PATU KAPALAE

Artefak Kapal Dagang Cina di Horale, Maluku Tengah
Oleh. Elifas Tomix Maspaitella


Pengantar

Menelusuri jejak peninggalan Cina di Maluku memiliki daya tarik tersendiri. Suatu jejak sejarah yang belum terlalu diminati kalangan ilmuan dan sejarahwan. Karena itu rekaman dan narasi sejarah mengenai Maluku selalu diwarnai dengan cerita Eropa, karena itu artefak-artefak Eropa yang paling banyak dipelihara atau dilestarikan.
Padahal jika diakui secara jujur, jejak Cina merupakan jejak tertua, bahkan sudah ada jauh sebelum datangnya orang Eropa ke Maluku [mengenai ini, saya sedang mempersiapkan satu tulisan lain lagi sebagai kajian ulang terhadap rekaman data dan catatan beberapa ilmuwan barat].

Apa yang kemudian diulas dalam artikel ini adalah sebuah temuan baru yang patut dicurigai sebagai bukti bahwa pengaruh Cina di Maluku begitu mendalam dan meluas sampai ke daerah pedalaman.

Pulau Seram adalah salah satu lokus yang di sini jejak Cina bisa ditemukan pula. Saya belum sempat menelusuri ke daerah-daerah lain di Pulau Seram, tetapi temuan kali ini tidak bisa diabaikan untuk menelusuri lebih mendalam jejak Cina itu sendiri.

Kebetulan saya bersama dengan Komisi Keesaan dan Pembinaan Umat Jemaat Bethania, Sektor Mahanaim, Klasis GPM Kota Ambon, melakukan ‘koinonia terpadu’ di Jemaat Horale, Klasis Seram Utara-Wahai pada 28 Juni – 1 Juli 2010. Di Horale inilah saya ‘berhasil’ menemukan beberapa bukti peninggalan Cina yang memang masih perlu ditelusuri keabsahannya lebih lanjut.

Nakaena, Nakapatu, Nakaheli – Nama itu menunjuk ke Pengaruh Cina [?]
Horale adalah nama negeri adat ini seperti dikenal secara luas di Maluku. Negeri orang-orang Wemale yang seluruh komunitasnya berbahasa Wemale. Pada 2006-2008 berada dalam suatu krisis, terkait dengan pertikaian dan sengketa batas tanah negeri dengan Saleman, yang penduduknya berasal dari Utara dan memiliki bahasa yang sangat mirip dengan orang-orang di Utara (Banggoi).

Nama Horale itu adalah sebutan masa kini bagi negeri ini. Dahulu kala, negeri ini dikenal dengan nama NAKAENA, atau NEGERI NAGA [NAKA=NAGA, [H]ENA=NEGERI]. Dari mana berasal kata ‘naka=naga’ itu tidak bisa diingat secara pasti oleh beberapa tua adat di Horale, yang menuturkan cerita ini (Bapak Toby Latumapina, Bapak Piet Patalatu, Bapak Yeye Maatuku Sailemane, dan Bung Piet Mahaklory – Selasa, 29 Juni, jam 22.20-00.15].

Dari cerita mereka, diketahui bahwa dahulu nenek moyang mereka pindah dari Nunusaku, saat terjadi peristiwa perpecahan di sana [baca tulisan saya ‘Mitos Gunug Suci: Solohua Kasale Patai’]. Dalam perjalanan dari Talamenasiwa, nenek moyang mereka berjalan dengan mengikuti petunjuk bintang di langit yang menyerupai naga, sampai tiba di negerinya ini dan mendirikan negeri ini.

Jadi nama ‘naka=naga’ itu bersumber dari mitologi orang Horale tadi. Nama itu sendiri bisa memberi indikasi pada adanya pengaruh Cina, namun jejaknya agak sulit ditelusuri mengingat banyak catatan sejarah masa lampau yang sudah dilupakan oleh informan. Termasuk arsip-arsip negeri yang telah terbakar di kantor negeri. Selain itu kebiasaan bertutur dari orang tua kepada anak-anak dahulu selalu dianggap tabu, sehingga tidak ada suatu cerita sejarah yang lengkap dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Ketika ditelusuri lebih lanjut memang sulit menemukan adanya pengaruh Cina pada nama ‘naka=naga’ itu. Tetapi nama Nakaena menjadi sebutan sakral bagi negeri ini. Sebelum menjadi Horale, terdapat dua wilayah, yaitu Nakapatu = Naga batu, yang kini menjadi Pusat Negeri Horale, dan Nakaheli = Naga kusu-kusu/alang-alang, yang bertempat di Saka, sebagai salah satu wilayah Horale. Nakaheli sendiri kemudian digabungkan ke Nakapatu pada tahun 1937, karena terjadi wabah penyakit alam [malaria] di tahun itu.

Kanelabuane = Pelabuhan Horale
Selain nama nakaena, nakapatu dan nakaheli tadi, labuhan negeri Horale ditandai dengan dua batu penunjuk setinggi 1,5m, dan selalu tampak di permukaan air laut baik kala air surut maupun air pasang.



Labuhan ini dikenal dengan nama ‘kenalabuane’. Nama ‘kena’ sendiri menurut informan (Bapak Pice Patalatu) adalah nama seorang pedagang Cina yang dahulu melakukan kegiatan berdagang di Seram Utara, dan kapalnya selalu berlabuh di lautan depan negeri Horale.

Kedua batu itu selalu menjadi penunjuk karena memang lautan di labuhan itu dipenuhi batu yang membuat airnya dangkal. Kedua batu itu menjadi penanda bahwa permukaan air di antara kedua batu itu tergolong dalam, sehingga bisa dilalui oleh kapal jika hendak ke tepi pantai Horale. Memang sudah sulit menemukan penggambaran detail mengenai kapal Cina dan pedagang yang bernama ‘Kena’ tersebut, tetapi masyarakat Horale mengenangnya dari nama labuhan itu sendiri.

Patukapale/lakapale; patu = batu, kapale = kapal
Nama patukapale adalah sebutan untuk artefak batu di pesisir pantai Horale yang menunjuk pada adanya sebuah kapal yang karam/terdampar di pantai itu. Sebutan ‘patu’ (=batu) adalah sebutan khas dalam bahasa Wemale. Sebaliknya ‘kapale’ adalah cara orang Wemale membunyikan suatu benda atau subyek dengan menambahkan akhiran ‘e’ pada kata itu. Kebiasaan membahasa seperti itu dilekatkan pada beberapa istilah dalam Bahasa Melayu Ambon, seperti Tuhan = Tuhane, Kapal = Kapale.

Dari jenis batu ini sendiri, bisa dilihat jelas perbedaannya secara fisik dengan batu-batu yang lain yang ada di pesisir pantai itu. Warnanya yang agak kehitaman mengingatkan kita pada proses membatu yang bisa saja terjadi pada bahan besi. Saya sempat meminta ijin untuk mengambil sampel, yang sedang diusahakan untuk diuji pada laboratorium Arkeologi. Tujuannya untuk mengetahui jenis bahan mineral yang terkandung di dalamnya, jika ada unsur besi, berarti bisa menjadi bukti bahwa sebutan ‘patukapale’ itu jelas pada kapal yang terdampat/karam. Apakah itu kapal Cina, bisa juga ditelusuri dari dua penjelasan di atas, atau sumber-sumber ilmiah lainnya.

Artefak ini ada di pesisir pantai dan berada di dua lokasi yang berdekatan. Pada lokasi pertama, yang disebut ‘patukapale’ ada susunan batu pipih seluas kurang lebih 2 meter. Di atasnya ada beberapa bentuk yang unik. Menurut kebiasaan orang Horale, disebut sebagai gong (=papuw), tifa (=tipale) dan sumur [=parike, perigi, mungkin kendi porselin yang turut membatu]. Tiga jenis barang ini pun tergolong sebagai artefak Cina yang banyak ditemui di Maluku dan menjadi bagian dari kultur seni masyarakat Maluku.





Pada lokasi kedua, terdapat susunan batu yang lebih luas dan lebih banyak, dan dianggap sebagai serpihan-serpihan kapal itu juga. Jadi adanya tidak bisa dipisahkan dari ‘patukapale’ itu. Menurut cerita informan, jika tiba musim Barat, ‘patukapale’ itu bertambah luas karena separuh dari ‘patukapale’ itu muncul dipermukaan seiring dengan pengikisan pasir oleh ombak besar.

Comments

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara