Tahap Perkembangan Kepercayaan

Sari Pemikiran James W. Fowler dalam “Teori Perkembangan Kepercayaan: Karya-karya Penting James W. Fowler”, Editor. A. Supratiknya, Yogyakarta: Kanisius, 1995

Oleh. Elifas Tomix Maspaitella

Satu Manusia sebagai Pemberi Makna

James W. Fowler mengembangkan suatu teori yang disebutnya “Faith Development Theory”. Teorinya ini lebih menjurus pada psikologi agama. Namun pendekatannya ini membantu kita dalam memahami tahapan perkembangan percaya seorang manusia dan satu komunitas. Atau membantu dalam memahami alasan-alasan mengapa dan bagaimana seorang menjadi percaya atau beragama.

Beragama bagi Fowler adalah bagian dari proses mencari makna, sebab itu menurutnya manusia adalah meaning maker (pemberi arti). Manusia adalah subyek yang bermakna dan memberi/menciptakan makna pada sesuatu atau pada iman (faith), dan kepercayaan (belief)/agama. Proses memberi makna itu yang memperlihatkan bahwa manusialah yang menyusun suatu penjelasan terhadap berbagai pengertian yang semula tidak tersusun secara rapi. Fenomena-fenomena percaya awal adalah suatu susunan pemikiran dan pengertian yang ‘talamburang’ (tidak teratur, ajeg). Manusialah yang menyusunnya. Dalam proses penyusunan itu manusia juga yang mencari sesuatu material/simbol (sign) yang sinonim atau bisa merepresentasi hal yang dipercayainya itu. Karena itu menjadi percaya, atau iman adalah juga suatu proses semantik yang dibuat oleh manusia.

Rupanya Fowler tidak mau terlalu dipusingkan dengan hal-hal semantik itu seperti halnya para antropolog agama seperti E.B. Tylor (di masa Klasik) atau Ruth Benedict dan Fiona Bowie (di masa modern).

Sederhananya bagi Fowler ialah bahwa faith dimengertinya sebagai sesuatu yang luas dari sekedar ‘kepercayaan’ (belief), walau keduanya sinonim dengan ‘tindak pengartian’ (upaya memberi arti/menjelaskan). Sebab kepercayaan menyangkut mental untuk menciptakan, memelihara dan mentransformasi arti. Hasilnya adalah apa yang disebutnya sebagai ‘kepercayaan eksistensial’.

Kepercayaan eksistensial itu sendiri menurutnya merupakan suatu kegiatan relasional, artinya ‘berada-dalam-relasi-dengan-sesuatu’. Maka kepercayaan eksistensial diawali oleh ‘rasa percaya’ (yun. Pisteuo = saya percaya dalam arti bahwa saya menyerahkan diri seluruhnya dan mengandalkan engkau).

Hal itu berarti:
Pertama, kepercayaan sebagai cara seorang pribadi (atau kelompok) melihat hubungannya dengan orang lain, dengan siapa ia merasa diri bersatu berdasarkan latar belakang sejumlah tujuan dan pengartian yang dimiliki bersama.

Ini menjurus pada adanya suatu ajaran yang membentuk ranah kognisi dalam hal menjadi percaya. Tetapi juga suatu sistem praktek yang membentuk ranah afeksi dan motorik.
Kedua, kepercayaan sebagai cara tertentu, dengan mana pribadi menafsirkan dan menjelaskan seluruh peristiwa dan pengalaman yang berlangsung dalam segala lapangan daya kehidupannya yang majemuk dan kompleks.

Aktifitas menafsir (interpretation) dan menjelaskan (clarification, verstehen) di sini mengamanatkan bahwa kepercayaan adalah bagian dari suatu hermeneutika kehidupan, yang terkait bukan dengan dokumen-dokumen kudus yang turut menyusun dogma agama melainkan dokumen-dokumen kehidupan yang selalu dijumpai manusia dalam pengalaman nyata di masyarakat/dunianya.

Ketiga, kepercayaan sebagai cara pribadi melihat seluruh nilai dan kekuatan yang merupakan realitas paling akhir dan pasti bagi diri dan sesamanya. Di sini ditentukan mana ‘gambaran penuntun’ mengenai yang ultim yang akhirnya dapat menggerakkan dan menjadi acuan hidup kita.

Pada sisi ini muncul seperangkat etika dalam agama, serta ajaran mengenai Tuhan sebagai yang ultim.

Dua Fides quae creditur, Fides qua creditur

Untuk merinci isi dari kepercayaan itu, Fowler membedakan antara fides quae creditur, yaitu substansi dan isi kognisi dari hal yang dipercayai, dan fides qua creditur yakni cara kita percaya akan hal tersebut.
Dengan demikian kepercayaan selalu ada dalam dialektika antara ajaran untuk menjadi percaya dan cara/praktek menjadi percaya. Apa yang disebut percaya tidak sekedar menerima secara taken for granted tetapi belajar secara kritis melalui praksis. Sebab apa yang menjadi isi kognisi (ajaran) sesungguhnya adalah kumulasi dari apa yang dialami dalam hidup sehari-hari.
Beberapa teolog lain seperti John B. Cobb, jr, menunjukkan bahwa hal menjadi percaya baru datang pada saat manusia melakoni aktitifitas sehari-hari (dailiy activity). Maka kepercayaan juga ditentukan oleh aktifitas dan peran sosial/tanggungjawab.

Tiga Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan

Tahap 0: Kepercayaan Elementer Awal
(Primal Faith)

Tahap ini timbul sebagai Tahap 0 (nol) atau Pratahap (pre-stage, yaitu masa orok, bayi, 0 sampai 2 atau 3 tahun). Kepercayaan ini disebut juga pratahap “kepercayaan yang belum terdiferensiasi (undifferentiated faith), karena: (a) ciri disposisi praverbal si bayi terhadap lingkungannya yang belum dirasakan dan disadari sebagai hal yang terpisah dan berbeda dari dirinya, dan (b) daya-daya seperti kepercayaan dasar, keberanian, harapan dan cinta (serta daya-daya lawannya) belum dibedakan lewat proses pertumbuhan, melainkan masih saling tercampur satu ama lain dalam suatu keadaan kesatuan yang samar-samar. Rasa percaya elementer ini bersifat pralinguistis (sebelum tumbuh kemampuan membahasa), praverbal, dan prakonseptual.


Tahap 1: Kepercayaan Intuitif-Proyektif
(Intuitive-Projective Faith)

Pola eksistensial yang intuitif-proyektif menandai tahap perkembangan pertama (umur 3-7 tahun) karena daya imajinasi dan dunia gambaran sangat berkembang. Apa yang dialami di Tahap 0 (nol) menjadi hal yang sangat berarti dalam Tahap 1. Dunia pengalaman sudah mulai disusun melalui seperangkat pengalaman inderawi dan kesan-kesan emosional yang kuar. Namun kesan-kesan itu diangkat ke dalam alam imajinasi. Walau demikian pada tahap ini anak sudah mulai peka terhadap dunia misteri dan Yang Ilagi serta tanda-tanda nyata kekuasaan.

Tahap 2: Kepercayaan Mitis-Harfiah
(Mithic-Literal Faith)

Bentuk kepercayaan ini muncul sebagai tahap kedua (umur 7-12 tahun). Di sini mulai bertumbuh operasi-operasi logis terhadap pengalaman imajinatif di Tahap 1. Operasi-operasi logis itu mulai bersifat konkret, dan mengarah pada adanya kategori sebab-akibat. Di sini anak berusaha melepaskan diri dari skiap egosentrismenya, mulai membedakan antara perspektifnya sendiri dan perspektif orang lain, serta memperluas pandangannya dengan mengambil alih pandangan (perspektif) orang lain. Kemampuan untuk menguji dan memeriksa perspektifnya sudah mulai tersusun baik, walau pada tingkat moral anak belum bisa menyusun dunia batin seperti perasaan, sikap dan proses penuntun batiniah yang dimilikinya sendiri.

Tahap 3: Kepercayaan Sintetis-Konvensional
(Synthetic-Conventional Faith)
Tahap ini muncul pada masa adolesen (umur 12-20 tahun). Di sini muncul kemampuan kognitif baru, yaitu operasi-operasi formal, maka remaja mulai mengambil alih pandangan pribadi rang lain menurut pola pengambilan perspektif antar-pribadi secara timbal balik. Di sini sudah ada kemampuan menyusun gambaran percaya pada person tertentu, termasuk person yang Ilahi.

Tahap 4: Kepercayaan Individuatif-Reflektif
(Individuative-Reflective Faith)
Tahap ini muncul pada umur 20 tahun ke atas (awal masa dewasa). Pola ini ditandai oleh lahirnya refleksi kritis atas seluruh pendapat, keyakinan, dan nilai (religius) lama. Pribadi sudah mampu melihat diri sendiri dan orang lain sebagai bagian dari suatu sistem kemasyarakatan, tetapi juga yakin bahwa dia sendirilah yang memikul tanggungjawab atas penentuan pilihan ideologis dan gaya hidup yang membuka jalan baginya untuk mengikatkan diri dengan cara menunjukkan kesetiaan pada seluruh hubungan dan pangilan tugas. Disebut ‘individuatif’ karena baru saat inilah manusia tidak semata-mata bergantung pada orang lain, tetapi dengan kesanggupannya sendiri mampu mengadakan dialog antara berbaagai ‘diri; sebagaimana dilihat dan dipantulkan orang-orang dengan ‘diri sejati’ yang hanya dikenal oleh pribadi yang bersangkutan itu sendiri. Manusia mengalami dirinya sebagai yang khas, unik, aktif, kritis, kreatif penuh daya.

Tahap 5: Kepercayaan Eksistensial Konjungtif
(Conjunctive Faith)

Kepercayaan eksistensial konjungtif timbul pada masa usia pertengahan (sekitar umur 35 tahun ke atas). Tahap ini ditandai oleh suatu keterbukaan dan perhatian baru terhadap adanya polaritas, ketegangan, paradoks, dan ambiguitas dalam kodrat kebenaran diri dan hidupnya. Kebenaran hanya akan dicapai melalui dialektika, karena sadar bahwa manusia memerlukan suatu tafsiran yang majemuk.
Di sini beragama dan kepercayaan juga dibayang-bayangi oleh simbol, metafora, cerita, mitos, dll yang memerlukan penafsiran kembali.

Tahap 6: Kepercayaan Eksistensial yang Mengacu pada Universalitas
(Universalizing Faith)
Kepercayaan ini berkembang pada umur 45 tahun ke atas. Pribadi melampaui tingkatan paradoks dan polaritas, karena gaya hidupnya langsung berakat pada kesatuan dengan Yang Ultim, yaitu pusat nilai, kekuasaan dan keterlibatan yang terdalam. Pribadi sudah berhasil melepaskan diri (kenosis) dari egonya dan dari pandangan bahwa ego adalah pusat, titik acuan, dan tolok ukur kehidupan yang mutlak. Perjuangan akan kebenaran, keadilan, dan kesatuan sejati berdasarkan semangat cinta universal ini secara antisipatif menjelmakan daya dan dinamika Kerajaan Allah sebagai persekutuan cinta dan kesetiakawanan antara segala sesuatu yang ada.

Comments

Kang Khafidz said…
This comment has been removed by a blog administrator.

Popular posts from this blog

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Makna Teologis dan Liturgis Kolekta/Persembahan

Hukum dan Keadilan dari Tangan Raja/Negara