materi ini berjudul: "TANGGUNGJAWAB PEMUDA KRISTEN SEBAGAI TULANG PUNGGUNG GEREJA DAN NEGARA, Menyoal Kembali Konsepsi Peran Ganda dalam Teologi Johannes Leimena")

Comments

Weslly said…
Mantap, bu !!!

Minta izin share di Facebook ya...

Hormat beta,
Weslly

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara